Abatasya Islamic Website
  Home arrow Pustaka arrow Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah arrow Berbeda Pendapat dengan Mayoritas adalah Wajar
ml
Main Menu
Home
Al Quran
Artikel
Tokoh Islam
Pustaka Akhirnya Kutemukan Kebenaran Falsafah Haji Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah Jawaban Lengkap Atas Seminar Sehari Tentang Syi'ah Kisah Sufi Menyingkap Tabir Soros Foundation Tragedi Karbala Wasiat Imam Khomeini Zionisme Pandangan Akademis Mengenai Syiah
Komunitas
Pencarian
Login Form





Lost Password?
No account yet? Register
Latest News
Popular
Archive
10 Latest Visitors
 
Berbeda Pendapat dengan Mayoritas adalah Wajar PDF Print E-mail
User Rating: / 1
PoorBest 
Thursday, 19 May 2005

Kasus-kasus Penakwilan
Dalam bab ini kami akan menyebutkan nama beberapa orang atau tokoh yang menyalahi pendapat mayoritas kaum Muslim, namun hal itu tidak mengurangi 'adalah (kredibilitas dan integritas) mereka.

Tujuan yang ingin kami capai dalam hal ini ialah demi menjelaskan alasan-alasan para "penakwil" di antara kaum Muslim.*)

Nah, apabila Anda melihat seseorang yang berasal dari kalangan salaf (pendahulu)-mu yang baik-baik, atau orang yang darinya Anda pelajari urusan agama Anda dan Anda jadikan ia sebagai penghubung antara Anda dan Rasulullah SAWW (dalam mempelajari sunnah beliau). Apabila Anda mendapatinya dalam suatu masalah, telah bertentangan dengan Anda, berdasarkan ijtihadnya, atau tidak searah-sejalan dengan Anda, berdasarkan pemahaman (atau penakwilan)-nya, lalu Anda dapat "memaklumi" atau "memaafkannya" dalam perbedaan pendapat dengan Anda, maka sudah barang tentu Anda juga dapat "memaklumi" seseorang dari generasi sekarang ini yang ternyata berbeda pendapat dengan Anda, berdasarkan hasil ijtihad atau penakwilannya.

Jika demikian itu keadaannya, di sini aku sangat mengharapkan dari saudara-saudaraku -- kaum Muslim yang kepada mereka buku ini kupersembahkan -- agar memandang dengan pandangan yang adil, apakah ada hubungan kekerabatan antara Allah dan seseorang dari manusia sedemikian sehingga Dia memperlakukannya tidak seperti orang-orang lainnya? Tentu tidak! Allah SWT tidak akan sekali-kali menghukum suatu kaum karena perbuatan yang jika dilakukan oleh suatu kaum lainnya, la justru memberi mereka pahala atasnya. Kita meyakini bahwa hukum-Nya yang berlaku atas orang-orang terdahulu, pastilah berlaku juga atas mereka yang datang kemudian.

Sungguh banyak jumlah para penakwil yang berselisih pendapat dengan mayoritas para Sahabat serta Tabi’in.Tidak mungkin kami dapat menyebut nama mereka semua. Cukuplah kiranya menyebut sebagian dari mereka saja sekadar mencapai tujuan yang kami sebutkan di atas.

Beberapa Sahabat yang Menolak Bay'at kepada Abu Bakar
Di antara mereka, Sa'd bin Ubadah, seorang sahabat Nabi SAWW dan peserta perang Badr, pemuka dan pemimpin suku Khazraj, dan salah seorang dermawan serta tokoh kaum Anshar. la menolak memberikan bay'at kepada kedua Khalifah (Abu Bakar dan Umar) dan sebagai protes ia pergi ke Syam dan kemudian terbunuh secara rahasia di kota Hauran pada tahun 15 Hijriah. la dikenal dengan kritiknya yang tajam terhadap cara pemilihan Khalifah (Abu Bakar) di balairung Saqifah Bani Sa'idah, maupun terhadap peristiwa-peristiwa lain sesudah itu. Bagi mereka yang ingin menelaah tentang hal ini, silakan membaca buku Al-Imamah wa As-Siyasah karya Ibn Qutaibah, atau Tarikh Ath-Thabari, lalu Al-Kamil karangan Ibn Al-Atsir atau buku sejarah lainnya. Saya kira, semua buku sejarah yang mencatat peristiwa Saqifah, memuat juga keterangan tentang Sa'd bin Ubadah. Dan semua pengarang biografi para sahabat pasti menyebut nama Sa'd serta penolakannya untuk memberikan bay'at. Kendatipun demikian, tak seorang pun meragukan bahwa ia termasuk di antara tokoh-tokoh utama kaum Muslim yang terhormat. Hal itu mengingat bahwa sikap kerasnya itu adalah akibat penakwilan (ijtihad)-nya., karena itu bisa "dimaklumi" walaupun tindakannya dianggap salah.

