Advanced search


online swaramuslim.net :    meftafudin  muhammad satar  sitialbaniyah  tjh    kamis 26 April 2007 | 8 Rabi-al Thani 1428 AH   
Member : Log-In | Register Home  War & Jihad  E-Book  Galery  Islam  Hikayat+plus | Chatting | Forum | Contact Us 

mcb-025 : Ada Pemurtadan di IAIN

Oleh : Erros Jafar 13 Oct, 05 - 4:00 pm

imagePengantar Penerbit
Segala puji bagi Allah. Salam dan shalawat kita panjatkan ke hadirat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, Rasul pilihan dan manusia teragung yang dilahirkan di dunia ini.

Ketika penerbit disodori naskah buku ini, terus terang tanpa pikir panjang kita setujui. Karena tulisan beliau (Hartono Ahmad Jaiz) sudah lebih dari sepuluh judul yang kita publikasikan, jadi kita sudah mengenal luar dan dalam penulisnya. Dan umumnya buku-buku penulis berupa tanggapan terhadap fenomena kerusakan-kerusakan akidah yang mendera umat Islam di Indonesia semenjak Orde Baru hingga terkini. Kalau kali ini yang kena ‘giliran’ IAIN tidaklah terlalu mengejutkan. Sebab memang mereka yang jadi pemicunya. Ibarat pepatah, siapa yang menabur angin akan menuai badai.

Fenomena maraknya kelompok yang menamakan dirinya sebagai Islam Liberal, sangat banyak yang berasal dari IAIN maupun UIN. Bahkan ditengarai justru IAIN-IAIN dan UIN-lah yang menjadi lahan yang subur maraknya barisan pengusung paham liberal. Sehingga pengusung paham pluralisme agama, nikah beda agama, pikiran-pikiran yang keluar dari mainstream Qur’an-Sunnah banyak sekali dilahirkan dari rahim IAIN.

Jadi kalau sekarang giliran IAIN-IAIN dan UIN ‘diserang’ itu tadi imbas dari serangan yang bertubi-tubi dilakukan oleh dosen-dosen IAIN dan UIN terhadap akidah Islam, terhadap Allah, Rasul-Nya dan kitab sucinya. Jadi jika buku ini menyinggung para pendidik di lingkungan IAIN ya itu wajar dan bisa dimengerti karena tidak semua dosen bersikap seperti yang ditulis dalam buku ini.

Namun kalau urusannya hanya sekadar tersinggung, mestinya ketersinggungan umat Islam terhadap lembaga IAIN yang kini telah diliberalkan oleh oknum-oknum di IAIN pasti jauh lebih besar dan menyakitkan dibanding ketersinggungan dosen-dosen IAIN terhadap munculnya buku ini. Karena buku ini hanya ‘sentilan’ ringan dibanding hantaman besar yang dilakukan oleh tokoh-tokoh liberal di IAIN yang terang-terangan menghina Allah dan ajarannya yang terus-menerus dijajakan ke masyarakat. Masih mending jika keliberalan itu diyakini sendiri-sendiri tidak dijual dan ditularkan ke anak didik dan masyarakat.

Namun jika keliberalan dijadikan kurikulum dan diwajibkan ke mahasiswanya bahkan kini ditambah pelajaran hermeneutika untuk mengganti metode tafsir Al-Qur’an, maka sudah wajar jika umat Islam marah karena ajaran Islamlah yang sedang diacak-acak mengikuti kemauan para orientalis Barat.

Mudah-mudahan bukan suasana marah yang terjadi, namun justru ada upaya saling introspeksi dan membuka diri. Jika pendapatnya salah dan berakibat buruk buat umat Islam dan bangsa, mestinya tidak perlu sungkan-sungkan meralat dan mengakui kesalahannya. Toh jabatan, pujian, kekuasaan dan umur, pendek belaka. Lalu buat apa hanya demi mengejar jabatan dan pujian justru akidah digadaikan yang bisa berakibat mendapat murka Allah.

Karena kita masih sayang terhadap IAIN yang kini sudah dikotori dan terkontaminasi wabah liberal binaan orientalis Barat, mudah-mudahan dapat kembali kepada jalan Islam yang diridhai Allah dan Rasul-Nya. Semoga upaya penyebaran buku ini bisa dipahami sebagai bagian amar ma’ruf nahyi mungkar.

Pustaka Al-Kautsar



Pengantar Penulis


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Alhamdulillahi Robbil ‘alamien


Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad saw, para keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman.

Amma ba’du. Buku ini kami beri judul Ada Pemurtadan di IAIN, isinya mengenai bukti-bukti kenyelenehan (keanehan) pendapat yang muncul dari kampus-kampus Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, yakni di IAIN (Institut Agama Islam Negeri), UIN (Universitas Islam Negeri), STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) , dan STAIS (Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta) di Indonesia, dan apa yang melatar belakanginya.

Kenyelenehan itu sudah merajalela ke mana-mana dan telah membahayakan bagi Islam dan umatnya, apalagi justru ada gejala bahwa kenyelenehan itu menjadi system pendidikan tinggi Islam di Indonesia, yang arahnya menjauhkan umat Islam dari agamanya yang benar.

Pembunuhan secara fisik yang terjadi di mana-mana di dunia ini, biasa disebut sebagai kesadisan. Namun pembunuhan secara non fisik yaitu membunuh iman tauhidi diganti dengan kemusyrikan dengan nama pluralisme agama adalah lebih sadis dibanding pembunuhan fisik. Apalagi pembunuhan iman ini justru dilaksanakan secara sistematis, terencana rapi, dan secara serempak, didanai oleh negeri ini dan Barat. Maka jauh lebih sadis dibanding pembunuhan massal. Karena, orang-orang yang dibunuh fisiknya, ketika mereka itu imannya di dada masih utuh, maka insya Allah masuk surga. Sedang kalau pembunuhan massal itu yang dibunuh adalah iman di dada, di ganti dengan kemusyrikan yang namanya dimenterengkan menjadi pluralisme agama, maka jurusannya adalah neraka selamanya.

Baik pembunuhan iman maupun pembengkokan pemahaman Islam serta penjauhan umat dari sumber-sumber otentik/ murni Islam, semuanya itu adalah aksi sadis yang memusuhi Islam dan umatnya.

Di samping adanya masalah sangat serius seperti itu, masih ada masalah sangat serius yang lainnya lagi, yaitu keilmiahan yang dipereteli secara sistematis pula, sehingga yang ada justru sosok-sosok memalukan yang bicaranya tidak lebih baik ketimbang seniman jalanan.

Bukti-bukti berikut ini yang akan berbicara.

