| Otokritik
Ada
satu ungkapan yang disepakati oleh seluruh umat Islam sebagai
mengandung kebenaran: ''Al-Islam shalih li kulli zaman wa makan''
(Islam itu sesuai/baik bagi setiap masa dan tempat). Sebagai sesuatu
yang ideal, saya sendiri setuju dengan ungkapan ini, sebab jika tidak
demikian Islam akan kehilangan relevansinya untuk mengawal perubahan
zaman. Pertanyaan kuncinya bila dikaitkan dengan situasi Indonesia
adalah: Apakah Islam yang ada di kantong Muhammadiyah dan NU sudah
mampu secara moral mengawal perubahan zaman ke arah kebaikan di negeri
ini?
Bahwa Muhammadiyah dan NU sering diperhitungkan orang untuk kepentingan
politik sesaat, tentu semua kita mengakuinya mengingat pengaruh kedua
sayap umat itu sudah meresap jauh sampai ke akar rumput. Tetapi, apakah
kerja keduanya sudah cukup efektif dalam upaya memperbaiki moral
bangsa, data empiris menunjukkan bahwa jawabannya masih negatif.
Mengapa? Saya melihat ada tiga alasan utama mengapa antara idealisme
dan realitas masih ada sekat-sekat berupa dinding tebal yang
membatasinya.
Pertama, saya mulai ragu apakah Islam yang selama ini ada dalam otak
orang Muhammadiyah dan NU sudah cukup memadai untuk membawa bangsa dan
negara ini ke arah keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi semua,
tanpa diskriminasi. Jika keraguan saya ini mengandung kebenaran, maka
pilihan yang terbuka adalah keberanian untuk meninjau kembali seluruh
paham keagamaan kita dengan Alquran sebagai al-furqan (kriterium
pembeda). Peninjauan ini akan meliputi ranah teologi, filsafat, moral,
politik, sosial, dan ekonomi.
Kedua, apakah doktrin mazhab, nonmazhab, salafiyah, dan yang sejenis
itu tidak perlu kita masukkan saja ke dalam museum sejarah, sebuah
gerakan dekonstruksi sekaligus rekonstruksi perlu dilakukan terhadap
semua paham keagamaan kita yang ternyata sudah tidak shalih lagi untuk
memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang semakin ruwet dari hari ke
hari. Otokritik ini sangat diperlukan, sebab jika tidak abad-abad yang
akan datang boleh jadi masih akan dikuasai oleh kekuatan
sekularisme-ateistik, di mana gagasan besar tentang Tuhan akan tetap
saja tertindas oleh gelombang modernitas yang antikeadilan. Jika umat
Islam tetap saja berkutat dalam paham keagamaannya seperti selama ini,
apakah kita yakin bahwa masa depan akan berpihak kepada Islam? Gagasan
semacam ini telah mulai saya komunikasikan dengan beberapa pemikir muda
Muhammadiyah dan NU untuk dipertimbangkan. Ketiga, Muhammadiyah dan NU
tidak lain dari hasil sejarah yang kelahirannya dipengaruhi oleh
lingkungan zaman tertentu yang kemudian menampakkan diri dalam
sikap-sikap teologis-filosofis dan fiqhiyah yang dianut para
pengikutnya. Semua hasil pemikiran, atau katakan kerja ijtihad, adalah
time-bound (terikat oleh waktu). Dalam perspektif ini, tidak satu pun
hasil pemikiran manusia yang bersifat final, termasuk pemikiran
keagamaannya. Bagi seorang beriman, yang final adalah kebenaran wahyu,
tetapi tafsiran terhadap wahyu itu selamanya nisbi. Di sinilah
berlakunya ketegangan antara unsur kemutlakan dan unsur kenisbian yang
memaksa kita untuk senantiasa membuka ruang untuk berdialog dalam upaya
mencari ajaran yang paling mendekati kebenaran.
Muhammadiyah dan NU harus bersikap rendah hati untuk tidak memutlakkan
paham keagamaan yang telah mereka pegang selama ini. Perkara khilafiyah
yang kadang-kadang masih marak di akar rumput, perlu disikapi dengan
kearifan tingkat tinggi. Energi umat jangan sampai terkuras oleh
masalah-masalah kecil itu, sehingga mata kita buta untuk melihat
persoalan-persoalan besar yang menjadi misi utama Islam: Rahmat bagi
alam semesta.
Jika saya membaca peta Muhammadiyah dan NU, semata-mata karena itu yang
terdekat dengan kita, dan keduanya dikenal sebagai dua sayap yang
menampilkan ummatan wasathan (komunitas tengah) yang tidak mau terjebak
oleh segala bentuk ekstremitas. Bila dikaitkan dengan wajah dunia Islam
secara keseluruhan yang masih kusut-masai, kepeloporan Muhammadiyah-NU
sebagai kekuatan yang antiekstremitas, maka tidak tertutup kemungkinan
bahwa umat Islam di bagian-bagian lain dunia akan mendapat ilham dari
apa yang telah dan akan ditunjukkan oleh keduanya.
Saya berharap tenaga-tenaga pemikir yang serius dari kedua sayap ini
agar membaca sebanyak-banyaknya dengan daya kritikal yang prima
karya-karya pemikiran Islam kontemporer untuk dijadikan bahan
pertimbangan untuk kepentingan kita di Indonesia. Tanpa kesediaan untuk
berubah ke arah sikap yang lebih cerdas dan terbuka, saya khawatir
Islam di Indonesia hanyalah sebuah gumpalan asap (ungkapan Iqbal) yang
gampang terseret oleh berbagai kepentingan duniawi yang bermutu rendah.
|