mcb-025 : Ada Pemurtadan di IAIN
Oleh : Erros Jafar 13 Oct, 05 - 4:00 pm
Pengantar Penerbit
Segala puji bagi Allah. Salam dan shalawat kita panjatkan ke hadirat
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, Rasul pilihan dan manusia
teragung yang dilahirkan di dunia ini.
Ketika penerbit disodori naskah buku ini, terus terang tanpa pikir
panjang kita setujui. Karena tulisan beliau (Hartono Ahmad Jaiz) sudah
lebih dari sepuluh judul yang kita publikasikan, jadi kita sudah
mengenal luar dan dalam penulisnya. Dan umumnya buku-buku penulis
berupa tanggapan terhadap fenomena kerusakan-kerusakan akidah yang
mendera umat Islam di Indonesia semenjak Orde Baru hingga terkini.
Kalau kali ini yang kena ‘giliran’ IAIN tidaklah terlalu mengejutkan.
Sebab memang mereka yang jadi pemicunya. Ibarat pepatah, siapa yang
menabur angin akan menuai badai.
Fenomena maraknya kelompok yang menamakan dirinya sebagai Islam
Liberal, sangat banyak yang berasal dari IAIN maupun UIN. Bahkan
ditengarai justru IAIN-IAIN dan UIN-lah yang menjadi lahan yang subur
maraknya barisan pengusung paham liberal. Sehingga pengusung paham
pluralisme agama, nikah beda agama, pikiran-pikiran yang keluar dari
mainstream Qur’an-Sunnah banyak sekali dilahirkan dari rahim IAIN.
Jadi kalau sekarang giliran IAIN-IAIN dan UIN ‘diserang’ itu tadi imbas
dari serangan yang bertubi-tubi dilakukan oleh dosen-dosen IAIN dan UIN
terhadap akidah Islam, terhadap Allah, Rasul-Nya dan kitab sucinya.
Jadi jika buku ini menyinggung para pendidik di lingkungan IAIN ya itu
wajar dan bisa dimengerti karena tidak semua dosen bersikap seperti
yang ditulis dalam buku ini.
Namun kalau urusannya hanya sekadar tersinggung, mestinya
ketersinggungan umat Islam terhadap lembaga IAIN yang kini telah
diliberalkan oleh oknum-oknum di IAIN pasti jauh lebih besar dan
menyakitkan dibanding ketersinggungan dosen-dosen IAIN terhadap
munculnya buku ini. Karena buku ini hanya ‘sentilan’ ringan dibanding
hantaman besar yang dilakukan oleh tokoh-tokoh liberal di IAIN yang
terang-terangan menghina Allah dan ajarannya yang terus-menerus
dijajakan ke masyarakat. Masih mending jika keliberalan itu diyakini
sendiri-sendiri tidak dijual dan ditularkan ke anak didik dan
masyarakat.
Namun jika keliberalan dijadikan kurikulum dan diwajibkan ke
mahasiswanya bahkan kini ditambah pelajaran hermeneutika untuk
mengganti metode tafsir Al-Qur’an, maka sudah wajar jika umat Islam
marah karena ajaran Islamlah yang sedang diacak-acak mengikuti kemauan
para orientalis Barat.
Mudah-mudahan bukan suasana marah yang terjadi, namun justru ada upaya
saling introspeksi dan membuka diri. Jika pendapatnya salah dan
berakibat buruk buat umat Islam dan bangsa, mestinya tidak perlu
sungkan-sungkan meralat dan mengakui kesalahannya. Toh jabatan, pujian,
kekuasaan dan umur, pendek belaka. Lalu buat apa hanya demi mengejar
jabatan dan pujian justru akidah digadaikan yang bisa berakibat
mendapat murka Allah.
Karena kita masih sayang terhadap IAIN yang kini sudah dikotori dan
terkontaminasi wabah liberal binaan orientalis Barat, mudah-mudahan
dapat kembali kepada jalan Islam yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.
Semoga upaya penyebaran buku ini bisa dipahami sebagai bagian amar
ma’ruf nahyi mungkar.
Pustaka Al-Kautsar
Pengantar Penulis
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Alhamdulillahi Robbil ‘alamien
Shalawat
dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad saw, para
keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang setia
dengan baik sampai akhir zaman.
Amma ba’du. Buku ini kami beri judul Ada Pemurtadan di IAIN, isinya mengenai bukti-bukti kenyelenehan
(keanehan) pendapat yang muncul dari kampus-kampus Perguruan Tinggi
Islam di Indonesia, yakni di IAIN (Institut Agama Islam Negeri), UIN
(Universitas Islam Negeri), STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) ,
dan STAIS (Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta) di Indonesia, dan apa
yang melatar belakanginya.
Kenyelenehan itu sudah merajalela ke mana-mana dan telah membahayakan
bagi Islam dan umatnya, apalagi justru ada gejala bahwa kenyelenehan
itu menjadi system pendidikan tinggi Islam di Indonesia, yang arahnya
menjauhkan umat Islam dari agamanya yang benar.
Pembunuhan secara fisik yang terjadi di mana-mana di dunia ini, biasa
disebut sebagai kesadisan. Namun pembunuhan secara non fisik yaitu
membunuh iman tauhidi diganti dengan kemusyrikan dengan nama pluralisme
agama adalah lebih sadis dibanding pembunuhan fisik. Apalagi pembunuhan
iman ini justru dilaksanakan secara sistematis, terencana rapi, dan
secara serempak, didanai oleh negeri ini dan Barat. Maka jauh lebih
sadis dibanding pembunuhan massal. Karena, orang-orang yang dibunuh
fisiknya, ketika mereka itu imannya di dada masih utuh, maka insya
Allah masuk surga. Sedang kalau pembunuhan massal itu yang dibunuh
adalah iman di dada, di ganti dengan kemusyrikan yang namanya
dimenterengkan menjadi pluralisme agama, maka jurusannya adalah neraka
selamanya.
Baik pembunuhan iman maupun pembengkokan pemahaman Islam serta
penjauhan umat dari sumber-sumber otentik/ murni Islam, semuanya itu
adalah aksi sadis yang memusuhi Islam dan umatnya.
Di samping adanya masalah sangat serius seperti itu, masih ada masalah
sangat serius yang lainnya lagi, yaitu keilmiahan yang dipereteli
secara sistematis pula, sehingga yang ada justru sosok-sosok memalukan
yang bicaranya tidak lebih baik ketimbang seniman jalanan.
Bukti-bukti berikut ini yang akan berbicara.
Mengklaim Diri Tambah Hebat
Ada perkataan-perkataan orang yang ketika kehabisan hujjah
(argumentasi) lalu mengklaim dirinya sebagai orang yang tambah khusyuk,
tambah luas ilmunya dan sebagainya ketika memakai metode atau pemahaman
yang dianggapnya benar, padahal tidak sesuai dengan Islam. Kalau yang
berbicara itu hanya orang awam agama yang tidak berkecimpung dalam
dunia keilmuan atau perguruan tinggi Islam ataupun masyarakat luas,
maka pembicaraan ngawur tentang agama tidak punya pengaruh apa-apa,
kecuali pada dirinya atau teman dekatnya yang setia. Namun kata-kata
ngawur hanya berhujjah dengan klaim tentang dirinya, dan itu dilakukan
oleh doctor-doktor di perguruan tinggi Islam, sangat berbeda masalahnya.
