Raja Kayu
Oleh: Hariyadi (Bobo No.
23/XXIX)
Seperti biasanya, Sukresh mengikuti
ayahnya ke hutan. Setelah menebang satu dua pohon, ayah Sukresh mengajak
Sukresh beristirahat. Bekal kue beras buatan ibu, mereka lahap habis.
"Kalau kau besar
nanti, kau akan mampu menebang pohon lebih banyak dari Ayah," ujar ayah
Sukresh sambil membetulkan sorbannya. Sukresh hanya terdiam. Ketika hari menjelang
siang, ayah segera memotong kayu menjadi kecil-kecil dan mengikatnya
menjadi satu. Kayu-kayu itu akan diangkut dan dijual ke pasar. Pasti ibu
senang melihat mereka mampu menjual kayu lebih banyak lagi pada hari itu.
Namun
ketika akan mengangkut kayu ke pundaknya, tiba-tiba kaki ayah tergelincir.
Tubuh ayah terperosok ke tepi tebing kecil. Sukresh terkejut. Dengan
tertatih-tatih ia menuruni tebing. Diperiksanya setiap rerimbunan. Betapa
terkejut ketika ia menemukan ayahnya yang pingsan. Namun lebih terkejut
lagi ketika ia melihat seekor ular besar siap mematuk ayahnya. "Jangan gigit ayahku!"
teriak Sukresh keras. Ajaib. Ular itu memandang Sukresh. "Tubuh ayahmu menindih tiga anakku
hingga mati. Maka balasan yang setimpal adalah nyawa ayahmu juga," jawab
ular itu. "Apa
pun akan kulakukan asal kau tidak menggigit ayahku," pinta Sukresh.
"Baiklah. Sebagai
gantinya, setiap mencari kayu bakar, kau harus menyediakan kayu bakar
untukku sebanyak tiga ikat sebagai ganti nyawa tiga anakku. Kau hanya
boleh membawa pulang satu ikat kayu bakar sebagai pengganti nyawa ayahmu.
Dan ingat, perjanjian ini tidak boleh ada yang tahu. Termasuk ayah dan
ibumu." "Baik,
kalau itu yang kau minta. Asal kau lepaskan ayahku." Sejak saat itu Sukresh menggantikan
ayahnya mencari kayu bakar di hutan. Ayahnya tidak dapat berjalan karena
kakinya luka akibat tergelincir. Hari-hari penuh kerja keras dilalui
Sukresh. Setiap ia menebang empat pohon, tiga pohon dilemparkannya ke
dalam jurang. Satu pohon dibawanya ke pasar untuk dijual. Hari berganti hari. Bulan
berganti bulan. Tahun berganti tahun. Sukresh tumbuh menjadi pemuda
berbadan besar dan kuat. Namun setiap kembali dari hutan dia hanya membawa
satu ikat kayu bakar. Orang-orang desa mulai berbisik-bisik mengejek.
Sungguh tidak pantas bila Sukresh hanya membawa satu ikat. Tidak sepadan
dengan besar tubuhnya. "Sukresh anak pemalas. Di hutan kerjanya hanya melamun," begitu
cibiran pemuda-pemuda di desa itu. Sukresh hanya diam. Ia tidak marah,
karena tidak boleh ada yang tahu kisah yang sebenarnya. Sementara itu,
ayah Sukresh sedih mendengar ejekan terhadap anaknya. Dan karena hasil
penjualan kayu Sukresh hanya sedikit, keluarga mereka hidup miskin. Hingga
suatu hari datanglah ke rumah reot mereka dua orang menunggangi kuda.
Jubah mereka seperti yang dikenakan orang-orang kaya di sungai Indus.
"Benarkah anda
yang bernama tuan Sukresh?" tanya tamu itu penuh hormat saat melihat
Sukresh. "Benar,"
jawab Sukresh. "Hamba diutus tuanku Raja untuk menyampaikan dua pesan. Pesan
pertama, perjanjian antara tuan Sukresh dan tuanku Raja telah berakhir.
Pesan kedua, apa yang saya bawa adalah milik tuan semuanya. Itu adalah
hasil keikhlasan dan pengorbanan tuan selama bertahun-tahun dalam
mencintai ayah Tuan," ujar tamu itu sambil menunjukkan barisan gerobak
berderet-deret berisi kayu bakar. Sukresh terkesima. Bukankah itu
hasil pekerjaannya selama ini. Sukresh ingat bagaimana cara dia memotong
kayu-kayu itu. "Apakah semua ini untuk saya…" tanya Sukresh terheran-heran
kepada tamunya. Namun ketika Sukresh menoleh, tamu itu telah pergi.
Tinggallah Sukresh dan kedua orang tuanya yang masih kebingungan. Sejak saat itu Sukresh
menjadi orang kaya di desanya. Dialah raja kayu yang memiliki
gudang-gudang berisi kayu bakar terbesar siap untuk dikirim ke seluruh
pelosok negeri. (Dongeng ketiga dari Kumpulan Dongeng Kotak Kayu Hitam)
|