Oleh Dahnil Anzar Simanjuntak
“Muhammadiyah ini lain dengan Muhammadiyah yang akan datang.
Maka teruslah kamu bersekolah, menuntut ilmu pengetahuan dimana saja. Jadilah
guru kembali pada Muhammadiyah. Jadilah dokter, kembali kepada Muhammadiyah.
Jadilah Meester, insinyur dan lain-lain, dan kembalilah kepada Muhammadiyah" (
K.H. Ahmad Dahlan dalam junus salam, 1968 : 51 - 52 ). Pesan kiyai Dahlan
tersebut mempertegas kapabilitas intelektual tinggi yang futuristik dalam
menanggapi tantangan jaman di masa yang akan datang. Kemampuan luar biasa
melihat tantangan zaman tersebut juga memperteguh keyakinan kita terhadap
tradisi Islam yang mengontekstualkan wawasan keIslaman yang relevan dalam
melihat zaman yang terus berubah. Cerita sederhana yang hampir sering
diulang-ulang oleh para ustadz dalam pengajian-pengajian yang dilakukan warga
Muhammadiyah tentang Kiyai dahlan yang terus mengulang-ulang kajian surat
al-maun sampai para muridnya bosan dan bertanya kepada kiyai Dahlan mengapa
kajian mereka hanya tentang ayat itu terus dan tidak pernah berubah, mereka
merasa sudah sangat paham tentang kandungan surat tersebut. Kiyai Dahlan pun
bertanya kepada mereka apakah mereka sudah mempraktekkan isi kandungan ayat
tersebut ?. surat al-maun inilah yang melatarbelakangi usaha para al awaliyun
Muhammadiyah mempergiat penyantunan anak-anak yatim, jompo dan orang-orang
miskin serta rumah sakit. tindakan sosial untuk memperbaiki kehidupan sosial
umat didahulukan oleh kiyai Dahlan sedangkan penyadaran terhadap penyimpang
ajaran agama seperti tahayul, bid’ah dan kurafat mengikuti gerakan tersebut
(Abdul Munir Mulkhan, 2003). Usaha kiayi Dahlan tersebut menggambarkan apa yang
disebut oleh Moeslim Abdurrahman sebagai usaha mempertautkan (bahkan
mengkonfrontasikan) hubungan antara iman dengan realitas sosial. Inilah yang
saya maksud dengan Islam transformatif. Islam transformatif yang merupakan jiwa
kiyai Dahlan merupakan sikap teologis, yakni menghimpun kekuatan simbolik yang
dimiliki setiap orang Islam yang meyakini bahwa tujuan risalah al-Islamiyah pada
intinya adalah bagaimana membawa ide agama dalam pergaulan hidup secara kolektif
untuk menegakkan tatanan sosial yang adil, sebagai cita-cita ketakwaan. (Moeslim
Abdurrahman, 2003). Kiyai Dahlan merupakan sample yang paling tepat untuk
merujuk bentuk gerakan Islam transformatif-kontekstual untuk membangun peradapan
Islam di Indonesia. Muhammadiyah sampai saat ini berhasil membangun
infrastruktur ribuan sekolah, ratusan perguruan tinggi, puluhan rumah sakit dan
panti asuhan serta rumah jompo tidak ada organisasi didunia ini yang mampu
menyamai asset sebesar itu. Namun keberhasilan membangun infrastruktur tersebut
melahirkan permasalah baru bagi Muhammadiyah, banyak kader persyarikatan yang
terjebak pada pragmatisme untuk menguasai dan menduduki posisi strategis dalam
pengelolaan amal usaha. Para kader bagai politikus berebut untuk duduk menjadi
seorang rektor atau ketua perguruan tinggi Muhammadiyah lengkap dengan berbagai
intrik, sehingga banyak para pimpinan dan kader Muhammadiyah di daerah dan pusat
menghabiskan waktunya untuk mengurusi berbagai persoalan amal usaha tersebut,
belum lagi para kader yang memiliki syahwat politik amat besar disibukkan dengan
berbagai aktivitas dukung mendukung atau menggugat peran-peran politik praktis
sangat minim yang mereka peroleh (lihat fenomena semangat AMM tingkat pusat
minus IRM dalam mendeklerasikan Perhimbunan Amanat Muhammadiyah atau PAM).
