[Dunia Wanita]
Perbandingan jumlah wanita yang lebih
banyak dari pria membuka peluang bagi para wanita
untuk hidup melajang, baik itu sebuah pilihan atau
keterpaksaan.
Tidak diragukan lagi bahwa
pernikahan adalah sunnah Rasulullah SAW, meskipun
hukum pernikahan itu bisa berkembang menjadi hal
yang wajib, makruh dan haram tergantung dari
konteks apa dan bagaimana pernikahan itu
dihadapkan.
Pernikahan akan menjadi wajib
bila seseorang telah menginginkannya dan ia cukup
mampu secara materi dan mental, sehingga apabila
ditunda-tunda dikhawatirkan ia akan terseret pada
perbuatan zina. Pernikahan menjadi makruh jika
seseorang belum mampu secara mental maupun
finansial sehingga dikhawatirkan pernikahannya
akan menyebabkan penderitaan. Dan pernikahan
diharamkan jika diiaksanakan dengan maksud akan
menyakiti pasangannya.
Sabda Rasulullah
SAW, "Demi Allah, akulah orang terbaik di antara
kalian dalam hal bertaqwa kepada Allah dan
menghindari ketidaksenangan-Nya. Namun demikian,
aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan aku
pun tidur pada malam hari; aku juga menikah. Ini
adalah sunnahku. Maka barang siapa memilih
cara-cara lain di luar sunahku, ia bukan termasuk
golonganku." (HR. Bukhari dan
Muslim).
Hadis ini menjelaskan bahwa
seorang kekasih pilihan Allah saja tetap dapat
menikmati hidup ini seperti halnya makan, tidur
dan kebutuhan lainnya termasuk menikah. Dengan
tidak menikah berarti tidak mengikuti sunnahnya.
Dan dengan tidak mengikuti sunahnya berarti pula
bukan termasuk golongannya.
Begitu tegas
anjuran Rasulullah untuk sebuah pernikahan, karena
banyaknya manfaat dari pernikahan itu sendiri.
Manusia sebagai makhluk Allah dengan segala
kebutuhan dan nafsu yang dimilikinya, merasa perlu
untuk menyalurkan segala kebutuhan hidup melalui
sebuah pernikahan. Kebutuhan biologis, kebutuhan
sosial, kebutuhan akan penghargaan (self esteem)
dan lainnya. Jelas, pernikahan akan menjadikan
hidup manusia lebih sempurna. Dalam agama pun,
orang yang telah menikah dianggap telah
menjalankan separuh dari
agamanya.
Pernikahan Bagi Seorang
Wanita
Pernikahan bagi setiap orang adalah
hal yang sangat dinantikan. Tidak hanya bagi
wanita, pria pun demikian. Namun karena jumlah
wanita lebih banyak dan posisi wanita adalah
pihakyang menunggu, maka pernikahan bagi wanita
menjadi lebih penting. Tidak diragukan lagi saat
ini di masyarakat kita begitu banyak wanita yang
telah cukup umur dan bahkan telah mapan secara
materi namun belum mendapatkan pendamping hidup.
Benar bahwa masyarakat sekarang tidak sekolot dulu
memandang wanita yang telah matang namun belum
menikah, namun beban bagi wanita yang bersangkutan
tetaplah ada.
Ada banyak cara yang
dilakukan oleh para wanita untuk menghibur
ketidakberdayaan semacam ini. Jika mereka adalah
pekerja, mereka akan menenggelamkan diri dalam
kesibukan pekerjaannya dengan apa pun profesinya,
Namun jika wanita tersebut adalah bekerja dalam
sektor rumah tangga, mereka akan cenderung
mengucilkan diri.
Apa faktor yang
melatarbelakangi kondisi ini, selain perbandingan
jumlah wanita yang lebih banyak dari pria?
Ternyata banyak faktor lain yang juga berpengaruh
dalam mendapatkan pendamping. Salah satu di
antaranya, banyak wanita yang masih memiliki
pandangan ideal terhadap pasangannya.
Tidak
dapat dinafikan bahwa setiap orang pasti
menginginkan yang terbaik untuk dirinya, tetapi
sebaiknya juga diperhatikan sifat dan perilaku
wanita itu sendiri terhadap orang diluar dirinya.