Untuk lebih jelasnya, perlu diberi contoh nyata.
Khabar dari Adian Husaini, aktivis KISDI (Komite Indonesia untuk
Solidaritas Dunia Islam), dia berdiskusi di Kampus Paramadina Jakarta,
Rabu 22/5 2002 dengan Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer (keduanya
dosen Universitas Islam Negeri/ dahulu IAIN) Jakarta, dan Martin Sinaga
tokoh Kristen dari Teologia, di hadapan mahasiswa pascasarjana
Paramadina Jakarta. Nurcholish berpanjang kalam tentang fahamnya yang
pluralis (menyamakan semua agama) lalu pergi. Setelah itu Adian membaca
surat Nurcholish Madjid tentang kasus akan menikahnya puteri Nurcholish
dengan lelaki Yahudi. Surat electronik (email) dari Nurcholish Madjid
itu ditujukan kepada puterinya, Nadia di Amerika, Agustus 2001, yang
mau kawin dengan David, Yahudi (kemudian dinikahkan oleh Nurcholish
Madjid dengan akad universal, bukan akad agama, September 2001). Adian
punya copian surat itu karena kasus pernikahan puteri Nurcholish Madjid
(Muslimah) dengan lelaki Yahudi itu diberitakan di Majalah Media
Dakwah, lalu Nurcholish Madjid memberikan copian surat dari dirinya
untuk puterinya itu kepada Redaksi Media Dakwah, sedang Adian Husaini
adalah salah satu penulis di majalah itu. Isi surat Nurcholish Madjid
itu kemudian dibacakan Adian Husaini di Paramadina dalam acara 22/5
2002, yang baru saja Nurcholish berbicara panjang lebar tentang
fahamnya yakni pluralisme agama (menyamakan semua agama), tetapi lalu
pergi. Nah, saat tidak ada Nurcholish itulah suratnya dibaca oleh
Adian, yang isinya sangat bertentangan dengan uraian Nurcholish Madjid
yang baru saja usai. Surat Nurcholish Madjid kepada puterinya itu
berisi bahwa kalau sampai terjadi antara puterinya dengan lelaki Yahudi
yang dimaksud, maka menurut Nurcholish Madjid –dalam suratnya– termasuk
dosa terbesar setelah syirik… Hadirin diskusi di Paramadina itu kaget,
kata Adian. Lalu
Kautsar Azhari Noer (petinggi di Paramadina dan dosen UIN –Universitas
Islam Negeri/ dahulu IAIN—Jakarta) berkilah, dengan jadi orang pluralis
ternyata dirinya merasa lebih khusyuk, dan dia katakan, kalau yang
masuk surga hanya orang Islam, maka betapa sedikitnya, karena penduduk
dunia ini yang Islam hanya sedikit.
Cerita Adian itu dalam bentuk-bentuk yang hampir sama, mudah ditemukan
di sana sini. Misalnya, ungkapan yang hampir sama modelnya dikemukakan
pula oleh seorang dosen UIN/ dahulu IAIN Jogjakarta, bahwa dengan
hermeneutika (metode tafsir Bible) maka dirinya tambah luas
pengetahuannya tentang tafsir Al-Qur’an. Dosen ini berbantah dengan
Muchib Aman Aly keponakan KH Muhammad Subadar Pasuruan Jawa Timur di
Muktamar NU di Donoudan Boyolali/ Solo Jawa Tengah, November 2004.
Dosen IAIN Jogja itu mengatakan: “…Justru dengan hermeneutika pemahaman
saya terhadap Al-Qur’an bertambah.”
Syukurlah kalau begitu. Hanya saja, menurut penuturan Adian Husaini
ketika mengadakan workshop tentang Bahaya Hermeneutika menurut Islam,
di Jogjakarta, Ramadhan 1425 H, ada dosen IAIN yang mengaku mengajarkan
ilmu tafsir dan juga hermeneutika (metode tafsir untuk Bible)
marah-marah dan mempertahankan hermeneutika di depan Adian Husaini,
Hamid Fahmy Zarkasyi, dan Adnin Armas; ketiganya aktivis Indonesia,
kandidat doctor yang berkuliah di Malaysia yang mengemukakan bahwa
hermeneutika adalah parasit/ benalu bagi Islam. Lalu sang dosen yang
mengaku mengajar ilmu tafsir dan hermeneutika itu ditanya, ayat mana
saja yang perlu memakai hermeneutika dan ayat mana saja serta kapan
yang memerlukan ilmu tafsir. Ternyata dosen itu tak bisa menjawab.
Pengakuan bahwa dirinya tambah khusyuk dengan jadi orang yang
berkeyakinan pluralisme agama (menyamakan semua agama), lebih tambah
pemahamannya tentang Al-Qur’an dengan memakai hermeneutika, itu bukan
kata-kata yang ilmiah. Itu sama saja dengan celoteh Nurul Arifin
(beragama Islam), artis yang dulunya suka berpakaian minim, mengaku
bahagia nikah dengan lelaki Nasrani 2. Atau satu strip di atas pengakuan seniman perempuan derigent orkestra T&T, Tia Subiakto, yang tak berjilbab 3
lagi, lalu menyatakan, Daripada saya berjilbab tapi masih selingkuh….,
biarpun saya tak berjilbab tapi masih tetap sholat dan berkarya (seni).
Biarpun orang menghujat atau saya dilempari telur busuk sekalipun, saya
siap. Saya melepas jilbab bukan keterpaksaan, tapi atas kesadaran
sendiri. 4
Dari contoh-contoh itu bisa ditarik beberapa masalah:
- Berbicara masalah agama, masalah yang sangat memerlukan
kecermatan, keakuratan, dan kehati-hatian, cukup dicelotehi dengan
berdasarkan klaim tentang apa yang mereka rasakan dan tekadkan.
- Berbicara tentang pelanggaran agama atau yang membahayakan bagi
agama, cukup dikilahi dengan keberanian dirinya yang melanggar atau
menjalani bahaya itu, sambil mengklaim bahwa itu lebih menambah ini dan
itu yang sifatnya positif. Sehingga justru berbalikan dari aturan agama
itu sendiri, yang pada dasarnya hal-hal yang dilarang atau diberi tahu
bahwa itu bahaya, mesti karena ada mudhorotnya. Tetapi oleh
pelanggar-pelanggar ini justru dikilahi bahwa justru melanggar dan
masuk kepada yang bahaya ini lebih positip.
- Berbicara agama tidak ada lagi bedanya antara yang bergelar ilmuwan
–apalagi bertugas sebagai pengajar di perguruan tinggi Islam-- dengan
artis-artis yang awam agama dan agamanya hanya sebagai polesan, yang
dulu dikenal dengan istilah “Islam abangan” atau “Islam KTP” (kartu
tanda penduduk. Ada muballigh yang berseloroh, kalau Islamnya hanya
Islam KTP, maka kelak yang masuk surga bukan orangnya, tapi KTP-nya).
