Merampas dan mengambil hak orang lain
dengan paksa merupakan ciri orang-orang zhalim dan jahat.
Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam telah
memancangkan pondasi-pondasi keadilan dan pembelaan bagi hak
setiap orang agar mendapatkan dan mengambil haknya yang
dirampas. Dan Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam
telah menjalankan kaidah tersebut demi kebaikan dan
semata-mata untuk jalan kebaikan dengan bimbingan karunia yang
telah Alloh curahkan berupa perintah dan larangan. Kita tidak
perlu takut adanya kezhaliman, perampasan, pengambilan dan
pelanggaran hak di rumah beliau.
'Aisyah radhiyallahu 'anha
menuturkan: "Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam tidak
pernah sama sekali memukul seorang pun dengan tangannya
kecuali dalam rangka berjihad di jalan Allah. Beliau tidak
pernah memukul pelayan dan kaum wanita. Rasululloh shallallahu
'alaihi wasallam tidak pernah membalas suatu aniaya yang
ditimpakan orang atas dirinya. Selama orang itu tidak
melanggar kehormatan Allah Namun, bila sedikit saja kehormatan
Allah dilanggar orang, maka beliau akan membalasnya
semata-mata karena Allah." (HR: Ahmad)
'Aisyah
radhiyallahu 'anha mengisahkan: "Suatu kali aku
berjalan bersama Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau mengenakan kain najran yang tebal pinggirannya.
Kebetulan beliau berpapasan dengan seorang Arab badui,
tiba-tiba si Arab badui tadi menarik dengan keras kain beliau
itu, sehingga aku dapat melihat bekas tarikan itu pada leher
beliau. ternyata tarikan tadi begitu keras sehingga ujung kain
yang tebal itu membekas di leher beliau. Si Arab badui itu
berkata: "Wahai Muhammad, berikanlah kepadaku sebagian yang
kamu miliki dari harta Alloh!" Beliau lantas menoleh kepadanya
sambil tersenyum lalu mengabulkan permintaannya."
(Muttafaq 'alaih)
Ketika Rasululloh
shallallahu 'alaihi wasallam baru kembali dari
peperangan Hunain, beberapa orang Arab badui mengikuti beliau,
mereka meminta bagian kepada beliau. Mereka terus meminta
sampai-sampai beliau terdesak ke sebuah pohon, sehingga
jatuhlah selendang beliau, ketika itu beliau berada di atas
tunggangan. Beliau lantas berkata, yang artinya:
Kembalikanlah selendang itu kepadaku, Apakah kamu khawatir
aku akan berlaku bakhil? Demi Alloh, seadainya aku memiliki
unta-unta yang merah sebanyak pohon 'Udhah ini, niscaya akan
aku bagikan kepadamu, kemudian kalian pasti tidak akan
mendapatiku sebagai seorang yang bakhil, penakut lagi
pendusta." (HR: Al-Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah
dan telah dinyatakan shahih oleh Syaikh
Al-Albani)
Merupakan bentuk tarbiyah dan ta'lim yang
paling jitu dan indah adalah berlaku lemah lembut dalam segala
perkara, dalam mengenal maslahat dan menolak mafsadat.
Kecemburuan yang dimiliki para sahabat telah mendorong
mereka untuk menyanggah setiap melihat orang yang keliru dan
tergelincir dalam kesalahan. Mereka memang berhak melakukan
hal itu! Namun Rasululloh shallallahu 'alaihi
wasallam yang lembut dan penyantun melarang mereka
melakukan seperti itu, karena orang itu (pelaku kesalahan itu)
jahil atau karena mudharat yang timbul dibalik itu lebih
besar. Tentu saja, perilaku Rasululloh shallallahu 'alaihi
wasallam lebih utama untuk diteladani.
Abu
Hurairah radhiallahu anhu menceritakan: "Suatu
ketika, seorang Arab Badui buang air kecil di dalam masjid
(tepatnya di sudut masjid). Orang-orang lantas berdiri untuk
memukulinya. Namun Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam
memerintahkan: "Biarkanlah dia, siramlah air kencingnya dengan
seember atau segayung air. Sesungguhya kamu ditampilkan ke
tengah-tengah umat manusia untuk memberi kemudahan bukan untuk
membuat kesukaran." (HR: Al-Bukhari)
Kesabaran
Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam dalam
menyebarkan dakwah layak menjadi motivasi bagi kita untuk
meneladaninya. Kita wajib berjalan di atas manhaj (metode)
beliau di dalam berdakwah semata-mata karena Allah tanpa
membela kepentingan pribadi.
