PENCULIKAN TABIB ISTANA
Oleh Hervianna J. Chawla (Bobo
No. 47/XXV)
Tabib Akhsay sudah
lebih sepuluh tahun menjadi tabib istana. Cara pengobatannya dengan ramuan
obat yang sederhana telah berulang kali menyembuhkan penyakit keluarga
istana. Itu sebabnya berita hilangnya Tabib Akhsay dari rumahnya membuat
seisi istana cemas. Patih Rangga segera
dititahkan Baginda Raja untuk mencari ke mana hilangnya Tabib Akhsay.
Begitu mendapat kepercayaan itu segera saja Patih Rangga menuju rumah
Tabib Akhsay. Ditemuinya Radev di dalam rumah itu. Patih Rangga mengenal
Radev sebagai asisten Tabib Akhsay. "Ceritakan padaku,
kapan terakhir kamu melihat Tabib Akhsay?" tanya Patih Rangga
menyelidik. "Kemarin siang Tabib Akhsay memberitahu saya hendak mencari
beberapa daun untuk ramuan obat. Tabib Akhsay pergi ke selatan menuju
Danau Perak. Ada beberapa daun yang hanya dapat ditemukan di sana," tutur
Radev yang masih belia.
Patih Rangga
memutuskan untuk menelusuri jejak hilangnya Tabib Akhsay. Dengan
menunggang kuda ia segera menuju ke selatan. Setiap tiba di satu kampung
Patih Rangga berhenti sebentar menanyakan perihal Tabib Akhsay. "Ya, kami
pernah melihatnya kemarin. Ia menunggang kuda menuju selatan," kata
penduduk kampung pertama yang Patih Rangga tanyai. Jawaban serupa juga
diberikan penduduk pada beberapa kampung berikutnya. Sampai kampung ke
lima, para penduduknya memberi jawaban yang berbeda. "Tidak. Kami tidak
melihat Tabib Akhsay melewati kampung kami. Biasanya Tabib Akhsay berhenti
dulu di kampung ini bila hendak menuju Danau Perak karena inilah kampung
terakhir menuju Danau Perak," kata kepala kampung. Patih Rangga
mengerutkan keningnya sebentar. Berarti Tabib Akhsay hilang antara kampung
ke empat dan ke lima. Memang ada hutan kecil yang memisahkan dua kampung
itu. Patih Rangga memutuskan untuk kembali ke hutan kecil itu. Ia tidak
menolak ketika kepala kampung kelima menawarkan seorang penduduk yang
mahir melacak jejak untuk menemaninya.
Setibanya di hutan
kecil dari kejauhan Patih Rangga melihat kuda putih milik Tabib Akhsay.
Bersama Ranjit yang menemaninya, Patih Rangga menghampiri kuda putih itu.
Sementara Ranjit mengamati jejak yang tertinggal di tanah. "Patih
Rangga, menurut saya Tabib Akhsay telah diculik oleh penduduk kampung Kaki
Besar," kata Ranjit kemudian. "Kampung Kaki Besar?
Aku baru mendengarnya." "Di sebelah timur
hutan ini ada lembah yang dihuni satu suku yang memiliki telapak kaki
besar. Mereka memegang teguh aturan nenek moyang mereka untuk tidak
memakai alas kaki ke mana pun mereka pergi," jelas Ranjit. "Kalau
begitu mari kita ke sana," ajak Patih Rangga. Letak perkampungan
yang mereka tuju sebenarnya tidak jauh. Tapi karena jalan menuju kampung
itu sangat curam dan licin, terpaksa mereka turun dari kuda dan berjalan
kaki. Saat melewati jalan setapak tiba-tiba telinga Patih Rangga
menangkap suara yang amat dikenalnya. Suara siulan yang biasa dilakukan
Tabib Akhsay saat mencari dedaunan untuk ramuan obat. "Suara itu datangnya
dari sebelah sana," Ranjit memberi petunjuk ke samping kiri jalan setapak.
Buru-buru Patih Rangga menerobos semak-semak. Dari sela dedaunan yang
lebar, Patih Rangga melihat Tabib Akhsay tengah sibuk mengumpulkan
dedaunan, namun di belakangnya dua orang berwajah seram terus menguntit
sambil memegang tombak tajam.