Di antara mereka, juga Hubab bin AI-Mundzir bin Al-Jamuh Al-Anshari Al-Badri Al-Uhudi. la juga menolak untuk memberikan bay'at (kepada Abu Bakar) sebagaimana diketahui dari sejarah para salaf. Penolakannya .itu tidak mengurangi kredibilitasnya dan tidak pula menurunkan keutamaannya. Ucapannya pada hari Saqifah itu amat terkenal, yaitu (dengan terjemahan bebas -- penerjemah): "Akulah orang yang banyak pengalaman sehingga kepadanya semua orang meminta saran. Akulah orang yang luas ilmunya sehingga mampu mengatakan segala persoalan. Akulah pemimpin para pahlawan yang selalu siap memasuki medan perjuangan. Jika kalian ingin, demi Allah, akan kita kembalikan keadaan seperti semula!"**)

Ada lagi ucapannya yang lebih keras mengenai peristiwa itu, namun kami beranggapan lebih baik tidak disebutkan di sini. Yang penting ialah seandainya bukan karena sikap menghormati pendapat orang-orang yang melakukan penakwilan, niscaya Ahlus-Sunnah tidak akan menyatakan --tanpa ragu-- bahwa Hubab termasuk di antara para penghuni surga yang utama, kendatipun kecamannya yang pedas terhadap kedua khalifah pertama, seperti yang dipaparkan dalam buku-buku sejarah kaum Syi'ah dan Sunnah.

Demikian pula Amir Al-Mukminin Ali r.a. serta pamannya, Al-Abbas dan putra-putranya, 'Utbah bin Abi Lahab dan anggota-anggota suku Bani Hasyim lainnya, juga Salman Al-Farisi, Abu Dzar, Al-Miqdad 'Ammar, Zubair, Khuzaimah bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Farwah bin 'Amr bin Wadaqah Al-Anshari, Khalid bin Sa'id bin 'Ash, Al-Bara' bin 'Azib dan beberapa tokoh lainnya. Mereka semua -- pada mulanya -- menolak memberikan bay'at, sebagaimana tersebut dalam berita-berita yang mutawatir dan terang benderang seterang matahari di siang hari yang cerah.[1]

Tersebut dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Ali r.a. tidak bersedia ber-bay'at sampai setelah wafatnya Fathimah r.a. --pemuka utama kaum wanita-- yang menyusul Ayahandanya SAWW tidak lama setelah beliau wafat.