Muhammadiyah selalu merasa memiliki peran yang sangat strategis dalam agenda
pembangunan bangsa. Namun, sulit untuk menjelaskan sejauh mana posisi strategis
tersebut. Apakah posisi strategis yang dimaksud adalah jumlah warga Muhammadiyah
yang terbesar kedua setelah NU, sehingga menjadi modal bargaining politik untuk
memperoleh kekuasaan. Kalau ini yang dimaksud. Maka Muhammadiyah telah lari dari
ruh pergerakannya, dimana memiliki spirit transformatif-kontekstual dalam
pengembangan pemikiran, pendidikan dan kesejahteraan sosial. Walaupun mereka
melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa ini merupakan manifestasi dari
‘’politik tingkat tinggi ‘’ yang dipopulerkan Amien Rais, maka. Penterjemahan
peran-peran kebangsaan dengan merebut kekuasaan hanya akan melahirkan para
penguasa yang InsyaAllah akan lupa dengan tujuan awalnya untuk menciptakan
kesejahteraan sosial dan memperkuat posisi sektarian Muhammadiyah. Coba kita
lihat fenomena Departemen Pendidikan Nasional yang justru menimbulkan fitnah
bagi para pejabat yang berlatarbelakang Muhammadiyah karena hanya mendahulukan
kepentingan satu golongan saja dalam pengangkatan pejabat-pejabat eselon.
Seharusnya muhammadiyah tetap mengukuhkan diri tetap pada jalur kiyai Dahlan
dengan spirit Islam transformatif-kontekstual maka peran-peran kebangsaan dengan
mengkonsentrasikan diri untuk mengembangkan pemikiran Islam dan pendidikan serta
membantu permasalah sosial kemasyarakatan seperti kemiskinan, kesehatan,
perburuhan dan permasalahan rakyat lain tanpa berharap banyak melalui jalur
kekuasaan. Mengembangkan pergerakan pada jalur Islam transformatif-kontekstual
akan mengarahkan Muhammadiyah kepada jatidiri mandiri dan progresif tidak
tergantung pada kearifan kekuasaan untuk mengakomodir kepentingan para
segelintir orang-orang Muhammadiyah yang ingin berkuasa, jangan sampai ada
perspektif menjadi ketua Muhammadiyah merupakan batu loncatan yang sangat tepat
untuk menjadi presiden, wakil presiden, menteri atau jabatan politik lainnya.
Namun dengan spirit Islam transformatif-kontekstual Muhammadiyah akan justru
menjadi pemimpin moral dan perubahan sosial bagi peradaban rakyat, rakyat akan
merasa bahwa Muhammadiyah memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka.
Sinyalemen Din Syamsudin mengenai butuhnya muhammadiyah mempertegas posisi
teologis sehingga muhammadiyah tidak ditinggalkan para kader muda yang memiliki
ghiroh pembaharuan yang menggebu-gebu merupakan pertanda baik untuk memulai
purifikasi ajaran kiyai Dahlan. Purifikasi ajaran kiyai Dahlan bermakna bahwa,
pertama, muhammadiyah harus kembali menterjemahkan secara tepat ajaran kiyai
Dahlan sebagai pengikut Muhammad yang transformatif-kontekstual. Kedua,
muhammadiyah harus mampu meredusir permasalahan amal usaha yang meyita waktu dan
perhatian para kader pada agenda dakwah Islam transformatif-kontekstual. Ketiga,
Muhammadiyah harus meminimalisir syahwat politik kadernya yang memamfaatkan
jalur Muhammadiyah untuk memperoleh kekuasaan dengan berbagai alasan. Keempat,
Muhammadiyah harus concern terhadap permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat
sehingga rakyat merasakan keberadaan Muhammadiyah sebagai entity agency yang
mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi. Momentum muktamar
Muhammadiyah 3-8 Juli 2005 yang akan datang merupakan saat yang tepat untuk
memformulasi gerakan Muhammadiyah yang bersendikan penterjemahan gerakan Islam
nan ngelakoni yang mendahulukan gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan dalam
membantu permasalahan realitas kerakyatan.
0 komentar:
Posting sebuah Komentar