Memang sifat dan karakter ini tidak menjadi
jaminan seseorang akan mudah mendapatkan
pendamping atau tidak, tetapi kenyataan di
masyarakat menunjukan bahwa wanita yang
menyenangkan dan penuh toleransi akan lebih mudah
mendapatkan pendamping dibandingkan dengan wanita
yang kurang memiliki pengertian dan cenderung
egois.
Keegoisan yang muncul pada wanita
khususnya wanita yang telah menyebut dirinya
sebagai wanita mandiri, justru akan menjadi jurang
yang curam bagi orang di sekelilingnya. Segala
sesuatu yang dapat dilakukannya sendiri akan
menutup peluang orang lain berbagi dengannya.
Kemandirian bisa juga berdampak pada sikap egois,
walaupun tidak selamanya, tetapi pada dasarnya
wanita lebih memerlukan orang lain untuk menjadi
sempuma. Dialah pendamping hidup dan belahan jiwa
yang akan berbagi dengannya. Tentunya ini patut
untuk direnungkan.
Persoalan berikutnya
adalah keterbukaan. Wanita dengan kepribadian
terbuka lebih mudah untuk mendapatkan teman hidup
dibandingkan mereka yang cenderung menutup diri
dan enggan bersosialisasi dengan orang lain.
Memang wanita dilahirkan dengan karakteristik yang
berbeda namun sejalan dengan perkembangan diri
sifat keterbukaan bisa dilatih dan pada akhirnya
membuat seseorang siap menerima siapa pun yang
akan bersahabat dengannya. Selain faktor yang
telah disebutkan diatas, pada akhirnya melajang
menjadi sebuah pilihan atau bahkan keterpaksaan.
Terpaksa, jika dilihat bahwa umur yang terus
bertambah tanpa terasa akan membuat dirinya untuk
menikah sudah tidak ideal lagi. Selanjutnya rasa
keengganan bagi wanita yang telah melebihi batas
umur ideal menikah berdampak sangat kuat, pada
akhirnya melajang adalah sebuah
pilihan.
Kadang kala, wanita yang
memutuskan untuk hidup melajang dipengaruhi oleh
lingkungan keluarga. Bisa jadi orang tua yang
terlalu idealis dalam menentukan calon suami untuk
sang anak membuat banyak pria enggan untuk
mendekati wanita tersebut. Tuntutan itu bisa
berupa status sosial, pekerjaan, atau bahkan
mahar. Ada beberapa negara yang biasa memberikan
mahar yang besar bagi sang wanita, sehingga untuk
pria yang belum mapan jangan harap bisa memiliki
istri. Sebagai akibatnya banyak wanita yang telah
cukup umur untuk menikah masih melajang dan
tinggal bersama keluarganya.
Padahal Islam
sendiri tidak pernah memberatkan bagi seseorang
untuk menikah. Baik dari segi mahar maupun keadaan
calon istri. Sampai-sampai Rasulullah menganjurkan
untuk memberikan mahar walaupun hanya sebuah
cincin dari besi. Sebagai tanda bahwa mahar wajib
diberikan tetapi tidak
memberatkan.
Mengenai calon pendamping pun
Rasulullah menganjurkan bahwa agamalah yang
menjadi prioritas dalam mencari pasangan hidup,
bukan kecantikan/ketampanan, harta atau keturunan.
Karena khususnya lelaki yang mengerti agama bila
ia senang ia akan membahagiakan istrinya, namun
jika ia marah ia tidak akan
menzaliminya.
Merujuk pada kemudahan yang
diberikan Islam untuk sebuah pernikahan, apalagi
dengan konsep poligami yang akan menyelamatkan
wanita dari keberadaannya yang jauh lebih banyak
dibanding pria, sepatutnya melajang jangan sampai
terjadi.
Namun bila pada akhirnya situasi
dan kondisi menyebabkan seseorang mengambil
keputusan untuk hidup melajang, seyogianya memacu
dirinya untuk lebih banyak berkarya. Seyogianya ia
memandang peluang untuk berkarya lebih terbuka,
bukan sebaliknya.
|