SEJALAN dengan
diberlakukannya sistem pemerintahan otonomi daerah, maka kebijakan tersebut
seharusnya bisa memberikan perubahaan positif dalam sistem pendidikan
nasional.
Selama ini, pendidikan kita
selalu direcoki oleh banyak masalah mulai dari hal yang sifatnya akademis
seperti penetapan kurikulum, sampai dengan masalah pendanaan yang
digerogoti oleh praktik korupsi.
Kompleksnya permasalahan
pendidikan kita ini, sejumlah masyarakat menjadi apatis terhadap
kelangsungan sistem pendidikan di negara ini. Apalagi, korupsi begitu
mengakar di dunia pendidikan kita. Tidak heran, praktik korupsi sangat besar
di negara ini ditemukan di Departemen Pendidikan.
Bagaimana pendidikan di
negara ini bisa berjalan dengan baik jika pendidikan dikelola oleh
orang-orang yang bermental korup. Itu adalah contoh dari sejumlah pikiran
orang-orang yang apatis dan apriori terhadap keberadaan pendidikan
nasional.
Oleh karena itu, pemerintah
sebagai pembuat kebijakan seharusnya tidak menambah permasalahan semakin
rumit dengan membuat sejumlah kebijakan yang membingungkan. Contohnya,
kebijakan pemekaran Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Bagaimana mungkin Menteri
Pendidikan Bambang Soedibyo mencuatkan kebijakan yang tidak akomodatif
dengan keadaan pendidikan kita saat ini. Pemekaran Dikdasmen, jika memang
akhirnya ini terealisasi, maka akan kontraproduktif dengan perwajahan
pendidikan kita saat ini.
Pemekaran itu hanya akan
membuat semakin rumitnya birokrasi pendidikan. Seharusnya pemerintah
merampingkan birokrasinya agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat
akan menjadi efisien dan efektif. Sebenarnya apa yang dicarai oleh
pemerintah?
Menurut pengamat pendidikan
nasional, Darmaningtyas saat dihubungi "PR" belum lama ini,
mengatakan bahwa rencana pemekaran dikdasmen menunjukkan bahwa pemerintah
kita tidak paham benar dengan kondisi real yang ada di lapangan.
Dikatakannya, kebijakan
pemerintah di bidang pendidikan tidak boleh mematikan dinamika pendidikan
di negara ini. Pendidikan adalah sesuatu yang dinamis dan inklusif. Karena
itu, pemerintah kita harus mampu membuat kebijakan yang akomodatif dengan
karakter pendidikan yang dinamis dan inklusif itu.
Suasana otonomi daerah yang
telah diluncurkan sejak 1999 pun belum mengembuskan angin pembaruan di
dunia pendidikan kita. Contoh kecil, dalam masalah pendaftaran siswa baru,
korupsi tampak jelas di depan mata di mana sejumlah siswa bisa masuk ke
sekolah tertentu walaupun nilainya tidak mencukupi.
Praktik deviasi ini terjadi
karena adanya kerja sama antara sejumlah oknum guru, pegawai dinas
pendidikan, dan juga masyarakat. Memang tidak bisa disalahkan jika orang
tua ingin agar anaknya bisa masuk sekolah yang berkualitas baik.
Adanya program wajib belajar
(wajar) 9 tahun yang dicanangkan pemerintah sudah seharusnya menghilangkan
ekslusivisme dalam pemilihan sekolah di tingkat dasar dan menengah.
Pasalnya, pendidikan adalah hal yang inklusit. Siapa pun, baik itu yang
bodoh maupun yang miskin, berhak mendapatkan akses pendidikan.
Kebijakan wajar 9 tahun
masih belum terimplementasi dengan baik. Contohnya, betapa banyak anak-anak
usia SD dan SMP yang putus sekolah akibat tidak punya uang. Masih banyak
anak-anak jalanan usia sekolah yang mengais rezeki di perempatan jalan
akibat kepapaan keluarga mereka.
Kebijakan wajar 9 tahun itu
sepertinya hanya ada sebatas retorika belaka. Pada praktiknya, banyak
anak-anak di negara ini yang belum tersentuh oleh pendidikan. Padahal
pendidikan adalah investasi bangsa.
Pemerintah harus segera
melakukan sejumlah langkah nyata untuk menyukseskan program wajar 9 tahun.
Langkah yang bisa dilakukan pemerintah itu antara lain, peningkatan mutu
kualifikasi dan kuantitas guru, revitalisasi dan rehabilitasi SD,
peningkatan daya tampung dan mutu sekolah menengah, peningkatan mutu
pendidikan dan relevansi, serta penataan manajemen pendidikan.
Berkaitan dengan manajemen
pendidikan, Darmaningtyas mengatakan bahwa manajemen pendidikan kita sangat
lemah sehingga tidak aneh jika pendidikan kita menjadi amburadul.
JIka manajemen pendidikan
kita sudah berjalan dengan baik, pemerintah akan bisa menghadapi dan
menyelesaikan persoalan dan tantangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pendidikan seperti kurikulum, pembiayaan pendidikan, kesejahteraan guru,
buku pelajaran, anak putus sekolah, kondisi gedung, dll.
Data Depdiknas berikut ini
menunjukkan bahwa begitu banyak bopeng memenuhi wajah pendidikan kita. Dalam
data Depdiknas disebutkan bahwa mayoritas penduduk usia 15 tahun ke atas
masih berpendidikan SD ke bawah (58,6 %), putus sekolah SD 2,94 % atau
767.835 siswa. SD rusak berat 24,27 %, rusak ringan 32,92 %, dan baik 42,82
%.
Pada jenjang SMP 41,5 %
penduduk berusia 15 tahun ke atas berpendidikan SMP, putus sekolah 2,8 %
atau 277.112 siswa, SMP rusak berat 4,28 %, rusak ringan 9,94 % dan baik
85,78 %.
Sementara itu, pada jenjang
sekolah menengah, tingkat pendidikan angkatan kerja yang berpendidikan SMA
dan SMK hanya 17,41 %, putus sekolah SMA 3,64 % atau 298.180 siswa.
Pembenahan pendidikan di
negara ini untuk menghilangkan bopeng-bopeng itu, saat ini pemerintah
sedang menyiapkan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang wajib belajar.
Dalam RPP Wajar telah dicantumkan dengan tegas bahwa program pendidikan
minimal yang wajib diikuti setiap WNI usia 7 hingga 15 tahun tanpa dipungut
biaya.
Kemudian kegiatan itu
diselenggarakan pada jalur pendidikan melalui sistem tatap muka maupun
sistem belajar jarak jauh dan dicapai secara bertahap melalui ketuntasan
pertama, madya, utama, dan pratama.
Wajib belajar berfungsi
memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu bagi warga negara Indonesia
agar memiliki kemampuan dasar yang meliputi pengetahuan, keterampilan, serta
sikap untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sementara itu dalam Pasal 17
RPP, secara tegas memuat sejumlah poin berkaitan dengan sanksi yang
diberlakukan kepada siapa saja pelanggar dari RPP Wajar. Di antaranya,
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan dilarang memungut biaya dari
peserta didik atau orang tua/wali peserta didik yang mengikuti program
wajib belajar.
Selain itu, penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan dilarang menolak warga negara yang berusia 7
sampai dengan 15 tahun untuk mengikuti program wajib belajar kecuali karena
alasan daya tampung sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Adanya RPP tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah menyadari pendidikan kita saat ini diliputi
banyak masalah. Karena itu, pengesahan RPP ini menjadi UU sangat dinantikan
oleh masyarakat agar pendidikan nantinya tidak lagi dinikmati oleh
segelintir orang saja.
