Tamasya Ruhani Untuk Tetangga Kita: Nikmat dan Perlu!
Publikasi: 05/03/2003 15:45 WIBeramuslim - Piknik se-RT adalah hal yang lazim dilakukan masyarakat kita. Artinya warga se-RT di suatu kawasan pemukiman mengadakan tamasya ke tempat rekreasi tertentu. Lazimnya, biaya yang ditanggung kocek masing-masing itu, relatif mahal. Jadi, ya…hanya keluarga mampu saja yang umumnya bisa ikutan acara itu. Tapi pernahkah kita mencoba mengajak masyarakat di RT kita menyelenggarakan tamasya jasmani-ruhani sekaligus secara gratis, atau setidaknya berbiaya murah?
Ini bukan sesuatu yang mustahil dilakukan, kalau kita mau. Kita bisa memilih tempat tujuan yang free-charge alias gratis. Misalnya masjid besar atau pesantren-pesantren di luar kota yang siap dikunjungi. Tentu saja, kita harus memberitahu dan menegosiasikan rencana kita pada pihak-pihak terkait. Dan mengenai acara yang akan kita selenggarakan, kita bisa bekerjasama dengan pihak pengurus masjid atau para penanggung pejawab pesantren.
Walhasil piknik yang kita akan adakan bentuknya tidak seperti lazimnya piknik yang dilakukan masyarakat. Yakni piknik yang biasanya berisi acara hura-hura dan kering dari nasehat-nasehat ruhani. Justru kita jadikan piknik sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan agama pada para pesertanya. Bagi yang telah berkeluarga, akan lebih baik jika diikutsertakan istri dan anak-anak mereka, jika tempatnya memungkinkan. Seluruh peserta diharapkan bisa menginap barang semalam atau dua malam misalnya.
Dengan demikian piknik atau tamasya yang kita selenggarakan, berorientasi bukan melulu pada kepuasan fisik semata. Tapi memberi wawasan sekaligus bekal ruhaniah kepada para pesertanya. Aspek ini merupakan bagian dari kehidupan manusia paling jarang disentuh di era kehidupan materialistik yang penuh dengan glamoritas itu. Kekeringan ruhani yang melanda manusia inilah, yang hakikatnya sering membuat mereka kehilangan identitas kemanusiaannya. Yang sering membuat persaingan hidup di era kita sekarang ini, kerap diwarnai dengan perilaku hewaniyah manusia.
Bertetangga dengan tetangga yang baik sungguh menyenangkan. Sebaliknya bertetangga dengan tetangga yang berperangai buruk sungguh menyebalkan, kalau tidak ingin dikatakan membuat hati kita selalu was-was. Bayangkan, anak kita sedang sakit atau kita sendiri yang sedang sakit gigi misalnya, sementara tetangga di sebelah kita menyetel tape-recorder sekeras-kerasnya. Mending kalau lagu-lagu religius yang disetel. Tapi jika lagu dangdut atau lagu brang-breng-brong yang tidak karuan iramanya itu, bukankah membuat kita puyeng tujuh keliling?
Tatkala kita tegur tetangga kita yang menyetel lagu keras-keras itu, dia bukan menerima, malah marah-marah. “Koq ngurusin hobi orang sih? Lho, tape-nya milik saya koq? Telinga juga milik saya. Saya juga menyetel di rumah saya. Eee, malah sampean yang pusing?” begitu jawaban tetangga kita misalnya. Nah, jika menghadapi tipikal tetangga seperti ini, apa tidak pusing?
Jika kita mau main keras dengan tetangga ndableg seperti ini, urusannya pasti akan tambah runyam. Kita pasti akan berkonfrontasi dengan tetangga kita. Sampai berapa lama konfrontasi itu, kita juga tidak tau. Dan hidup dengan suasana seperti ini pasti tidak nyaman. Jadi persoalannya sekarang, bagaimana kiat kita membuat ketidaknyamanan suasana bertetangga itu menjadi nyaman dan tenteram.
Kuncinya adalah kita berusaha membangun komunikasi yang baik untuk menguatkan ikatan sosial antar warga di tempat kita tinggal. Salah satu kiatnya, insya Allah dengan cara menyelenggarakan wisata-ruhani itu. Muatan acaranya bisa diatur. Apakah komposisi muatan materi jasmani-ruhani, 50 : 50. Atau lebih diperbanyak muatan materi ruhaninya. Semua bisa kita atur sesuai dengan situasi dan kondisi peserta.
Sedangkan tema-tema ceramah atau kajian yang akan disajikan, juga tergantung kebutuhan. Apakah kita akan menyajikan tema-tema seperti,“pentingnya memupuk ikatan persaudaraan” – “menghormati tetangga” – “Allah cinta pada orang yang berbuat baik pada tetangganya” – dan sebagainya.
Runutan muatan acara wisata rohani itu juga bisa kita buat sedemikian rupa. Pagi sampai siang misalnya, senam/olah raga dan rekreasi (kita bisa mengganti istilah ini dengan “tafakkur alam”). Siangnya sholat Dzuhur berjama’ah dan makan siang, lalu dilanjutkan dengan pengisian materi agama. Tengah malam bisa diisi dengan qiyamul-lail dan malam renungan. Mengenai durasi dan berapa topik kajian agama yang akan disajikan, juga bisa kita diskusikan dengan peserta sebelum berangkat ke lokasi. Pokoknya, seting acaranya bisa kita atur dan sepakati secara bersama.
Insya Allah melalui kegiatan seperti ini, kepuasan fisik dan kehausan ruhani para peserta bisa terpenuhi. Artinya kita berharap, bukan hanya kepuasan fisik yang didapat para peserta. Tapi mereka yang dulu kurang paham terhadap Islam, akan bertambah wawasan ke-Islamannya. Mereka yang dulu jarang atau bahkan tidak pernah berkomunikasi dengan tetangga, mau tidak mau mulai mencoba berkomunikasi dengan tetangga. Lalu mereka bisa bergaul satu sama lain dengan baik. Mereka yang dulu enggan menghadiri majelis ta’lim atau sholat ke masjid, mudah-mudahan setelah mengikuti acara itu, bertekad akan menjadi peserta majelis ta’lim atau menjadi jama’ah masjid yang fanatik misalnya.
Pendek kata, melalui kegiatan ini, kita berupaya kembali merekatkan tali ikatan warga yang telah mulai rapuh. Kita mulai membina tali persaudaraan di antara warga kita, khususnya yang Muslim.
Dengan begitu kegiatan ini bukan hanya bermakna positif, tapi akan menjadi trend yang digemari oleh seluruh warga di RT kita, insya Allah. Yuk.., kita ajak tetangga kita bertamasya, tapi mereka juga kita bekali ruhiyahnya, supaya tetap ingat Tuhan. (sulthoni)