Melacak Jejak
Oleh: Benny Rhamdani
(Bobo No. 02/XXX)
Nigar kaget melihat kaver
majalah Boo terbarunya robek. Terakhir kali ia melihat Igun yang
membacanya. Segera ia menemui adiknya itu. “Igun, kenapa kamu robek
majalah baru ini?” Nigar setengah berteriak. “Tidak sengaja. Tapi isinya
masih bisa dibaca kan, Kak!” kilah Igun takut. “Pokoknya kamu harus ganti.
Kalau tidak, mobil-mobilan ambulan kamu itu akan kubuang ke sungai,” ancam
Nigar sewot. “Cepat, sekarang juga!” Nigar ke luar kamar Igun dan
menunggu di ruang tengah. Dilihatnya kemudian Igun ke luar kamar sambil
membawa mobil-mobilan kesayangannya. Nigar tidak mau melihat ke arah Igun,
ketika adiknya menelepon seorang temannya. Bahkan Nigar pura-pura tidak
mendengar ketika adiknya pamit pergi. Satu jam Nigar menunggu, Igun
belum juga pulang. Dua jam berlalu. Bahkan sampai magrib tiba Igun tidak
juga kembali. Ibu yang biasanya melihat Igun di depan teve langsung cemas.
“Coba cari
adikmu, Gar!” ujar Ibu kuatir. Nigar mematuhi permintaan Ibu.
Diam-diam Nigar ikut cemas. Dicarinya Igun di setiap rumah teman yang
diketahuinya. Tapi setelah berkeliling mengitari komplek, tak satupun
teman Igun yang mengaku bermain dengan Igun. Nigar semakin cemas saja.
Namun ia sedikit lega saat di perempatan jalan berpapasan dengan Oben,
temannya yang terkenal sebagai detektif kampung. Segera saja ia
menceritakan masalahnya pada Oben. Oben tertegun beberapa saat.
“Wah, kalau begitu kita harus melacak jejak adikmu dari rumahmu. Yuk, kita
ke rumahmu dulu!” ajak Oben kemudian. Nigar menuruti permintaan Oben.
Hanya Ibu yang kebingungan karena Nigar bukan membawa pulang Igun, malah
mengajak Oben. “Sabar, Bu. Nanti Nigar jelaskan,” ujar Nigar hati-hati. Oben meminta Nigar
mengulangi lagi apa yang dilihatnya sebelum adiknya keluar rumah. “Pokoknya dia membawa
mainan ambulannya, menelpon temannya, dan pergi,” begitu kata Nigar.
“Hmmm, jadi
sempat memakai telepon dulu… Kalau begitu aku harus tahu… Apa di rumah ini
ada yang memakai telepon setelah Igun?” tanya Oben. Nigar menggeleng. Ibu juga
tidak merasa memakainya. Ayah belum pulang dari kantor jadi tidak mungkin
memakai telepon itu. “Syukurlah kalau memang demikian. Itu jadi mempermudah. Bu, saya
pinjam teleponnya sebentar,” Oben minta ijin. Ia lalu memijat tombol
bertuliskan huruf ‘R’ di telepon. Sesaat kemudian terdengar sahutan dari
seberang. “Selamat malam! Maaf, apakah ini rumah Aca?” tanya Oben langsung.
“Bukan. Salah
sambung,” sahut suara di seberang. “Tunggu dulu, Om, jangan
ditutup. Saya saudara Igun. Kalau boleh tahu, apakah Igun sedang bermain
di sana?” “Igun? Oooo… teman sekelas Farhan itu…ya? Ada. Memangnya kenapa?”
“Ibunya
mencari-cari sejak sore. Kalau begitu, tolong jangan beri tahu Igun kami
menelpon. Kami akan ke sana menjemputnya. Di mana alamat rumah Farhan,
Om?” “Jalan
Percetakan duabelas.” “Terima kasih, Om. Selamat malam.” Oben meletakkan gagang
telepon. “Nah, sekarang kita tinggal menjemputnya. Mudah, kan?” Nigar menggeleng.
“Belum tentu Igun mau pulang denganku,” kilahnya. “Ya, itu sudah tugasmu sebagai
kakaknya.” “Ayolah, temani aku menjemput Igun.” “Bukan apa-apa, Gar. Aku belum
makan malam nih. Aku lapar.” “Itu soal gampang. Nanti
kutraktir makan nasi goreng Mang Aep kalau berhasil membujuk Igun pulang.”
Nigar tahu, Oben paling suka nasi goreng. “Oke deh kalau begitu!” sahut
Oben. Mereka
segera bersepeda ke Jalan Percetakan dua belas. “Ngomong-ngomong, bagaimana
tadi kamu tahu kalau Igun ada di rumah Farhan?” tanya Nigar ingin tahu.
“Mudah saja.
Kamu yang bilang, Igun menelpon seseorang sebelum pergi. Jadi kupikir ia
pasti pergi ke temannya itu.” Nigar manggut-manggut. “Lantas
darimana kamu tahu nomor teleponnya?” “Juga mudah. Selama pesawat
teleponmu itu belum dipakai siapapun, nomor telepon yang terakhir
dihubungi akan otomatis terekam. Kita dapat menghubungi nomor itu dengan
menekan tombol redial, artinya menghubungi ulang,” papar Oben. Akhirnya mereka tiba
di rumah Farhan. Dan Igun benar ada disitu. Tapi seperti yang diduga
Nigar, adiknya ngotot tidak mau pulang. “Kak Nigar jahat sih. Mobil
ambulan Igun mau dibuang ke sungai. Igun kan tidak sengaja merobek sampul
majalah Bobo-nya,” Igun mengadu kepada Oben. “Maksud Kakak biar kamu
bertanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan,” sanggah Nigar. “Pokoknya Igun tidak
mau pulang.” “Kakak janji tidak akan meminta Igun menggantikan majalah itu.
Juga tidak akan membuang ambulan Igun,” sahut Nigar, kuatir Igun tidak mau
pulang. Kalau Ayah sampai tahu, bisa-bisa ia tidak boleh main selama
sebulan penuh. Igun tersenyum. “Saksinya Kak Oben tuh,” tunjuk Igun. Tak lama
kemudian mereka pamit pulang kepada orang tua Farhan. Nigar mengkayuh sepedanya
sambil membonceng Igun. Sementara Oben dengan sepedanya berbaris di
belakangnya sambil berbicara dengan Igun. “Igun, kamu sering-sering kabur
dari rumah ya kalau dimarahi Nigar,” teriak Oben. “Memangnya kenapa, Kak?” Igun
heran. “Biar
aku bisa sering gratis makan nasi goreng Mang Aep. Cuma kalau kabur,
beritahu aku dulu kemana perginya….” “Hahahahaha…..itu sih bukan
kabur namanya!” timpal Nigar. “Hahahahaha…..nasi goreng! Nasi
goreng!” teriak Oben lantang.
|