Pendidikan adalah hak semua
orang dan khusus untuk wajar 9 tahun, maka pemerintah harus membebaskan
biaya pendidikan. Sekali lagi, pendidikan adalah investasi bangsa. Segala
daya dan upaya harus dikerahkan guna mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan
di negara ini. Bisakah? Pendidikan adalah alat untuk meraihnya.
(Icha/"PR")***
Rabu, 30
Nopember 2005
BANYUMAS
Banyak Guru Mengajar Tak Sesuai
Keahlian
BANJARNEGARA - Tantangan dan permasalahan pendidikan
nasional tidak hanya berkutat pada minimnya standar kesejahteraan guru, namun
juga pada tingkat kelayakan seorang guru dalam mengajar. Masih banyak guru
yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya atau mismatch.
Permasalahan lainnya adalah distribusi
guru yang tidak merata, serta jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang
belum memadai untuk memenuhi perluasan akses dalam menuntaskan wajib belajar
(wajar) sembilan tahun.
Selain itu, juga kualifikasi dan
kompetensi yang belum memenuhi standar nasional. Demikian diungkapkan Prof Dr
H Mungin Eddy Wibowo MPd Kons pada seminar pendidikan di Pendapa Dipayuda
Adigraha Banjarnegara, dalam memperingati HUT Ke- 34 Korpri dan HUT Ke-60
PGRI, Senin (28/11).
Kompleksnya permasalahan pendidikan
nasional itu, lanjut dia, sedikit banyak menunjukkan pendidikan di negara ini
belum dikelola secara profesional. Akibatnya, mutu pendidikan yang dihasikan
belum bisa memenuhi standar nasional yang telah ditetapkan.
Meski demikian, pendidik harus terus
membangun sikap profesionalisme dalam menjalankan tugasnya.
Artinya, pendidik dalam menjalankan
tugas harus mengacu kepada norma-norma yang berlaku, dan itu harus diindahkan
oleh setiap tenaga profesi. Dia menekankan perlunya perubahan paradigma
pendidikan yang selama ini dianut. Yakni, dari paradigma pengajaran ke
pembelajaran.
Paradigma pengajaran, kata dia, lebih
menitikberatkan kepada peran pendidik dalam mentranformasikan pengetahuan
kepada peserta didik; sedangkan pembelajaran, lebih banyak memberikan
kesempatan peserta untuk mengembangkan kreativitas dirinya dalam membentuk
manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, cerdas,
beretika, dan berkepribadian.
Ir Drs H Rusmono MPd, lebih menyoroti
fenomena munculnya bermacam jenis sekolah unggulan. Di antaranya Highscope,
Global School, dan International School, termasuk juga Labschool. "Yang
dimaksud sekolah unggulan, kata dia, adalah sekolah yang dapat mengoptimalkan
seluruh potensi siswanya, baik aspek intelektual, spiritual, emosional,
sosial, maupun jasmani." (mos-36a)
Rusak, 58% Ruang Kelas TK-SMU di Tasikmalaya
478 Ruang SD/MI di Banjar Kondisinya Memprihatinkan
TASIKMALAYA, (PR).-
Sebanyak 58% ruang kelas belajar TK hingga SMU yang ada di Kab.
Tasikmalaya pada tahun 2004 kondisinya rusak, mulai dari kerusakan ringan
hingga berat. Dari total ruang kelas belajar sekira 9.321 unit, jumlah
kelas yang rusak tersebut diperkirakan mencapai 5.404 unit.
Di Kota Banjar bahkan tidak
kurang dari 478 ruang kelas SD/MI terancam roboh, menyusul dinding tembok
dan kayu bagian atapnya keropos dimakan rayap akibat lapuk dimakan usia.
Apabila ruang kelas yang rusak itu tidak secepatnya diperbaiki,
dikhawatirkan ambruk dan mencederai siswa. Apalagi di Kota Banjar
belakangan ini sering diguyur hujan deras.
Kerusakan ruang belajar
itu diungkapkan Bupati Tasikmalaya Drs. H. Tatang Farhanul Hakim, M.Pd.
saat menyampaikan pengarahan pada acara pembukaan sosialisasi lembaga
Dewan Pendidikan (DP) dan Komite Sekolah (KS) di Kab. Tasikmalaya,
beberapa hari lalu. Menurut bupati, selain keterbatasan ruang belajar,
Pemkab Tasikmalaya dihadapkan pula pada masalah rasio guru terhadap siswa
yang angkanya cukup kritis yaitu 1:25.
Dari jumlah guru sebanyak 16.745
orang yang mengajar di tingkat TK, SD, SMP, dan SMU, mereka dihadapkan
pada jumlah murid sebanyak 392.282 orang. Apabila melihat perbandingan
angka itu, artinya Kab. Tasikmalaya masih cukup banyak kekurangan guru.
"Kondisi objektif di lapangan ini diharapkan bisa menjadi bahan
kajian, sekaligus refleksi dalam menyusun strategi ke depan,"
katanya.
Lebih lanjut, dikatakan,
melihat kondisi riil di lapangan, saat ini di masyarakat masih
menunjukkan adanya kesenjangan/gap antara harapan pemerintah menuntaskan
wajardikdas sembilan tahun dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
sekolah. Artinya, masih ada persepsi peningkatan pendidikan tidak
berbanding lurus dengan peningkatan keahlian dan keterampilan.
Kenyataan sebagian data
tentang permasalahan pendidikan tersebut, lanjut bupati, sengaja
diungkapkannya dengan harapan bisa menjadi pemicu dan pemacu bagi semua
pihak, bukan untuk disesali atau diratapi. Dengan demikian, pada
gilirannya semua pihak bisa ikut terpanggil dan segera menanganinya
secara bersama-sama dengan sungguh-sunguh.
Memprihatinkan
Guna mengatasi berbagai
permasalahan pendidikan tersebut, pihaknya telah melakukan beberapa upaya
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Di antaranya dalam mengatasi
kekurangan sarana pendidikan telah digulirkan program pemberdayaan
sekolah.
Salah satu buktinya bisa
dana stimulan melalui program pemberdayaan senilai Rp 40 juta, ternyata
mampu merehabilitasi ruang kelas rata-rata 2,4 ruangan. Itu tidak mungkin
bisa dilakukan bila tidak ada bantuan atau peran aktif masyarakat. Bupati
berharap DP dan KS bisa menjadi katalisator untuk semakin meningkatkan
jalinan kerja sama antara instansi pemerintah dan seluruh komponen
masyarakat.
Sebelumnya, Wali Kota
Banjar dr. H. Herman Sutrisno, M.M. seusai melantik 30 kepala SD dan tiga
orang kepala SMP di gedung Koperasi Guru Banjar (KGB) kepada
"PR" mengakui adanya 478 ruang kelas SD/MI yang kondisinya
sudah sangat memprihatinkan.
Kondisi ini memprihatinkan
apalagi anggaran yang tersedia untuk memperbaiki ruang kelas yang rusak
berat dan rusak ringan, pada anggaran 2005/2006 baru tercatat Rp 1
miliar. Tentu saja, katanya ini tidak cukup, karena itu untuk
menyelesaikannya memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat.
"Sebagai gambaran,
pada anggaran 2004/2005, Pemkot Banjar menghabiskan Rp 2,07 miliar hanya
untuk memperbaiki 69 ruang kelas yang rusak berat. Sementara itu, ruang
kelas yang rusak pada angaran 2005/2006 jumlahnya mencapai 478 buah.
Jadi, kalau semua ruang kelas yang rusak diperbaiki, memerlukan dana
puluhan miliar. Sementara yang tersedia hanya Rp 1 miliar," kata
Herman.
Menurut dia, kini Pemkot
Banjar selain dihadapkan pada minimnya anggaran untuk memperbaiki ruang
kelas yang terancam roboh, juga dihadapkan kepada persoalan lain, yaitu
ancaman drop out (DO) dari siswa pada tahun pelajaran 2005/2006.
