Diantara sarana yang dapat menangkis
kesedihan dan keguncangan hati adalah terputusnya pikiran
sepenuhnya untuk memberikan perhatian kepada pekerjaan hari
ini yang sedang dihadapinya dan menghentikan pikiran dari
menoleh jauh ke waktu mendatang dari kesedihan menengok masa
lampau. Karenanya, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berlindung kepada Alloh ‘Azza wa Jalla
dari al-hamm (kegundahan) dan al-huzn (kesedihan).
Al-huzn adalah kesedihan terhadap
perkara-perkara yang telah lampau yang tidak mungkin diputar
ulang ataupun di ralat. Sedangkan al-hamm: adalah kegundahan
yang terjadi disebabkan oleh rasa takut dan khawatir terhadap
sesuatu yang mungkin terjadi di masa mendatang.
Jadi,
hendaknya seorang hamba itu menjadi ‘putera harinya’ yakni;
menjadi manusia terbaik dalam menyongsong harinya yang sedang
dihadapinya dan sekaligus mampu mengkonsentrasikan keseriusan
dan kesungguhannya untuk memperbaiki hari dan detik yang
sedang dihadapinya itu. Karena, pemusatan hati untuk berbuat
demikian akan menuntutnya untuk mengoptimalkan pekerjaan, dan
iapun dapat terhibur dengannya dari kegundahan dan
kesedihan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memanjatkan do’a atau mengajari umatnya untuk mengamalkan
suatu do’a, beliau menganjurkan –seiring memohon dan mengharap
pertolongan dan karunia Alloh ‘Azza wa Jalla - agar
mereka serius dan sungguh-sungguh dalam melakukan apa yang
menjadi sebab terwujudnya harapannya itu dan menghindari apa
yang menjadi sebab terhalangnya. Karena, do’a itu bergandeng
dengan perbuatan. Maka seorang hamba harus bersungguh-sungguh
untuk meraih apa yang bermanfaat baginya dalam kehidupan
religinya ataupun duniawinya dan memohon kepada Allah
keberhasilan maksud dan tujuannya, seiring memohon pertolongan
kepadaNya untuk itu, sebagaimana apa yang disabdakan oleh
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang
artinya: "Berupaya keraslah untuk mencapai apa yang
bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Alloh serta
janganlah kamu lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah
kamu berkata: Andaikan aku berbuat demikian tentu akan terjadi
demikian dan demikian. Akan tetapi katakanlah: Alloh telah
mentaqdirkan (ini). Allah melakukan apa yang dikehendakiNya.
Karena, kata “andaikan” membukakan pintu perbuatan syetan”
(HR: Muslim dalam shahihnya)
Dalam hadits ini,
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memadukan
antara dua hal. Yaitu antara perintah berupaya keras untuk
mencapai hal-hal yang bermanfaat dalam berbagai kondisi,
seiring memohon pertolongan kepada Alloh serta tidak tunduk
mengalah kepada sikap lemah, yang ia adalah sikap malas yang
membahayakan, dan antara sikap pasrah kepada Alloh ‘Azza
wa Jalla dalam hal-hal yang telah lampau dan telah
terjadi seiring meniti dengan mata hati terhadap qadha’ dan
taqdir Alloh.
Rasululloh Shallallahu
‘alaihi wa sallam membagi segala kejadian dua
bagian: Bagian pertama: Adalah
hal yang dimungkinkan seorang hamba berupaya meraihnya atau
meraih yang mungkin darinya, atau hal dimungkinkan ia
menangkisnya atau meringankannya. Disini seorang hamba harus
memunculkan daya upaya seiring memohon pertolongan kepada
Alloh ‘Azza wa Jalla,
sesembahannya. Bagian kedua: Adalah hal
yang tidak dimungkinkan ia melakukan itu semua. Di sini
seorang hamba harus tenang, ridha dan pasrah.
Tidak
diragukan, bahwa berpedoman kepada prinsip ini dengan baik
adalah merupakan sarana menuju kesenangan hati dan hilangnya
kegelisahan maupun kegundahan.
(Sumber Rujukan:
Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa’idah, Asy-Syaikh
Abdur Rahman bin Nashir As-Sa'diy)
|