Cinta Tak Berujung
Publikasi: 11/10/2003 13:29 WIBeramuslim - Sore ini seperti biasa aku pulang naik angkot. Tidak terlalu jauh memang, tapi kemacetan seringkali membuat aku harus lebih banyak menghirup sesaknya udara polusi. Dan di sinilah, aku seringkali mengingat kisah kami, aku dan bayiku.
***
Saat itu, ketika setiap hari ibu membawamu ke kantor, saat itu pula tumbuh rasa sesal di hati ibu. Mungkin sebuah penyesalan yang wajar bagi seorang bunda. Karena ibu sudah memaksamu untuk keluar rumah, menikmati hiruk pikuknya dunia. Idealnya, di usiamu yang masih rentan itu, ibu menungguimu di rumah. Di kamar yang bersih dan sejuk, tanpa polusi, tanpa kericuhan, tanpa keramaian dan tanpa hal-hal yang membuat ibu sendiri pusing. Padahal ibu sudah dewasa, anakku. Bagaimana denganmu, yang masih berusia dua bulan.
Namun ibu lalui semuanya dengan senyum. Bersama dukungan ayahmu dan iringan tawa riangmu. Hati ibu pun semakin menguat tatkala melihat keluarga yang kurang beruntung. Yang tinggal di pinggir-pinggir jalan. Juga di terminal tempat angkot kita berhenti untuk berganti angkot berikutnya. Ibu melihat betapa anak-anak itu juga bisa tumbuh dewasa, walaupun dengan segala keterbatasan fasilitas orang tuanya. Dari wajah-wajah mereka yang ceria, mereka juga tampak sehat. Allah memang Maha Adil, sayang. Ibu sangat percaya itu.
Ibu yakin, hal yang terbaik untukmu saat itu adalah dekat dan mendapatkan air susu ibumu. Dan, satu-satunya jalan untuk mewujudkannya, hanya dengan membawamu kemanapun ibu pergi. Aneh! Beberapa orang yang ibu temui di jalan menganggapnya demikian. Pun dengan rekan-rekan sekerja ibu. Apalagi saat ibu memilih menghampirimu daripada menghadiri undangan meeting, saat kau menangis kehausan. Beberapa rekan mengatakan bahwa ibu bisa di-PHK karena itu.
Tapi ibu tidak takut, sayang. Yang lebih ibu khawatirkan adalah jika ibu tidak bisa memberikan hak yang seharusnya kau terima. Rizki yang diberikan oleh Dzat Yang Maha Welas Asih melalui ibumu yaitu air susu. Karena ibu sangat berharap, bisa menggenapkan kewajiban ibu hingga dua tahun usiamu.
Untuk itu, maafkan ibu jika terpaksa mengurungmu dalam sesaknya polusi di angkot yang kita naiki. Sungguh, kami tak pernah menghendakinya, sayang.
Hanya doa yang ibu panjatkan tiap saat agar rasa sesal ini sedikit berkurang. Bermohon kekuatan dan kesehatan untukmu. Mohon agar kau bisa tumbuh sehat dan kuat. Bisa tumbuh dan berkembang dengan sempurna untuk menjadi generasi yang lebih baik daripada kami.
Ya Tuhanku Allah Yang Maha Waspada…
Allah Yang Tak Pernah Lengah…
Dzat Yang Maha Pemurah…
Berikan perlindungan untuk putra-putri kami…
Awasi dia selalu… Jaga fitrahnya Ya Robb Jadikan mereka putra-putri yang sholeh dan sholehah
Jangan timpakan hukuman pada mereka akibat dosa dan kesalahan kami, Tuhanku…
Ampuni kami Ya Allah,
Berilah kami kekuatan untuk menjadi orang tua yang adil buat mereka,
aamiiin.
***
Aku tahu…dan teramat sadar, bahwa aliran kata-kata bermakna doa yang selalu kuhadirkan buat buah hatiku, bukanlah apa-apa dibandingkan dengan pengorbanan ibu bapakku. Aku hanya ingin memulainya saat ini. Untuk menjadi bunda yang baik baginya… untuk menjadi madrasah yang berkualitas buatnya.
Dengarlah doaku Ya Robbi, dan kabulkan keinginanku.
Ary Na