Jumlah siswa/siswi yang DO
pada tahun ajaran 2004/2005, kata Herman, tercatat 525 orang dari 2.770
siswa kelas VI SD/MI. Kemudian pada tahun pelajaran 2005/2006 jumlah
siswa kelas VI SD/MI yang terancam DO diprediksi akan bertambah dari
tahun sebelumnya yakni dari 525 orang, menjadi 1.975 orang atau 62% dari
3.174 siswa/siswi kelas VI SD/MI. (A-116/E-06)***
Menuntut Komitmen Pemerintah
Dipublikasikan: 19/04/2006 14:33:32
Oleh : Ramlan Nugraha, Sekum
KAMMI Komsat. UPI
Apa yang kita pikirkan, ketika kita melihat anak-anak kecil seusia anak
sekolahan berlari-lari diterik matahari, berpacu mengejar waktu hanya untuk
mengejar sesuap nasi, dan bergumul dengan debu jalanan. Di sisi lain kita
melihat ada sebagian pejabat pemerintah yang memakai kendaraan mewah plus
setelan necis sambil kesana-kemari membawa Handphone jenis terbaru.
Sungguh ironi, keadaan hari ini sepertinya sudah dianggap biasa bagi pemerintah
ataupun bagi kita semua. Bagi kita, adalah hal yang biasa ketika kita menjumpai
anak kecil yang meminta-minta. Tidak terpikir oleh kita mengapa anak itu bisa
sampai melakukan hal itu, atau malah kita marah-marah pada anak tersebut,
karena terlalu sering meminta-minta kepada kita.
Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, "Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan", dan Ayat (2) "Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Janji
pemerintah ini dikukuhkan lagi dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
yang disahkan DPR 11 Juni 2003, ditandatangani Presiden 8 Juli 2003.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) antara lain
disebutkan: Pertama, "setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu" (Pasal 5 Ayat (1)). Kedua,
"setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar" (Pasal 6 Ayat (1)). Ketiga,
"pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara tanpa diskriminasi" (Pasal 11 Ayat (1)). Keempat, "pemerintah
dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas
tahun" (Pasal 11 Ayat (2)).
Janji pemerintah ini sudah sesuai dengan Konvensi Internasional Bidang
Pendidikan yang dilaksanakan di Dakkar, Senegal, Afrika, 2000. Konvensi
menyebutkan, semua negara diwajibkan memberikan pendidikan dasar yang bermutu
secara gratis kepada semua warga negaranya. Selanjutnya, dalam masa kampanye
legislatif dan calon presiden (capres), pendidikan menjadi komoditas yang
ditonjolkan. Semua capres menjanjikan pembenahan sektor pendidikan. Yang belum
jelas, komitmen menyentuh akar permasalahan dalam bidang pendidikan dan skenario
mengatasi berbagai permasalahan itu.
Mengacu Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) dan (2), UU SPN No 20/2003, dan
kesepakatan dalam Konvensi Internasional Bidang Pendidikan di Dakkar tahun
2000, masyarakat bisa mempunyai persepsi, pendidikan dasar akan gratis (Kompas,
31/8/2003).
Tetapi, realita hari ini Undang-Undang ataupun Konveksi sepertinya hanya
dianggap angin lalu bagi pemerintah. Pendidikan gratis hanyalah omong kosong
belaka yang diucapkan oleh para pejabat yang sedang berkampanye. Pemerintah yang
seharusnya berkewajiban membantu siswa yang tidak mampu, malah ada beberapa
oknum pejabatnya yang berbuat sebaliknya. Siswa-siswi diharuskan membeli buku
pelajaran yang ada disekolah oleh gurunya masing-masing, komite sekolah yang
seharusnya menjadi pengontrol sekolah malah memberikan justifikasi bagi
pungutan yang ada di sekolah.
Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yang notabene disubsidi oleh pemerintah,
hanya meninggalkan kekecewaan bagi orang tua siswa yang tidak mampu, ketika
sekolah menambah berbagi pungutan seperti, membeli buku pelajaran, seragam
sekolah dan berbagai tetek benget lainnya. Ditengah kekecewaan orang tua kepada
sekolah, ternyata ada sebagian guru yang mengambil keuntungan dari pungutan
tersebut, dengan dalih kesejahteraan guru. Apabila ada siswa yang tidak
membayar pungutan tersebut, maka terancamlah kesinambungan pendidikannya,
Permasalahan pendidikan ini sebenarnya timbul akibat oknum aparat pemerintah
yang berbuat menyimpang. Sebagai contoh adalah, pemberian beasiswa terhadap
siswa, tidak diikuti dengan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan
integritas. Ditingkat yang lebih atas, permasalahan timbul diakibatkan dana
yang sedikit. Anggaran pendidikan yang katanya 20 % ditingkat nasional dan
daerah sampai saat ini belum juga terealisasikan. Sementara di pihak lain
pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah tidak dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Buktinya, Soeharto dan konco-konconya yang telah berkuasa
selama 32 tahun dan meninggalkan utang bagi anak-anak Indonesia sebesar „b Rp
1.000.000.000.000.000 (seribu trilyun) dan sekarang masih dalam keadaan adem
ayem. Para pejabat pemerintah yang melakukan penyelewangan juga tidak ditindak
tegas oleh aparat penegak hukum, karena kekuasaan masih berada dalam genggaman.
Pendidikan adalah lokomotif yang akan membawa bangsa ini dalam perjalanan
menuju yang lebih baik. Janji para wakil rakyat dan capres untuk mengedepankan
pendidikan perlu diikuti komitmen dan kejujuran untuk berpikir dan bertindak di
atas kepentingan sendiri dan golongan, agar bangsa ini bisa lebih cerdas di
kemudian hari. Masyarakat tentu harus menggunakan hak mereka untuk terus
mengontrol pemenuhan janji tersebut.
Disisi lain pendidikan akan semakin terpuruk ketika banyak oknum yang melakukan
berbagai penyelewengan-penyelewangan. Saat ini, sudah seharusnya pemerintah
memenuhi janjinya untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap para pelanggar
tersebut, sehingga good governance tidak hanya menjadi slogan semata.
Wallahu alam bisshowwab
Pemerintah: Anggaran
Pendidikan dalam APBN Sudah Memadai
[8/2/06]
Kalangan
guru dan sarjana pendidikan akhirnya mempersoalkan anggaran pendidikan dalam
APBN 2006.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo
mengatakan bahwa Pemerintah sudah cukup serius menangani permasalahan
pendidikan di Tanah Air. Hal ini antara lain ditandai semakin tingginya
anggaran pendidikan dalam APBN. Dalam APBN 2006, total anggaran pendidikan
sudah hampir mencapai 20 persen, seperti apa yang diamanatkan UUD 1945.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mencontohkan,
anggaran pendidikan pada APBN 2005 sudah mencapai Rp82 triliun. Sementara
pada APBN 2006 naik drastis menjadi Rp125,029 triliun atau 19,3 persen dari
total APBN.
Atas dasar itu, Pemerintah –yang diwakili
Mendiknas dan Menkeu—meminta Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian
terhadap Undang-Undang No. 13 Tahun 2005 tentang APBN Tahun Anggaran 2006
yang diajukan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Permintaan itu
disampaikan dalam sidang di gedung MK Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta
(07/2).
PGRI, bersama Ikatan Sarjana Pendidikan
Indonesia (ISPI), memang mengajukan permohonan judicial review UU APBN 2006 sejak Desember silam. Kedua pemohon
menganggap UU tersebut telah mengabaikan ketentuan pasal 31 ayat (4) UUD 1945
yang mewajibkan pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Besaran itu
juga sudah diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya saat
menguji Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (perkara
no. 011/PUU-III/2005).
Dalam putusannya MK menyatakan bahwa pemenuhan
20 persen itu tidak bisa ditunda-tunda. Dengan demikian, putusan atas perkara
ini menarik karena sekaligus menjadi batu
ujian bagi putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu.