- Dua jenis profesi, yang satu dosen di perguruan tinggi Islam
negeri, dan satunya lagi di dunia pernyanyian – perfilman, punya
pengaruh besar di masyarakat. Yang satu memberikan tuntunan dan yang
satunya lagi menjadi tontonan; tetapi kedua-duanya sama-sama sengak
(tidak enak) omongannya, dan membahayakan bagi agama.
- Masyarakat sekarang banyak yang “dibina” oleh dua kelompok itu,
pendidik dan artis –seniman. Karena kedua-duanya banyak pengaruhnya di
masyarakat. Kalau kedua-duanya ternyata rusak bahkan membahayakan bagi
agama, maka agama masyarakat sangat terancam.
Kenapa bisa terjadi yang demikian, yaitu ilmuwan yang berkecimpung
untuk menyebarkan ilmu-ilmu Islam kepada generasi penerus, justru
pemikiran dan pemahaman mereka sendiri sudah rusak?
Untuk menjawab pertanyaan itu perlu ditelusuri sebab-sebab yang melatar
belakangi kerusakan pemikiran dan pemahaman mereka. Sampai omongan dan
pendapat mereka tidak lebih dari omongan sampah artis-artis pelanggar
agama, itu sebenarnya sudah amat sangat memalukan. Namun, tidak cukup
hanya sekadar tahu bahwa itu memalukan plus membahayakan. Masih perlu
tahu pula latar belakang dan penyebabnya, hingga agar tahu bahwa ada
rancangan yang lebih dahsyat lagi untuk menghancurkan Islam ini.
Rancangan Dahsyat Untuk Menjauhkan Umat Dari Sumber-sumber Islam
Untuk menjelaskan itu, pembaca yang budiman, izinkanlah saya sedikit
berkisah tentang pengalaman hidup. Saya waktu kuliah di IAIN Jogjakarta
1974-1980 banyak berada di seantero komplek IAIN, di perumahan dosen
(karena bekerja di percetakan milik seorang dosen), sedang tempat main
saya adalah Wisma Sejahtera tempat awal-awal diadakan pendidikan purna
sarjana bagi dosen-dosen IAIN se-Indonesia, yang disebut SPS, Studi
Purna Sarjana, atau PGS Post Graduate Study (sebelum adanya S2 dan S3
di IAIN). Pendidikan itu selama 6 bulan, diasramakan, secara berganti
ganti, tiap angkatan ada sejumlah dosen yang dididik oleh Harun
Nasution dari Jakarta dan lainnya. Hampir tiap sore saya main volley
bersama para dosen utusan dari berbagai IAIN se-Indonesia itu. Tetapi
tidak berarti saya bergaul dengan seluruh angkatan. Saya sempat bergaul
akrab dengan angkatan 1977 seperti Pak Muhyiddin Suwondo dan Pak Umar
Said dari IAIN Surabaya, Pak Lantif, Pak Musthofa Sonhadji Kudus dan
lain-lain. Malahan saya diberi semua makalah yang dibuat oleh seluruh
peserta SPS dari seluruh Indonesia tentang seluruh pembahasan selama 6
bulan yang telah didiskusikan di pendidikan khusus para dosen itu.
Entah kenapa Pak M. Khozin Siraj (almarhum) alumni Mesir, dekan
Fakultas Adab IAIN Jogjakarta, memberikan seluruh makalahnya (dari
seluruh peserta) kepada saya. Memang beliau suka meminta saya untuk
membuatkan makalah saat itu.
Dari seluruh makalah itu, semua arahnya adalah apa yang sekarang
dijadikan arahan kurikulum yang sifatnya apa yang mereka sebut sosio
historis plus filsafat. Sehingga tidak mengherankan, kini pendidikan
tinggi Islam di Indonesia, mata kuliah dasarnya, yaitu yang seluruh
mahasiswa harus ikut, dan kalau swasta harus ujian negara, adalah mata
kuliah SPI (Sejarah Pemikiran Islam) dan SKI (Sejarah Kebudayaan/
Peradaban Islam). SPI itu sendiri isinya tentang sekte-sekte dalam
Islam, tasawuf (falsafi), dan filsafat Islam. Termasuk dalam materi
kuliah filsafat Islam itu Ar-Razy yang tidak percaya wahyu dan
kenabian. Aneh, orang semacam itu bisa dimasukkan dalam jajaran
filosuf-filosuf Islam. Sedangkan ketika membahas sekte-sekte, tidak
pernah ada tarjih, mana yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Maka akibatnya semua sekte dianggapnya sama saja,
boleh-boleh saja, sampai yang mengangkat nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad
pun ketika dibahas tidak dipandang dari segi pemahaman Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan manhaj Ahlus Sunnah, tetapi ya model pemahaman
Ahmadiyah. Maka dianggapnya sah-sah saja. Kemudian SKI pun
pembahasannya tidak seperti pelajaran Tarikh Islam yang memakai sanad
(pertalian riwayat) ataupun keterangan yang shahih. Sehingga mahasiswa
boleh-boleh saja mengecam Utsman bin Affan ra sahabat Nabi saw sebagai
nepotisme. Makanya ketika ada orang yang kini menyuarakan bahwa Mushaf
Utsmani mengalami copi editing oleh para sahabat, atau tangan
kekuasaan, ternyata tidak terdengar dampratan dari pihak IAIN.
Dalam makalah-makalah SPS para dosen IAIN se-Indonesia tersebut, tidak
ada pendalaman ilmu tafsir, tafsir, ulumul Qur’an, hadits, mushtolah
hadits, fiqh, ushul fiqih dan ilmu-ilmu syari’ah secara mendeteil.
Tidak. Bahkan aqidah yang menjadi fondasi Islam ini pun tak dibahas
sesuai dengan ilmu Tauhid yang memakai dalil-dalil secara mendeteil.
Yang dibahas hanyalah ilmu kalam yang sudah bercampur filsafat. Hanya
ilmu kalam dan sekte-sekte itulah yang diperpanjang-panjangkan
pembahasannya. Pembahasan filsafat sangat diperdalam sampai ada
filosuf-filosuf Barat, filosuf Islam dan sebagainya. Juga para
penyeleweng bahkan dipuji sebagai pembaharu dalam Islam.
Sebagai contoh, makalah Karya Ilmiyah Wajib, disusun dalam rangka
kuliah Pemikiran dalam Islam dan Alam Pemikiran Modern dalam Islam,
dengan guru Besar Dr Harun Nasution, berjudul Rifa’a Badawi Rofi’I
Al-Thahtawi (1801-1873). Di antara isinya:
“Lebih maju lagi pendapatnya tentang kedudukan wanita. Misalnya bahwa
pergaulan laki-laki dengan wanita tidaklah akan membawa kerusakan,
malah akan sama-sama menjaga kepribadian masing-masing, kalaupun ada
maka dianggap seseorang penghianat atau amoral. Begitu pula halnya
bepergian bersama antara laki-laki dengan wanita. Suatu contoh lagi
dikemukakannya, bahwa apa yang dilihatnya di Paris tentang dansa lebih
baik dari tari wanita yang ada di Mesir. Kalau dansa tidaklah akan
menimbulkan hal-hal yang negatif, lain halnya dengan tari di Mesir.”