Aisyah radhiyallahu 'anha
pernah bertanya kepada Rasululloh shallallahu 'alaihi
wasallam: "Apakah ada hari yang engkau rasakan lebih
berat daripada hari peperangan Uhud?" beliau menjawab, yang
artinya: "Aku telah mengalami berbagai peristiwa dari
kaummu, yang paling berat kurasakan adalah pada hari 'Aqabah,
ketika aku menawarkan dakwah ini kepada Abdu Yalail bin Abdi
Kalaal namun dia tidak merespon keinginanku. Akupun kembali
dengan wajah kecewa. Aku terus berjalan dan baru tersadar
ketika telah sampai di Qornuts Tsa'alib (sebuah gunung di kota
Makkah). Aku tengadahkan wajahku, kulihat segumpal awan tengah
memayungiku. Aku perhatikan dengan saksama, ternyata Malaikat
Jibril alaihissalam ada di sana. Lalu ia menyeruku:
"Sesungguhnya Alloh Subhanahu wata’ala telah mendengar ucapan
kaum-mu dan bantahan mereka terhadapmu. Dan aku telah mengutus
malaikat pengawal gunung kepadamu supaya kamu perintahkan ia
sesuai kehendakmu. Kemudian malaikat pengawal gunung itu
memberi salam kepadaku lalu berkata: "Wahai Muhammad,
sesungguhnya Alloh Subhanahu wata’ala telah mendengar ucapan
kaummu dan bantahan mereka terhadapmu, dan aku adalah malaikat
pengawal gunung, Alloh Subhanahu wata’ala telah mengutusku
kepadamu untuk melaksanakan apa yang kamu perintahkan
kepadaku. Sekarang, apakah yang kamu kehendaki? jika kamu
menghendaki agar aku menimpakan kedua gunung ini atas mereka,
niscaya aku lakukan!" Beliau menjawab: "Tidak, justru aku
berharap semoga Alloh Subhanahu wata’ala mengeluarkan dari
tulang sulbi mereka keturunan yang menyembah Alloh Subhanahu
wata’ala semata dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun
dengan-Nya." (Muttafaq 'alaih)
Pada hari ini,
sering kita lihat sebagian orang yang bersikap terburu-buru
dalam berdakwah. Berharap dapat segera memetik hasil. Hanya
membela kepentingan pribadi yang justru hal itu merusak dakwah
dan mengotori keikhlasan. Oleh sebab itu, berapa
banyak kelompok-kelompok dakwah yang gagal karena
individu-individunya tidak memiliki kesabaran dan ketabahan!
Setelah bersabar dan berjuang selama
bertahun-tahun, barulah terwujud apa yang dicita-citakan
Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam.
Dalam
sebuah syair disebutkan: Bagaimanakah mungkin dapat
diimbangi seorang insan terbaik yang hadir di muka bumi.
Semua orang yang terpandang tidak akan mampu mencapai
ketinggian derajatnya. Semua orang yang mulia tunduk di
hadapannya. Para penguasa Timur dan Barat rendah di
sisi-nya.
Abdullah bin Mas'ud radhiallaahu
anhu mengungkapkan: "Sampai sekarang masih terlintas
dalam ingatanku saat Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam
mengisahkan seorang Nabi yang dipukul kaumnya hingga berdarah.
Nabi tersebut mengusap darah pada wajahnya seraya berdoa (yang
artinya): "Ya Alloh, ampunilah kaumku! karena mereka kaum yang
jahil." (Muttafaq 'alaih)
Pada suatu hari ketika
Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam tengah
melayat satu jenazah, datanglah seorang Yahudi bernama Zaid
bin Su'nah menemui beliau untuk menuntut utangnya. Yahudi itu
menarik ujung gamis dan selendang beliau sambil memandang
dengan wajah yang bengis. Dia berkata: "Ya Muhammad,
lunaskanlah utangmu padaku!" dengan nada yang kasar. Melihat
hal itu Umar Radhiallahu'anhu pun marah, ia menoleh
ke arah Zaid si Yahudi sambil mendelikkan matanya seraya
berkata: "Hai musuh Alloh, apakah engkau berani berkata dan
berbuat tidak senonoh terhadap Rasululloh shallallahu
'alaihi wasallam di hadapanku!" Demi Dzat Yang telah
mengutusnya dengan membawa Al-Haq, seandainya bukan karena
menghindari teguran beliau, niscaya sudah kutebas engkau
dengan pedangku!"