Taruna dan H. Mustahdi, kuasa hukum pemohon,
berpendapat bahwa Pemerintah hanya menyediakan 8,1 persen dana APBN 2006
untuk sektor pendidikan. Dalam lampiran anggaran berdasarkan program,
tercatat Rp36,75 triliun alokasi untuk sektor pendidikan. Namun, itu masih
dikurangi alokasi gaji dosen sehingga jumlahnya hanya mencapai sekitar Rp34,4
triliun, atau 8,1 persen dari APBN.
Pemerintah dan pemohon tampaknya berbeda
persepsi mengenai alokasi dana APBN untuk sektor pendidikan. Jika pemohon
menganggap hanya mencapai 8,1 persen, Pemerintah justeru menganggap sudah
mencapai 19,3 persen, yaitu Rp125,029 triliun dari total APBN Rp647 triliun.
Sektor pendidikan menempati peringkat pertama penerima dana terbesar untuk
APBN 2006.
Dalam kaitan itu, pemohon mengingatkan pasal 49
ayat (2) UU Sisdiknas: "Dana
pendidikan selain gaji pendidikan dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari
APBD".
Patut pula dicatat bahwa pada saat pemeriksaan
perkara pengujian UU Sisdiknas sebelumnya, Pemerintah bertekad akan terus
meningkatkan anggaran pendidikan hingga mencapai prosentase yang diinginkan
UUD 1945. Tetapi, hal itu dilakukan secara bertahap. Sebab, yang hendak
dibangun bukan hanya sektor pendidikan. Sektor lain pun membutuhkan anggaran
yang tidak sedikit.
Masalahnya, bagi PGRI dan ISPI, sektor
pendidikan di Indonesia sudah sangat tertinggal dibanding negara-negara lain.
Indeks Pembangunan Manusia (human
development index) yang dikeluarkan UNDP, misalnya, memposisikan
Indonesia di bawah China –negara yang berpenduduk miliar—karena persoalan
melek huruf dan lama belajar.
.PEMBANGUNAN
PENDIDIKAN
1.Arah Kebijakan
Kebijakan
pembangunan pendidikan diarahkan pada upaya perluasan dan pemeratan kesempatan
memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat, peningkatan
kualitas lembaga pendidikan dan mutu pendidikan, peningkatan kemampuan akademik
dan profesionalisme tenaga pendidikan. Disamping itu kebijakan pembangunan ini
juga diarahkan pada peningkatan kesejahteraan tenaga dibidang kependidikan,
pemberdayaan lembaga pendidikan di sekolah maupun luar sekolah, pencapaian efektivitas
dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, serta adanya keterkaitan antar
sekolah dan dengan kebutuhan tenaga kerja.
2.Tujuan
dan Sasaran
3.
Tujuan
pembangunan pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusiayang mampu menghadapi setiap
perubahan dan di harapkan dapat membentuk manusiaseutuhnyayaitu beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, mandiri, bertanggungjawab dan memiliki
etos kerja yang tinggi.
Sasaran
pembangunan ini adalah terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas melalui
peningkatan mutu pendidikan, perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan bagi semua masyarakat, tercapainya efektif dan efisiensi
penyelenggaraan pendidikan, serta tercukupinya sarana dan prasarana pendidikan.
3.Program Pembangunan
Program pembangunan dalam
pendidikan adalah :
a.a.Program pengembangan pendidikan
dasar danmenengah
Pelaksanaan
program pembangunan ini di maksudkan untukmemperluas jangkauan dan meningkatkan pemerataan pelayanan pendidikan
khususnya tingkat dasar dan menengah, serta untuk meingkatkan kualitas
pendidikan tingkat dasar dan menengah melalui optimalisasi pelaksanaan
pendidikan 9 tahun jalur sekolah termasuk di dalamnya anak-anak yang mempunyai
kekhususan, pemberian kesempatan bagi kelompokkurang beruntung yang antara lain dari masyarakatmiskin, anak jalanan dan anak terlantar
untuk mengikuti pendidikan, dasar dan menengah, peningkatan sarana dan
prasarana pendidikan; peningkatan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraanpendidikan; serta
pengembangan budaya minat baca pada masyarakat.
b.b.Program pengembangan pendidikan
tinggi
Maksud
program pembangunan ini adalah untuk mendorong berkembangnya lembaga pendidikan
tinggidan meningkatnya kualitas dan
kuantitas lulusan pendidikan tinggimelalui peningkatan kerjasamadi
berbagai bidang pembangunan antara pemerintah kota dengan lembaga pendidikan
tinggi, memberikan fasilitas pengembangan perguruan tinggi baik kurikuler
maupun non kurikuler, mendorong peningkatan produk perguruan tinggi yang
relevan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat serta dunia usaha.
c.Program
pembinaan tenaga pendidik
Maksud
program pembangunan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan akademik dan
profesionalisme tenaga pendidik melauipendidikan
formal pada jenjang yang lebih tinggi, pendidikan non formal dalam rangka
peningkatan ketrampilan.
d.d.Program peningkatan
kesejahteraan guru
Program
ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan guru pra sekolah, sekolah
dasar dan menengah dibawah naungan Diknas dan Depag baik negeri maupun swasta
termasuk guru wiyata bhakti dan tidak tetap melalui penggalian dana partisipasi
anggota BP3, bantuan dari pemerintah dan donatur dalam rangka perbaikankesejahteraan guru.
e.e.Program pendidikan luar sekolah
Maksud
program pembangunan ini adalah memberikan peluang kepada masyarakat
untuk mengembangkan bakat dan minat dalam rangka meningkatkan kemampuan dan
ketrampilan berusaha secara profesionalmelalui pembinaan pendidikan anakusia dini dan pra sekolah,pembinaan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, memberikan
ketrampilan berusaha secara profesional bagi calon atau tenaga
kerja,standarisasi penyelenggaran pendidikan luar sekolah.
C.PEMBANGUNAN
KETENAGAKERJAAN
1.Arah kebijakan
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL: Benarkah untuk Mencerdaskan Bangsa?
Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada
tanggal 2 Mei setiap tahunnya telah menjadi momentum untuk memperingatkan
segenap negeri akan pentingnya arti pendidikan bagi anak negeri yang sangat
kaya ini. Di tahun 2003, telah dilahirkan pula Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional melalui UU No. 20 tahun 2003 yang menggantikan UU No. 2
tahun 1989. Tersurat jelas dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional
harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta
relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai
dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu
dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan.
Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945,
tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan
pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003
pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga
negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan
khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat.
Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama
keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai
sebuah kotak keterlibatan pasif. Inisiatif aktif masyarakat masih dipandang
sebagai hal yang tidak dianggap penting. Padahal secara jelas di dalam pasal 8
UU No. 20/2003 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Peran
serta masyarakat saat ini hanyalah dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah, dimana proses pembentukan komite sekolahpun belum keseluruhannya
dilakukan dengan proses yang terbuka dan partisipatif.
Kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan
pendidikan dasar pun hingga saat ini masih sangat jauh dari yang diharapkan.
Masih terlalu banyak penduduk Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Selain
itu, layanan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih
hanya di dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD hingga saat
ini masih dibawah 20% sebagaimana amanat pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49
UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya berkisar diantara 2-5%.
Bila melihat peristiwa yang belum lama terjadi di
Indonesia, misalnya kasus tukar guling SMP Negeri 56 Jakarta serta kasus Kampar
adalah sebongkah cerminan dari kondisi pendidikan di Indonesia, dimana kalangan
pendidik dan kepentingan pendidikan masihlah sangat jauh dari sebuah
kepentingan dan kebutuhan bersama, dimana pendidikan masih menjadi korban dari
penguasa.