Dalam karya yang disebut ilmiyah wajib itu kemudian diakhiri dengan
kesimpulan, dan kesimpulan nomor satu adalah: “Al-Thahtawi dianggap
sebagai generasi pertama dalam alam pembaharuan pemikiran di Mesir abad
ke-19.”
Malahan sebelum kesimpulan itu ada opini penulisnya: “Secara tidak
langsung Al-Thahtawi telah membangun bangsa Mesir waktu itu yang statis
dan patalis menjadi umat yang dinamis dalam mengejar kemajuan dan
kejayaan.”
Itulah contoh nyata karya ilmiyah wajib yang sekarang namanya jadi
keren, SPI (Sejarah Pemikiran Islam), saat itu namanya Pemikiran dalam
Islam dan Alam Pemikiran Modern dalam Islam, dengan guru besar Dr Harun
Nasution.
Di situ tidak ada dalil secuil pun untuk membantah pendapat penyeleweng
yang justru disebut sebagai “sang pembaharu generasi pertama di Mesir
itu”. Yang ada justru pujian. Seperti itulah arahnya. Dan itu bukan
sekadar dosen yang dibimbing Harun Nasution, justru Harun sendiri pula
yang mengobarkan Thahtawi --yang menghalalkan ikhtilath (campur aduk
laki perempuan dan dansa-dansi) itu sebagai pembaharu (dalam Islam)
lewat buku Harun yang menjadi bacaan/ pegangan di IAIN-IAIN. Hingga
dalam buku saya Bahaya Islam Liberal masalah ini saya kemukakan sebagai
berikut:
Harun Nasution ataupun kurikulum di IAIN menamakan seluruh tokoh Islam
Liberal itu dengan sebutan kaum Modernis atau Pembaharu, dan dimasukkan
dalam mata kuliah yang disebut aliran-aliran modern dalam Islam. Yaitu
membahas apa yang disebut dengan pemikiran dan gerakan pembaruan dalam
Islam. Kemudian istilah yang dibuat-buat itu masih dikuat-kuatkan lagi
dengan istilah bikinan yang mereka sebut Periode Modern dalam Sejarah
Islam.
Pemerkosaan seperti itu diujudkan dengan menampilkan buku, di antaranya
Harun Nasution menulis buku yang biasa untuk referensi di seluruh IAIN
dan perguruan tinggi Islam di Indonesia, Pembaharuan dalam Islam
–Sejarah dan Gerakan, terbit pertama 1975. Dalam buku itu, pokoknya
hantam kromo, semuanya adalah pembaharu atau modernis. Sehingga yang
revivalis (salafi) seperti Muhammad bin Abdul Wahab yang mengembalikan
Islam sebagaimana ajaran awalnya ketika zaman Nabi, sahabat, tabi’in
dan tabi’it tabi’in, sampai yang menghalalkan dansa-dansa campur aduk
laki perempuan seperti Rifa’at At-Thahthawi (Mesir) semuanya
dikategorikan dalam satu nama yaitu kaum Modernis.
Mendiang Prof Dr Harun Nasution alumni McGill Canada yang bertugas di
IAIN Jakarta itu pun memuji Rifa'at Thahthawi (orang Mesir alumni
Prancis) sebagai pembaharu dan pembuka pintu ijtihad (Pembaharuan dalam
Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal 49).
Padahal, menurut Ali Muhammad Juraisyah dosen Syari'ah di Jami'ah Islam
Madinah, Rifa'at Thahthawi itu alumni Barat yang paling berbahaya.
Rifa'at Thahthawi tinggal di Paris 1826-1831M yang kemudian kembali ke
Mesir dengan bicara tentang dansa yang ia lihat di Paris bahwa hanya
sejenis keindahan dan kegairahan muda, tidaklah fasik berdansa itu dan
tidaklah fasik (tidak melanggar agama) berdempetan badan (dalam
berdansa laki-perempuan itu, pen).
Ali Juraisyah berkomentar: Sedangkan Rasulullah SAW bersabda:
لِكُلِّ بَنِي آدَمَ حَظٌّ مِنْ الزِّنَا
فَالْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْيَدَانِ
تَزْنِيَانِ وَزِنَاهُمَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلَانِ يَزْنِيَانِ
وَزِنَاهُمَا الْمَشْيُ وَالْفَمُ يَزْنِي وَزِنَاهُ الْقُبَلُ
وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ
يُكَذِّبُهُ
Artinya: "Setiap bani Adam ada potensi berzina: maka dua mata berzina
dan zinanya melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki
berzina dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium,
hati berzina dan berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang
farji/ kemaluan membenarkan yang demikian itu atau membohongkannya.”
(Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal 243, sanadnya shohih, dan hadits-hadits
lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda namun maknanya sama).
Benarlah Rasulullah SAW dan bohonglah Syekh Thahthawi. 5
Langkah penjauhan dari materi-materi dasar aqidah dan syari’ah
dialihkan kepada materi-materi yang menjejali pikiran menjadi orang
yang tak mengikuti Islam dengan baik ini sudah diprogramkan secara
nyata. Ketika para dosen itu disibukkan dengan aneka filsafat, aneka
sekte, aneka pemikiran aneh dan tak sesuai dengan Islam, maka
penggiringan ke arah apa yang kini disebut sosio histories plus
filsafat itu sudah dibuat jalur landasannya. Kemudian mereka tampaknya
ada yang dikuliahkan ke S2 dan S3, lalu jadi doctor-doktor. Sebagian
memang dikuliahkan ke negeri-negeri Barat untuk belajar Islam kepada
orang kafir, dan sebagian berkuliah di pasca sarjana IAIN sendiri
(sebagai bentuk baru setelah adanya SPS itu tadi) diasuh oleh guru
besar anak asuh orientalis dan didatangkan pula orientalis dari Barat
ke IAIN. Hingga ketika di antara mereka sudah jadi doctor bahkan guru
besar di Jakarta, dan ternyata saya jadi muridnya lalu saya bantah
beliau karena pemikirannya jauh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka
beliau mengeluarkan kata-kata dengan wajah memerah: “Dari mana Anda
belajar?!”
“Ya, dari PGA (Pendidikan Guru Agama), lalu IAIN, Pak” jawabku tanpa
menyebutkan bahwa makalah-makalah beliau dan teman-temannya
se-Indonesia yang tak lain arahnya adalah penggiringan ke arah
penjauhan dari pemahaman Islam yang benar itu sudah ada di tangan saya
sejak lama.
Dengan arah pendidikan Islam di perguruan tinggi Islam se-Indonesia
seperti itu, yaitu yang penekanannya justru ke arah sosio histories
plus filsafat, yang secara sistematis menyingkirkan ilmu-ilmu Islam
yang baku serta metode keilmuan Islam, maka ada dua hal prinsip yang
telah dibelokkan.