Mengklaim Diri Tambah Hebat
Ada perkataan-perkataan orang yang ketika kehabisan hujjah (argumentasi) lalu mengklaim dirinya sebagai orang yang tambah khusyuk, tambah luas ilmunya dan sebagainya ketika memakai metode atau pemahaman yang dianggapnya benar, padahal tidak sesuai dengan Islam. Kalau yang berbicara itu hanya orang awam agama yang tidak berkecimpung dalam dunia keilmuan atau perguruan tinggi Islam ataupun masyarakat luas, maka pembicaraan ngawur tentang agama tidak punya pengaruh apa-apa, kecuali pada dirinya atau teman dekatnya yang setia. Namun kata-kata ngawur hanya berhujjah dengan klaim tentang dirinya, dan itu dilakukan oleh doctor-doktor di perguruan tinggi Islam, sangat berbeda masalahnya.

Untuk lebih jelasnya, perlu diberi contoh nyata.

Khabar dari Adian Husaini, aktivis KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), dia berdiskusi di Kampus Paramadina Jakarta, Rabu 22/5 2002 dengan Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer (keduanya dosen Universitas Islam Negeri/ dahulu IAIN) Jakarta, dan Martin Sinaga tokoh Kristen dari Teologia, di hadapan mahasiswa pascasarjana Paramadina Jakarta. Nurcholish berpanjang kalam tentang fahamnya yang pluralis (menyamakan semua agama) lalu pergi. Setelah itu Adian membaca surat Nurcholish Madjid tentang kasus akan menikahnya puteri Nurcholish dengan lelaki Yahudi. Surat electronik (email) dari Nurcholish Madjid itu ditujukan kepada puterinya, Nadia di Amerika, Agustus 2001, yang mau kawin dengan David, Yahudi (kemudian dinikahkan oleh Nurcholish Madjid dengan akad universal, bukan akad agama, September 2001). Adian punya copian surat itu karena kasus pernikahan puteri Nurcholish Madjid (Muslimah) dengan lelaki Yahudi itu diberitakan di Majalah Media Dakwah, lalu Nurcholish Madjid memberikan copian surat dari dirinya untuk puterinya itu kepada Redaksi Media Dakwah, sedang Adian Husaini adalah salah satu penulis di majalah itu. Isi surat Nurcholish Madjid itu kemudian dibacakan Adian Husaini di Paramadina dalam acara 22/5 2002, yang baru saja Nurcholish berbicara panjang lebar tentang fahamnya yakni pluralisme agama (menyamakan semua agama), tetapi lalu pergi. Nah, saat tidak ada Nurcholish itulah suratnya dibaca oleh Adian, yang isinya sangat bertentangan dengan uraian Nurcholish Madjid yang baru saja usai. Surat Nurcholish Madjid kepada puterinya itu berisi bahwa kalau sampai terjadi antara puterinya dengan lelaki Yahudi yang dimaksud, maka menurut Nurcholish Madjid –dalam suratnya– termasuk dosa terbesar setelah syirik… Hadirin diskusi di Paramadina itu kaget, kata Adian. Lalu Kautsar Azhari Noer (petinggi di Paramadina dan dosen UIN –Universitas Islam Negeri/ dahulu IAIN—Jakarta) berkilah, dengan jadi orang pluralis ternyata dirinya merasa lebih khusyuk, dan dia katakan, kalau yang masuk surga hanya orang Islam, maka betapa sedikitnya, karena penduduk dunia ini yang Islam hanya sedikit.

Cerita Adian itu dalam bentuk-bentuk yang hampir sama, mudah ditemukan di sana sini. Misalnya, ungkapan yang hampir sama modelnya dikemukakan pula oleh seorang dosen UIN/ dahulu IAIN Jogjakarta, bahwa dengan hermeneutika (metode tafsir Bible) maka dirinya tambah luas pengetahuannya tentang tafsir Al-Qur’an. Dosen ini berbantah dengan Muchib Aman Aly keponakan KH Muhammad Subadar Pasuruan Jawa Timur di Muktamar NU di Donoudan Boyolali/ Solo Jawa Tengah, November 2004. Dosen IAIN Jogja itu mengatakan: “…Justru dengan hermeneutika pemahaman saya terhadap Al-Qur’an bertambah.”

Syukurlah kalau begitu. Hanya saja, menurut penuturan Adian Husaini ketika mengadakan workshop tentang Bahaya Hermeneutika menurut Islam, di Jogjakarta, Ramadhan 1425 H, ada dosen IAIN yang mengaku mengajarkan ilmu tafsir dan juga hermeneutika (metode tafsir untuk Bible) marah-marah dan mempertahankan hermeneutika di depan Adian Husaini, Hamid Fahmy Zarkasyi, dan Adnin Armas; ketiganya aktivis Indonesia, kandidat doctor yang berkuliah di Malaysia yang mengemukakan bahwa hermeneutika adalah parasit/ benalu bagi Islam. Lalu sang dosen yang mengaku mengajar ilmu tafsir dan hermeneutika itu ditanya, ayat mana saja yang perlu memakai hermeneutika dan ayat mana saja serta kapan yang memerlukan ilmu tafsir. Ternyata dosen itu tak bisa menjawab.

Pengakuan bahwa dirinya tambah khusyuk dengan jadi orang yang berkeyakinan pluralisme agama (menyamakan semua agama), lebih tambah pemahamannya tentang Al-Qur’an dengan memakai hermeneutika, itu bukan kata-kata yang ilmiah. Itu sama saja dengan celoteh Nurul Arifin (beragama Islam), artis yang dulunya suka berpakaian minim, mengaku bahagia nikah dengan lelaki Nasrani 2. Atau satu strip di atas pengakuan seniman perempuan derigent orkestra T&T, Tia Subiakto, yang tak berjilbab 3 lagi, lalu menyatakan, Daripada saya berjilbab tapi masih selingkuh…., biarpun saya tak berjilbab tapi masih tetap sholat dan berkarya (seni). Biarpun orang menghujat atau saya dilempari telur busuk sekalipun, saya siap. Saya melepas jilbab bukan keterpaksaan, tapi atas kesadaran sendiri. 4

Dari contoh-contoh itu bisa ditarik beberapa masalah:

  1. Berbicara masalah agama, masalah yang sangat memerlukan kecermatan, keakuratan, dan kehati-hatian, cukup dicelotehi dengan berdasarkan klaim tentang apa yang mereka rasakan dan tekadkan.

  2. Berbicara tentang pelanggaran agama atau yang membahayakan bagi agama, cukup dikilahi dengan keberanian dirinya yang melanggar atau menjalani bahaya itu, sambil mengklaim bahwa itu lebih menambah ini dan itu yang sifatnya positif. Sehingga justru berbalikan dari aturan agama itu sendiri, yang pada dasarnya hal-hal yang dilarang atau diberi tahu bahwa itu bahaya, mesti karena ada mudhorotnya. Tetapi oleh pelanggar-pelanggar ini justru dikilahi bahwa justru melanggar dan masuk kepada yang bahaya ini lebih positip.

