Ada Apa dengan Pendidikan Nasional Kita?
Publikasi: 05/05/2003 17:13 WIBeramuslim - Hari ini berdasarkan konsensus nasional adalah hari pendidikan Nasional. Suatu hari yang masyarakat sendiri mungkin tidak atau katakanlah kurang (eufemisme bahasa) menyadari serta memahami apa maksudnya hari pendidikan itu. Para pejuang kemerdekaan yang dahulu concern terhadap dunia pendidikan pun mungkin tidak berharap ada hari pendidikan. Mereka hanya ingin melihat dunia pendidikan kita maju, dan dapat menghantar bangsa ini menjadi jauh lebih baik.
Tapi mari kita tinggalkan sejenak tentang hakikat pencanangan hari. Ada hal yang lebih penting yang penulis ingin kemukakan, sekedar sumbang pemikiran. Sudah tepatkah arah pendidikan bangsa ini ? Jawaban akan terdengar klise, jelas belum memuaskan, untuk menghindari jawaban tepat dan tidak tepat. Ukurannya sederhana saja, tidak perlu melihat Human Development Indeks (HDI), PERC, dan lain-lain, tapi betapa miskinnya kepercayaan diri bangsa ini dalam menghadapi kehidupan. Pola fikir instan, kapitalis, kriminalitas, menjadi bukti kegagalan pendidikan.
Ketika kecil sebagian besar dari kita sering diingatkan oleh orang tua tercinta " Nak sekolah yang bener, biar kehidupanmu lebih baik dari Ayah dan Ibu, Kau harus masuk SMP Favorit, SMA Favorit, lalu masuk ITB, lalu bekerja di kantoran. Baru Ayah dan Ibu tenang, bisa istirahat".
Ungkapan diatas tentu tidak salah meskipun kurang saleh juga. Namun hal tersebut tercetus karena yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia dalam dunia nyata seperti itu. Sistem pendidikan kita memang terpola demikian, manusia potensial Indonesia hanya menjadi objek dari suatu aplikasi sistem pendidikan dengan satu tujuan akhir yaitu bekerja. Model proses pendidikan hampir sama dengan proses produksi barang. Dalam proses produksi terkait faktor input, proses dan output. Walaupun sekarang coba diperbaiki dengan apa yang disebut manajemen berbasis sekolah (untuk pendidikan formal), namun itu pun tidak disikapi dengan penyiapan SDM, dan masih terkesan alih tanggung jawab (terutama masalah pembiayaan pendidikan).
Anak - anak usia pendidikan saat ini terbebani bahwa dengan sekolahlah nantinya dia bisa bekerja. Orang tua pun hingga detik ini masih memegang erat-erat prinsip ini. Kalau perlu, dibela sampai lembar kertas rupiah terakhir agar anaknya bisa terus sekolah hingga perguruan tinggi. Bila orang tua berkecukupan secara ekonomi, tentu tidak masalah. Namun bila menyangkut kaum tak mampu, cilaka dua belas, sudahlah dia membela mati-matian, kalau perlu berhutang, ternyata setelah penantian minimal 16 tahun (SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMU 3 tahun, PT 4 tahun), anaknya menganggur juga, bahkan tidak mampu minimal seperti orang tuanya dalam hal ekonomi.
Sebagian orang tua mencoba memperpendek masa sekolah, dengan menyekolahkan anaknya di sekolah kejuruan (SMK), dengan harapan setelah lulus SMK bisa bekerja. Alih-alih bisa bekerja, tetangganya yang lulusan PT pun sering bersamaan melamar untuk pekerjaan yang sama. Anak-anak putus sekolah mencoba pendidikan luar sekolah di BLK-BLK, setelah lulus, sebagian besar pengusaha tidak menghargai ijazah BLK, dirasa kurang cocok dengan pekerjaan dunia nyata, disamping iklim usaha yang kembang kempis.
Hal yang disebut diatas baru menyangkut aspek ekonomi. Bagaimana dengan aspek moral dan kebudayaan bangsa yang katanya akar dari pendidikan nasional ? Jauh lebih parah dari aspek ekonomi. Mereka tidak terdidik dan terbiasa dengan sikap sabar, tawakal, solidaritas positif, tapi terdidik dengan bagaimana dapat uang banyak segera tanpa kerja keras.
Terdapat minimal 4 faktor utama yang masih mengganjal mengenai dunia pendidikan kita; faktor konsep dan sistem, aplikasi/implementasi, SDM kependidikan, dan peran orang tua/wali.
A. Konsep dan sistem
Banyaknya ahli pendidikan yang berkumpul di Depdiknas tentunya menjadi jaminan kualitas pendidikan nasional. Konsep pendidikan nasional menyangkut visi, misi, tujuan pendidikan, sangat baik. Yang terlupakan dari konsep pendidikan kita adalah penekanan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan karakter positif dan integritas dari seseorang. Meminjam istilah salah seorang kawan, pendidikan bukanlah sekedar memberikan (untuk tidak mengatakan menjejali) peserta didik dengan pengetahuan. Namun bagaimana peserta didik bersikap berpengetahuan. Pendidikan bukan sekedar mengajar peserta didik tentang berbagai hal matematika, sains, budi pekerti, namun bagaimana peserta didik bersifat matematician, saintifician, dan moralis.
