Depan > Artikel > Keluarga

Rumah Tangga Aman, Jaga Komunikasi!

Publikasi: 22/03/2002 11:08 WIB

eramuslim - Pagi dalam sebuah kereta ekonomi jabotabek, sepasang suami istri sederhana terlibat pembicaraan yang cukup hangat. Sang istri dengan sehelai kain lebar menutupi kepalanya membukakan sebungkus nasi bawaannya dan menyodorkannya kepada sang suami yang terlihat baru membuka pembicaraan. Sambil memangku anaknya yang berusia satu tahun, ia mendengarkan dengan serius omongan suaminya meski nampak ia tidak begitu menyukai bahkan sama sekali tidak memahami sedikitpun tema obrolan suaminya tersebut, politik!

Mulai dari fenomena perpecahan partai, unjuk rasa ini itu, sampai kasus buloggate yang nggak pernah ada ujungnya dibicarakan sang suami dengan begitu bersemangat. Sampai-sampai ia tak sadar bahwa volume suaranya tidak hanya sampai ke telinga istrinya yang duduk disebelahnya melainkan sampai terdengar ke seluruh gerbong! Sang istri, yang lebih paham soal naik turunnya harga sembako dan meski tidak 'mudeng' urusan politik dengan segala kekacauannya, tetap khidmat mendengarkan obrolan suaminya dengan sesekali menganggung dan memberikan 'feedback' yang datar-datar saja untuk menunjukkan kepada sang suami seolah ia mengerti soal politik.

Sang istri, sadar betul tentang kewajiban utamanya sebagai seorang istri, yaitu melayani suami (khidmatuz-zauj), mendidik anak-anak (tarbiyatul-aulad) dan mengurus rumah (rabbatul-bait). Dalam pehamamannya, mendengarkan pembicaraan suami, menjaga komunikasi pasangan suami istri menjadi bagian dari kewajibannya melayani suami yang tidak kalah pentingnya dari urusan dapur dan kamar tidur.

Dalam 'obrolan seru' yang berdurasi lebih kurang satu jam itu, jelas tidak terlihat keluhan rasa bosan dari sang istri, kesahan kekesalan karena ketidakmengertiannya soal tema obrolan, dan ungkapan-ungkapan yang sekiranya bakal menyurutkan semangat sang suami saat berbicara. Ia sangat menghargai betul suaminya dengan tetap menunjukkan antusiasme dalam menyimak pembicaraan dan sesering mungkin mengembangkan senyum pertanda ia senang dengan obrolannya itu. Meski barangkali dalam hatinya, ia sungguh bosan dan sangat tidak menyukai topik yang dibicarakan.

Tidak ada gerakan-gerakan seperti palingan wajah, tundukkan kepala, mengesampingkan badan, menyandarkan tubuh atau bahasa-bahasa tubuh lainnya yang menandakan betapa ia lelah mendengarkan obrolan tersebut. Meski bisa jadi ia teramat lelah dan menahan kantuknya karena harus semalaman berkali-kali bangun untuk menggantikan celana basah anaknya serta menyiapkan pakaian kerja suaminya usai subuh, belum lagi ditambah tugas menyediakan sarapan. Ia juga tidak berupaya mengingatkan suaminya agar mengecilkan volumenya agar cukup dirinya saja yang mendengarkan, karena tidak ingin tindakannya malah menghentikan obrolan tersebut.

Ia begitu ingin menghormati suaminya dengan menjadikan dirinya lawan bicara yang menyenangkan. Memberikan timbal balik (feedback) secukupnya dan tidak berlebihan sesuai kadar yang diperlukan bagi sebuah pertanyaan, tidak memotong ditengah-tengah pembicaraan orang, tetap menghargai setiap obrolan meski diakuinya terkadang temanya begitu usang dan sudah berulang kali dibicarakan, tidak bersuara lebih keras dari volume suara lawan bicaranya, tetap melakukan kontak mata saat berbicara atau mendengarkan, tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak kelangsungan komunikasi meskipun hal-hal sepele seperti memainkan jari, pulpen atau benda-benda lainnya, tidak beranjak dari tempat duduknya sebelum pembicaraan usai atau sebelum minta izin kepada lawan bicaranya, tidak mengkritik kesalahan bicara atau bahasa lawan bicaranya di depan publik dan memberitahukannya kemudian secara baik-baik.

Ia sangat paham betul, bahwa kalaulah Allah Swt memerintahkan Musa as berkata lembut (qaulan layyina) kepada Fir'aun, kata selembut apalagi yang Allah perintahkan untuk diucapkan istri kepada suami dan suami kepada istrinya. Kalaulah Muhammad Saw mengajarkannya berkata yang benar dan jujur (qaulan sadiida), baik (qaulan ma'ruufa), tegas dan berbobot (qaulan tsaqiila) serta kata-kata yang mulia (qaulan kariima). Tentu tidak ada alasan baginya untuk tidak menerapkan ajaran Rasulullah dalam berkomunikasi itu ketika berhadapan dengan pasangannya.

Karena sangat mungkin, bila ia tidak melakukan hal-hal diatas yang berkenaan dengan etika berkomunikasi yang baik dan sehat terhadap suaminya, bukan hanya akan menyebabkan sang suami turun semangat berbicaranya, atau terhenti selera makannya. Tentu yang jauh lebih dikhawatirkan adalah rusaknya komunikasi rumah tangganya dikemudian hari. Tentu juga, dari rusaknya komunikasi tersebut, membuat rumah tangga tidak harmonis. Jika tidak segera diperbaiki, tentu menjadi sinyal bagi setiap pasangan suami istri bahwa rumah tangganya berada di ambang batas aman. Wallahu a'lam bishshowaab. (Bayu Gautama)

Lainnya

Rihlah Kelurga, Asyik dan PerluIbarat Bulan Madu Yang Diperpanjang ...Rumah Muslim Kotor? No Way!Kecil Dibuai, Besar "Dibantai"Waspadai AutismeMemandang Istri Menuai RahmahMenguji Ketulusan Suami-Istri, Mudah!
Kontak | Peta Situs
Telusur Arsip:
 

BeritaAnalisaAspirasiGaleriArtikelKonsultasi

Oase ImanUst. MenjawabKeluarga

JurnalistikArsitekturTek. InformasiSehat

Belanja

Webmail

Info PemiluTerpopuler hari ini