Sementara Rasululloh shallallahu
'alaihi wasallam memperhatikan reaksi Umar
radhiallaahu anhu dengan tenang. Beliau berkata, yang
artinya: "Wahai Umar, saya dan dia lebih membutuhkan
perkara yang lain (nasihat). Yaitu engkau anjurkan kepadaku
untuk menunaikan utangnya dengan baik, dan engkau perintahkan
dia untuk menuntut utangnya dengan cara yang baik pula. Wahai
umar bawalah dia dan tunaikanlah haknya serta tambahlah dengan
dua puluh sha' kurma."
Melihat Umar
radhiallahu anhu menambah dua puluh sha' kurma, Zaid si
Yahudi itu bertanya: "Ya Umar, tambahan apakah ini? Umar
radhiallahu anhu menjawab: "Rasululloh shallallahu 'alaihi
wasallam memerintahkanku untuk menambahkannya sebagai ganti
kemarahanmu!" Si Yahudi itu berkata: "Ya Umar, apakah engkau
mengenalku?" "Tidak, lalu siapakah Anda?" Umar
Radhiallahu'anhu balas bertanya. "Aku adalah Zaid bin Su'nah"
jawabnya. "Apakah Zaid si pendeta itu?" tanya Umar lagi.
"Benar!" sahutnya. Umar lantas berkata: "Apakah yang
mendorongmu berbicara dan bertindak seperti itu terhadap
Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam ? Zaid menjawab: "Ya
Umar, tidak satupun tanda-tanda kenabian kecuali aku pasti
mengenalinya melalui wajah beliau setiap kali aku
memandangnya. Tinggal dua tanda yang belum aku buktikan,
yaitu: apakah kesabarannya dapat memupus tindakan jahil, dan
apakah tindakan jahil yang ditujukan kepadanya justru semakin
menambah kemurahan hati-nya?" Dan sekarang aku telah
membuktikannya. Aku bersaksi kepadamu wahai Umar, bahwa aku
rela Alloh Subhanahu wata’ala sebagai Rabbku, Islam sebagai
agamaku dan Muhammad sebagai nabiku. Dan Aku bersaksi kepadamu
bahwa aku telah menyedekahkan sebagian hartaku untuk umat
Muhammad . Umar berkata: "Ataukah untuk sebagian umat Muhammad
Shallallahu'alaihi wasallam saja? sebab hartamu tidak akan
cukup untuk dibagikan kepada seluruh umat Muhammad ." Zaid
berkata: "Ya, untuk sebagian umat Muhammad . Zaid kemudian
kembali menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan
menyatakan kalimat syahadat "Asyhadu al Laa Ilaaha Illallaahu,
wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuuluhu". Ia beriman
dan membenarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
." (HR: Al-Hakim dalam kitab Mustadrak dan
menshahihkannya).
Cobalah perhatikan dialog yang
panjang tersebut, sebuah pendirian dan kesudahan yang
mengesankan. Semoga kita dapat meneladani junjungan kita nabi
besar Muhammad . Meneladani kesabaran beliau dalam menghadapi
beraneka ragam manusia. Dan dalam mendakwahi mereka dengan
lemah lembut dan santun. Memberikan motivasi bila mereka
berlaku baik, serta menumbuhkan rasa optimisme di dalam diri
mereka.
'Aisyah radhiyallahu 'anha
menceritakan: "Suatu kali aku pergi melaksanakan
umrah bersama Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam dari
kota Madinah. Ketika tiba di kota Makkah, aku berkata: "Wahai
Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam, ayah dan
ibuku sebagai tebusannya, engkau mengqasar shalat namun aku
menyempurnakan-nya, engkau tidak berpuasa justru aku yang
berpuasa?" beliau menjawab: "Bagus, wahai 'Aisyah!" Beliau
sama sekali tidak mencela diriku." (HR:
An-Nasaai)
(Sumber Rujukan: Sehari Di Kediaman
Rasululloh Shallallahu'alaihi
Wasallam, Asy-Syaikh Abdul Malik bin Muhammad bin
Abdurrahman Al-Qasim)
|