Dugaan Patih Rangga
bahwa Tabib Akhsay diculik semakin kuat. Ia segera berbisik pada Ranjit.
Tak berapa lama kemudian keduanya bergerak pelan mendekat dari belakang
Tabib Akhsay. Hupf, dengan sekali loncatan keduanya berhasil melumpuhkan
dua orang di belakang Tabib Akhsay. "Patih
Rangga, biarkan mereka," teriak Tabib Akhsay yang menyaksikan kegaduhan
kecil itu. "Bukankah mereka yang menculik Anda, Tabib Akhsay?" tanya Patih
Rangga heran. "Mulanya memang begitu," jelas Tabib Akhsay. Mereka berdua
mencegatku dalam perjalanan ke Danau Perak. Lantas mereka membawaku secara
paksa ke kampung mereka. Kupikir tadinya mereka bermaksud menyanderaku dan
minta tebusan kepada istana. Tapi rupanya mereka menculikku karena butuh
pertolonganku. Di kampung mereka berjangkit penyakit yang disebabkan oleh
sejenis cacing tanah."
Patih Rangga
manggut-manggut. Ia akhirnya melepaskan dua orang yang dicekalnya.
"Bukankah setiap kampung sudah punya seorang tabib?" Patih Rangga
mengingatkan. "Tabib mereka sudah meninggal sebulan lalu dan belum ada yang
menggantinya." "Tapi Anda tidak bisa
terlalu lama di sini karena istana membutuhkan Anda, Tabib
Akhsay." "Saya mengerti. Jika tidak keberatan, sebaiknya Patih Rangga
kembali ke istana lebih dulu. Beritahukan perihal saya kepada Baginda
Raja. Mintakan beberapa orang untuk membantu saya di sini dan tunjuk pula
seorang tabib untuk ditempatkan di kampung mereka. Satu lagi yang penting,
agar Baginda Raja membuat perintah kepada penduduk kampung mereka agar mau
menggunakan alas kaki. Tanpa titah Baginda, mereka tidak mau melanggar
aturan nenek moyang mereka."
Patih Rangga setuju
dengan usul Tabib Akhsay. Ia segera meninggalkan Tabib Akhsay yang
ternyata sedang mencari daun untuk ramuan obatnya. Sedangkan dua orang
yang mengawalnya itu sengaja diperintahkan untuk menjaga Tabib Akhsay dari
serangan binatang liar. Sementara Ranjit diminta untuk turut menemani
Tabib Akhsay. Ketika Patih Rangga menyampaikan laporannya kepada Baginda Raja,
terlihat wajah Baginda sangat sedih. Ia menyesali dirinya yang tidak
memperhatikan kesehatan rakyatnya hingga ia tak tahu ada seorang tabib
yang ditempatkan di satu kampung telah meninggal. Padahal kampung itu
sangat memerlukan pertolongan kesehatan. Esok paginya satu
rombongan dari istana diutus menuju Kampung Kaki Besar. Mereka membawa
beberapa tenaga tabib dan obat-obatan. Selain itu Patih Rangga membawa
surat perintah agar penduduk Kampung Kaki Besar mau menggunakan alas
kaki. "Baginda juga memberi bantuan ratusan pasang alas kaki bagi
penduduk Kampung Kaki Besar agar mereka segera melakukan keputusan
Baginda. Sumber penyakit mereka disebabkan oleh cacing tanah dan itu hanya
dapat dicegah dengan memakai alas kaki," tutur Patih Rangga kepada kepala
Kampung Kaki Besar.
Setelah Kepala
Kampung memakai alas kaki, para penduduk pun mau memakainya. Hanya saja
karena sebelumnya mereka tidak biasa menggunakan alas kaki, ukuran telapak
kaki mereka memang besar-besar. Barangkali setelah bertahun-tahun nanti,
penduduk di sana telapak kakinya akan berubah tak sebesar sekarang.
Mungkin nama kampung mereka pun akan berubah. Apa ya kira-kira
namanya? |