Sesekali Katakan “Tidak” Kepada Anak
Publikasi: 01/11/2002 09:52 WIBeramuslim - Cinta, dan kasih sayang terhadap anak adalah satu ‘kewajiban’ yang sudah lumrah. Kalaupun ada orangtua yang menelantarkan anaknya atau membenci anak kandungnya sendiri, itu satu hal diluar kebiasaan atau karena memiliki alasan-alasan khusus yang hanya dia yang paling tahu. Sekarang, bicara soal bagaimana mengimplementasikan cinta dan kasih sayang itulah yang hendak dibahas dalam tulisan kali ini.
Adi, bocah berusia 4 tahun, serta merta melemparkan mainannya dan mengenai wajah Rita, ibunya, hanya karena si ibu menolak membelikan es krim kesukaannya. “Bukannya tidak mau membelikan, anak saya itu sedang sakit di tenggorokannya, semacam radang,” jelas Rita.
Kejadian serupa juga dialami Nia dengan anaknya, Dinda. Dinda yang baru berusia 2 tahun mengacak-ngacak mainannya dan membuangnya keluar kalau permen kesukaannya tidak dibelikan. Bahkan tidak jarang menurut Nia, Dinda membanting piring atau apa saja yang bisa diraihnya.
Apa yang dilakukan Adi dan Dinda, sebenarnya bukan hal baru. Bukan tidak mungkin hampir setiap ibu di rumah mengalami hal serupa. Meski dengan bentuk dan alasan yang beragam, seperti tidak boleh nonton TV, atau minta dibelikan ini-itu. Dan tidak jarang para ibu muda itu kerepotan menghadapi ulah si anak yang dinilainya keras kepala. Bagaimana mengatasinya?
Rita, ibu muda yang terbiasa dimanja sewaktu kecilnya, langsung memukul si anak, yang terkadang secara tidak disadari, pukulannya jauh lebih banyak (dan lebih sakit) dari apa yang diterimanya. Bahkan masih ditambahi kata-kata, “dasar anak kurang ajar!”. Bisa dipahami, Rita yang berlatar belakang keluarga berada, dan yang semenjak kecilnya tidak pernah merasakan kesulitan akan merasa bahwa ulah Adi yang ‘kurang ajar’ itu adalah bentuk pembangkangan anak yang mesti ‘diberi pelajaran’. Tidak hanya itu, Rita juga merasa kalau Adi adalah anak yang tidak tahu diuntung karena menganggap sikapnya menolak membelikan es krim saat si anak sakit adalah bentuk kasih sayangnya. Tapi sayangnya, Rita terlambat menyadari, padahal Adi baru empat tahun lho …
Lain halnya dengan Dinda yang setiap kali melancarkan aksi protesnya, Nia tidak mau ambil pusing dan tidak banyak omong langsung mengunci Dinda di ruang tidur atau bahkan di kamar mandi. Sambil menunggu tangis Dinda reda, Nia tak membuka pintu sambil sedikit mengancam, “Hayo! Kalau masih nangis ibu nggak akan bukain …”
Namun Nia tidak menyadari sikapnya, bayangkan, Dinda yang masih 2 tahun, bagaimana kalau ia terpeleset di kamar mandi yang licin dan kepalanya terbentur sudut bak mandi yang tajam. Atau ketika dikunci di ruang tidur, bagaimana jika sesuatu yang membahayakan justru terjadi? Bukankah penyesalan yang justru timbul dari sikap ‘tidak mau ambil pusing’nya itu? Padahal target awalnya hanya untuk memberikan pelajaran kepada Dinda.
Akan ada banyak cerita lain tentang bagaimana sebuah punishment diberikan si ibu kepada anak-anak mereka, yang tidak jarang justru sangat berlebihan dan tidak adil. Kenapa tidak adil? Pertanyaannya adalah, apakah para ibu juga memberikan reward ketika anak-anak melakukan hal baik atau membuat satu prestasi sekecil apapun. Misalnya, Dinda yang baru berusia 2 tahun itu ternyata sudah bisa menghitung sampai angka 10, apakah tidak sebaiknya ia diberikan satu hadiah yang membuatnya senang, sekaligus menambah semangat belajarnya. Atau saat Adi baru pertama kali bisa mengendarai sepeda roda duanya, kenapa ia tidak diberikan hadiah? Inilah bentuk ketidakadilan yang hampir tidak disadari para orangtua, bahwa anak-anak (yang kita anggap belum mengerti itu) sangat merasainya. Makanya jangan heran, jika ia kerap ‘marah’ jika setiap bentuk ketidakadilan yang terjadi padanya. Termasuk soal, kenapa biasanya dibelikan es krim, sekarang tidak?
Ada yang lebih dini bisa dilakukan oleh ibu. Kasih sayang, bukan berarti memberi segalanya tanpa seleksi. Curahan cinta kepada anak, jangan diimplementasikan dengan pemberian tanpa penolakan. Misalnya permen, demi kesehatan pertumbuhan gigi, sebaiknya tidak selalu anak dibelikan. Atau es krim, jika kita tidak senantiasa “yes” untuk setiap permintaannya, maka anak akan terbiasa dan memahami bahwa tidak semua keinginannya harus terpenuhi, bahwa ada permintaan-permintaan yang tidak selalu harus dituruti dan tidak semestinya ‘marah’ ketika permintaannya ditolak sang ibu karena ia telah mengerti bahwa ada “ya” dan “tidak” untuk segala hal.
Hanya saja, proses ini tidak serta merta, dan butuh proses dan konsistensi yang berkesinambungan dari ibu, ayah, termasuk juga pihak lain yang dekat (nenek, om, tante dan lain-lain). Karena tidak sedikit, anak-anak yang ‘lari’ ke neneknya ketika permintaannya tidak dituruti orangtuanya. Ini tentunya akan menjadi masalah selanjutnya.
Sesekali mengatakan “Tidak”, butuh komitmen dan konsistensi. Dan juga dibutuhkan kesabaran. Bukan untuk membunuh kasih sayang, karena terkadang alasan kasih sayang inilah yang melunturkan niat untuk mendidik anak tentang “ya” dan “tidak”. Jadi, mulailah dari sekarang dengan mengatakan “Tidak” saat harus mengatakan “Tidak”. Wallaahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)