Pembantu Rumah Tangga, Pahlawan Tanpa Pujian
Publikasi: 03/04/2002 10:14 WIBeramuslim - Sebagian besar kita (termasuk saya) biasa memandang sebelah mata pada pembantu rumah tangga. Mereka, yang biasanya berpendidikan rendah, seringkali tidak kita ingat jasa-jasanya. Baju yang licin disetrika, lantai rumah yang bersih, hasil cucian yang harum adalah sebagian dari hasil kerja mereka. Tapi, tak jarang kita lupa berterima kasih kepada mereka. Kita hanya bisa menyuruh-nyuruh mereka bak seorang raja kepada rakyatnya.
Belum selesai satu pekerjaan, kita sudah menyuruhnya dengan seabreg pekerjaan yang lain, sampai lupa bahwa tangan mereka hanya dua. Tak jarang kita menambahkannya dengan bentakan-bentakan yang mungkin tidak pernah dikeluarkan oleh orang-orang yang mencintainya, karena kesalahan kecil, misalnya pakaian sobek karena salah menyetrika.
Berbicara orang yang mencintainya, inilah cerita yang saya coba ketengahkan dengan menyamarkannya dengan memakai nama samaran bu Mimin. Beliau adalah seorang perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada sebuah keluarga. Hari berganti hari dilewati dengan suka dukanya bekerja pada keluarga tersebut.
Namun, pada suatu hari datanglah anaknya, seorang laki-laki yang berusia 20 tahun-an yang saya ketahui belum memiliki pekerjaan. Pemuda itu saya perhatikan pendiam, entah memang sifatnya atau karena tekanan hidup karena belum memiliki pekerjaan. Jarang sekali dia bicara. Tapi satu hal yang saya bisa rasakan, seorang pembantu rumah tangga yang biasanya selama ini kita pandang sebelah mata, adalah juga tempat keluh kesah seorang anak, tempat berbagi rasa seorang anak tentang senang atau sedih yang dirasakannya.
Kedudukan seorang ibu/bapak yang begitu mulianya di mata anaknya, bahkan mungkin di mata Allah. Kadang kala saya berpikir juga siapa tahu ibadah mereka lebih ikhlas dari kita, yang memiliki ilmu sedikit tapi mengamalkannya, beda dengan kita yang diberi ilmu yang lebih banyak dari mereka tapi jarang mengamalkannya, yang juga hanya bisa berangkuh jiwa, yang kurang mensyukuri nikmat yang telah diberikan kepada kita.
Dengan sedikit gaji yang kita berikan yang nominalnya berkisar 100-200 ribu rupiah, kita sudah bertingkah seperti seorang yang seolah-olah memiliki dunia mereka, tapi siapa tahu mereka malah mendo’akan kita agar dosa-dosa kita diampuni, agar kita diberi rezeki yang berlimpah.
Saya jadi berpikir, kenapa saya kadang kala begitu merendahkan mereka, sedangkan di sisi lain para pembantu itu bisa jadi tumpuan harapan anak-anaknya dan mungkin lebih mulia dari kita di mata Allah. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini yang sering menghinakan makhluk-Mu yang lain.
Saya jadi teringat tuntunan Rasulullah SAW yang begitu menghormati para pembantunya. Rasulullah SAW, semulia-mulia manusia, tak pernah berkata keras atau kasar kepada pembantunya. Jika bisa melakukan sendiri suatu pekerjaan, maka beliau akan mengerjakan sendiri pekerjaan tersebut. Jika beliau memerintahkan suatu pekerjaan tetapi yang disuruh tidak mau, maka beliau tidak marah, dan beliau akan melakukannya sendiri. Malah Rasulullah makan bersama-sama dengan pembantunya. Ini adalah sebagian yang Rasulullah tunjukkan dalam kehidupannya sehari-hari.
Tentunya kita ada yang tidak sanggup meniru tuntunan Rosulullah dalam memperlakukan pembantu, tapi setidaknya kita bisa menyuruh mereka dengan bahasa yang baik, jika berlaku salah, tegur dengan cara yang baik, mungkin mereka belum mengerti, dan berikan contoh dalam melakukan suatu pekerjaan, jangan sampai kita gadaikan diri kita dengan satu ucapan atau perbuatan kita di hadapan Allah dengan menyakiti mereka.
Adalah lebih baik lagi jika kita mengangkat derajat mereka dengan cara membiayai sekolah anak mereka, misalnya. Insya Allah itu lebih bermanfaat. Jangan ragu meminta maaf pada mereka setelah bersikap salah terhadapnya karena itu bukanlah perbuatan yang hina. Sebab yang lebih hina adalah kita tidak meminta maaf setelah kita menyakiti mereka. Wallohu a'lam bishowaab
Ahmad Hidayat ([email protected])