Banyak pula para ahli tarikh yang mencatat penolakan Ali r.a. untuk ber-bay'at, seperti Ibn Jarir Ath-Thabari ketika menyebut peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada tahun 11 H, dalam buku Târîkh-nya yang terkenal. Juga Ibn Abdi Rabbih Al-Maliki ketika membahas peristiwa Saqifah dalam bukunya Al-'Iqd Al-Farid (jilid II), Ibn Qutaibah dalam halaman-halaman pertama bukunya Al-Imamah wa As-Siyasah, Ibn Asy-Syahnah ketika menyebut peristiwa bay 'at di Saqifah dalam bukunya Raudhah Al-Manadzir[2] dan Abu Al-Fida ketika menyebutkan berita-berita tentang Abu Bakar dan khilafah-nya dalam buku Tarikh-nya berjudul Al-Mukhtasar fi Akhbar Al-Basyar. Juga Al-Mas'udi meriwayatkannya dari 'Urwah bin Zubair ketika berusaha membenarkan tindakan saudaranya (Abdullah bin Zubair) yang pemah hendak membakar rumah-rumah Bani Hasyim bersama para penghuninya disebabkan penolakan mereka memberikan bay 'at (kepada Abu Bakar).[3] Dan dirawikan pula oleh Asy-Syahristani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal ketika menyebutkan tentang golongan An-Nazhzhamiyah. Demikian pula Ibn Abi Al-Hadid (tokoh kaum Mu'ta-zilah dan bermazhab Hanafi) pada permulaan jilid VI dalam bukunya Syarh Nahj Al-Balaghah. Juga telah dinukil oleh pengarang Nahj Ash-Shidq dari buku Al-Mahasin wa Anfas Al-Jawahir serta Al-Ghurar karangan Ibn Khuzabah, dan juga buku-buku penting lainnya. Bahkan Abu Mikhnaf telah menulis sebuah buku yang khusus memuat rincian peristiwa penolakan Ali r.a. untuk memberikan bay'at-nya serta ketidaksediaannya untuk tunduk patuh (kepada Abu Bakar r.a.).

Keterangan-keterangan di atas merupakan bukti paling jelas tentang diterimanya alasan-alasan para penakwil. Dan siapakah yang berani melontarkan tuduhan kepada (Ali r.a.) saudara Nabi SAWW, wali, pewaris dan pengemban wasiatnya, lalu berkata bahwa ia (Ali) dengan penolakannya itu telah melakukan pembangkangan (maksiat) kepada Allah SWT? Sedangkan ia adalah orang pertama dari umat ini yang beriman dan taat kepada-Nya?! Atau menuduhnya telah menentang As-Sunnah, padahal dialah penanggungjawab, pewaris dan yang paling berkepentingan mendukung dan melaksanakannya? Dan siapa pula yang berani mendakwakan bahwa ia --dengan sikapnya itu-- telah memisahkan diri dari Al-Quran, "saudara kandungnya", sedangkan Nabi SAWW telah menandaskan bahwa kedua-duanya takkan berpisah?[4] Dan siapakah yang akan memperkirakan bahwa --dengan perbuatannya itu-- ia telah menyimpang dari kebenarah, sedangkan nash Al-Quran telah menghilangkan segala dosanya serta menyucikannya? Dan siapakah akan mengatakan bahwa ia telah menjauh dari yang haq, sedangkan Rasulullah SAWW telah bersabda:

"Ali selalu bersama yang haq dan yang haq senantiasa menyertai Ali, berputar bersamanya ke mana saja ia berputar."

Dan siapakah gerangan yang berani menyatakan bahwa kebodohannyalah yang menyebabkan ia tidak mengetahui hukum pem-bay'at-an ini? Padahal ia (sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi SAWW) adalah yang paling mengerti tentang penetapan hukum di antara umat ini, dan bahwa ia adalah "pintu kota ilmu" dan telah dikaruniai ilmu yang sempurna tentang Al-Quran...?!

Begitu juga Abu Sufyan (Shakhr bin Harb) telah tidak segera ikut dalam pem-bay'at-an itu. Dan dialah yang berucap pada waktu itu:[5] "Aku melihat kegelapan berdebu, tidak akan dapat dihilangkan kecuali dengan darah!" la kemudian pergi berkeliling di lorong-lorong kota Madinah seraya berseru dalam syairnya:

Wahai Bani Hasyim
Jangan memberi kesempatan siapa saja
berambisi melampaui kalian
apalagi suku Taim atau 'Adiy,
Sungguh urusan (khilafah) ini hanya patut
bagi seorang dari kalian dan untuk kalian
tiada lain yang berhak kecuali Ali, Abu Al-Hasan.

Selanjutnya ia berkata:[6] "Mengapa gerangan urusan (khilafah) ini diserahkan kepada suku terlemah dari Quraisy? "Kemudian ia berseru kepada Ali r.a.: 'Ulurkan tanganmu untuk ku-bay'at. Demi Allah, jika Anda kehendaki, akan kupenuhi kota ini dengan kuda dan pasukan!" Tetapi Ali r.a. menolak. Maka Abu Sufyan mendendangkan syair Al-Mutalammis:

Tiada sesuatu berdiam diri menghadapi penghinaan
yang ditujukan kepadanya
kecuali dua yang paling hina
keledai kampung dan pasak yang tertanam.
Yang ini terikat toli dalam kehinaan
dan yang itu dihantam, tak seorang pun menangisi.