  3. Berbicara agama tidak ada lagi bedanya antara yang bergelar ilmuwan –apalagi bertugas sebagai pengajar di perguruan tinggi Islam-- dengan artis-artis yang awam agama dan agamanya hanya sebagai polesan, yang dulu dikenal dengan istilah “Islam abangan” atau “Islam KTP” (kartu tanda penduduk. Ada muballigh yang berseloroh, kalau Islamnya hanya Islam KTP, maka kelak yang masuk surga bukan orangnya, tapi KTP-nya).

  4. Dua jenis profesi, yang satu dosen di perguruan tinggi Islam negeri, dan satunya lagi di dunia pernyanyian – perfilman, punya pengaruh besar di masyarakat. Yang satu memberikan tuntunan dan yang satunya lagi menjadi tontonan; tetapi kedua-duanya sama-sama sengak (tidak enak) omongannya, dan membahayakan bagi agama.

  5. Masyarakat sekarang banyak yang “dibina” oleh dua kelompok itu, pendidik dan artis –seniman. Karena kedua-duanya banyak pengaruhnya di masyarakat. Kalau kedua-duanya ternyata rusak bahkan membahayakan bagi agama, maka agama masyarakat sangat terancam.


Kenapa bisa terjadi yang demikian, yaitu ilmuwan yang berkecimpung untuk menyebarkan ilmu-ilmu Islam kepada generasi penerus, justru pemikiran dan pemahaman mereka sendiri sudah rusak?

Untuk menjawab pertanyaan itu perlu ditelusuri sebab-sebab yang melatar belakangi kerusakan pemikiran dan pemahaman mereka. Sampai omongan dan pendapat mereka tidak lebih dari omongan sampah artis-artis pelanggar agama, itu sebenarnya sudah amat sangat memalukan. Namun, tidak cukup hanya sekadar tahu bahwa itu memalukan plus membahayakan. Masih perlu tahu pula latar belakang dan penyebabnya, hingga agar tahu bahwa ada rancangan yang lebih dahsyat lagi untuk menghancurkan Islam ini.

Rancangan Dahsyat Untuk Menjauhkan Umat Dari Sumber-sumber Islam
Untuk menjelaskan itu, pembaca yang budiman, izinkanlah saya sedikit berkisah tentang pengalaman hidup. Saya waktu kuliah di IAIN Jogjakarta 1974-1980 banyak berada di seantero komplek IAIN, di perumahan dosen (karena bekerja di percetakan milik seorang dosen), sedang tempat main saya adalah Wisma Sejahtera tempat awal-awal diadakan pendidikan purna sarjana bagi dosen-dosen IAIN se-Indonesia, yang disebut SPS, Studi Purna Sarjana, atau PGS Post Graduate Study (sebelum adanya S2 dan S3 di IAIN). Pendidikan itu selama 6 bulan, diasramakan, secara berganti ganti, tiap angkatan ada sejumlah dosen yang dididik oleh Harun Nasution dari Jakarta dan lainnya. Hampir tiap sore saya main volley bersama para dosen utusan dari berbagai IAIN se-Indonesia itu. Tetapi tidak berarti saya bergaul dengan seluruh angkatan. Saya sempat bergaul akrab dengan angkatan 1977 seperti Pak Muhyiddin Suwondo dan Pak Umar Said dari IAIN Surabaya, Pak Lantif, Pak Musthofa Sonhadji Kudus dan lain-lain. Malahan saya diberi semua makalah yang dibuat oleh seluruh peserta SPS dari seluruh Indonesia tentang seluruh pembahasan selama 6 bulan yang telah didiskusikan di pendidikan khusus para dosen itu. Entah kenapa Pak M. Khozin Siraj (almarhum) alumni Mesir, dekan Fakultas Adab IAIN Jogjakarta, memberikan seluruh makalahnya (dari seluruh peserta) kepada saya. Memang beliau suka meminta saya untuk membuatkan makalah saat itu.

Dari seluruh makalah itu, semua arahnya adalah apa yang sekarang dijadikan arahan kurikulum yang sifatnya apa yang mereka sebut sosio historis plus filsafat. Sehingga tidak mengherankan, kini pendidikan tinggi Islam di Indonesia, mata kuliah dasarnya, yaitu yang seluruh mahasiswa harus ikut, dan kalau swasta harus ujian negara, adalah mata kuliah SPI (Sejarah Pemikiran Islam) dan SKI (Sejarah Kebudayaan/ Peradaban Islam). SPI itu sendiri isinya tentang sekte-sekte dalam Islam, tasawuf (falsafi), dan filsafat Islam. Termasuk dalam materi kuliah filsafat Islam itu Ar-Razy yang tidak percaya wahyu dan kenabian. Aneh, orang semacam itu bisa dimasukkan dalam jajaran filosuf-filosuf Islam. Sedangkan ketika membahas sekte-sekte, tidak pernah ada tarjih, mana yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka akibatnya semua sekte dianggapnya sama saja, boleh-boleh saja, sampai yang mengangkat nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad pun ketika dibahas tidak dipandang dari segi pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj Ahlus Sunnah, tetapi ya model pemahaman Ahmadiyah. Maka dianggapnya sah-sah saja. Kemudian SKI pun pembahasannya tidak seperti pelajaran Tarikh Islam yang memakai sanad (pertalian riwayat) ataupun keterangan yang shahih. Sehingga mahasiswa boleh-boleh saja mengecam Utsman bin Affan ra sahabat Nabi saw sebagai nepotisme. Makanya ketika ada orang yang kini menyuarakan bahwa Mushaf Utsmani mengalami copi editing oleh para sahabat, atau tangan kekuasaan, ternyata tidak terdengar dampratan dari pihak IAIN.

Dalam makalah-makalah SPS para dosen IAIN se-Indonesia tersebut, tidak ada pendalaman ilmu tafsir, tafsir, ulumul Qur’an, hadits, mushtolah hadits, fiqh, ushul fiqih dan ilmu-ilmu syari’ah secara mendeteil. Tidak. Bahkan aqidah yang menjadi fondasi Islam ini pun tak dibahas sesuai dengan ilmu Tauhid yang memakai dalil-dalil secara mendeteil. Yang dibahas hanyalah ilmu kalam yang sudah bercampur filsafat. Hanya ilmu kalam dan sekte-sekte itulah yang diperpanjang-panjangkan pembahasannya. Pembahasan filsafat sangat diperdalam sampai ada filosuf-filosuf Barat, filosuf Islam dan sebagainya. Juga para penyeleweng bahkan dipuji sebagai pembaharu dalam Islam.

