Peristiwa
banjir besar diceritakan Al-Qur'an berhubungan dengan
Nabi Nuh a.s. dan umatnya dalam surah Hud, dimulai ayat
25 sampai ayat 49. Ada beberapa hal yang ingin penulis
kemukakan dalam tulisan singkat ini.
Pertama, banjir besar pernah melanda dunia, yang mana
mufassir, Tthabathaba'i dan Sayyid Quthub cenderung
berpendapat bahwa banjir tersebut menenggelamkan seluruh
persada dunia. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha,
bagaimanapun lebih cenderung mengatakan bahwa banjir
ketika itu tidak menenggelamkan seluruh persada dunia,
tetapi sebagian bumi di mana umat Nabi Nuh a.s. ketika
itu bermukim.
Kedua, banjir yang melanda ketika itu berhubungan
dengan kedurhakaan, kesombongan umat, 'memandang rendah'
Nabi Nuh a.s. sebagai pembawa kebenaran dan mendustakan
ajaran-ajaran kebenaran yang dibawanya. Para pemimpin
yang kafir dari umat Nabi Nuh a.s. ketika itu berkata:
"Maka berkatalah para pemimpin yang kafir dari kaumnya,
Kami tidak melihatmu melainkan seorang manusia seperti
kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang
mengikutimu melainkan orang-orang yang mereka itu hina
dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami
tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun
atas kami, bahkan kami menduga bahwa kamu adalah para
pembohong". (QS.Hud: 27)
Ketiga, sebelum banjir melanda, Allah memerintahkan
Nuh a.s. untuk membuat bahtera, agar dia bisa membawa
('menyelamatkan') keluarga dan kaumnya yang beriman dan
binatang-binatang. Begitu banjir melanda, nabi Nuh a.s.
membawa keluarganya yang beriman, tidak termasuk
isterinya dan anaknya yang mendustakan risalah yang
dibawa ayahnya itu. Demikian juga turut bersama di dalam
bahtera tersebut kaumnya yang beriman, dan
sepasang-sepasang binatang yang diperintahkan Allah
untuk dibawa.
Keempat, para pendurhaka ditenggelamkan dengan mudah,
kemudian air disurutkan juga dengan mudah. "Dan
dikatakan: "wahai bumi, telanlah airmu, dan wahai langit
berhentilah. Dan airpun disurutkan, persoalanpun telah
diselesaikan dan batera itupun berlabuh di atas Judiy,
dan dikatakan "binasalah orang-orang zalim". (QS. Hud:
44) 950 Tahun.
Di dalam surah Al-Ankabut ayat 14-15 dikatakan bahwa
Nabi Nuh a.s. menyeru umatnya ke jalan kebenaran selama
950 tahun.
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada
kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun
kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir
besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim. Maka
Kami selamatkan Nuh dan penumpang-penumpang bahtera itu
dan Kami jadikan peristiwa itu pelajaran bagi semua umat
manusia". (Al-Ankabut: 14-15).
Quraisy Shihab dalam Al-Mishbah mengatakan bahwa 950
tahun itu bukan usia Nabi Nuh sebagaimana yang
diinformasikan oleh Perjanjian Lama: Kejadian IX:28,
tetapi masa Nuh a.s. berdakwah di tengah-tengah kaumnya.
Hamka di dalam tafsir Al-Azhar mengatakan bahwa usaha
selama itu hanya menghasilkan sedikit orang yang
beriman. Yang sedikit itulah, katanya, yang diselamatkan
sedangkan yang lainnya ditenggelamkan. Mereka
ditenggelamkan, kata Hamka, karena mereka zalim, aniaya,
menempuh jalan yang salah.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan: "maka jika
Nabi Nuh dalam masa yang panjang itu tidak berhasil
dalam dakwahnya menarik kaumnya ke jalan Allah kecuali
suatu bilangan yang kecil sekali, hendaklah engkau hai
Muhammad, jangan menyesal bila terdapat di antara kaummu
sendiri orang-orang yang membangkang dan menolak
tuntunanmu dan janganlah berduka cita karena penolakan
mereka itu. Allah memberikan hidayahNya kepada siapa
yang Dia kehendaki dan menyesatkan siapa yang Dia
kehendaki pula".
Pembangkangan terhadap ajaran-ajaran kebenaran masih
terus berlangsung sampai saat ini. Larangan berbuat
kerusakan di muka bumi, misalnya, masih terus
berlangsung, ada perusakan hutan, ada penggalian bumi
secara berlebihan, ada perusakan lingkungan, ada
dekadensi moral, ada pelanggaran hukum-hukum agama dan
lain-lain sebagainya.
Isteri dan Anak Nuh a.s.
Isteri nabi Nuh
a.s. seperti isteri nabi Luth a.s. keduanya berkhianat,
tidak beriman kepada ajaran yang di bawa oleh
rasul-rasul Allah ini. "Allah membuat isteri Nuh dan
isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya
berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di
antara hamba-hamba kami, lalu kedua isteri itu
berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya
itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa)
Allah, dan dikatakan (kepada keduanya) masuklah keneraka
bersama orang-orang yang masuk (neraka)". (QS.
At-Tahrim: 10).
