Kamis, 2007 Agustus 23

Muhammadiyah : Islam Nan Ngelakoni

Oleh Dahnil Anzar Simanjuntak
“Muhammadiyah ini lain dengan Muhammadiyah yang akan datang. Maka teruslah kamu bersekolah, menuntut ilmu pengetahuan dimana saja. Jadilah guru kembali pada Muhammadiyah. Jadilah dokter, kembali kepada Muhammadiyah. Jadilah Meester, insinyur dan lain-lain, dan kembalilah kepada Muhammadiyah" ( K.H. Ahmad Dahlan dalam junus salam, 1968 : 51 - 52 ). Pesan kiyai Dahlan tersebut mempertegas kapabilitas intelektual tinggi yang futuristik dalam menanggapi tantangan jaman di masa yang akan datang. Kemampuan luar biasa melihat tantangan zaman tersebut juga memperteguh keyakinan kita terhadap tradisi Islam yang mengontekstualkan wawasan keIslaman yang relevan dalam melihat zaman yang terus berubah. Cerita sederhana yang hampir sering diulang-ulang oleh para ustadz dalam pengajian-pengajian yang dilakukan warga Muhammadiyah tentang Kiyai dahlan yang terus mengulang-ulang kajian surat al-maun sampai para muridnya bosan dan bertanya kepada kiyai Dahlan mengapa kajian mereka hanya tentang ayat itu terus dan tidak pernah berubah, mereka merasa sudah sangat paham tentang kandungan surat tersebut. Kiyai Dahlan pun bertanya kepada mereka apakah mereka sudah mempraktekkan isi kandungan ayat tersebut ?. surat al-maun inilah yang melatarbelakangi usaha para al awaliyun Muhammadiyah mempergiat penyantunan anak-anak yatim, jompo dan orang-orang miskin serta rumah sakit. tindakan sosial untuk memperbaiki kehidupan sosial umat didahulukan oleh kiyai Dahlan sedangkan penyadaran terhadap penyimpang ajaran agama seperti tahayul, bid’ah dan kurafat mengikuti gerakan tersebut (Abdul Munir Mulkhan, 2003). Usaha kiayi Dahlan tersebut menggambarkan apa yang disebut oleh Moeslim Abdurrahman sebagai usaha mempertautkan (bahkan mengkonfrontasikan) hubungan antara iman dengan realitas sosial. Inilah yang saya maksud dengan Islam transformatif. Islam transformatif yang merupakan jiwa kiyai Dahlan merupakan sikap teologis, yakni menghimpun kekuatan simbolik yang dimiliki setiap orang Islam yang meyakini bahwa tujuan risalah al-Islamiyah pada intinya adalah bagaimana membawa ide agama dalam pergaulan hidup secara kolektif untuk menegakkan tatanan sosial yang adil, sebagai cita-cita ketakwaan. (Moeslim Abdurrahman, 2003). Kiyai Dahlan merupakan sample yang paling tepat untuk merujuk bentuk gerakan Islam transformatif-kontekstual untuk membangun peradapan Islam di Indonesia. Muhammadiyah sampai saat ini berhasil membangun infrastruktur ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, puluhan rumah sakit dan panti asuhan serta rumah jompo tidak ada organisasi didunia ini yang mampu menyamai asset sebesar itu. Namun keberhasilan membangun infrastruktur tersebut melahirkan permasalah baru bagi Muhammadiyah, banyak kader persyarikatan yang terjebak pada pragmatisme untuk menguasai dan menduduki posisi strategis dalam pengelolaan amal usaha. Para kader bagai politikus berebut untuk duduk menjadi seorang rektor atau ketua perguruan tinggi Muhammadiyah lengkap dengan berbagai intrik, sehingga banyak para pimpinan dan kader Muhammadiyah di daerah dan pusat menghabiskan waktunya untuk mengurusi berbagai persoalan amal usaha tersebut, belum lagi para kader yang memiliki syahwat politik amat besar disibukkan dengan berbagai aktivitas dukung mendukung atau menggugat peran-peran politik praktis sangat minim yang mereka peroleh (lihat fenomena semangat AMM tingkat pusat minus IRM dalam mendeklerasikan Perhimbunan Amanat Muhammadiyah atau PAM). Muhammadiyah