Nabiyyul ummah Shalallaahu alaihi
wasalam adalah seorang yang sangat setia menjaga hubungan
tali silaturrahim. Kesetiaan yang sulit diungkapkan dengan
kata-kata. Beliau adalah seorang yang memiliki tanggung jawab
yang sangat sempurna dalam hal itu. Sampai-sampai kaum Quraisy
memuji beliau dan menggelar beliau dengan sebutan
Ash-Shadiq Al-Amiin (yang jujur lagi sangat di percaya)
sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Istri beliau tercinta,
Khadijah radhiyallahu 'anha melukiskan sifat beliau
dengan ucapannya: "Engkau adalah seorang yang suka menyambung
tali silaturrahim dan selalu berkata jujur."
Lihatlah! beliau Shalallaahu alaihi
wasalam menunaikan hak yang paling besar dan melaksanakan
kewajiban yang paling utama, yaitu menziarahi makam ibu beliau
yang wafat pada saat beliau berusia tujuh tahun. Abu Hurairah
menuturkannya kepada kita: Pada suatu ketika, Rasululloh
Shalallaahu alaihi wasalam menziarahi makam ibunya.
Beliau menangis dan ikut menangis juga para sahabat
Radhiallaahu anhu yang ada di dekat beliau. Beliau
Shalallaahu alaihi wasalam lalu berkata, yang
artinya: "Aku telah meminta izin kepada Rabbku untuk
memohonkan ampunan bagi ibuku, namun Dia tidak mengizinkannya.
Lalu aku minta izin untuk menziarahi makamnya, Dia pun
mengizinkannya. Berziarah kuburlah kamu, sebab ziarah kubur
mengingatkan kamu kepada hari kematian." (HR: Muslim)
Perhatikanlah, betapa besar kecintaan Rasululloh
Shalallaahu alaihi wasalam kepada karib kerabatnya.
Demikian pula perhatian beliau untuk mendakwahi, membimbing
serta menyela-matkan mereka dari api Neraka. Beliau
Shallallahu'alaihi wasallam begitu tabah dalam
menghadapi segala macam kesulitan untuk hal
itu.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu
anhu ia berkata, yang artinya: "Ketika turun ayat
"Dan berilah peringatan kepada karib kerabatmu yang terdekat."
(Asy-Syuara' 214). Beliau mengundang pemuka Quraisy. Setelah
mereka berkumpul, mulailah beliau memberikan pengarahan secara
umum dan khusus. Beliau berkata: Wahai Bani Abdu Syams, wahai
Bani Ka'ab bin Lu`ai, tebuslah diri kalian dari api Neraka!
Wahai Bani Murrah bin Ka'ab, tebuslah diri kalian dari api
Neraka! Wahai Bani Abdu Manaf, tebuslah diri kalian dari api
Neraka! Wahai Bani Hasyim, tebuslah diri kalian dari api
Neraka! Wahai Bani Abdul Muththalib, tebusah diri kalian dari
api Neraka! Wahai Fathimah, tebuslah dirimu dari api Neraka!
sedikitpun aku tidak berguna bagimu di hadapan Allah Subhanahu
wa Ta'ala , hanya saja kalian memiliki hubungan kekerabatan
yang tetap aku pelihara baik." (HR: Muslim)
Beliau
Shalallaahu alaihi wasalam tidak pernah bosan dan
jemu mendakwahi Abu Thalib, paman beliau. Berulang kali beliau
menawarkan dakwah beliau kepadanya, hingga beliau menemuinya
saat menjelang kematiannya, sebagaimana yang dikisahkan dalam
riwayat di bawah ini: Ketika Abu Thalib tengah menghadapi
kematian, Rasululloh Shalallaahu alaihi wasalam
datang menemuinya, sementara Abu Jahal dan Abdullah bin
Abi Umaiyyah ada di dekatnya. Rasululloh Shalallaahu
alaihi wasalam berkata kepadanya: "Wahai pamanku,
ucapkanlah "Laa Ilaaha Illallaah!" sebuah kalimat yang akan
aku jadikan hujjah untuk membelamu di hadapan Alloh!" Abu
Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah mempengaruhinya dengan
ucapan: "Wahai Abu Thalib, apakah engkau tega membenci agama
Abdul Muththalib?" mereka berdua terus mempengaruhinya
sehingga kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah:
"Aku wafat di atas agama Abdul Muththalib!"
Rasululloh
Shalallaahu alaihi wasalam pun berkata: "Aku akan
terus memohonkan ampun bagimu selama hal itu belum dilarang
atasku!"
Hingga akhirnya turunlah ayat, yang artinya:
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni Neraka Jahannam."
(QS: At-Taubah: 113)
Lalu turun juga ayat, yang
artinya: "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya." (QS:
Al-Qashash: 56) (Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam
Ahmad, Bukhari dan Muslim dalam kitab mereka).
Rasululloh Shalallaahu alaihi
wasalam telah berulang kali mendakwahi Abu Thalib semasa
hidupnya. Hingga pada saat-saat terakhir menjelang wafatnya.
Kemudian beliau iringi dengan permohonan ampunan baginya
sebagai bentuk kebaikan dan kasih sayang beliau terhadapnya,
hingga turun ayat yang melarang hal itu. Beliau patuhi dan
taati perintah Alloh Subhanahu wa Ta'ala, setelah itu
beliau tidak lagi memanjatkan doa bagi orang-orang musyrik
meskipun dari kalangan kerabat beliau. Itulah bentuk kasih
sayang yang amat agung terhadap umat. Di lain pihak, itu juga
merupakan sikap loyalitas yang tinggi terhadap Dienul Islam
serta bara' (berlepas diri) dari orang-orang kafir dan musyrik
meskipun berasal dari kalangan keluarga dan kaum kerabat.
Alangkah indah lantunan syair berikut ini:
Beliau
adalah seorang nabi yang diutus kepada kami. Setelah kami
tenggelam dalam keputusasaan dan kekosongan para rasul.
Sementara berhala-berhala disembah di muka bumi.
Beliau datang sebagai pelita yang menerangi. Sebagai
pembimbing yang bersinar secerah kilatan pedang India.
Beliau memperingatkan kami dari siksa api Neraka.
Membawa kabar gembira berupa kenikmatan Surga. Beliau
bimbing kami kepada Islam. Segala puji hanyalah milik
Alloh Subhanahu wa Ta'ala semata.
(Sumber
Rujukan: Sehari Di Kediaman Rasululloh Shallallahu'alaihi
Wasallam, Asy-Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin
Abdurrahman Al-Qasim) |