Memangnya Sains Itu Serius?
A Muzi Marpaung
SEORANG anak kelas VI sekolah dasar memasang botol
plastik yang telah dibelah dua di atas mobil-mobilan
Tamiya tanpa bodi. Di dalam botol ia masukkan balon
berisi air, sambil tangannya terus menjepit leher balon
agar air tidak tumpah sebelum waktunya. Kemudian jepitan
ia lepaskan. Air mengucur deras ke belakang, dan
mobil-mobilan meluncur ke depan. Anak itu gembira.
Betul-betul gembira. Beberapa temannya yang menyaksikan
bertepuk tangan.
EKSPERIMENNYA itu kemudian diikutkan pada suatu
lomba. Sang juri bertanya, "Percobaanmu itu apa
gunanya?"
Sedikit tergagap si anak menjawab, "Ini bukti air
sebagai sumber energi."
Juri mengangguk-angguk. Tak ada pertanyaan lagi
sesudah itu. Habis. Tak ada tawa. Beda sungguh dengan
ketika pertama kali hasil eksperimen itu diperagakan di
hadapan teman-temannya.
Entah karena jawaban tersebut, entah karena hasil
eksperimen itu kalah menarik dibandingkan dengan
eksperimen karya peserta lainnya, walhasil anak itu
tidak menang.
Akan tetapi bukan itu yang penting. Saya bayangkan
kalau saya juri, tak akan saya tanya manfaatnya. Saya
akan bertanya bagaimana ceritanya ia mendapat ide
seperti itu? Bagaimana perasaannya menemukan mainan
sederhana itu? Bukan kebetulan, saya tahu kisah
bagaimana eksperimen itu dimulai. Anak itu terinspirasi
oleh eksperimen temannya yang gagal meluncurkan mobil
dengan udara. Digabung dengan hasil main-mainnya dengan
balon berisi air, jadilah mobil bertenaga air. Boleh
jadi yang seperti itu pernah dilakukan di belahan bumi
yang lain. Bukan sesuatu yang baru. Akan tetapi, bagi si
anak, tetap saja baru.
Menurut hemat saya, jauh lebih berharga apabila juri
mengeksplorasi kegembiraan anak-anak saat menceritakan
kembali perjalanan eksperimennya ketimbang menghadangnya
dengan pertanyaan "apa manfaatnya?" Biarlah binar-binar
memancar dari mata mereka karena itu akan
bermetamorfosis menjadi antusiasme. Antusiasme itu akan
menjadi energi untuk kembali mengerjakan eksperimen
sains yang asyik. Pertanyaan "apa manfaatnya" hanya akan
menjadi pagar khayalan yang menghadang kreativitas
mereka di sana-sini.
Saya jadi teringat kisah Richard P Feynman
(1918-1988) dari Amerika Serikat yang merupakan salah
seorang fisikawan paling berpengaruh di abad ke-20. Ia
peraih Nobel Fisika tahun 1965. Suatu ketika Feynman
merasa mulai sebal dengan fisika. Ia tahu sebabnya.
Tidak lain karena ia mulai serius. Akhirnya ia putuskan
untuk kembali seperti dulu: bermain dengan fisika. Ia
menulis di bukunya, "aku melakukan apa saja yang
kusukai; apa yang kukerjakan tak mesti penting untuk
perkembangan fisika nuklir, tapi asal menarik dan
menyenangkan untuk mainanku".
Suatu ketika Feynman bermain lempar piring di
kafetaria kampusnya. Waktu piring itu melayang di udara,
ia melihat bandul merah di atas piring itu
berputar-putar, lebih cepat daripada perputaran piring.
Dengan penuh semangat ia mulai menghitung gerakan rotasi
piring itu. Hasilnya ia ceritakan kepada koleganya,
fisikawan terkenal Hans Bethe (peraih Nobel Fisika tahun
1967).
Bethe bilang, "Feynman, itu memang menarik, tetapi
apa pentingnya? Mengapa kau kerjakan?"
Memang tidak ada pentingnya. Feynman mengerjakannya
cuma karena senang. Komentar Bethe tidak memengaruhinya
karena ia sudah menetapkan hati untuk menikmati fisika.
Ujungnya, main-mainnya itu mengantarkan ia kepada
perhitungan-perhitungan gerakan elektron yang rumit,
yang membuatnya memperoleh Nobel Fisika. Ya, itulah.
Semestinya sains didekati dengan semangat bermain.
Rupanya tidak mudah melepaskan sains dari kata
"serius". Di dalam lomba percobaan sains yang lain,
seorang anak SD memeragakan kincir air buatannya. Kincir
air itu bagus dan sederhana. Ia kemudian bercerita
mengenai manfaat dari kincirnya itu, yang dikatakannya
dapat memperbaiki kesejahteraan petani. Di sinilah
soalnya. Paparan itu tampak membanggakan, tetapi saya
malah jatuh iba. Anak sekecil itu sudah memikirkan soal
yang serupa itu. Mungkin ini dramatisasi, tetapi sempat
terpikir: berat benar jadi anak Indonesia! Ingin saya
bilang, "Ayo kita keluar bermain-main dengan kincir
airmu itu. Biar orang dewasa saja yang memikirkan
kesejahteraan petani."
Saya tidak tahu adakah soal kesejahteraan petani itu
idenya sendiri atau "pesanan" orangtua atau gurunya. Apa
pun, menurut pendapat saya, hal ini menjerembabkan sains
menjadi serius. Eksperimen sains anak-anak kembali
"menghamba" untuk menjadi jawaban atas pertanyaan "apa
manfaatnya".
Penyakit serius ini sempat menjangkit pula di klub
sains yang saya asuh. Beberapa anak minta saran
bagaimana cara menjawab pertanyaan, "apa manfaat
percobaanmu?"
Saya balik tanya, "Menurutmu apa?"
"Enggak tahu."
"Ya sudah. Jawab saja belum tahu. Atau bilang saja,
percobaan ini membuat saya lebih memahami sains. Memang
kenyataannya begitu kan?"
"Kalau ditanya manfaat sehari-hari?"
"Kalau tidak tahu, bilang saja tidak tahu. Memangnya
harus selalu ada manfaat sehari-harinya?"
"Ya, kalau jawabannya begitu, bisa kalah dong!"
"Tidak mengapa. Lebih penting bagimu menikmati dan
memahami sains daripada memenangi lomba. Jauh lebih
penting bagimu untuk bergembira dengan sains daripada
mencemaskan akan juara atau tidak."
Anak-anak, bahkan juga kita orang dewasa, patut
diberitahukan bahwa kemenangan yang sesungguhnya ialah
apabila kita semakin memahami alam. Jadi, entah di rumah
entah di sekolah atau di mana saja, biarlah anak-anak
bergembira dengan sains. Biarlah mereka menemukan dunia
yang asyik melalui kegiatan-kegiatan yang tampak tak
berguna semacam mengamati semut, mencampur soda kue dan
cuka di dapur rumah Anda, atau meniup gelembung sabun
dari sisa sabun mandinya. Dampingi saja mereka bermain
dan bergembiralah bersama. Atau jangan-jangan Anda
sendiri masih memandang sains kelewat serius?
A Muzi Marpaung Pengasuh Klub Sains
Ilma