Sebagai contoh, makalah Karya Ilmiyah Wajib, disusun dalam rangka kuliah Pemikiran dalam Islam dan Alam Pemikiran Modern dalam Islam, dengan guru Besar Dr Harun Nasution, berjudul Rifa’a Badawi Rofi’I Al-Thahtawi (1801-1873). Di antara isinya:

“Lebih maju lagi pendapatnya tentang kedudukan wanita. Misalnya bahwa pergaulan laki-laki dengan wanita tidaklah akan membawa kerusakan, malah akan sama-sama menjaga kepribadian masing-masing, kalaupun ada maka dianggap seseorang penghianat atau amoral. Begitu pula halnya bepergian bersama antara laki-laki dengan wanita. Suatu contoh lagi dikemukakannya, bahwa apa yang dilihatnya di Paris tentang dansa lebih baik dari tari wanita yang ada di Mesir. Kalau dansa tidaklah akan menimbulkan hal-hal yang negatif, lain halnya dengan tari di Mesir.”

Dalam karya yang disebut ilmiyah wajib itu kemudian diakhiri dengan kesimpulan, dan kesimpulan nomor satu adalah: “Al-Thahtawi dianggap sebagai generasi pertama dalam alam pembaharuan pemikiran di Mesir abad ke-19.”

Malahan sebelum kesimpulan itu ada opini penulisnya: “Secara tidak langsung Al-Thahtawi telah membangun bangsa Mesir waktu itu yang statis dan patalis menjadi umat yang dinamis dalam mengejar kemajuan dan kejayaan.”

Itulah contoh nyata karya ilmiyah wajib yang sekarang namanya jadi keren, SPI (Sejarah Pemikiran Islam), saat itu namanya Pemikiran dalam Islam dan Alam Pemikiran Modern dalam Islam, dengan guru besar Dr Harun Nasution.

Di situ tidak ada dalil secuil pun untuk membantah pendapat penyeleweng yang justru disebut sebagai “sang pembaharu generasi pertama di Mesir itu”. Yang ada justru pujian. Seperti itulah arahnya. Dan itu bukan sekadar dosen yang dibimbing Harun Nasution, justru Harun sendiri pula yang mengobarkan Thahtawi --yang menghalalkan ikhtilath (campur aduk laki perempuan dan dansa-dansi) itu sebagai pembaharu (dalam Islam) lewat buku Harun yang menjadi bacaan/ pegangan di IAIN-IAIN. Hingga dalam buku saya Bahaya Islam Liberal masalah ini saya kemukakan sebagai berikut:

Harun Nasution ataupun kurikulum di IAIN menamakan seluruh tokoh Islam Liberal itu dengan sebutan kaum Modernis atau Pembaharu, dan dimasukkan dalam mata kuliah yang disebut aliran-aliran modern dalam Islam. Yaitu membahas apa yang disebut dengan pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam. Kemudian istilah yang dibuat-buat itu masih dikuat-kuatkan lagi dengan istilah bikinan yang mereka sebut Periode Modern dalam Sejarah Islam.

Pemerkosaan seperti itu diujudkan dengan menampilkan buku, di antaranya Harun Nasution menulis buku yang biasa untuk referensi di seluruh IAIN dan perguruan tinggi Islam di Indonesia, Pembaharuan dalam Islam –Sejarah dan Gerakan, terbit pertama 1975. Dalam buku itu, pokoknya hantam kromo, semuanya adalah pembaharu atau modernis. Sehingga yang revivalis (salafi) seperti Muhammad bin Abdul Wahab yang mengembalikan Islam sebagaimana ajaran awalnya ketika zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, sampai yang menghalalkan dansa-dansa campur aduk laki perempuan seperti Rifa’at At-Thahthawi (Mesir) semuanya dikategorikan dalam satu nama yaitu kaum Modernis.

Mendiang Prof Dr Harun Nasution alumni McGill Canada yang bertugas di IAIN Jakarta itu pun memuji Rifa'at Thahthawi (orang Mesir alumni Prancis) sebagai pembaharu dan pembuka pintu ijtihad (Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal 49).

Padahal, menurut Ali Muhammad Juraisyah dosen Syari'ah di Jami'ah Islam Madinah, Rifa'at Thahthawi itu alumni Barat yang paling berbahaya. Rifa'at Thahthawi tinggal di Paris 1826-1831M yang kemudian kembali ke Mesir dengan bicara tentang dansa yang ia lihat di Paris bahwa hanya sejenis keindahan dan kegairahan muda, tidaklah fasik berdansa itu dan tidaklah fasik (tidak melanggar agama) berdempetan badan (dalam berdansa laki-perempuan itu, pen).

Ali Juraisyah berkomentar: Sedangkan Rasulullah SAW bersabda:

لِكُلِّ بَنِي آدَمَ حَظٌّ مِنْ الزِّنَا فَالْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلَانِ يَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا الْمَشْيُ وَالْفَمُ يَزْنِي وَزِنَاهُ الْقُبَلُ وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
Artinya: "Setiap bani Adam ada potensi berzina: maka dua mata berzina dan zinanya melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki berzina dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium, hati berzina dan berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang farji/ kemaluan membenarkan yang demikian itu atau membohongkannya.” (Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal 243, sanadnya shohih, dan hadits-hadits lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda namun maknanya sama).

Benarlah Rasulullah SAW dan bohonglah Syekh Thahthawi. 5

Langkah penjauhan dari materi-materi dasar aqidah dan syari’ah dialihkan kepada materi-materi yang menjejali pikiran menjadi orang yang tak mengikuti Islam dengan baik ini sudah diprogramkan secara nyata. Ketika para dosen itu disibukkan dengan aneka filsafat, aneka sekte, aneka pemikiran aneh dan tak sesuai dengan Islam, maka penggiringan ke arah apa yang kini disebut sosio histories plus filsafat itu sudah dibuat jalur landasannya. Kemudian mereka tampaknya ada yang dikuliahkan ke S2 dan S3, lalu jadi doctor-doktor. Sebagian memang dikuliahkan ke negeri-negeri Barat untuk belajar Islam kepada orang kafir, dan sebagian berkuliah di pasca sarjana IAIN sendiri (sebagai bentuk baru setelah adanya SPS itu tadi) diasuh oleh guru besar anak asuh orientalis dan didatangkan pula orientalis dari Barat ke IAIN. Hingga ketika di antara mereka sudah jadi doctor bahkan guru besar di Jakarta, dan ternyata saya jadi muridnya lalu saya bantah beliau karena pemikirannya jauh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka beliau mengeluarkan kata-kata dengan wajah memerah: “Dari mana Anda belajar?!”

“Ya, dari PGA (Pendidikan Guru Agama), lalu IAIN, Pak” jawabku tanpa menyebutkan bahwa makalah-makalah beliau dan teman-temannya se-Indonesia yang tak lain arahnya adalah penggiringan ke arah penjauhan dari pemahaman Islam yang benar itu sudah ada di tangan saya sejak lama.

Dengan arah pendidikan Islam di perguruan tinggi Islam se-Indonesia seperti itu, yaitu yang penekanannya justru ke arah sosio histories plus filsafat, yang secara sistematis menyingkirkan ilmu-ilmu Islam yang baku serta metode keilmuan Islam, maka ada dua hal prinsip yang telah dibelokkan.

