[Halaman Anak Islam]
Andainya di kampung Badulhup diadakan lomba
malas, hampir dapat dipastikan Badulhup akan
keluar sebagai juara pertama. Sebab Badulhup
memang sangat pemalas. Karena sangat pemalas, ia
tahan basah kuyup bila hujan deras turun. Sebab
gubuk buruknya bukan hanya atapnya bocor, tapi
gubuk itu juga hampir roboh. Namun tak pernah ia
mau memperbaikinya.
Jangankan memperbaiki
atap yang bocor, bekerja mencari makan saja
Badulhup malas sekali. Kalau perutnya sudah lapar,
ia pergi ke kedai makan lalu duduk menunggu di
situ, kalau-kalau ada orang yang baik hati yang
sudi membayarkan makan-minumnya. Kalau ada yang
sudi membayarkannya ia gembira. Dan kalau perutnya
sudah kenyang, ia duduk bersantai.
Selain
pemalas, ada pula kebiasaan buruk Badulhup yang
lain, yaitu merokok. Padahal merokok berarti
membakar uang, sedang ia tak pernah mau mencari
uang. Agar dapat juga merokok, yang dilakukannya
setiap hari ialah menunggu orang-orang yang
merokok, lalu ia meminta sebatang. Kalau datang
orang lain lagi, dimintanya pula sebatang lagi.
Begitu seterusnya. Jadi, setiap ia merokok, yang
diisapnya itu milik orang lain yang dimintanya.
Tetapi ia tak pernah merasa malu meminta-minta
itu.
Kalau kerbau sudah pulang ke kandang
dan ayam itik pulang ke sarang, barulah Badulhup
pulang ke gubuk buruknya itu untuk tidur. Kalau ia
sudah tertidur, seringkali seperti pingsan, tak
ingat apa-apa lagi dan sangat sulit dibangunkan.
Angin ribut yang bertiup pun tidak di ketahuinya
lagi. Bahkan kalau gubuk buruknya itu digoncang
gempa atau diterpa gelombang tsunami, Badulhup
hanya menarik selimutnya.
Selain pemalas,
Badulhup sangat suka berangan-angan. Sering
menjelang tidur malam, kalau angin sedang kencang
menerpa gubuk buruknya yang hampir roboh itu,
Badulhup berangan-angan, "Kalau gubuk burukku ini
roboh, tetangga sekitar tentu akan membantu
membangunkan untukku rumah baru. Jadi tidak
terlalu perlu bersusah-payah memikirkan tempat
bernaung."
Ketika masyarakat sudah bangun
dan bekerja, Badulhup masih pulas dalam mimpinya,
Badulhup baru bangun dari tidur panjangnya setelah
mentari siang meninggi. Setelah bangun bukan
menggosokgigi atau merapikan tempat tidur, tetapi
langsung pergi ke kedai makan. Bukan memesan
membeli nasi atau minuman, tetapi menunggu
kalau-kalau ada orang yang sudi membayarkan makan
minunnya, Kalau pada hari itu tak ada yang sudi
membayarkan makan minumnya, barulah Badulhup
mencari kerja. Tetapi kerja yang akan dilakukannya
dipilih-pilihnya. Badulhup tak pernah mau
membanting tulang di sawah atau pergi menangkap
ikan. Alasannya, ke sawah, ia tak mau
berpanas-panas, sedang menangkap ikan, ia takut
mabuk laut, Tetapi ada pekerjaan yang disukai
Badulhup, yaitu memanjat pokok kelapa, walau pun
dengan upah seadanya.
Pada suatu hari,
tidak ada orang yang membayarkan makan minumnya.
Maka terpaksa Badulhup mencari-cari siapa yang
ingin mengupahnya memanjat pokok kelapa. Tetapi
pada hari itu tak ada orang yang memerlukan
jasanya. Maka dalam keadaan kelaparan, terpaksalah
dia memohon masyarakat kampung agar memberinya
pekerjaan memanjat pohon kelapa. Namun tak seorang
pun membutuhkannya, sementara perutnya semakin
lapar juga.
Dalam keadaan hampir berputus
asa, akhirnya ia melihat seorang nenek sedang
memandang ke atas melihat-lihat buah kelapa
miliknya. Badulhup merasa gembira. Langsung ia
menawarkan jasa. Sang nenek ternyata membutuhkan
jasanya. Badulhup semakin gembira.
"Berapa
nenek sanggup membayar saya?" tanya
Badulhup.
"Nenek tak punya
uang".
"Kalau nenek tak punya uang untuk
membayar saya, saya tak bersedia menurunkan buah
kelapa nenek"
"Kalau kau tak mau, apa boleh
buat"
Ucapan nenek itu tak menggembirakan
hati Badulhup. Padahal sebelumnya telah terbayang
di dalam pikrannya akan mendapatkan uang sebagai
upah. Semula Badulhup ingin meninggalkan nenek
itu. Tetapi kemudian ia ragu. Kalau peluang itu
tak dimanfaatkannya, belum tentu ada lagi orang
lain yang akan menyuruhnya menurunkan buah kelapa.
Akhirnya Badulhup berkata:
"Kalau nenek tak
punya uang, berilah aku apa
saja..."
"Bagaimana kalau nenek beri
beberapa butir telur ayam?"
"Untuk apa bagi
saya telur ayam?"
"Kau dapat merebus atau
menggorengnya"
"Saya malas merebus atau
menggorengnya" "Kalau begitu, kau dapat
mengeramkannya. Kalau menetas, ayammu akan banyak
sekali. Dan kalau dijual, kau akan dapat
uang..."
Mendengar kata-kata uang, Badulhup
langsung tertarik, Sebab tak ada yang lebih
menarik baginya selain uang. Mulailah Badulhup
memanjat pohon kelapa sambil berangan-angan. Ia
membayangkan telur-telur ayam yang akan menjadi
upahnya memanjat pohon kelapa itu menetas,
sehingga ayamnya banyak. Setelah dijualnya,
dibelikan kambing lalu berkembang biak pula, lalu
dibelinya pula sapi. Sapi pun berkembang biak
pula, lalu dijualnya, sehingga uangnya pun banyak.
Lalu dibelinya kuda yang bagus dan cekatan, Maka
setiap hari ia menunggang kuda keliling
kampung.
Dalam angan-angannya, sapi-sapinya
semakin berkembang biak, lalu dijualnya dan
dijualnya lagi, sehingga uangnya semakin lama
semakin banyak. Setelah kaya raya, gadis-gadis
cantik pun mendekatinya ingin disunting. Lalu
disuntingnya yang paling cantik dan paling
bergengsi.
Setelah menikah, anak-anaknya
pun lahir. Anak-anaknya itu tak boleh bodoh dan
pemalas serta suka berangan-angan seperti dirinya.
Kalau anak-anaknya pemalas, niscaya akan
dipukulnya.
Karena angan-angannya itu
sangat dijiwainya, maka diambilnya pelepah kelapa,
lalu dipukulnya batang kelapa yang sedang
dipanjatnya. Dibayangkannya ia seakan memukul
anaknya yang nakal itu.
Akibatnya pegangan
tangannya pada pohon kelapa itu terlepas, sehingga
ia terjatuh. Begitu tubuhnya terhempas di bumi, ia
pingsan. Darah mengalir dari telinganya. Sang
nenek menjerit ketakutan, lalu memeriksa
nadinya.
Badulhup ternyata tak bernapas
lagi. Tubuhnya terdiam untuk selama-lamanya,
bersama angan-angannya, ayam, kambing, sapi, istri
yang cantik dan anak-anaknya, semuanya lenyap.
|