Webmail | Kontak Indonesia | Inggris
 
2007
 
2006
 
buya

 

Oleh:
Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif

Otokritik

Ada satu ungkapan yang disepakati oleh seluruh umat Islam sebagai mengandung kebenaran: ''Al-Islam shalih li kulli zaman wa makan'' (Islam itu sesuai/baik bagi setiap masa dan tempat). Sebagai sesuatu yang ideal, saya sendiri setuju dengan ungkapan ini, sebab jika tidak demikian Islam akan kehilangan relevansinya untuk mengawal perubahan zaman. Pertanyaan kuncinya bila dikaitkan dengan situasi Indonesia adalah: Apakah Islam yang ada di kantong Muhammadiyah dan NU sudah mampu secara moral mengawal perubahan zaman ke arah kebaikan di negeri ini?

Bahwa Muhammadiyah dan NU sering diperhitungkan orang untuk kepentingan politik sesaat, tentu semua kita mengakuinya mengingat pengaruh kedua sayap umat itu sudah meresap jauh sampai ke akar rumput. Tetapi, apakah kerja keduanya sudah cukup efektif dalam upaya memperbaiki moral bangsa, data empiris menunjukkan bahwa jawabannya masih negatif. Mengapa? Saya melihat ada tiga alasan utama mengapa antara idealisme dan realitas masih ada sekat-sekat berupa dinding tebal yang membatasinya.

Pertama, saya mulai ragu apakah Islam yang selama ini ada dalam otak orang Muhammadiyah dan NU sudah cukup memadai untuk membawa bangsa dan negara ini ke arah keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi semua, tanpa diskriminasi. Jika keraguan saya ini mengandung kebenaran, maka pilihan yang terbuka adalah keberanian untuk meninjau kembali seluruh paham keagamaan kita dengan Alquran sebagai al-furqan (kriterium pembeda). Peninjauan ini akan meliputi ranah teologi, filsafat, moral, politik, sosial, dan ekonomi.

Kedua, apakah doktrin mazhab, nonmazhab, salafiyah, dan yang sejenis itu tidak perlu kita masukkan saja ke dalam museum sejarah, sebuah gerakan dekonstruksi sekaligus rekonstruksi perlu dilakukan terhadap semua paham keagamaan kita yang ternyata sudah tidak shalih lagi untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan yang semakin ruwet dari hari ke hari. Otokritik ini sangat diperlukan, sebab jika tidak abad-abad yang akan datang boleh jadi masih akan dikuasai oleh kekuatan sekularisme-ateistik, di mana gagasan besar tentang Tuhan akan tetap saja tertindas oleh gelombang modernitas yang antikeadilan. Jika umat Islam tetap saja berkutat dalam paham keagamaannya seperti selama ini, apakah kita yakin bahwa masa depan akan berpihak kepada Islam? Gagasan semacam ini telah mulai saya komunikasikan dengan beberapa pemikir muda Muhammadiyah dan NU untuk dipertimbangkan. Ketiga, Muhammadiyah dan NU tidak lain dari hasil sejarah yang kelahirannya dipengaruhi oleh lingkungan zaman tertentu yang kemudian menampakkan diri dalam sikap-sikap teologis-filosofis dan fiqhiyah yang dianut para pengikutnya. Semua hasil pemikiran, atau katakan kerja ijtihad, adalah time-bound (terikat oleh waktu). Dalam perspektif ini, tidak satu pun hasil pemikiran manusia yang bersifat final, termasuk pemikiran keagamaannya. Bagi seorang beriman, yang final adalah kebenaran wahyu, tetapi tafsiran terhadap wahyu itu selamanya nisbi. Di sinilah berlakunya ketegangan antara unsur kemutlakan dan unsur kenisbian yang memaksa kita untuk senantiasa membuka ruang untuk berdialog dalam upaya mencari ajaran yang paling mendekati kebenaran.

Muhammadiyah dan NU harus bersikap rendah hati untuk tidak memutlakkan paham keagamaan yang telah mereka pegang selama ini. Perkara khilafiyah yang kadang-kadang masih marak di akar rumput, perlu disikapi dengan kearifan tingkat tinggi. Energi umat jangan sampai terkuras oleh masalah-masalah kecil itu, sehingga mata kita buta untuk melihat persoalan-persoalan besar yang menjadi misi utama Islam: Rahmat bagi alam semesta.

Jika saya membaca peta Muhammadiyah dan NU, semata-mata karena itu yang terdekat dengan kita, dan keduanya dikenal sebagai dua sayap yang menampilkan ummatan wasathan (komunitas tengah) yang tidak mau terjebak oleh segala bentuk ekstremitas. Bila dikaitkan dengan wajah dunia Islam secara keseluruhan yang masih kusut-masai, kepeloporan Muhammadiyah-NU sebagai kekuatan yang antiekstremitas, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa umat Islam di bagian-bagian lain dunia akan mendapat ilham dari apa yang telah dan akan ditunjukkan oleh keduanya.

Saya berharap tenaga-tenaga pemikir yang serius dari kedua sayap ini agar membaca sebanyak-banyaknya dengan daya kritikal yang prima karya-karya pemikiran Islam kontemporer untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk kepentingan kita di Indonesia. Tanpa kesediaan untuk berubah ke arah sikap yang lebih cerdas dan terbuka, saya khawatir Islam di Indonesia hanyalah sebuah gumpalan asap (ungkapan Iqbal) yang gampang terseret oleh berbagai kepentingan duniawi yang bermutu rendah.

Copyright@maarif-institute
Mastered by: Ihsan Imaduddin