  1. Epistemologi 6 yang dimiliki oleh para dosen yang sudah dirancang sedemikian rupa itu tadi sudah jauh dari epistemology Islam. Sehingga ketika berbicara tentang Islam, maka sudah tidak seperti yang dikemukakan oleh para ulama (salafus shalih).

  2. Materi ilmu yang dimiliki para dosen yang ditingkatkan pendidikannya itu bukan materi ilmu-ilmu yang berupa ilmu Islam yang materinya wahyu Allah yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan perangkat-perangkat ilmu yang telah diwariskan oleh para ulama. Tidak dimiliki pula manhaj (metode pemahaman) yang sesuai dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’en sebagai generasi terbaik yang paling faham tentang Islam.


Dengan dua problem mendasar yang amat sangat berbeda jauh dengan kebutuhan dan ilmu Islam itu, maka ketika mereka berbicara Islam, tidak berbeda dengan artis Nurul Arifin ataupun seniman Tia Subiakto yang dengan seenak perutnya sendiri berceloteh tentang agama, dengan dalih apa yang dirasakan di dalam dirinya. Sementara itu mereka ini duduk di perguruan tinggi Islam, mengajar tentang Islam. Di samping itu mereka sebenarnya hanyalah sebagai ujung-ujung tombak dari tangan-tangan yang membuat system sekularisasi. Dan itu biangnya adalah Barat. Di saat negeri ini banyak ketergantungannya kepada Barat, maka tenaga-tenaga pengajar Islam di Perguruan Tinggi Islam ini menjadi ujung-ujung tombak kepentingan negeri ini dan Barat. Semuanya (negeri ini dan Barat) tidak ada yang tulus ikhlas bila Islam bisa difahami oleh umat Islam seperti apa adanya, sesuai dengan materi dan manhaj yang benar.

Untuk bekerja seberat itu, yaitu menghadapi Islam yang benar, sebenarnya mereka berat, karena bagaimanapun, Islam adalah agama yang haq/ benar, dan secara keilmuan telah amat sangat mantap dibanding ilmu agama-agama apapun di dunia. Lebih berat lagi, senjata yang diberikan oleh Barat di antaranya hermeneutika (metode tafsir Bible) yang sudah difilsafatkan dan mampu melumerkan Kristen hingga Kristen bisa tunduk kepada Barat; sementara masih ditolak oleh umat Islam. Dan kalau toh dipakai, yang akan jadi korban adalah para pelaksana-pelaksananya, yaitu para dosen-dosen IAIN itu sendiri. Karena, Islam ini tidak sekeropos agama Yahudi dan Nasrani yang bisa ditembus dengan hermeneutika untuk diBaratkan. Sementara itu tenaga-tenaga IAIN itu tak secanggih orientalis-orientalis itu sendiri. Karena kadar mereka dalam keilmuan Islam itu sendiri masih kalah dengan ulama, sedang kadar kefilsafatan juga kalah dengan orientalis, padahal Agama Islam yang mau mereka garap ini lebih tegar dibanding agama Yahudi dan Kristen.

Sebenarnya bisa diucapi kasihan mereka itu (bahasa pelawaknya, kasihan deh lu) jadi agen-agen Barat yang kerjanya lebih berat. Itu dari segi pemandangan lahiriyah. Belum dari segi agama, apakah mereka tidak takut Allah swt, bahwa Islam itu agama Allah? Janganlah kalian jadi Abrahah-Abrahah yang demi menjilat atasannya di seberang lautan atau demi kedudukan lalu berani menyerang Ka’bah milik Allah swt. Dan janganlah IAIN-IAIN, UIN, STAIN dan STAIS se-Indonesia ini dijadikan sarang-sarang untuk menciptakan wadyabala Abrahah yang akibatnya dihujani batu dari neraka sijjil oleh Allah swt.

Atas keprihatinan seperti itulah buku ini saya tulis. Karena saya adalah salah satu dari yang dulunya diasuh di IAIN. Dan apa yang saya katakan ini esensinya dirasakan pula oleh ulama yang ada di dalam IAIN, misalnya Pak Roem Rawi di IAIN Surabaya.

Dengan demikian, mudah-mudahan buku ini menjadi semacam salah satu peringatan sebelum semuanya jadi rusak dan dimurkai Allah swt. Keridhoan manusia apalagi manusia kafir sebenarnya sama sekali bukan tujuan. Tetapi kalau di dunia ini pencarian keridhoan orang kafir itu jadi semacam trend, maka itu musibah besar, apalagi dilaksanakan secara sistematis dan dibiayai oleh negara dan duit umat Islam. Itu sangat ironis, berbahaya, dan mencelakakan.

Untuk terwujudnya buku ini banyak harus saya ucapkan terimakasih kepada para ulama, ustadz, da’I, aktivis penuntut ilmu, sahabat-sahabat dan handai taulan yang memberikan aneka kemudahan dan dorongan untuk terwujudnya buku ini. Lebih dari itu tentu saja kami bersyukur alhamdulillah kepada Allah swt yang Maha Memberi anugerah kepada hamba-Nya.

Kepada saudara-saudaraku dan teman-teman yang kemungkinan kejatuhan durian runtuh, maka saya berharap, ambil isinya, dan buang kulitnya. Mungkin kulitnya nampak kasar dan berduri, namun itu justru untuk melindungi isi yang perlu disampaikan bersama kulit yang khasnya begini.

Bagaimanapun, kami yakin, buku ini banyak kekurangannya, maka kami berharap kepada para pembaca yang budiman untuk menyampaikan saran-saran yang membangun, yang kemungkinan bisa untuk perbaikan dalam penerbitan berikutnya, insya Allah.

Akhirnya, hanya kepada Allah kami menyembah dan hanya kepada-Nya kami minta pertolongan. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kami, keluarga, dan umat Islam pada umumnya. Amien ya Rabbal ‘alamien.

Jakarta, Selasa 13 Muharram 1425H/ 22 Februari 2005M

Penulis:
Hartono Ahmad Jaiz

FOOTNOTE
1. Kenapa sebagai dosen di UIN dan Paramadina serta perguruan tinggi Islam lainnya tetapi pernyataannya seperti itu? Padahal sudah jelas ancaman neraka kepada siapa saja yang tak beriman, dan itu adalah justru kebanyakan dari manusia ini. Allah telah menegaskan:
أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِنْهُ وَمِنْ قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَى إِمَامًا وَرَحْمَةً أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ مِنَ الْأَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ فَلَا تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِنْهُ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ(17)
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Qur'an itu telah ada kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al Qur'an. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Qur'an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Qur'an itu. Sesungguhnya (Al Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (QS Huud: 17). Di sini setelah adanya Al-Qur’an, yang beriman kepada Al-Qur’an itu hanyalah orang Islam. Sedang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an itu diancam pasti akan dimasukkan ke neraka. Jadi selain orang Islam akan masuk neraka semuanya, dan yang masuk surga hanya orang Islam.


