Jaga Adab Rumah Tangga Anda Sebaik-baiknya
Publikasi: 01/04/2003 14:35 WIBeramuslim - Entah kenapa, hati Marisa (bukan nama sebenarnya) gemetar ketakutan tatkala sejumlah pria soleh berusaha datang untuk meminangnya. Apa pasal? Apa wajahnya tidak cantik? Atau dia mengidap penyakit yang memalukan? Atau ada kekurangan fisik lain pada dirinya? Bukan! Marisa adalah gadis cantik solihah yang sedang tumbuh merekah. Muslimah berjilbab itu juga tergolong cerdas. Ia tercatat sebagai mahasiswi tingkat terakhir pada sebuah PT Negeri jurusan Sastra Jerman. Namun ada kisah silam yang selalu menghantui dirinya. Yakni kisah tentang kehormatannya yang telah direnggut pamannya sendiri. Astaghfirullah...!
Pasal itulah yang hingga saat ini belum pernah ia ungkapkan pada siapapun, kecuali orang-orang yang paling dekat dengannya. Kisah haru-biru itu baginya seperti monster paling menakutkan sepanjang hidupnya. Hingga dia tidak berani mencoba memberi isyarat bagi pria soleh manapun mendekati, lalu mencoba meminang dirinya. Marisa tetap mengangap dirinya paling kotor, walaupun kini ia telah berjilbab dan bahkan sangat rajin beribadah. Ia justru sangat masygul dan takut jika diajak berbicara soal pernikahan.
Marisa tak punya keberanian untuk mengungkapkan tentang keadaan diri dia yang sebenarnya kepada pria yang ingin meminangnya. Persoalan itu jelas menjadi ganjalan amat dilematis. Jika ia bercerita terus terang tentang keadaan dirinya yang sudah tidak lagi "orisinal", ia khawatir setiap pria yang berusaha mendekatinya akan berpaling. Kalau ia menutupi rahasia aibnya itu, justru ia khawatir akan ketahuan pada malam pertama. Dan ini akan menimbulkan resiko lebih pahit lagi bagi kelangsungan pernikahannya. Bayangan-bayangan itulah yang membuat hati Marissa sedih dan gundah.
Cerita pilu Marisa, sebetulnya terjadi beberapa tahun silam, ketika ia masih duduk di bangku SMP. Ini bukan kesalahan dirinya, walaupun tidak 100% ia benar. Kronologis ceritanya diawali ketika Marisa mulai dipungut anak oleh pamannya sejak kecil (SD). Orangtua Marisa yang miskin dengan begitu percaya menyerahkan dirinya pada pamannya yang kondisi ekonominya agak lumayan. Paman dan bibinya itu baru mempunyai seorang anak kecil perempuan usia TK. Selama di rumah pamannya Marissa diperlakukan sangat baik, bahkan ia telah dianggap anak sendiri. Marissa disekolahkan pamannya. Tugasnya setelah pulang sekolah hanya mengajak main sepupunya.
Hari-hari Marisa selama berada di rumah keluarga sang Paman berjalan baik. Sepupunya kerap tidur siang di kamarnya, maklum ia memang bertugas membantu mengemong anak pamannya yang masih kecil itu. Hampir setiap hari, sepulang dari berdagang, pamannya kerap singgah di kamar tidur Marisa untuk sekedar melihat atau menjemput putrinya. Tak ada yang luar biasa terhadap hubungan saudara dan keadaan rumah tangga sang Paman yang tetap berjalan rutin itu. Istri sang Paman pun tak pernah menganggap apa yang dilakukan suaminya itu (kunjungan rutin ke kamar Marisa-pen) sebagai "pelanggaran etik" rumah tangga. Sebaliknya Marissa sedikitpun tidak mencurigai perilaku pamannya. Sebab hal itu berjalan normal selama bertahun-tahun tanpa ada gangguan terhadap diri Marissa hingga ia duduk di bangku SMP.
Ya, bertahun-tahun keadaan itu berjalan biasa. Sang Paman juga tetap memperlihatkan diri sebagai kepala rumah tangga yang baik dan bertanggungjawab pada istri, anak kandung dan anak angkatnya. Tapi apa boleh buat, suatu hari entah setan mana yang merasuki sang Paman, kelelakiannya menggelegak ketika melihat sebagian aurat Marisa tersingkap saat gadis SMP itu tidur pulas di samping putri kandungnya. Ia meraba bagian sensitif tubuh Marissa yang tersingkap itu. Tapi gadis itu terbangun dan kaget luar biasa dengan sikap pamannya yang aneh itu. Sang Paman terkesiap dan buru-buru meminta maaf berulang kali, karena ia mengaku silap. Kemudian pria paruh baya itu buru-buru keluar. Tapi setelah itu Marisa tercenung dan menangis sesegukan di kamarnya.
Sejak kejadian itu, Marisa minggat dari rumah pamannya, selama berbulan-bulan. Gadis itu ternyata kembali ke rumahnya, namun ia tidak pernah berani menceritakan kejadian "luar biasa" itu pada sang Ibu yang telah hidup menjanda. Tapi sang Paman dengan gigih merayu dirinya untuk segera kembali, setelah terlebih dulu menyesali tindakan silapnya. Hati Marisa luluh, ia akhirnya mau kembali ke rumah sang Paman. Setelah itu hubungan persaudaraan sang Paman dengan Marissa kembali berjalan normal.