Sementara di berbagai daerah, pendidikan pun masih
berada dalam kondisi keprihatinan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar,
fasilitas pendidikan hingga sukarnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan
karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Pada beberapa wilayah,
anak-anak yang memiliki keinginan untuk bersekolah harus membantu keluarga
untuk mencukupi kebutuhan hidup karena semakin sukarnya akses masyarakat
terhadap sumber kehidupan mereka.
Belum lagi bila berbicara pada kualitas pendidikan
Indonesia yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan
berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem
pendidikan Indonesia saat ini sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun
tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena
paradigma pemerintah Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan
tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya
ditumbuhsuburkan di Indonesia.
Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung
hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik.
Indikator yang dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator kepintaran,
sehingga secara nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta
menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah
gencarnya industrialisasi yang berlangsung saat ini.
Pendidikan juga saat ini telah menjadi sebuah
industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal
ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga
jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap
kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan
yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk.
Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat,
sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya,
ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif,
sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan
kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa
pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar
serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri
ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia
yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah
dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.
Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana
sistem pendidikan di Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki
sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan,
serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem
pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap
ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak
meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa
Indonesia.
Hari Pendidikan Nasional tahun ini di
tengah-tengah pertarungan politik Indonesia sudah selayaknya menjadi sebuah
tonggak bagi bangkitnya bangsa Indonesia dari keterpurukan serta lepasnya
Indonesia dari “penjajahan‿ bangsa asing. Sudah saatnya Indonesia berdiri
di atas kaki sendiri dengan sebuah kesejahteraan sejati bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a.
bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan
adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas
manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta
menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan
masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan
mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas
pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan
pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana,
terarah, dan berkesinambungan;
c.
bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang
sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, sehingga perlu dikembangkan sebagai
profesi yang bermartabat;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf
a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-Undang tentang Guru dan
Dosen;
Mengingat
:
1.
Pasal 20, Pasal 22 d, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG GURU DAN DOSEN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2.
Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat.
3.
Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor
adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di
lingkungan satuan pendidikan tinggi.
4.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan
keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
5.
Penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah, pemerintah daerah,
atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan
formal.
6.
Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalam setiap
jenjang dan jenis pendidikan.
7.
Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah
perjanjian tertulis antara guru atau dosen dengan penyelenggara
pendidikan atau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta
hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
8.
Pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja adalah
pengakhiran perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama guru atau
dosen karena sesuatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara guru atau dosen dan penyelenggara pendidikan atau
satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
9.
Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik
yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang,
dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.
10.
Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau
dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
11.
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk
guru dan dosen.
12.
Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang
diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
13.
Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum
yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas
guru.
14.
Lembaga pendidikan tenaga kependidikan adalah perguruan tinggi
yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program
pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk
menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan
nonkependidikan.
15.
Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas pekerjaannya
dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk
finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
16.
Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen dalam
bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan
yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan
mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik profesional.
17.
Daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang;
daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah perbatasan
dengan negara lain; daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial,
atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.
18.
Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah
yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
19.
Pemerintah adalah pemerintah pusat.
20.
Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten, atau pemerintah kota.
21.
Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam
bidang pendidikan nasional.
BAB II KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
(1)
Guru mempunyai
kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur
pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pasal 3
(1)
Dosen mempunyai
kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi
yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pasal 4
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran
guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional.
Pasal 5
Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran
dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Pasal 6
Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan
untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
BAB III PRINSIP PROFESIONALITAS
Pasal 7
(1)
Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus
yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a.
memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan
idealisme;
b.
memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu
pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
c.
memiliki kualifikasi akademik dan latar
belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d.
memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai
dengan bidang tugas;
e.
memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan
tugas keprofesionalan;
f.
memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi
kerja;
g.
memiliki kesempatan untuk mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h.
memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
i.
memiliki organisasi profesi yang mempunyai
kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan
guru.
(2)
Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen
diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara
demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
BAB IV GURU
Bagian Kesatu
Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi
Pasal 8
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 9
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program
diploma empat.
Pasal 10
(1)
Kompetensi guru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional
yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1)
Sertifikat pendidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah
memenuhi persyaratan.
(2)
Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang
memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan
ditetapkan oleh Pemerintah.
(3)
Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan,
dan akuntabel.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki
kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan
tertentu.
Pasal 13
(1)
Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan
kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan
yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan
kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban
Pasal 14
(1)
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:
a.
memperoleh
penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan
sosial;
b.
mendapatkan promosi
dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c.
memperoleh
perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektual;
d.
memperoleh
kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e.
memperoleh dan
memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang
kelancaran tugas keprofesionalan;
f.
memiliki kebebasan
dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan,
dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan,
kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g.
memperoleh rasa aman
dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h.
memiliki kebebasan
untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i.
memiliki kesempatan
untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j.
memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik
dan kompetensi; dan/atau
k.
memperoleh
pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
(2)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai hak guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1)
Penghasilan di atas
kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta
penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional,
tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya
sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar
prestasi.
(2)
Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3)
Guru yang diangkat
oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji
berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Pasal 16
(1)
Pemerintah
memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat
oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
(2)
Tunjangan profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu)
kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat,
masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3)
Tunjangan profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD).
(4)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tunjangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1)
Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2)
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan subsidi
tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)
Tunjangan
fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan subsidi tunjangan
fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan dalam
anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan
belanja daerah.
Pasal 18
(1)
Pemerintah
memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1) kepada guru yang bertugas di daerah khusus.
(2)
Tunjangan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu)
kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat,
masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3)
Guru yang diangkat
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, berhak atas
rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 19
(1)
Maslahat tambahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) merupakan tambahan
kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan,
asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta
kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru,
pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
(2)
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya
maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:
a.
merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang
bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b.
meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan
kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni;
c.
bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik
tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi
peserta didik dalam pembelajaran;
d.
menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode
etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e.
memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Bagian Ketiga
Wajib Kerja dan Ikatan Dinas
Pasal 21
(1)
Dalam keadaan
darurat, Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada
guru dan/atau warga negara Indonesia lainnya yang memenuhi kualifikasi
akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai guru di daerah
khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga
negara Indonesia sebagai guru dalam keadaan darurat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1)
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menetapkan pola
ikatan dinas bagi calon guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan
pendidikan nasional atau kepentingan pembangunan daerah.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon
guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 23
(1)
Pemerintah
mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga
pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu
pendidikan.
(2)
Kurikulum pendidikan guru pada lembaga pendidikan tenaga
kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengembangkan
kompetensi yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan
nasional, pendidikan bertaraf internasional, dan pendidikan berbasis
keunggulan lokal.
Bagian Keempat
Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan,
dan Pemberhentian
Pasal 24
(1)
Pemerintah wajib
memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik,
maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan
satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta untuk
menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah yang
diselenggarakan oleh Pemerintah.
(2)
Pemerintah provinsi wajib memenuhi kebutuhan guru,
baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara
merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan menengah dan
pendidikan khusus sesuai dengan kewenangan.
(3)
Pemerintah kabupaten/kota wajib memenuhi
kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam
kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan
dasar dan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal sesuai
dengan kewenangan.
(4)
Penyelenggara pendidikan
atau satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh
masyarakat wajib memenuhi kebutuhan guru-tetap, baik dalam jumlah,
kualifikasi akademik, maupun kompetensinya untuk menjamin
keberlangsungan pendidikan.
Pasal 25
(1)
Pengangkatan dan
penempatan guru dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(3)
Pengangkatan dan
penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat
dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang
bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama.