2. Ayat tentang larangan lelaki non Muslim / kafir menikahi wanita Muslimah di antaranya ayat 10 Surat Al-Mumtahanah:
íóÇÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÁóÇãóäõæÇ ÅöÐóÇ ÌóÇÁóßõãõ ÇáúãõÄúãöäóÇÊõ ãõåóÇÌöÑóÇÊò ÝóÇãúÊóÍöäõæåõäøó Çááøóåõ ÃóÚúáóãõ ÈöÅöíãóÇäöåöäøó ÝóÅöäú ÚóáöãúÊõãõæåõäøó ãõÄúãöäóÇÊò ÝóáóÇ ÊóÑúÌöÚõæåõäøó Åöáóì ÇáúßõÝøóÇÑö áóÇ åõäøó Íöáøñ áóåõãú æóáóÇ åõãú íóÍöáøõæäó áóåõäøó æóÁóÇÊõæåõãú ãóÇ ÃóäúÝóÞõæÇ æóáóÇ ÌõäóÇÍó Úóáóíúßõãú Ãóäú ÊóäúßöÍõæåõäøó ÅöÐóÇ ÁóÇÊóíúÊõãõæåõäøó ÃõÌõæÑóåõäøó æóáóÇ ÊõãúÓößõæÇ ÈöÚöÕóãö ÇáúßóæóÇÝöÑö æóÇÓúÃóáõæÇ ãóÇ ÃóäúÝóÞúÊõãú æóáúíóÓúÃóáõæÇ ãóÇ ÃóäúÝóÞõæÇ Ðóáößõãú Íõßúãõ Çááøóåö íóÍúßõãõ Èóíúäóßõãú æóÇááøóåõ Úóáöíãñ Íóßöíãñ(10).
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Al-Mumtahanah/ 60: 10).


3. Kewajiban berjilbab (menutupi seluruh tubuh wanita dan berkerudung) di antaranya dikemukakan dalam ayat:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(59)
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. (QS Al-Ahzaab: 59).

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. (QS An-Nur: 31).


4. (Dia bicara di televisi swasta Februari 2005, tetapi bukan berarti penulis menonton televisi, apalagi acara semacam itu. Penulis mengemukakan ini dari hasil bertanya kepada orang yang menontonnya, karena ada keperluan untuk membandingkan celoteh seniman yang terang-terangan mencopot jilbabnya dengan dosen-dosen UIN/ IAIN yang mengaku lebih khusyuk dan lebih tambah pemahamannya dengan cara yang tak sesuai dengan Islam).

5. Ali Juraisyah, Asaaliibul Ghazwil Fikri lil 'Aalamil Islami, hal 13.
(Lihat, Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Islam Liberal, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan pertama, Januari 2002, halaman halaman 24-25).


6. Epistemologi (Inggris epistemology), bagian dari falsafat, yang membahas asal mula, bentuk/ struktur, dinamika, benar – salahnya, dan metodologi yang bersama membentuk pengetahuan manusia. (Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, PT Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta, jilid 2, halaman 945).



Pengantar Penulis Cetakan II


Alhamdulillahi Rabbil ‘alamien
Sholawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad saw, keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.

Amma ba’du. Buku Pemurtadan di I A I N ini alhamdulillah mendapatkan sambutan yang sangat menggembirakan. Penyebarannya pun begitu cepat. Hingga rekan-rekan di berbagai kota pun dalam jangka seminggu setelah buku ini terbit, mereka mengabari bahwa telah membacanya. Tidak ketinggalan pula ada pemerhati yang karena tidak bisa menghadiri acara bedah buku ini di Islamic Book Fair, Senayan Jakarta, Ahad 27 Maret 2005/ 17 Shafar 1426 H –karena di luar Jawa misalnya—mereka memesan VCD-nya. Rupanya mereka penasaran, karena buku yang judulnya tampak “menghantam” IAIN ini justru dibedah oleh seorang dosen IAIN pula, yakni Dr Roem Rowi, dosen Tafsir Al-Qur’an di Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, alumni Al-Azhar Mesir. Lima ratus orang lebih tampak bersimpuh lesehan dengan khusyuk mendengarkan uraian selama dua setengah jam dalam acara bedah buku ini. Semua itu merupakan karunia Allah swt yang wajib disyukuri.

Meskipun demikian, daya tariknya bukan lantaran bagusnya buku ini. Juga bukan lantaran cetaknya mewah. Bukan. Cetaknya sesuai standar, sedang bagusnya isi –ya, masa’ saya yang menilai-- perlu dicermati dulu. Tetapi yang jelas, ketika disebut IAIN, maka setiap orang memiliki gambaran, kesan, dan pengalaman sendiri-sendiri. Ambil contoh, seorang dosen senior di bidang filsafat di Universitas Mulawarman Samarinda Kalimantan Timur yang telah kenal pengajian salaf, tertarik dengan buku ini dan beliau memesan VCD bedah buku. Itu secara lahiriyah bisa ditelusuri, ada kesan yang melekat di dalam pengalaman hidupnya. Di antaranya, musim haji tahun 1425H, guru ngaji beliau sedang berhaji ke Makkah. Maka sang guru yang alumni Al-Azhar Mesir dan Ummul Quro Makkah digantikan oleh seorang alumni IAIN. Tahu-tahu ajarannya tidak berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih, tetapi banyak berlandaskan logika-logika, cerita-cerita, dan duga-duga. Serta merta ustadz yang sedang berhaji di Makkah dikontak, dan pengajian dengan guru dari IAIN dicukupkan sampai di situ saja.

Itu satu contoh. Aneka contoh sebenarnya bisa kami kemukakan, berupa lontaran-lontaran yang tak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dari para alumni IAIN bahkan dosen-dosennya yang kami alami langsung di berbagai kota, bahkan peristiwa yang kami sendiri sebagai alumni IAIN malu. Contohnya, dalam acara bedah buku di IAIN Alauddin Makassar, setelah adu argumentasi --mengenai sesatnya aliran-aliran sesat dan Islam Liberal-- mereka tak mampu mengemukakan dalil, maka saya dikroyok secara fisik. Itu terjadi di IAIN Alauddin Makassar satu setengah tahun lalu. Hingga saya dilarikan oleh para panitia, dan alhamdulillah selamat.

Sebenarnya, masyarakat sangat membutuhkan para alumni IAIN untuk membimbing keislaman. Namun kebutuhan itu tidak terpenuhi dengan baik, lantaran sajian yang diberikan oleh alumni IAIN, kebanyakan tidak sesuai standar ilmu Islam. Ilmu Islam itu materinya Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedang manhaj (metode pemahamannya) yang selamat adalah manhaj salafus shalih. Yaitu metode pemahaman generasi terbaik dalam Islam, yakni Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in; yang semua itu sudah disusun ilmu-ilmunya oleh para ulama, dan sampai kepada kita sekarang ini. Semua itu bisa diverifikasi, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang shahih dan mana yang dho’if/ lemah bahkan palsu (maudhu’). Sehingga sampai sekarang tetap ketahuan, mana yang benar-benar sabda Nabi saw dan yang bukan. Bahkan sampai perkataan para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan ulama yang terkemuka pun bisa dilacak. Jadi keutuhan sumber Islam itu masih terjaga, bahkan penjelasan-penjelasannya pun masih terjaga dan bisa dideteksi shohih tidaknya.