- Epistemologi 6
yang dimiliki oleh para dosen yang sudah dirancang sedemikian rupa itu
tadi sudah jauh dari epistemology Islam. Sehingga ketika berbicara
tentang Islam, maka sudah tidak seperti yang dikemukakan oleh para
ulama (salafus shalih).
- Materi ilmu yang dimiliki para dosen yang ditingkatkan
pendidikannya itu bukan materi ilmu-ilmu yang berupa ilmu Islam yang
materinya wahyu Allah yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
perangkat-perangkat ilmu yang telah diwariskan oleh para ulama. Tidak
dimiliki pula manhaj (metode pemahaman) yang sesuai dengan pemahaman
para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’en sebagai generasi terbaik yang
paling faham tentang Islam.
Dengan dua problem mendasar yang amat sangat berbeda jauh dengan
kebutuhan dan ilmu Islam itu, maka ketika mereka berbicara Islam, tidak
berbeda dengan artis Nurul Arifin ataupun seniman Tia Subiakto yang
dengan seenak perutnya sendiri berceloteh tentang agama, dengan dalih
apa yang dirasakan di dalam dirinya. Sementara itu mereka ini duduk di
perguruan tinggi Islam, mengajar tentang Islam. Di samping itu mereka
sebenarnya hanyalah sebagai ujung-ujung tombak dari tangan-tangan yang
membuat system sekularisasi. Dan itu biangnya adalah Barat. Di saat
negeri ini banyak ketergantungannya kepada Barat, maka tenaga-tenaga
pengajar Islam di Perguruan Tinggi Islam ini menjadi ujung-ujung tombak
kepentingan negeri ini dan Barat. Semuanya (negeri ini dan Barat) tidak
ada yang tulus ikhlas bila Islam bisa difahami oleh umat Islam seperti
apa adanya, sesuai dengan materi dan manhaj yang benar.
Untuk bekerja seberat itu, yaitu menghadapi Islam yang benar,
sebenarnya mereka berat, karena bagaimanapun, Islam adalah agama yang
haq/ benar, dan secara keilmuan telah amat sangat mantap dibanding ilmu
agama-agama apapun di dunia. Lebih berat lagi, senjata yang diberikan
oleh Barat di antaranya hermeneutika (metode tafsir Bible) yang sudah
difilsafatkan dan mampu melumerkan Kristen hingga Kristen bisa tunduk
kepada Barat; sementara masih ditolak oleh umat Islam. Dan kalau toh
dipakai, yang akan jadi korban adalah para pelaksana-pelaksananya,
yaitu para dosen-dosen IAIN itu sendiri. Karena, Islam ini tidak
sekeropos agama Yahudi dan Nasrani yang bisa ditembus dengan
hermeneutika untuk diBaratkan. Sementara itu tenaga-tenaga IAIN itu tak
secanggih orientalis-orientalis itu sendiri. Karena kadar mereka dalam
keilmuan Islam itu sendiri masih kalah dengan ulama, sedang kadar
kefilsafatan juga kalah dengan orientalis, padahal Agama Islam yang mau
mereka garap ini lebih tegar dibanding agama Yahudi dan Kristen.
Sebenarnya bisa diucapi kasihan mereka itu (bahasa pelawaknya, kasihan
deh lu) jadi agen-agen Barat yang kerjanya lebih berat. Itu dari segi
pemandangan lahiriyah. Belum dari segi agama, apakah mereka tidak takut
Allah swt, bahwa Islam itu agama Allah? Janganlah kalian jadi
Abrahah-Abrahah yang demi menjilat atasannya di seberang lautan atau
demi kedudukan lalu berani menyerang Ka’bah milik Allah swt. Dan
janganlah IAIN-IAIN, UIN, STAIN dan STAIS se-Indonesia ini dijadikan
sarang-sarang untuk menciptakan wadyabala Abrahah yang akibatnya
dihujani batu dari neraka sijjil oleh Allah swt.
Atas keprihatinan seperti itulah buku ini saya tulis. Karena saya
adalah salah satu dari yang dulunya diasuh di IAIN. Dan apa yang saya
katakan ini esensinya dirasakan pula oleh ulama yang ada di dalam IAIN,
misalnya Pak Roem Rawi di IAIN Surabaya.
Dengan demikian, mudah-mudahan buku ini menjadi semacam salah satu
peringatan sebelum semuanya jadi rusak dan dimurkai Allah swt.
Keridhoan manusia apalagi manusia kafir sebenarnya sama sekali bukan
tujuan. Tetapi kalau di dunia ini pencarian keridhoan orang kafir itu
jadi semacam trend, maka itu musibah besar, apalagi dilaksanakan secara
sistematis dan dibiayai oleh negara dan duit umat Islam. Itu sangat
ironis, berbahaya, dan mencelakakan.
Untuk terwujudnya buku ini banyak harus saya ucapkan terimakasih kepada
para ulama, ustadz, da’I, aktivis penuntut ilmu, sahabat-sahabat dan
handai taulan yang memberikan aneka kemudahan dan dorongan untuk
terwujudnya buku ini. Lebih dari itu tentu saja kami bersyukur
alhamdulillah kepada Allah swt yang Maha Memberi anugerah kepada
hamba-Nya.
Kepada saudara-saudaraku dan teman-teman yang kemungkinan kejatuhan
durian runtuh, maka saya berharap, ambil isinya, dan buang kulitnya.
Mungkin kulitnya nampak kasar dan berduri, namun itu justru untuk
melindungi isi yang perlu disampaikan bersama kulit yang khasnya begini.
Bagaimanapun, kami yakin, buku ini banyak kekurangannya, maka kami
berharap kepada para pembaca yang budiman untuk menyampaikan
saran-saran yang membangun, yang kemungkinan bisa untuk perbaikan dalam
penerbitan berikutnya, insya Allah.
Akhirnya, hanya kepada Allah kami menyembah dan hanya kepada-Nya kami
minta pertolongan. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kami,
keluarga, dan umat Islam pada umumnya. Amien ya Rabbal ‘alamien.
Jakarta, Selasa 13 Muharram 1425H/ 22 Februari 2005M
Penulis:
Hartono Ahmad Jaiz
FOOTNOTE
1. Kenapa sebagai dosen di UIN dan Paramadina serta perguruan
tinggi Islam lainnya tetapi pernyataannya seperti itu? Padahal sudah
jelas ancaman neraka kepada siapa saja yang tak beriman, dan itu adalah
justru kebanyakan dari manusia ini. Allah telah menegaskan:
أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوهُ
شَاهِدٌ مِنْهُ وَمِنْ قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَى إِمَامًا وَرَحْمَةً
أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ مِنَ الْأَحْزَابِ
فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ فَلَا تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِنْهُ إِنَّهُ الْحَقُّ
مِنْ رَبِّكَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ(17)
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai
bukti yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh
seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Qur'an itu telah ada
kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada
Al Qur'an. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan
sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Qur'an, maka nerakalah tempat
yang diancamkan baginya karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al
Qur'an itu. Sesungguhnya (Al Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu,
tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (QS Huud: 17). Di sini setelah
adanya Al-Qur’an, yang beriman kepada Al-Qur’an itu hanyalah orang
Islam. Sedang yang tidak beriman kepada Al-Qur’an itu diancam pasti
akan dimasukkan ke neraka. Jadi selain orang Islam akan masuk neraka
semuanya, dan yang masuk surga hanya orang Islam.