Pasal 26
(1)
Guru yang diangkat
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat ditempatkan pada jabatan
struktural.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan guru yang diangkat
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan
pendidikan di Indonesia wajib mematuhi kode etik guru dan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 28
(1)
Guru yang diangkat
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat dipindahtugaskan
antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun
antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan satuan pendidikan
dan/atau promosi.
(2)
Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat
mengajukan permohonan pindah tugas, baik antarprovinsi,
antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam hal permohonan kepindahan dikabulkan,
Pemerintah atau pemerintah daerah memfasilitasi kepindahan guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kewenangan.
(4)
Pemindahan guru pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan
atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja
atau kesepakatan kerja bersama.
(5)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pemindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
(1)
Guru yang bertugas
di daerah khusus memperoleh hak yang meliputi kenaikan pangkat rutin
secara otomatis, kenaikan pangkat istimewa sebanyak 1 (satu) kali, dan
perlindungan dalam pelaksanaan tugas.
(2)
Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah wajib
menandatangani pernyataan kesanggupan untuk ditugaskan di daerah khusus
paling sedikit selama 2 (dua) tahun.
(3)
Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah yang telah bertugas selama 2 (dua) tahun atau lebih
di daerah khusus berhak pindah tugas setelah tersedia guru pengganti.
(4)
Dalam hal terjadi kekosongan guru, Pemerintah
atau pemerintah daerah wajib menyediakan guru pengganti untuk menjamin
keberlanjutan proses pembelajaran pada satuan pendidikan yang
bersangkutan.
(5)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai guru yang bertugas di daerah khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
(1)
Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai guru
karena:
a.
meninggal dunia;
b.
mencapai batas usia
pensiun;
c.
atas permintaan
sendiri;
d.
sakit jasmani
dan/atau rohani sehingga tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus
selama 12 (dua belas) bulan; atau
e.
berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama
antara guru dan penyelenggara pendidikan.
(2)
Guru dapat
diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena:
a.
melanggar sumpah dan janji jabatan;
b.
melanggar
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau
c.
melalaikan
kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih
secara terus-menerus.
(3)
Pemberhentian guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(4)
Pemberhentian guru karena batas usia pensiun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 60 (enam
puluh) tahun.
(5)
Guru yang diangkat
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang diberhentikan dari jabatan
sebagai guru, kecuali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri
sipil.
Pasal 31
(1)
Pemberhentian guru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dapat dilakukan setelah
guru yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
(2)
Guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat
yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau
kesepakatan kerja bersama.
Bagian Kelima
Pembinaan dan Pengembangan
Pasal 32
(1)
Pembinaan dan
pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan
karier.
(2)
Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
(3)
Pembinaan dan pengembangan profesi guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui jabatan
fungsional.
(4)
Pembinaan dan
pengembangan karier guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.
Pasal 33
Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan
karier guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat ditetapkan dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1)
Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik
dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(2)
Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib
membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
(3)
Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan
profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
Pasal 35
(1)
Beban kerja guru
mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih
peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.
(2)
Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan
sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu)
minggu.
(3)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Penghargaan
Pasal 36
(1)
Guru yang
berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus
berhak memperoleh penghargaan.
(2)
Guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus
memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
Pasal 37
(1)
Penghargaan dapat
diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi
profesi, dan/atau satuan pendidikan.
(2)
Penghargaan dapat diberikan pada tingkat sekolah, tingkat
desa/kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat
provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.
(3)
Penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam
bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam,
dan/atau bentuk penghargaan lain.
(4)
Penghargaan kepada guru dilaksanakan dalam
rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia,
hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang
tahun satuan pendidikan, hari pendidikan nasional, hari guru nasional,
dan/atau hari besar lain.
(5)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 38
Pemerintah dapat menetapkan hari guru nasional sebagai
penghargaan kepada guru yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Perlindungan
Pasal 39
(1)
Pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan
pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam
pelaksanaan tugas.
(2)
Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja.
(3)
Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan,
ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil
dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat,
birokrasi, atau pihak lain.
(4)
Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian
imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan,
pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat
menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
(5)
Perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja,
kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan
lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
Bagian Kedelapan
Cuti
Pasal 40
(1)
Guru memperoleh
cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Guru dapat
memperoleh cuti untuk studi dengan tetap memperoleh hak gaji penuh.
(3)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Organisasi Profesi dan Kode Etik
Pasal 41
(1)
Guru membentuk
organisasi profesi yang bersifat independen.
(2)
Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan
kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian
kepada masyarakat.
(3)
Guru wajib menjadi anggota organisasi
profesi.
(4)
Pembentukan organisasi profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(5)
Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah dapat memfasilitasi organisasi profesi guru dalam
pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi guru.
Pasal 42
Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan:
a.
menetapkan dan menegakkan kode etik guru;
b.
memberikan bantuan hukum kepada guru;
c.
memberikan perlindungan profesi guru;
d.
melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan
e.
memajukan pendidikan nasional.
Pasal 43
(1)
Untuk menjaga dan
meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas
keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik.
(2)
Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi norma dan
etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas
keprofesionalan.
Pasal 44
(1)
Dewan kehormatan
guru dibentuk oleh organisasi profesi guru.
(2)
Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar
organisasi profesi guru.
(3)
Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan
memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh
guru.
(4)
Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus objektif, tidak diskriminatif,
dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta
peraturan perundang-undangan.
(5)
Organisasi profesi
guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
BAB V DOSEN
Bagian Kesatu
Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik
Pasal 45
Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi
lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas,
serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 46
(1)
Kualifikasi
akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui
pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan
bidang keahlian.
(2)
Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum:
a.
lulusan program magister untuk program diploma atau program
sarjana; dan
b.
lulusan program
doktor untuk program pascasarjana.
(3)
Setiap orang yang
memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi
dosen.
(4)
Ketentuan lain
mengenai kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dan keahlian dengan prestasi luar biasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditentukan oleh masing-masing senat akademik satuan
pendidikan tinggi.
Pasal 47
(1)
Sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 diberikan setelah memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;
b.
memiliki jabatan
akademik sekurang-kurangnya asisten ahli; dan
c.
lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang
menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan
tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2)
Pemerintah menetapkan perguruan tinggi yang terakreditasi untuk
menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan sesuai dengan
kebutuhan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat pendidik untuk dosen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan perguruan tinggi yang
terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
(1)
Status dosen
terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap.
(2)
Jenjang jabatan
akademik dosen-tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala,
dan profesor.
(3)
Persyaratan untuk
menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik
doktor.
(4)
Pengaturan
kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak-tetap ditetapkan
oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 49
(1)
Profesor merupakan
jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai
kewenangan membimbing calon doktor.
(2)
Profesor memiliki
kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan
gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.
(3)
Profesor yang
memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat
istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat
diangkat menjadi profesor paripurna.
(4)
Pengaturan lebih
lanjut mengenai profesor paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 50
(1)
Setiap orang yang
memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi dosen.
(2)
Setiap orang, yang
akan diangkat menjadi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
mengikuti proses seleksi.
(3)
Setiap orang dapat
diangkat secara langsung menduduki jenjang jabatan akademik tertentu
berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi,
dan pengalaman yang dimiliki.
(4)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan
pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban
Pasal 51
(1)
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak:
a.
memperoleh
penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan
sosial;
b.
mendapatkan promosi
dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c.
memperoleh
perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektual;
d.
memperoleh kesempatan
untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana
dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat;
e.
memiliki kebebasan
akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan;
f.
memiliki kebebasan
dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan
g.
memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi
profesi/organisasi profesi keilmuan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dosen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 52
(1)
Penghasilan di atas
kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta
penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional,
tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang
terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip
penghargaan atas dasar prestasi.
(2)
Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3)
Dosen yang diangkat
oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat
diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama.