Demikian itulah sebagian dari ucapan dan tindakan Abu Sufyan yang berkaitan dengan peristiwa pem-bay'at-an Abu Bakar. Kami (kaum. Imamiyah) beranggapan bahwa perbuatannya itu semata-mata didorong oleh keinginannya untuk mengobarkan fitnah (kekacauan) dan menimbulkan perpecahan di antara kaum Muslim. Oleh sebab itulah Amir Al-Mukminin Ali a.s. membentaknya dengan ucapannya: "Demi Allah, tiada sesuatu yang Anda inginkan dengan perbuatan ini, selain menimbulkan fitnah. Memang, Anda selalu memendam maksud-maksud jahat terhadap Islam!"[7]

Dan pada hakikatnya, jika kami menyebutkan Abu Sufyan di antara "para penakwil", maka hal itu semata-mata demi mengikuti orang-orang yang menilai tindakan-tindakannya sebagai hal yang tetap dapat dibenarkan (atau "dimaklumi"). Dengan demikian, lengkaplah hujah kami atas mereka dalam hal menerima baik dan "memaklumi" tindakan-tindakan "para penakwil" lainnya, sebagai konsekuensi dari dasar pemikiran dan penilaian yang mereka tetapkan sendiri.

Pertengkaran Fathimah dengan Abu Bakar
Lihatlah juga sikap dan tindakan Fathimah r.a., pemuka utama para wanita seluruh alam semesta dan belahan jiwa Rasulullah, penutup rangkaian para nabi dan rasul SAWW. Semua orang mengetahui pertengkaran yang telah terjadi antara Fathimah dan Abu Bakar, sehingga Fathimah mendiaminya dan menolak berbicara dengannya sampai ia meninggal dunia dan dimakamkan secara rahasia, di malam hari, oleh suaminya, Amirul Mukminin Ali a.s. Hanya beberapa orang saja di antara para pendukungnya yang diberitahu tentang wafatnya itu, agar tidak seorang pun, selain mereka, yang menshalati jenazahnya. Berita mengenai ini termasuk berita-berita yang diterima tanpa keraguan sedikit pun. Seperti yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dalam kedua kitab Shahih mereka,[8] demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal, dari riwayat Abu Bakar, di halaman 6, jilid I dari Musnad-nya. Juga disebutkan oleh para pengarang buku-buku sejarah dan biografi para tokoh. Cukup kiranya bagi Anda, keterangan yang ditulis oleh Ibn Qutaibah dalam bukunya, Al-Imamah wa As-Siyasah, yangjugadikutip oleh Ibn Abi Al-Hadid dalam Syarh Nahj Al-Balaghah.

Jangan pula Anda lupakan kandungan dua pidato Fathimah r.a. yang keindahan bahasa dan kepadatan isinya pasti bersumber pada lisan Ayahandanya SAWW. Yang satu berkaitan dengan warisan yang menjadi haknya dan yang lainnya berkaitan dengan urusan kekhalifahan. Kedua-duanya disebutkan oleh Ahmad bin 'Abd Al-Aziz Al-Jauhari dalam bukunya, As-Saqifah dan Al-'Allamah Al-Mu'tazili (Ibn Abi Al-Hadid) dalam Syarh Nahj Al-Balâghah, jilid 16.[9] Juga dimuat dalam buku Balâghât An-Nisa',[10] Al-Ihtijaj, Al-Bihar dan lain-lainnya di antara buku-buku karya para penulis dari kedua kelompok (Sunnah dan Syi'ah). Silakan menelaahnya agar Anda lebih yakin tentang pembenaran atau pemaafan terhadap sikap dan tindakan "para penakwil".