Materi Islam yang memang masih utuh dan perlu didakwahkan kepada masyarakat itu tidak dimiliki oleh para alumni IAIN –kecuali sebagian kecil yang rajin menuntut ilmu sendiri--, karena memang di perguruan tinggi yang labelnya Islam itu tidak menyajikannya sedemikian itu. Justru di sana disajikan pemikiran-pemikiran dan sejarah budaya, sebagai mata kuliah dasar, yang itu semua bukan materi Islam, dan cara mengajarkannya tanpa sanad (pertalian riwayat), hingga bukan mengikuti manhaj islami. Pengajarannya secara liar, yaitu dibebaskan berkomentar semau pikiran masing-masing. Tidak mengherankan kalau ada mahasiswa yang dengan lantang mengecam Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan sebagainya. Karena system pengajarannya tidak dirujukkan kepada Al-Qur’an dan Assunnah, dan tidak pakai manhaj yang ditempuh para ulama salafus shalih. Bahkan ketika membicarakan pemikiran sekte-sekte sesat, misalnya Ahmadiyah yang mengangkat nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad pun tidak dirujukkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar, tetapi pakai pemahaman Ahmadiyah itu pula. Akibatnya, semua sekte sesat pun dianggapnya sah-sah saja. Dan itu kemudian ditingkatkan kepada pemikiran jenis tasawuf falsafi yang sampai menganggap alam ini perwujudan Tuhan, hingga menyembah patung pun dianggapnya menyembah Tuhan, karena patung itu perwujudan Tuhan. Faham wihdatul wujud ini jelas kufur. Dan itulah pemurtadan. Masih pula ditambah lagi dengan pemikiran filsafat, yang memasukkan Ar-Razi yang tak percaya kepada kenabian dan wahyu ke dalam mata kuliah filsafat Islam. Materi-materi yang memurtadkan itu diberi label Sejarah Pemikiran Islam, dan justru menjadi mata kuliah dasar, semua mahasiswa harus ikut. Dan kalau swasta harus ujian negeri. Akibatnya, ketika para alumni IAIN itu keluar, bergelar sarjana agama, master agama, dan doctor ilmu agama, mereka tidak berbekal materi Islam yang utuh –seperti uraian di atas--, tetapi hanya berbekal landasan pemikiran-pemikiran, sejarah budaya peradaban dan semacamnya. Hingga ketika dibutuhkan untuk menyajikan materi Islam yang utuh, mereka menggunakan logika-logika, bahkan ada yang pakai cerita-cerita rekaan dan duga-duga.

Ini bukan semata-mata kesalahan para alumni IAIN, namun adalah kesalahan system pengajaran, kurikulum, dan para dosennya. Karena system itu tampaknya diadopsi oleh Harun Nasution dan Mukti Ali (para petinggi di IAIN dan Departemen Agama masa lalu) dari orientalis Barat, sedang para dosen pengajarnya pun sebagian banyak asuhan orientalis di universitas-universitas Barat. Tambahan lagi, ketika kesalahan system itu didomplengi kepentingan-kepentingan yang arahnya justru menyamakan semua agama alias pluralisme agama, tidak membedakan Islam yang beraqidah Tauhid dengan yang lain berkeyakinan kekufuran, di situlah letak pemurtadannya. Lebih-lebih kini dibuka jurusan lintas kultur, dan bahkan kampusnya itu sendiri di Jakarta, konon dideklarasikan sebagai pusat pendidikan multi faith (bermacam-macam kepercayaan) sejak 19 Maret 2005. Kalau itu benar, maka sempurnalah pemurtadan itu, tinggal di sana didirikan gereja, pure, vihara, sinagog dan semacamnya. Padahal, seperti di Universitas Sam Ratulangi Manado Sulawesi Utara, menurut seorang anggota MUI Samarinda, umat Islam sampai kini belum mendapatkan haknya untuk mendirikan masjid di kampus itu. Sedangkan hari Jum’at itu hari masuk kuliah, dan berjum’atan itu wajib bagi umat Islam. Nanti kalau UIN Jakarta justru didirikan gereja, misalnya, maka ini sangat terbalik. Hari Ahad jelas libur, lagi pula kampus itu kampus berlabel Islam, dan menurut sejarahnya pun hadiah untuk umat Islam.

Dari kenyataan yang memprihatinkan itu, buku Ada Pemurtadan di IAIN ini sebenarnya adalah membuka mata berbagai pihak, bahwasanya ada arah yang membahayakan bagi Islam dan umatnya selama ini, lewat jalur paling strategis yakni pendidikan tinggi Islam se-Indonesia, baik negeri maupun swasta.

Mengakui kesalahan dan bertaubat dari kesalahan, kemudian tidak mengulanginya lagi itulah yang disukai oleh Allah swt. Sebaliknya, tidak dinilai taubat apabila pengakuan salah itu sudah diambang kematian. Dalam masalah pendidikan tinggi Islam se-Indonesia ini kesalahan sistematis itu merupakan program yang dicanangkan dan dilaksanakan serta dibiayai. Pada gilirannya, masyarakat sudah mengetahui kesalahan fatal itu, lebih-lebih di dalam kalangan IAIN dan Departemen Agama itu sendiri, sebagian mereka sangat menyadari masalah ini.

Kini ada secercah sinar yang semoga akan jadi penerang ke jalan yang benar, disertai dengan program dan pelaksanaan yang tersusun rapi secara sistematis. Di antaranya Departemen Agama telah berkenan menghadirkan seorang ahli yang tak diragukan kepakarannya dalam membantah pembelokan-pembelokan para orientalis terhadap sumber-sumber utama Islam yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dr Muhammad Mustafa Al-A’zami asal Hindia di Universitas King Saud Riyad telah dihadirkan ke Jakarta. Beliau berbicara di pameran buku Islam di Senayan Jakarta, di UIN Jakarta, dan di Departemen Agama RI, tanggal 2, 4, dan 5 April 2005. Menteri Agama H Maftuh Basuni tampak hormat dalam sambutannya, bahkan beliau mengemukakan contoh-contoh masalah yang menginterupsi Islam misalnya teori hermeneutika (metode penafsiran bible) yang di antaranya diusung oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Sikap yang serupa dengan Menteri Agama tampaknya disandang pula oleh para doctor yang hadir dalam pertemuan di Departemen Agama 5 April 2005. Faham Islam Liberal benar-benar mereka soroti sebagai faham yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan membahayakan. Sampai-sampai Dr Nabila Lubis dari UIN Jakarta bertanya, adakah ayat yang membolehkan wanita muslimah dinikahi lelaki Kristen? Jawab Dr A’zami, Anda lebih hafal ayatnya, tetapi tentu saja tidak ada yang membolehkan hal itu.