Pasal 53
(1)
Pemerintah
memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(1) kepada dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat
oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
(2)
Tunjangan profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu)
kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa
kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3)
Tunjangan profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara.
(4)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 54
(1)
Pemerintah
memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh Pemerintah.
(2)
Pemerintah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh satuan
pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3)
Tunjangan
fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam
anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pasal 55
(1)
Pemerintah
memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat
(1) kepada dosen yang bertugas di daerah khusus.
(2)
Tunjangan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu)
kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3)
Tunjangan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara.
(4)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1)
Pemerintah
memberikan tunjangan kehormatan kepada profesor yang diangkat oleh
penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi setara 2 (dua)
kali gaji pokok profesor yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat,
masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan kehormatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 57
(1)
Maslahat tambahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) merupakan tambahan
kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan,
asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi dosen, serta
kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri dosen,
pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
(2)
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya
maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 58
Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan
pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat berhak
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 59
(1)
Dosen yang
mendalami dan mengembangkan bidang ilmu langka berhak memperoleh dana
dan fasilitas khusus dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2)
Dosen yang diangkat oleh Pemerintah di daerah khusus, berhak
atas rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangan.
Pasal 60
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban:
a.
melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat;
b.
merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai
dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
c.
meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan
kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni;
d.
bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu,
atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
e.
menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode
etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
f.
memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Bagian Ketiga
Wajib Kerja dan Ikatan Dinas
Pasal 61
(1)
Dalam keadaan
darurat, Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada
dosen dan/atau warga negara Indonesia lain yang memenuhi kualifikasi
akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai dosen di
daerah khusus.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia
sebagai dosen dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 62
(1)
Pemerintah dapat
menetapkan pola ikatan dinas bagi calon dosen untuk memenuhi
kepentingan pembangunan pendidikan nasional, atau untuk memenuhi
kepentingan pembangunan daerah.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon
dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan,
dan Pemberhentian
Pasal 63
(1)
Pengangkatan dan
penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi dilakukan secara
objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi
yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(3)
Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan
pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh
penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang
bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama.
(4)
Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu.
Pasal 64
(1)
Dosen yang diangkat
oleh Pemerintah dapat ditempatkan pada jabatan struktural sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dosen yang diangkat
oleh Pemerintah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 65
Tenaga kerja asing
yang dipekerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan tinggi di
Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.
Pasal 66
Pemindahan dosen
pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat
diatur oleh penyelenggara pendidikan berdasarkan perjanjian kerja atau
kesepakatan kerja bersama.
Pasal 67
(1)
Dosen dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai dosen
karena:
a.
meninggal dunia;
b.
mencapai batas usia
pensiun;
c.
atas permintaan
sendiri;
d.
tidak dapat
melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan
karena sakit jasmani dan/atau rohani; atau
e.
berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama
antara dosen dan penyelenggara pendidikan.
(2)
Dosen dapat
diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai dosen karena:
a.
melanggar sumpah dan janji jabatan;
b.
melanggar
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau
c.
melalaikan
kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih
secara terus-menerus.
(3)
Pemberhentian dosen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh
penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang
bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4)
Pemberhentian dosen
karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun.
(5)
Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang
batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun.
(6)
Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang
diberhentikan dari jabatan sebagai dosen, kecuali sebagaimana dimaksud
ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan
sebagai pegawai negeri sipil.
Pasal 68
(1)
Pemberhentian dosen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dapat dilakukan setelah
dosen yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
(2)
Dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja
atau kesepakatan kerja bersama.
Pasal 69
(1)
Pembinaan dan
pengembangan dosen meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan
karier.
(2)
Pembinaan dan
pengembangan profesi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional.
(3)
Pembinaan dan
pengembangan profesi dosen dilakukan melalui jabatan fungsional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Pembinaan dan
pengembangan karier dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.
Pasal 70
Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan
karier dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
Pemerintah atau masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 71
(1)
Pemerintah wajib
membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen
pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah
dan/atau masyarakat.
(2)
Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat
wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi
dosen.
(3)
Pemerintah wajib
memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian
dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau masyarakat.
Pasal 72
(1)
Beban kerja dosen
mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
proses pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan
melatih, melakukan penelitian, melakukan tugas tambahan, serta
melakukan pengabdian kepada masyarakat.
(2)
Beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya sepadan dengan 12 (dua belas) satuan kredit semester
dan sebanyak-banyaknya 16 (enam belas) satuan kredit semester.
(3)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai beban kerja dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Penghargaan
Pasal 73
(1)
Dosen yang
berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus
berhak memperoleh penghargaan.
(2)
Dosen yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus
memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
Pasal 74
(1)
Penghargaan dapat
diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi
profesi keilmuan, dan/atau satuan pendidikan tinggi.
(2)
Penghargaan dapat diberikan pada tingkat satuan pendidikan
tinggi, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional,
dan/atau tingkat internasional.
(3)
Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk
tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau
bentuk penghargaan lain.
(4)
Penghargaan kepada dosen dilaksanakan dalam
rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia,
hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang
tahun satuan pendidikan tinggi, hari pendidikan nasional, dan/atau hari
besar lain.
(5)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Perlindungan
Pasal 75
(1)
Pemerintah,
pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan
pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen dalam
pelaksanaan tugas.
(2)
Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja.
(3)
Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mencakup perlindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman,
perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari
pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi,
dan/atau pihak lain.
(4)
Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pelaksanaan tugas dosen
sebagai tenaga profesional yang meliputi pemutusan hubungan kerja yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan
yang tidak wajar, pembatasan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan
otonomi keilmuan, serta pembatasan/pelarangan lain yang dapat
menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas.
(5)
Perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja,
kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan
lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
(6)
Dalam rangka kegiatan akademik, dosen
mendapat perlindungan untuk menggunakan data dan sumber yang
dikategorikan terlarang oleh peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedelapan
Cuti
Pasal 76
(1)
Dosen memperoleh
cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2)
Dosen memperoleh
cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni dengan memperoleh hak gaji penuh.
(3)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) dan ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI SANKSI
Pasal 77
(1)
Guru yang diangkat
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
teguran;
b.
peringatan tertulis;
c.
penundaan pemberian hak guru;
d.
penurunan pangkat;
e.
pemberhentian dengan hormat; atau
f.
pemberhentian tidak dengan hormat.
(3)
Guru yang berstatus
ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang tidak
melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan
kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.
(4)
Guru yang diangkat
oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat, yang tidak menjalankan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(5)
Guru yang melakukan
pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.
(6)
Guru yang dikenai
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) mempunyai hak membela diri.
Pasal 78
(1)
Dosen yang diangkat
oleh Pemerintah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
teguran;
b.
peringatan tertulis;
c.
penundaan pemberian hak dosen;
d.
penurunan pangkat dan jabatan akademik;
e.
pemberhentian dengan hormat; atau
f.
pemberhentian tidak dengan hormat.
(3)
Dosen yang diangkat
oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(4)
Dosen yang
berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 yang tidak
melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan
kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.
(5)
Dosen yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mempunyai hak membela diri.
Pasal 79
(1)
Penyelenggara
pendidikan atau satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 34, Pasal 39,
Pasal 63 ayat (4), Pasal 71, dan Pasal 75 diberi sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2)
Sanksi bagi penyelenggara pendidikan berupa:
a.
teguran;
b.
peringatan tertulis;
c.
pembatasan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan; atau
d.
pembekuan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan.
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 80
(1)
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:
a.
guru yang belum memiliki sertifikat pendidik
memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau
guru yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat
pendidik.
b.
dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh
tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan
ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 57 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau dosen yang
bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.
(2)
Tunjangan
fungsional dan maslahat tambahan bagi guru dan dosen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan
belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 81
Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan guru
dan dosen tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 82
(1)
Pemerintah mulai
melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12
(dua belas) bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.