Khalid bin Walid Membunuh Malik bin Nuwairah, Lalu Menikahi Isterinya
Di antara "para penakwil" itu ialah (Abu Sulaiman) Khalid bin Walid (Al-Makhzumi). Dialah pembunuh Malik bin Nuwairah bin Hamzah At-Tamimi pada peristiwa "Al-Bithah", dan langsung menikahi bekas istrinya, Ummu Tamim binti Al-Minhal, yang tergolong wanita tercantik di antara kaum wanita masa itu. Kemudian Khalid pulang kembali ke Madinah seraya menancapkan beberapa anak panah di surbannya. Melihat itu, Umar bin Khaththab r.a. segera mencabut dan mematahkannya, lalu berkata kepadanya (sebagaimana tercantum dalam Tarikh Ibn Atsir dan lainnya): "Engkau telah membunuh seorang Muslim, lalu engkau memperkosa istrinya! Demi Allah, akan kurajam engkau!" Kemudian ia memberitahukan tentang masalah itu kepada Khalifah Abu Bakar (seperti yang tertera pada buku biografi Watsimah bin Musa, dalam kitab Wafayât Al-A'yân karya Ibn Khalikan): "Khalid telah berzina, rajamlah ia!" Namun Abu Bakar menjawab: "Aku tidak akan merajamnya. la telah 'bertakwil' dan keliru dalam takwilnya itu." Umar berkata lagi: "Dan ia juga telah membunuh seorang Musjim. Bunuhlah ia sebagai hukuman atas perbuatannya itu!" Jawab Abu Bakar: "Tidak, aku tidak akan membunuhnya karena itu. la telah bertakwil dan keliru dalam takwilnya itu." Tetapi, Umar tetap mendesaknya sehingga ia (Abu Bakar) akhirnya berkata: "Bagaimana pun juga, aku tidak mau menyarungkan 'pedang' yang telah dihunus oleh Allah SWT." Kemudian Abu Bakar membayar diyat (uang tebusan) untuk keluarga Malik dari Bayt Al-Mal dan melepaskan semua tawanan dari keluarganya. Peristiwa ini tidak disangsikan lagi kebenarannya. Dan tidak pula disangsikan bahwa Khalidlah yang melakukannya.[11]

Peristiwa ini telah disebutkan oleh Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam Tarikh-nya serta Ibn Atsir dalam Al-Kamil. Juga oleh Watsimah bin Musa bin Al-Furat serta Al-Waqidi dalam kedua kitab mereka, Saif bin Umar dalam kitab Ar-Riddah wa Al-Futuh, Zubair bin Bakkar dalam Al-Muwaffaqiyyat, Tsabit bin Qasim dalam Ad-Dalail, Ibn Hajar Al-'Asqallani (pada pasal tentang riwayat hidup Malik) dalam Al-Ishabah, Ibn Syahmah dalam kitab Raudhah Al-Manadzir, Abu Al-Fida' dalam Al-Mukhtasar, dan masih banyak lagi dari penulis-penulis yang dahulu dan sekarang. Semuanya menyebutkan tentang sikap memaafkan dari Abu Bakar terhadap Khalid atas dasar bahwa ia telah "bertakwil dan keliru dalam penakwilannya."

Dan jika Abu Bakar merupakan orang pertama yang bersedia "memaklumi" lalu memaafkan para penakwil, siapakah dari kaum Muslim selainnya yang akan meragukan hal itu?

Sungguh aku tak dapat membayangkan, sejak kapankah usaha penakwilan dalam hal-hal furu' menjadi sesuatu yang terlarang, atau bagaimana ia tidak merupakan alasan pemaafan, di sisi Allah maupun kaum Mukmin? Padahal orang-orang terdahulu (para salaf) telah banyak menakwilkan arti dan maksud pelbagai nash, "demi maslahat umat" seperti yang mereka perkirakan. Pada kenyataannya, hasil penakwilan mereka itu ditaati sepenuhnya oleh mayoritas kaum Muslim, seraya menjadikan para salaf itu sebagai panutan dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan agama. Hal itu demi menunjukkan kepercayaan sepenuhnya terhadap hasil takwil dan ijtihad mereka di samping persetujuan atas maksud dan tujuan mereka.

Masih ada lagi beberapa kasus yang ingin kami kemukakan, yaitu yang mengacu kepada takwil atau ijtihad mereka. Cukup sedikit saja yang ingin kami tambahkan, secara singkat dan sepintas lalu. Dan semoga yang sedikit ini dapat menunjuk kepada yang tersirat di balik yang tersurat, bak kata pepatah: "Bagi seorang yang berjiwa merdeka, selintas isyarat pun cukup memadai".