2. Ayat tentang larangan lelaki non Muslim / kafir menikahi wanita Muslimah di antaranya ayat 10 Surat Al-Mumtahanah:
íóÇÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÁóÇãóäõæÇ ÅöÐóÇ ÌóÇÁóßõãõ ÇáúãõÄúãöäóÇÊõ
ãõåóÇÌöÑóÇÊò ÝóÇãúÊóÍöäõæåõäøó Çááøóåõ ÃóÚúáóãõ ÈöÅöíãóÇäöåöäøó ÝóÅöäú
ÚóáöãúÊõãõæåõäøó ãõÄúãöäóÇÊò ÝóáóÇ ÊóÑúÌöÚõæåõäøó Åöáóì ÇáúßõÝøóÇÑö áóÇ
åõäøó Íöáøñ áóåõãú æóáóÇ åõãú íóÍöáøõæäó áóåõäøó æóÁóÇÊõæåõãú ãóÇ
ÃóäúÝóÞõæÇ æóáóÇ ÌõäóÇÍó Úóáóíúßõãú Ãóäú ÊóäúßöÍõæåõäøó ÅöÐóÇ
ÁóÇÊóíúÊõãõæåõäøó ÃõÌõæÑóåõäøó æóáóÇ ÊõãúÓößõæÇ ÈöÚöÕóãö ÇáúßóæóÇÝöÑö
æóÇÓúÃóáõæÇ ãóÇ ÃóäúÝóÞúÊõãú æóáúíóÓúÃóáõæÇ ãóÇ ÃóäúÝóÞõæÇ Ðóáößõãú
Íõßúãõ Çááøóåö íóÍúßõãõ Èóíúäóßõãú æóÇááøóåõ Úóáöíãñ Íóßöíãñ(10).
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka
mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka
apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka
meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang
ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (Al-Mumtahanah/ 60: 10).
3. Kewajiban berjilbab (menutupi seluruh tubuh wanita dan berkerudung) di antaranya dikemukakan dalam ayat:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَحِيمًا(59)
Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
pengampun lagi Maha penyayang. (QS Al-Ahzaab: 59).
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا
ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya. (QS An-Nur: 31).
4. (Dia bicara di televisi swasta Februari 2005, tetapi bukan
berarti penulis menonton televisi, apalagi acara semacam itu. Penulis
mengemukakan ini dari hasil bertanya kepada orang yang menontonnya,
karena ada keperluan untuk membandingkan celoteh seniman yang
terang-terangan mencopot jilbabnya dengan dosen-dosen UIN/ IAIN yang
mengaku lebih khusyuk dan lebih tambah pemahamannya dengan cara yang
tak sesuai dengan Islam).
5. Ali Juraisyah, Asaaliibul Ghazwil Fikri lil 'Aalamil Islami, hal 13.
(Lihat, Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Islam Liberal, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta, cetakan pertama, Januari 2002, halaman halaman 24-25).
6. Epistemologi (Inggris epistemology), bagian dari falsafat, yang
membahas asal mula, bentuk/ struktur, dinamika, benar – salahnya, dan
metodologi yang bersama membentuk pengetahuan manusia. (Hassan Shadily,
Ensiklopedi Indonesia, PT Ichtiar Baru – Van Hoeve, Jakarta, jilid 2,
halaman 945).
Pengantar Penulis Cetakan II
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamien
Sholawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad saw,
keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir
zaman.
Amma ba’du. Buku Pemurtadan di I A I N ini alhamdulillah mendapatkan
sambutan yang sangat menggembirakan. Penyebarannya pun begitu cepat.
Hingga rekan-rekan di berbagai kota pun dalam jangka seminggu setelah
buku ini terbit, mereka mengabari bahwa telah membacanya. Tidak
ketinggalan pula ada pemerhati yang karena tidak bisa menghadiri acara
bedah buku ini di Islamic Book Fair, Senayan Jakarta, Ahad 27 Maret
2005/ 17 Shafar 1426 H –karena di luar Jawa misalnya—mereka memesan
VCD-nya. Rupanya mereka penasaran, karena buku yang judulnya tampak
“menghantam” IAIN ini justru dibedah oleh seorang dosen IAIN pula,
yakni Dr Roem Rowi, dosen Tafsir Al-Qur’an di Pasca Sarjana IAIN Sunan
Ampel Surabaya, alumni Al-Azhar Mesir. Lima ratus orang lebih tampak
bersimpuh lesehan dengan khusyuk mendengarkan uraian selama dua
setengah jam dalam acara bedah buku ini. Semua itu merupakan karunia
Allah swt yang wajib disyukuri.
Meskipun demikian, daya tariknya bukan lantaran bagusnya buku ini. Juga
bukan lantaran cetaknya mewah. Bukan. Cetaknya sesuai standar, sedang
bagusnya isi –ya, masa’ saya yang menilai-- perlu dicermati dulu.
Tetapi yang jelas, ketika disebut IAIN, maka setiap orang memiliki
gambaran, kesan, dan pengalaman sendiri-sendiri. Ambil contoh, seorang
dosen senior di bidang filsafat di Universitas Mulawarman Samarinda
Kalimantan Timur yang telah kenal pengajian salaf, tertarik dengan buku
ini dan beliau memesan VCD bedah buku. Itu secara lahiriyah bisa
ditelusuri, ada kesan yang melekat di dalam pengalaman hidupnya. Di
antaranya, musim haji tahun 1425H, guru ngaji beliau sedang berhaji ke
Makkah. Maka sang guru yang alumni Al-Azhar Mesir dan Ummul Quro Makkah
digantikan oleh seorang alumni IAIN. Tahu-tahu ajarannya tidak
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih,
tetapi banyak berlandaskan logika-logika, cerita-cerita, dan duga-duga.
Serta merta ustadz yang sedang berhaji di Makkah dikontak, dan
pengajian dengan guru dari IAIN dicukupkan sampai di situ saja.
Itu satu contoh. Aneka contoh sebenarnya bisa kami kemukakan, berupa
lontaran-lontaran yang tak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dari
para alumni IAIN bahkan dosen-dosennya yang kami alami langsung di
berbagai kota, bahkan peristiwa yang kami sendiri sebagai alumni IAIN
malu. Contohnya, dalam acara bedah buku di IAIN Alauddin Makassar,
setelah adu argumentasi --mengenai sesatnya aliran-aliran sesat dan
Islam Liberal-- mereka tak mampu mengemukakan dalil, maka saya dikroyok
secara fisik. Itu terjadi di IAIN Alauddin Makassar satu setengah tahun
lalu. Hingga saya dilarikan oleh para panitia, dan alhamdulillah
selamat.