(2)
Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat
pendidik sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang ini wajib memenuhi
kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama 10 (sepuluh)
tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 83
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk
melaksanakan Undang-Undang ini harus diselesaikan selambat-lambatnya 18
(delapan belas) bulan sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 84
Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2005
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2005
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AD INTERIM,
ttd
YUSRIL IHZA
MAHENDRA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR
157
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN
I.
UMUM
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah untuk melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, pendidikan merupakan faktor
yang sangat menentukan. Selanjutnya, Pasal 31 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa (1) setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
20% (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; dan (5) Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Salah satu amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut
kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memiliki visi terwujudnya
sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia
yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman
yang selalu berubah.
Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa
yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin
ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut
dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Oleh karena
itu, guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat
strategis. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga
profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional
mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan
prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi
setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.
Berdasarkan uraian di atas, pengakuan kedudukan guru dan dosen
sebagai tenaga profesional mempunyai misi untuk melaksanakan tujuan
Undang-Undang ini sebagai berikut:
1.
mengangkat martabat guru dan dosen;
2.
menjamin hak dan kewajiban guru dan dosen;
3.
meningkatkan kompetensi guru dan dosen;
4.
memajukan profesi serta karier guru dan dosen;
5.
meningkatkan mutu pembelajaran;
6.
meningkatkan mutu pendidikan nasional;
7.
mengurangi kesenjangan ketersediaan guru dan dosen antardaerah
dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi;
8.
mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah; dan
9.
meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.
Berdasarkan visi dan misi tersebut, kedudukan guru sebagai
tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta
perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional, sedangkan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional
berfungsi untuk meningkatkan martabat dosen serta mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional.
Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru dan dosen sebagai
tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional
dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.
Untuk meningkatkan penghargaan terhadap tugas guru dan dosen,
kedudukan guru dan dosen pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi perlu dikukuhkan dengan pemberian sertifikat
pendidik. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan guru
dan dosen sebagai tenaga profesional. Dalam melaksanakan tugasnya, guru
dan dosen harus memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sehingga
memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya.
Selain itu, perlu juga diperhatikan upaya-upaya memaksimalkan fungsi
dan peran strategis guru dan dosen yang meliputi penegakan hak dan
kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional, pembinaan dan
pengembangan profesi guru dan dosen, perlindungan hukum, perlindungan
profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Berdasarkan visi, misi, dan pertimbangan-pertimbangan di atas
diperlukan strategi yang meliputi:
1.
penyelenggaraan sertifikasi pendidik berdasarkan kualifikasi
akademik dan kompetensi;
2.
pemenuhan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga
profesional yang sesuai dengan prinsip profesionalitas;
3.
penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pengangkatan,
penempatan, pemindahan, dan pemberhentian guru dan dosen sesuai dengan
kebutuhan, baik jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensi yang
dilakukan secara merata, objektif, dan transparan untuk menjamin
keberlangsungan pendidikan;
4.
penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pembinaan dan
pengembangan profesi guru dan dosen untuk meningkatkan profesionalitas
dan pengabdian para guru dan dosen;
5.
peningkatan pemberian penghargaan dan jaminan perlindungan
terhadap guru dan dosen dalam pelaksanaan tugas profesional;
6.
peningkatan peran organisasi profesi untuk menjaga dan
meningkatkan kehormatan dan martabat guru dan dosen dalam pelaksanaan
tugas sebagai tenaga profesional;
7.
penguatan kesetaraan antara guru dan dosen yang bertugas pada
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah dengan guru dan dosen yang bertugas pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat;
8.
penguatan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan pemerintah
daerah dalam merealisasikan pencapaian anggaran pendidikan untuk
memenuhi hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional;
dan
9.
peningkatan peran serta masyarakat dalam memenuhi hak dan
kewajiban guru dan dosen.
Pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional
merupakan bagian dari pembaharuan sistem pendidikan nasional yang
pelaksanaannya memperhatikan berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pendidikan, kepegawaian, ketenagakerjaan,
keuangan, dan pemerintahan daerah.
Sehubungan dengan hal itu, diperlukan pengaturan tentang
kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dalam suatu
Undang-Undang tentang Guru dan Dosen.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan
guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi
akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan
untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning
agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator,
pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi
peserta didik.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi
kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan guru dapat melaksanakan
tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak
ditujukan kepada penyandang cacat.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan
mengelola pembelajaran peserta didik.
Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan
kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta
menjadi teladan peserta didik.
Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan
materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Yang dimaksud
dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama
guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
huruf a
Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup
minimum adalah pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
guru dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan,
kesehatan, pendidikan, rekreasi, maupun jaminan hari tua.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Cukup jelas.
huruf f
Cukup jelas.
huruf g
Cukup jelas.
huruf h
Cukup jelas.
huruf i
Cukup jelas.
huruf j
Cukup jelas.
huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan gaji pokok adalah satuan penghasilan yang
ditetapkan berdasarkan pangkat, golongan, dan masa kerja.
Yang dimaksud
dengan tunjangan yang melekat pada gaji adalah tambahan penghasilan
sebagai komponen kesejahteraan yang ditentukan berdasarkan jumlah
tanggungan keluarga.
Yang dimaksud dengan tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan
kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas
profesionalitasnya.
Yang dimaksud
dengan tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada guru
sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam
melaksanakan tugas di daerah khusus.
Yang dimaksud
dengan maslahat tambahan adalah tambahan kesejahteraan yang diperoleh
dalam bentuk asuransi, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan
lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tunjangan profesi dapat diperhitungkan sebagai bagian dari
anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan
kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tunjangan fungsional dapat diperhitungkan sebagai bagian dari
anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan
kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 18
Ayat (1)
Tunjangan khusus dapat diperhitungkan sebagai bagian dari
anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan
kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra-putri guru
adalah berupa kesempatan dan keringanan biaya pendidikan bagi
putra-putri guru yang telah memenuhi syarat-syarat akademik untuk
menempuh pendidikan dalam satuan pendidikan tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi
kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan dosen dapat melaksanakan
tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak
ditujukan kepada penyandang cacat.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dosen tetap adalah dosen yang bekerja penuh
waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan
pendidikan tinggi tertentu.
Yang dimaksud dengan
dosen tidak tetap adalah dosen yang bekerja paruh waktu yang berstatus
sebagai tenaga pendidik tidak tetap pada satuan pendidikan tinggi
tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan secara langsung adalah tanpa berjenjang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
huruf a
Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup
minimum adalah pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
dosen dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan,
kesehatan, pendidikan, rekreasi, maupun jaminan hari tua.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Cukup jelas.
huruf f
Cukup jelas.
huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan gaji pokok adalah satuan penghasilan yang
ditetapkan berdasarkan pangkat, golongan, dan masa kerja.
Yang dimaksud
dengan tunjangan yang melekat pada gaji adalah tambahan penghasilan
sebagai komponen kesejahteraan yang ditentukan berdasarkan jumlah
tanggungan keluarga.
Yang dimaksud
dengan tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen
yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas
profesionalitasnya.
Yang dimaksud
dengan tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen
sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam
melaksanakan tugas di daerah khusus.
Yang dimaksud dengan maslahat tambahan adalah
tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk asuransi, pelayanan
kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 52 ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bidang ilmu yang langka adalah ilmu yang
sangat khas, memiliki tingkat kesulitan tinggi, dan/atau mempunyai
nilai-nilai strategis serta tidak banyak diminati.
Yang dimaksud
dengan dana dan fasilitas khusus adalah alokasi anggaran dan kemudahan
yang diperuntukkan bagi dosen yang mendalami ilmu langka tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45
Dibuat dan dikelola oleh
Pusat Data dan Informasi
Pendidikan, Balitbang - Depdiknas