Sistem pendidikan kita masih menyeragamkan potensi peserta didik. Meskipun telah diupayakan ada pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, terlihat belum all out.. Hanya sekedar formalitas. Kalaulah kita tengok, peserta didik pendidikan kejuruan, rata-rata dari kalangan menengah ke bawah, selain ingin segera bekerja, juga tidak ada biaya ke PT. Orang tua kalangan atas "emoh" menyekolahkan anak ke sini, walaupun potensi anak ada pada psikomotorik. Tiada lain karena belum diposisikan secara sungguh-sungguh proses pendidikan berbasis potensi. Upaya deteksi dini potensi pun tidak menjadi concern. Padahal inilah salah satu yang menyebabkan manusia Indonesia baru memanfaatkan 20 % saja dari kapasitas otaknya.
Hal lain yang cukup krusial adalah sistem penilaian pendidikan. Sistem yang dikembangkan lebih kepada penguasaan hafalan pengetahuan. Penilaian tidak lagi menjadi alat bantu evaluasi, tapi menjadi goal dan ini berbahaya karena banyak membuat peserta didik demotivasi, seolah-olah nilai yang buruk menjadi bencana bagi masa depan. Perlu dikembangkan sistem penilaian komprehensif, yang menilai perkembangan proses pendidikan seseorang secara menyeluruh.
Sistem pendidikan pun masih mengabaikan unsur interaksi sosial dan spiritual. Isi konsep dan sistem pendidikan bagaikan jasad tanpa roh, bagaikan akan memproduksi barang. Tidak ada sentuhan rasa antara peserta didik dengan SDM pendidik. Hampir tidak ada siswa yang dengan konsisten mendoakan kebaikan bagi gurunya, atau guru mendoakan murid-muridnya agar menjadi manusia berguna.
B. Aplikasi / Implementasi
Implementasi konsep dan sistem merupakan salah satu kelemahan bangsa secara keseluruhan. Tidak hanya terkait dengan dunia pendidikan. Betapa banyak konsep di setiap department, bahkan Bappenas sebagai "think thank", pasti memiliki konsep unggul mengenai pertumbuhan ekonomi, dan lain-lain.
Dunia pendidikan pun tak terkecuali. Filosofis pendidikan yang kita tengok dalam dokumen Depdiknas, luar biasa indahnya, namun kalau kita tengok sekolah-sekolah, jangankan di luar jabotabek, di Jakarta sendiri sulit kita melihat sekolah dengan filosofis dan konsep pendidikan yang kuat. Tentunya jangan dilihat sekolah-sekolah swasta terpadu, karena bagaimana pun mereka telah memiliki konsep sendiri.
Sosialisasi dari konsep dan filosofis pendidikan masih dilaksanakan secara birokratis dan tanpa semangat kependidikan. Manajemen berbasis sekolah diyakini pembuat kebijakan mampu memperkuat aplikasi pendidikan di sekolah-sekolah. Namun kita harus mencermati SDM - SDM kependidikan kita, mampukah mengangkat kualitas sekolah tanpa skill up kemampuan ?
C. SDM Kependidikan
Operator lapangan yang berinteraksi langsung dalam proses pendidikan haruslah memahami dunia pendidikan. SDM ini meliputi guru sebagai ujung tombak dan manajemen pendidikan. Sayangnya dua hal ini pun masih carut marut. Secara input, saat ini orang yang memilih profesi guru adalah orang yang gagal masuk PTN favorit, atau yang tidak mendapat pekerjaan lain. Jadi bukan karena pilihan hidup dan kecintaan pada pendidikan. Menurut pakar pendidikan Dr. Arif Rahman, minimal ada 3 komponen yang harus dimiliki guru ; Kepribadian, Kemampuan manajemen kelas, dan Penguasaan materi.
Selayaknya setiap calon guru melalui fit & proper test yang mencakup tiga aspek tersebut. Bagaimana pun mereka memiliki peran cukup penting dalam pembentukan generasi unggul. Setidaknya 60-70 % keberhasilan proses pendidikan terletak di pundak guru. Guru harus menjadi SDM strategis bangsa ini. Anak-anak bangsa akan berkompetisi secara ketat bagi profesi ini. Diperlukan satuan tugas khusus yang menangani profesi guru dengan segala pengembangannya. Guru dituntut mampu mengaplikasikan konsep, filosofis dan sistem pendidikan dalam tataran peserta didik.
Sekolah harus dikelola direktur dan manajer handal, melebihi direktur dan manajer perusahaan, lha wong yang akan dirubah manusia, sedangkan di perusahaan terkait dengan benda mati dan ukurannya ekonomi.
D. Peran Orang tua/wali
Orang tua tidak bisa lepas tanggung jawab dengan menyerahkan anaknya kepada pihak sekolah, lalu sekolah dituntut menentukan masa depan anaknya. Orang tua pun perlu memahami konsep, filosofis dan sistem pendidikan, agar sebagai orang yang terlibat intensif dengan peserta didik, mampu menunjang keberhasilan proses. Hal ini dapat diwujudkan bila terdapat sinergis dengan pihak sekolah.. Bisa jadi kejadian yang sering terjadi, pihak orang tua menyalahkan sekolah, akan menjadi sebaliknya. Sekolah akan menuntut orang tua bila melakukan kesalahan dalam proses pendidikan. Kedua belah pihak berada sejajar dan menjadi mitra demi pencapaian hasil yang optimal.
Setelah seluruh pembenahan dilakukan, ada hal penting yang cukup signifikan yang harus dilakukan. BERDO'A dengan khusu dan konsisten. Bangsa kita memang terbiasa dengan berdoa, namun karena kesalahan proses pendidikanlah hal tersebut menjadi basa-basi ibadah. Kita harus yakin pada hakikatnya Allah jua yang merestui ikhtiar kita.
Veldy V. Armita, pemerhati dunia pendidikan
Pengembangan Insani Dompet Dhuafa Republika