Sebenarnya, masyarakat sangat membutuhkan para alumni IAIN untuk
membimbing keislaman. Namun kebutuhan itu tidak terpenuhi dengan baik,
lantaran sajian yang diberikan oleh alumni IAIN, kebanyakan tidak
sesuai standar ilmu Islam. Ilmu Islam itu materinya Al-Qur’an dan
As-Sunnah, sedang manhaj (metode pemahamannya) yang selamat adalah
manhaj salafus shalih. Yaitu metode pemahaman generasi terbaik dalam
Islam, yakni Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in; yang semua itu
sudah disusun ilmu-ilmunya oleh para ulama, dan sampai kepada kita
sekarang ini. Semua itu bisa diverifikasi, mana yang benar dan mana
yang salah, mana yang shahih dan mana yang dho’if/ lemah bahkan palsu
(maudhu’). Sehingga sampai sekarang tetap ketahuan, mana yang
benar-benar sabda Nabi saw dan yang bukan. Bahkan sampai perkataan para
sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan ulama yang terkemuka pun bisa
dilacak. Jadi keutuhan sumber Islam itu masih terjaga, bahkan
penjelasan-penjelasannya pun masih terjaga dan bisa dideteksi shohih
tidaknya.
Materi Islam yang memang masih utuh dan perlu didakwahkan kepada
masyarakat itu tidak dimiliki oleh para alumni IAIN –kecuali sebagian
kecil yang rajin menuntut ilmu sendiri--, karena memang di perguruan
tinggi yang labelnya Islam itu tidak menyajikannya sedemikian itu.
Justru di sana disajikan pemikiran-pemikiran dan sejarah budaya,
sebagai mata kuliah dasar, yang itu semua bukan materi Islam, dan cara
mengajarkannya tanpa sanad (pertalian riwayat), hingga bukan mengikuti
manhaj islami. Pengajarannya secara liar, yaitu dibebaskan berkomentar
semau pikiran masing-masing. Tidak mengherankan kalau ada mahasiswa
yang dengan lantang mengecam Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra dan
sebagainya. Karena system pengajarannya tidak dirujukkan kepada
Al-Qur’an dan Assunnah, dan tidak pakai manhaj yang ditempuh para ulama
salafus shalih. Bahkan ketika membicarakan pemikiran sekte-sekte sesat,
misalnya Ahmadiyah yang mengangkat nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad pun
tidak dirujukkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang
benar, tetapi pakai pemahaman Ahmadiyah itu pula. Akibatnya, semua
sekte sesat pun dianggapnya sah-sah saja. Dan itu kemudian ditingkatkan
kepada pemikiran jenis tasawuf falsafi yang sampai menganggap alam ini
perwujudan Tuhan, hingga menyembah patung pun dianggapnya menyembah
Tuhan, karena patung itu perwujudan Tuhan. Faham wihdatul wujud ini
jelas kufur. Dan itulah pemurtadan. Masih pula ditambah lagi dengan
pemikiran filsafat, yang memasukkan Ar-Razi yang tak percaya kepada
kenabian dan wahyu ke dalam mata kuliah filsafat Islam. Materi-materi
yang memurtadkan itu diberi label Sejarah Pemikiran Islam, dan justru
menjadi mata kuliah dasar, semua mahasiswa harus ikut. Dan kalau swasta
harus ujian negeri. Akibatnya, ketika para alumni IAIN itu keluar,
bergelar sarjana agama, master agama, dan doctor ilmu agama, mereka
tidak berbekal materi Islam yang utuh –seperti uraian di atas--, tetapi
hanya berbekal landasan pemikiran-pemikiran, sejarah budaya peradaban
dan semacamnya. Hingga ketika dibutuhkan untuk menyajikan materi Islam
yang utuh, mereka menggunakan logika-logika, bahkan ada yang pakai
cerita-cerita rekaan dan duga-duga.
Ini bukan semata-mata kesalahan para alumni IAIN, namun adalah
kesalahan system pengajaran, kurikulum, dan para dosennya. Karena
system itu tampaknya diadopsi oleh Harun Nasution dan Mukti Ali (para
petinggi di IAIN dan Departemen Agama masa lalu) dari orientalis Barat,
sedang para dosen pengajarnya pun sebagian banyak asuhan orientalis di
universitas-universitas Barat. Tambahan lagi, ketika kesalahan system
itu didomplengi kepentingan-kepentingan yang arahnya justru menyamakan
semua agama alias pluralisme agama, tidak membedakan Islam yang
beraqidah Tauhid dengan yang lain berkeyakinan kekufuran, di situlah
letak pemurtadannya. Lebih-lebih kini dibuka jurusan lintas kultur, dan
bahkan kampusnya itu sendiri di Jakarta, konon dideklarasikan sebagai
pusat pendidikan multi faith (bermacam-macam kepercayaan) sejak 19
Maret 2005. Kalau itu benar, maka sempurnalah pemurtadan itu, tinggal
di sana didirikan gereja, pure, vihara, sinagog dan semacamnya.
Padahal, seperti di Universitas Sam Ratulangi Manado Sulawesi Utara,
menurut seorang anggota MUI Samarinda, umat Islam sampai kini belum
mendapatkan haknya untuk mendirikan masjid di kampus itu. Sedangkan
hari Jum’at itu hari masuk kuliah, dan berjum’atan itu wajib bagi umat
Islam. Nanti kalau UIN Jakarta justru didirikan gereja, misalnya, maka
ini sangat terbalik. Hari Ahad jelas libur, lagi pula kampus itu kampus
berlabel Islam, dan menurut sejarahnya pun hadiah untuk umat Islam.
Dari kenyataan yang memprihatinkan itu, buku Ada Pemurtadan di IAIN ini
sebenarnya adalah membuka mata berbagai pihak, bahwasanya ada arah yang
membahayakan bagi Islam dan umatnya selama ini, lewat jalur paling
strategis yakni pendidikan tinggi Islam se-Indonesia, baik negeri
maupun swasta.
Mengakui kesalahan dan bertaubat dari kesalahan, kemudian tidak
mengulanginya lagi itulah yang disukai oleh Allah swt. Sebaliknya,
tidak dinilai taubat apabila pengakuan salah itu sudah diambang
kematian. Dalam masalah pendidikan tinggi Islam se-Indonesia ini
kesalahan sistematis itu merupakan program yang dicanangkan dan
dilaksanakan serta dibiayai. Pada gilirannya, masyarakat sudah
mengetahui kesalahan fatal itu, lebih-lebih di dalam kalangan IAIN dan
Departemen Agama itu sendiri, sebagian mereka sangat menyadari masalah
ini.