selalu merasa memiliki peran yang sangat strategis dalam agenda pembangunan bangsa. Namun, sulit untuk menjelaskan sejauh mana posisi strategis tersebut. Apakah posisi strategis yang dimaksud adalah jumlah warga Muhammadiyah yang terbesar kedua setelah NU, sehingga menjadi modal bargaining politik untuk memperoleh kekuasaan. Kalau ini yang dimaksud. Maka Muhammadiyah telah lari dari ruh pergerakannya, dimana memiliki spirit transformatif-kontekstual dalam pengembangan pemikiran, pendidikan dan kesejahteraan sosial. Walaupun mereka melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa ini merupakan manifestasi dari ‘’politik tingkat tinggi ‘’ yang dipopulerkan Amien Rais, maka. Penterjemahan peran-peran kebangsaan dengan merebut kekuasaan hanya akan melahirkan para penguasa yang InsyaAllah akan lupa dengan tujuan awalnya untuk menciptakan kesejahteraan sosial dan memperkuat posisi sektarian Muhammadiyah. Coba kita lihat fenomena Departemen Pendidikan Nasional yang justru menimbulkan fitnah bagi para pejabat yang berlatarbelakang Muhammadiyah karena hanya mendahulukan kepentingan satu golongan saja dalam pengangkatan pejabat-pejabat eselon. Seharusnya muhammadiyah tetap mengukuhkan diri tetap pada jalur kiyai Dahlan dengan spirit Islam transformatif-kontekstual maka peran-peran kebangsaan dengan mengkonsentrasikan diri untuk mengembangkan pemikiran Islam dan pendidikan serta membantu permasalah sosial kemasyarakatan seperti kemiskinan, kesehatan, perburuhan dan permasalahan rakyat lain tanpa berharap banyak melalui jalur kekuasaan. Mengembangkan pergerakan pada jalur Islam transformatif-kontekstual akan mengarahkan Muhammadiyah kepada jatidiri mandiri dan progresif tidak tergantung pada kearifan kekuasaan untuk mengakomodir kepentingan para segelintir orang-orang Muhammadiyah yang ingin berkuasa, jangan sampai ada perspektif menjadi ketua Muhammadiyah merupakan batu loncatan yang sangat tepat untuk menjadi presiden, wakil presiden, menteri atau jabatan politik lainnya. Namun dengan spirit Islam transformatif-kontekstual Muhammadiyah akan justru menjadi pemimpin moral dan perubahan sosial bagi peradaban rakyat, rakyat akan merasa bahwa Muhammadiyah memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka. Sinyalemen Din Syamsudin mengenai butuhnya muhammadiyah mempertegas posisi teologis sehingga muhammadiyah tidak ditinggalkan para kader muda yang memiliki ghiroh pembaharuan yang menggebu-gebu merupakan pertanda baik untuk memulai purifikasi ajaran kiyai Dahlan. Purifikasi ajaran kiyai Dahlan bermakna bahwa, pertama, muhammadiyah harus kembali menterjemahkan secara tepat ajaran kiyai Dahlan sebagai pengikut Muhammad yang transformatif-kontekstual. Kedua, muhammadiyah harus mampu meredusir permasalahan amal usaha yang meyita waktu dan perhatian para kader pada agenda dakwah Islam transformatif-kontekstual. Ketiga, Muhammadiyah harus meminimalisir syahwat politik kadernya yang memamfaatkan jalur Muhammadiyah untuk memperoleh kekuasaan dengan berbagai alasan. Keempat, Muhammadiyah harus concern terhadap permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat sehingga rakyat merasakan keberadaan Muhammadiyah sebagai entity agency yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Momentum muktamar Muhammadiyah 3-8 Juli 2005 yang akan datang merupakan saat yang tepat untuk memformulasi gerakan Muhammadiyah yang bersendikan penterjemahan gerakan Islam nan ngelakoni yang mendahulukan gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan dalam membantu permasalahan realitas kerakyatan.