Menteri Agama beserta jajarannya dan para pakar tampaknya menyadari betul masalah besar ini. Dan kini bukan masanya lagi seperti yang dikatakan Dr Roem Rowi dari IAIN Surabaya, bahwa Menteri Agama masa lalu hanya mengikuti apa kata Dr Harun Nasution. “Perkataan Harun Nasution seakan qoululloh (Firman Allah)”, ungkap Dr Roem Rowi waktu bedah buku ini di depan lebih dari 500 hadirin, menjawab pertanyaan tentang kurikulum IAIN, seberapa peran Menteri Agama.

Departemen Agama yang perannya bidang pembangunan rohani ini sering bisa berkilah bahwa hasil pembinaan rohani itu tidak segera bisa tampak. Lain dengan pembangunan fisik. Kini justru kondisinya tampak semua. Pembangunan fisik terutama ekonomi, makin njomplang. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin, plus makin tambah jumlah manusia yang di bawah garis kemiskinan. Sedang pembangunan rohani, makin tampak nyata adanya pemurtadan secara sistematis, lewat jalur pendidikan tinggi Islam, dengan bukti-bukti makin banyaknya faham bahkan praktek yang jauh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menghalalkan nikah antara Muslimah dengan lelaki Kristen dan Yahudi pun sudah terang-terangan dan dipraktekkan, baik untuk orang lain maupun puterinya sendiri di lingkungan dosen IAIN. Kilah bahwa pembangunan rohani tidak mudah tampak hasilnya, kini berbalik kata, yaitu perusakan rohani sudah tampak hasilnya.

Oleh karena itu, jalan terbaik adalah kembali kepada jalan yang benar. Manusia ini telah bisa diperbaiki hingga menjadi manusia teladan di dunia hanya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak ada jalan lain kecuali mengembalikan pendidikan Islam kepada pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah secara manhaj yang benar, secara sistematis dan intensif. Wadahnya sudah ada, tenaga-tenaganya pun tinggal difungsikan serta direkrut; sedang sistemnya tinggal disusun lalu diprogramkan dan dilaksanakan.

Paling kurang, ada dua masalah besar yang harus dipecahkan.
1. Sistem pendidikan di perguruan tinggi Islam.
2. Para pemberi materi dan dari mana mereka belajar.

Dalam hal system pendidikan Islam, sudah jelas bahwa fondasi Islam adalah Aqidah Tauhid. Sedang materinya adalah dua wahyu, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka system pendidikan yang Islami adalah menekankan Tauhid dan mendalami isi Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan aneka perangkat ilmunya.

Allah swt telah memberikan penegasan:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ(108)
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS Yusuf: 108).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: Allah Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya saw, memerintahkannya agar mengabarkan kepada setiap manusia dan jin tentang jalan yang ditempuhnya: Inilah jalannya, caranya, metodenya dan apa-apa yang dia lakukan, dan jalan yang dimaksud adalah mengajak manusia untuk bersaksi dan mengamalkan لاإله إلا الله tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah, Maha Esa, tidak ada sekutu baginya.

Di sini ajakan itu kepada Tauhid, Mengesakan Allah swt. Metodenya sudah ada, tinggal mengikuti Rasulullah saw. Pendidikan Islam hakekatnya adalah mengajak kepada Tauhid ini. Namun kenyataannya, di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, materi Tauhid itu sendiri tidak diajarkan. Hanya ilmu kalam, yang itu termasuk dalam Sejarah Pemikiran Islam. Padahal Tauhid inilah landasan paling utama. Bila landasannya ini salah, keropos, atau bahkan bolong, maka rusaklah agamanya.

Semua itu sudah dituntunkan oleh Rasulullah saw. Tidak memerlukan teori-teori dari lain-lain, apalagi dari orang kafir ataupun yang membenci dan mempermasalahkan Islam.

Masalah kedua, pemberi materi yaitu para dosen dan dari mana mereka itu menimba ilmu. Masalah dosen pengajar dan dari mana mereka belajar ini sangat prinsipil untuk dicermati. Karena yang diajarkan itu adalah wahyu Allah swt. Sehingga tidak bisa pengajarnya itu sembarang orang, apalagi orang yang ragu-ragu bahkan tidak percaya wahyu. Masalah ini bukan hal sepele atau remeh. Hingga Imam Muslim memberikan bab tersendiri, dan mengutip pernyataan Imam Ibnu Sirin:

صحيح مسلم ج: 1 ص: 14

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ قَالَ إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

Riwayat dari Ibnu Sirin, ia berkata: Sesungguhnya ilmu (wahyu) ini adalah agama, maka waspadalah dari siapa kamu sekalian mengambil agama kalian. (Shohih Muslim juz 1 halaman 14).

Dr Muhammad Mustafa Al-A’zami, tamu Menteri Agama RI, dalam bedah bukunya tentang The History of The Quranic Text, di Pameran Buku Islam di Senayan Jakarta, 2 April 2005, saya tanya: Bolehkah belajar Islam kepada orientalis di Universitas Barat? Beliau menjawab, kalau belajar ilmu-ilmu teknis dunia, boleh. Tetapi kalau belajar aqidah Islam, maka tidak boleh.

Diagnose sudah dilakukan. Kesalahan fatal di Perguruan Tinggi Islam se-Indonesia sudah tampak nyata. Kini tinggal terapinya. Jalan untuk menempuhnya pun sudah ditunjuki oleh Allah dan Rasul-Nya. Tinggallah para pelaksana yang kini diamanati untuk mengemban amanah itu untuk menunaikannya dengan benar. Umat Islam pun menunggunya dengan setia.

Semoga buku ini bermanfaat bagi umat Islam, dan diridhoi oleh Allah swt, Amien ya Robbal ‘alamien.


Jakarta, Rabu 27 Shafar 1426H / 6 April 2005.

Penulis:
Hartono Ahmad Jaiz


Baca di : http://mcb.swaramuslim.net/index.php?section=25&page=-1





image


ada 4 thread komentar 1016 hits - dibaca 9049 hits

 

Hak cipta dilindungi oleh Allohu Subhanahu wa Ta'ala
TIDAK DILARANG KERAS mengcopy, memperbanyak, mengedarkan
untuk kemaslahatan ummat syukur Alhamdulillah sumber dari swaramuslim dicantumkan

Questions & suggestion or problems regarding this web site should be directed to webmaster

Copyright © Sep 2002 - swaramuslim - power with Pmachine All right reserved

in association with Muslim Netters Association

best viewed with IE Resoluton 800 X 600