Kini ada secercah sinar yang semoga akan jadi penerang ke jalan yang
benar, disertai dengan program dan pelaksanaan yang tersusun rapi
secara sistematis. Di antaranya Departemen Agama telah berkenan
menghadirkan seorang ahli yang tak diragukan kepakarannya dalam
membantah pembelokan-pembelokan para orientalis terhadap sumber-sumber
utama Islam yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dr Muhammad Mustafa
Al-A’zami asal Hindia di Universitas King Saud Riyad telah dihadirkan
ke Jakarta. Beliau berbicara di pameran buku Islam di Senayan Jakarta,
di UIN Jakarta, dan di Departemen Agama RI, tanggal 2, 4, dan 5 April
2005. Menteri Agama H Maftuh Basuni tampak hormat dalam sambutannya,
bahkan beliau mengemukakan contoh-contoh masalah yang menginterupsi
Islam misalnya teori hermeneutika (metode penafsiran bible) yang di
antaranya diusung oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Sikap yang serupa dengan
Menteri Agama tampaknya disandang pula oleh para doctor yang hadir
dalam pertemuan di Departemen Agama 5 April 2005. Faham Islam Liberal
benar-benar mereka soroti sebagai faham yang tidak sesuai dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah dan membahayakan. Sampai-sampai Dr Nabila Lubis
dari UIN Jakarta bertanya, adakah ayat yang membolehkan wanita muslimah
dinikahi lelaki Kristen? Jawab Dr A’zami, Anda lebih hafal ayatnya,
tetapi tentu saja tidak ada yang membolehkan hal itu.
Menteri Agama beserta jajarannya dan para pakar tampaknya menyadari
betul masalah besar ini. Dan kini bukan masanya lagi seperti yang
dikatakan Dr Roem Rowi dari IAIN Surabaya, bahwa Menteri Agama masa
lalu hanya mengikuti apa kata Dr Harun Nasution. “Perkataan Harun
Nasution seakan qoululloh (Firman Allah)”, ungkap Dr Roem Rowi waktu
bedah buku ini di depan lebih dari 500 hadirin, menjawab pertanyaan
tentang kurikulum IAIN, seberapa peran Menteri Agama.
Departemen Agama yang perannya bidang pembangunan rohani ini sering
bisa berkilah bahwa hasil pembinaan rohani itu tidak segera bisa
tampak. Lain dengan pembangunan fisik. Kini justru kondisinya tampak
semua. Pembangunan fisik terutama ekonomi, makin njomplang. Yang kaya
makin kaya dan yang miskin makin miskin, plus makin tambah jumlah
manusia yang di bawah garis kemiskinan. Sedang pembangunan rohani,
makin tampak nyata adanya pemurtadan secara sistematis, lewat jalur
pendidikan tinggi Islam, dengan bukti-bukti makin banyaknya faham
bahkan praktek yang jauh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Menghalalkan
nikah antara Muslimah dengan lelaki Kristen dan Yahudi pun sudah
terang-terangan dan dipraktekkan, baik untuk orang lain maupun
puterinya sendiri di lingkungan dosen IAIN. Kilah bahwa pembangunan
rohani tidak mudah tampak hasilnya, kini berbalik kata, yaitu perusakan
rohani sudah tampak hasilnya.
Oleh karena itu, jalan terbaik adalah kembali kepada jalan yang benar.
Manusia ini telah bisa diperbaiki hingga menjadi manusia teladan di
dunia hanya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak ada jalan lain
kecuali mengembalikan pendidikan Islam kepada pemahaman Al-Qur’an dan
As-Sunnah secara manhaj yang benar, secara sistematis dan intensif.
Wadahnya sudah ada, tenaga-tenaganya pun tinggal difungsikan serta
direkrut; sedang sistemnya tinggal disusun lalu diprogramkan dan
dilaksanakan.
Paling kurang, ada dua masalah besar yang harus dipecahkan.
1. Sistem pendidikan di perguruan tinggi Islam.
2. Para pemberi materi dan dari mana mereka belajar.
Dalam hal system pendidikan Islam, sudah jelas bahwa fondasi Islam
adalah Aqidah Tauhid. Sedang materinya adalah dua wahyu, yaitu
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka system pendidikan yang Islami adalah
menekankan Tauhid dan mendalami isi Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
aneka perangkat ilmunya.
Allah swt telah memberikan penegasan:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى
بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِينَ(108)
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha
Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS
Yusuf: 108).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan: Allah Ta’ala berfirman kepada
Rasul-Nya saw, memerintahkannya agar mengabarkan kepada setiap manusia
dan jin tentang jalan yang ditempuhnya: Inilah jalannya, caranya,
metodenya dan apa-apa yang dia lakukan, dan jalan yang dimaksud adalah
mengajak manusia untuk bersaksi dan mengamalkan لاإله إلا الله tidak
ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah, Maha Esa, tidak ada
sekutu baginya.
Di sini ajakan itu kepada Tauhid, Mengesakan Allah swt. Metodenya sudah
ada, tinggal mengikuti Rasulullah saw. Pendidikan Islam hakekatnya
adalah mengajak kepada Tauhid ini. Namun kenyataannya, di Perguruan
Tinggi Islam di Indonesia, materi Tauhid itu sendiri tidak diajarkan.
Hanya ilmu kalam, yang itu termasuk dalam Sejarah Pemikiran Islam.
Padahal Tauhid inilah landasan paling utama. Bila landasannya ini
salah, keropos, atau bahkan bolong, maka rusaklah agamanya.
Semua itu sudah dituntunkan oleh Rasulullah saw. Tidak memerlukan
teori-teori dari lain-lain, apalagi dari orang kafir ataupun yang
membenci dan mempermasalahkan Islam.
Masalah kedua, pemberi materi yaitu para dosen dan dari mana mereka itu
menimba ilmu. Masalah dosen pengajar dan dari mana mereka belajar ini
sangat prinsipil untuk dicermati. Karena yang diajarkan itu adalah
wahyu Allah swt. Sehingga tidak bisa pengajarnya itu sembarang orang,
apalagi orang yang ragu-ragu bahkan tidak percaya wahyu. Masalah ini
bukan hal sepele atau remeh. Hingga Imam Muslim memberikan bab
tersendiri, dan mengutip pernyataan Imam Ibnu Sirin:
صحيح مسلم ج: 1 ص: 14
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ قَالَ إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
Riwayat dari Ibnu Sirin, ia berkata: Sesungguhnya ilmu (wahyu) ini
adalah agama, maka waspadalah dari siapa kamu sekalian mengambil agama
kalian. (Shohih Muslim juz 1 halaman 14).
Dr Muhammad Mustafa Al-A’zami, tamu Menteri Agama RI, dalam bedah
bukunya tentang The History of The Quranic Text, di Pameran Buku Islam
di Senayan Jakarta, 2 April 2005, saya tanya: Bolehkah belajar Islam
kepada orientalis di Universitas Barat? Beliau menjawab, kalau belajar
ilmu-ilmu teknis dunia, boleh. Tetapi kalau belajar aqidah Islam, maka
tidak boleh.
Diagnose sudah dilakukan. Kesalahan fatal di Perguruan Tinggi Islam
se-Indonesia sudah tampak nyata. Kini tinggal terapinya. Jalan untuk
menempuhnya pun sudah ditunjuki oleh Allah dan Rasul-Nya. Tinggallah
para pelaksana yang kini diamanati untuk mengemban amanah itu untuk
menunaikannya dengan benar. Umat Islam pun menunggunya dengan setia.
Semoga buku ini bermanfaat bagi umat Islam, dan diridhoi oleh Allah swt, Amien ya Robbal ‘alamien.
Jakarta, Rabu 27 Shafar 1426H / 6 April 2005.
Penulis:
Hartono Ahmad Jaiz
ada 4 thread komentar 1016 hits - dibaca 9049 hits |
|
|
|