Hari terus berjalan. Rumah tangga sang Paman juga berlangsung harmonis. Sikap sang Paman juga baik-baik saja terhadap Marisa. Hingga kejadian laknat itu terulang kembali saat Marisa duduk di bangku kelas 3 SMP. Tapi sang Paman saat itu sudah gelap mata, walaupun keponakannya sudah menangis dan memohon jangan lakukan perbuatan terkutuk itu, lelaki paruh baya yang sehari-hari berperilaku "sholeh" itu berhasil menggarap diri Marissa.
Penggal cerita di atas penulis akhiri sampai di sini. Pasti banyak cerita serupa atau bahkan lebih seram dari cerita di atas. Cerita seorang ayah menggagahi berkali-kali anak kandungnya sendiri, seorang anak menyetubuhi ibu kandungnya, cerita kakak menggarap adiknya atau sebaliknya. Astaghfirullah...! Kasus persetubuhan dua insan sedarah itu (incest) sungguh mengiris-iris hati kita yang berpikiran waras. Tapi itulah, cerita seperti itu seolah sudah menjadi bagian integral dari episod kehidupan metropolis. Seperti telah menjadi keharusan dalam era globalisasi yang kian liar tapi dianggap waras ini.
Apakah satu keharusan bila kisah-kisah memilukan itu terjadi di era globalisasi? Tidak! Zaman boleh berkembang secanggih apapun, tapi kaidah etik dan moral syariah harus tetap bergeming di seluruh aspek kehidupan umat manusia. Agar kemajuan material yang dicapai manusia, tidak selalu diikuti oleh kehancuran moral.
Islam memandang, kasus-kasus besar yang terjadi, lantaran awalnya distimulasi oleh hal-hal kecil, atau sesuatu yang sering dianggap sepele oleh manusia. Asal anda tau, kasus perzinahan misalnya, juga bukan terjadi secara tiba-tiba. Tapi ia berproses. Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah mengatakan perzinahan dua insan berlainan jenis terjadinya berproses. Pertama, dari saling melempar senyum (tabashum), lalu bertemu. Dari pertemuan kemudian keduanya membuat janji untuk pergi berduaan, dan seterusnya.
Kita tidak pernah tersandung oleh batu besar, tapi oleh batu-batu yang kecil. Seperti itulah Islam menegakkan hukum-hukumnya. Karena itu konsep Islam untuk meredam kerusakan moral, dengan cara-cara preventif, bukan kuratif. Tapi bukan berarti Islam tidak menyiapkan sanksi berat bagi para pelaku asusila. Soal mencegah budaya zina, Al Qur'an memerintahkan kita untuk menjauhi perbuatan itu sejauh-jauhnya (Q.S 17 : 32). Yakni dengan cara menundukkan pandangan dari yang diharamkan Allah SWT (Q.S 24 : 30-31).
Selain itu Islam juga memerintahkan pada kaum wanita untuk tidak memperlihatkan aurat dan perhiasannya pada orang-orang yang tidak berhak untuk memandangnya (Q.S 24:31).
Ada beberapa poin pelajaran penting yang bisa kita camkan dari balik cerita memilukan di awal tulisan tadi. Intinya bahwa adab-adab di dalam rumah kita, hendaknya dijaga dengan sebaik-baiknya.
Pertama, kehadiran orang lain di rumah tangga kita yang bukan mahrom (halal dinikahi), apalagi sampai menetap, adalah sangat beresiko. Baik bagi kita, isteri kita, ataupun anak-anak kita. Serekat apapun hubungan seseorang dengan kita, bila status dia bukan mahrom kita maupun isteri kita, maka ia menjadi terlarang hidup bersama di tengah-tengah keluarga kita. Soal pembantu wanita di rumah kitapun, harus dijaga adab-adab berbicara, bertemu, dan sebagainya antara dia dengan kita (majikannya).
Kedua, soal etika di dalam rumah pun harus ditegakkan dengan disiplin. Kamar-kamar buat anak-anak yang telah dewasa hendaknya dipisah. Anak-anak kita yang telah dewasa itu jangan dibiarkan tidur satu kamar berduaan, baik yang sejenis atau lain jenis kelaminnya. Aurat isteri ataupun anak-anak kita harus ditutup di dalam rumah, bila ada orang lain di dalam rumah kita.
Ketiga, peraturan hijab di dalam rumah dalam pengertian luas harus ditegakkan. Tidak bisa misalnya, kita seenaknya nyelonong ke kamar pembantu wanita, walaupun hanya sekedar memerintahkan dia untuk membuka pintu gerbang depan atau membelikan sesuatu.
Keempat, jangan menganggap sepele kebiasaan membuka aurat di rumah, atau berbicara bebas, atau membiarkan masuk ke kamar anak-anak wanita kita, orang-orang yang kita anggap dekat dengan kita sekalipun. Coba simak hadits Rasulullah SAW di bawah ini; "Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat) bertanya, "Bagaimana dengan ipar wanita." Beliau menjawab; "Ipar wanita itu membahayakan!" (HR Bukhari).
Kelima, jangan beri celah sekecil apapun bagi orang lain yang bertandang ke rumah kita, berpikiran negatif. Baik karena melihat lukisan, bacaan, poster, karena lagu-lagu yang disenandungkan lewat tape-recorder, filem, atau cara-cara kita berbicara dan berpakaian yang mengundang syahwat, naudzubillah.
.
Wallahu a'lam bishshowab. (sulthoni)