Informasi ini, menurut Quraish Shihab, berbeda dengan
apa yang disampaikan oleh Perjanjian Lama: Kejadian VII:
7 dan VIII: 15 yang menyebutkan bahwa isteri nabi Nuh
diselamatkan dan ikut naik bahtera.
Tentang anak Nuh a.s., ada di antaranya yang tidak
beriman dan bahkan berargumentasi bahwa dia akan bisa
menyelamatkan diri dari banjir yang akan melanda dengan
naik keatas bukit. (QS. Hud: 42-43). Allah kemudian
memvonis anak tersebut tidak lagi termasuk keluarga Nuh
a.s. (QS. Hud: 46).
Ibn Katsir di dalam tafsrinya menjelaskan bahwa telah
terjadi perbedaan pendapat tentang anak Nuh tersebut.
Mujahid dan beberapa ulama berpendapat bahwa anak
tersebut bukanlah anak kandung Nuh tetapi anak isterinya
dari suami yang lain. Dan ada pendapat bahwa anak
tersebut adalah anak haram, tetapi pendapat ini ditolak
oleh banyak ulama dan ahli tafsir dengan alasan bahwa
tidak mungkin Allah membiarkan seorang isteri Nabi
melakukan perzinaan.
Kedurhakaan yang terjadi ketika itu tidak saja di
kalangan masyarakat umum, tetapi juga di kalangan
keluarga Nuh a.s. sendiri. Kedurhakaan terhadap Tuhan,
Kedurhakaan terhadap orang tua, kedurhakaan terhadap
ajaran-jaran tauhid yang dibawa oleh Nuh a.s. padahal
sudah sedemikian lamanya Nuh menyeru mereka untuk
menyembah Tuhan.
Perahu Besar
Ibn Katsir di dalam tafsirnya
mengemukakan berbagai pendapat tentang panjang dan
lebarnya perahu tersebut. Di antaranya, dia mengemukakan
pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa panjang
bahtera tersebut 1200 hasta dan lebarnya 600 hasta.
Quraisy Shihab di dalam Al-Mishbah mengatakan seperti
berikut: "Sementara pakar yang melakukan penelitian
sejarah dan arkeologi menemukan beberapa data yang
mereka anggap memberi sekelumit informasi tentang kisah
Nabi Nuh as. Misalnya pernah ditemukan dipegunungan
Ararat, sebelah timur Turki dalam ketinggian 1.400 kaki
sisa sisa kayu yang diduga sebagai bekas bahtera lama
yang terdampar di sana dan yang usia kayu-kayu itu
diperkirakan 2.500 tahun sebelum Masehi. Para peneliti
itu juga memperkirakan bahwa kayu-kayu itu merupakan
sisa dari perahu yang diperkirakan sebesar sepertiga
kapal Inggris Queen Mary yang panjangnya 1.019 kaki dan
lebarnya 118 kaki. Wallahu a'lam".
Yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa pembuatan
bahtera pada masa itu adalah sesuatu yang menjadi bahan
ejekan kaum Nabi Nuh. Di antaranya karena mereka tidak
melihat ada urgensi bahtera ketika itu. Tetapi Tuhan
telah memerintahkan untuk membuatnya sebagaimana di
dalam surah Hud ayat 37-38. Allah telah menginformasikan
bakal terjadi bencana banjir yang belum diketahui oleh
kaumnya.
Dari peristiwa banjir di zaman Nuh a.s. ini, ada
beberapa hal penting untuk direnungkan. Pembangkangan
terhadap ajaran-ajaran kebenaran, yang dalam konteks
kita sekerang ini, seperti penggundulan hutan, perusakan
bumi, pencemaran lingkungan, dekadensi moral seperti
perselingkuhan dan perzinahan, keserakahan, korupsi,
pelanggaran hukum, mempertuhankan hawa nafsu, cepat atau
lambat pasti akan mendatangkan murka Tuhan, bencana
terjadi di mana-mana.
Berbagai bencana, seorang pemimpin mesti telah
mempersiapkan bahtera, yang dalam konteks kita sekarang,
perangkat-perangkat, sarana dan prasarana yang mungkin
dapat dipergunakan untuk meminimalisir korban atau untuk
menyelamatkan para pejuang dan pengikut
kebenaran.Perangkat, sarana dan parasarana tersebut,
seperti bahtera Nuh a.s. mestilah berkonsepkan
penyelamatan manusia dan lingkungan, karena yang dibawa
di dalam bahtera tersebut bukan saja manusia tetapi juga
hewan.
Bahtera yang paling baik untuk penyelamatan itu
adalah pembinaan umat. Penguatan iman dan keagamaan.
Kepatuhan kepada hukum-hukum yang diturunkan Tuhan, dan
aturan-aturan yang telah ditetapkan selama tidak
bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Membentuk
manusia-manusia yang konsen terhadap pelestarian alam,
menghindarkan mereka dari segala macam bentuk perusakan
alam dan lingkungan. Menggembleng manusia agar hanya
bertuhankan Allah, bukan hawa nafsu. Menghindarkan
mereka dari kejahatan moral dan dosa-dosa. Semua itu
akan menyelamatkan manusia dari bencana kemurkaan Tuhan.
(Penulis : adalah Dosen Fak. Syari'ah IAIN-SU
Medan, Ketua I STAI Al-Ishlahiyah Binjai).
(wns)