Penakwilan tentang Talak Tiga
Di antaranya, penakwilan mereka mengenai "talak tiga sekaligus" dah penetapan hukum mereka terhadap hal tersebut, berlawanan dengan yang berlaku pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAWW serta sepanjang kekhalifahan Abu Bakar r.a. seperti yang telah diketahui.

Pada pasal "Talak tiga sekaligus" dari bab "Thalak", kitab Shahih Muslim, juz I, halaman 574, dirawikan dari 'Abdullah bin Abbas melalui beberapa rangkaian sanad: Pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAWW, kekhalifahan Abu Bakar dan dua tahun pertama kekhalifahan Umar r.a., perbuatan "talak tiga sekaligus" dianggap satu. Kemudian Umar bin Khaththab berkata: "Banyak orang suka tergesa-gesa dalam urusan (talak) yang seharusnya mereka berhati-hati dalam memutuskannya. Maka sebagai pencegah agar mereka tidak tergesa-gesa, sebaiknya kita tetapkan saja seperti yang mereka ucapkan." Berkata Ibn Abbas selanjutnya: Sebab itu, dilaksanakanlah (kehendak Umar) itu atas mereka.***)

Keterangan tersebut di atas juga disebutkan oleh Qasim Amin dalam bukunya Tahrir Al-Mar`ah (Pembebasan Kaum Wanita) halaman 173, sebagai kutipan dari Shahih Al-Bukhari. Juga dinukil oleh Sayid Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar, jilid (bundel) IV, halaman 210, dari riwayat Abu Dawud, Nasa-i, Al-Hakim, Baihaqi. Kemudian Sayid Rasyid Ridha berkata selanjutnya: "Di antara yang menunjukkan bahwa ketetapan Umar itu berlawanan dengan ketetapan Nabi SAWW ialah hadis yang dirawikan oleh Baihaqi dari Ibn Abbas, yang berkata: Seorang laki-laki bemama Rakanah menceraikan istrinya tiga kali sekaligus dalam satu majelis (pertemuan). Atas tindakannya itu ia (Rakanah) menjadi sangat menyesal dan bersedih hati. Setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah SAWW, beliau bertanya kepadanya: 'Bagaimana cara engkau menceraikannya?' Jawab Rakanah: 'Tiga kali sekaligus.' 'Dalam satu majelis (yakni satu pertemuan)?' tanya beliau. 'Ya,' jawab Rakanah. Maka Rasulullah SAWW berkata: 'Talak seperti itu hanya (dianggap) satu. Rujukilah istrimu itu jika kau ingin.'[12]

Demikian itu pula menurut mazhab kami (Imamiyah).

Sebagai tambahan dalil dari apa yang telah Anda simak tadi,[13] dan bahwa yang demikian itu merupakan hukum yang asli, perhatikanlah firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah, ayat 229-230:

Maksud ayat di atas, Talak (yang dapat dirujuki hanyalah) dua kali, adalah apabila suami telah menjatuhkan talak atas istrinya sebanyak dua kali, maka yang wajib atasnya sesudah itu ialah seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran; yakni tetap memperistrikannya dengan cara yang baik atau --jika tidak-- melepas (menceraikan)nya dengan kebaikan pula. Kemudian Allah berfirman selanjutnya, Maka jika ia (suami) menceraikannya {yakni untuk kali yang ketiga setelah dua kali talak yang terpisah)... tidaklah ia (si istri) halal baginya setelah itu... (yakni setelah talak yang ketiga)... sampai si istri telah mengawini seorang suami selainnya... (yakni suami yang kedua).

Berdasarkan ayat ini, apabila suami berkata kepada istrinya: "Engkau kujatuhi talak tiga"; padahal sebelumnya ia tidak pernah mentalaknya, atau pun jika ia hanya pernah mentalaknya satu kali, maka tidaklah ada larangan bagi keduanya untuk rujuk kembali walaupun perempuan itu belum dinikahi oleh suami yang lain. Sebab yang terlarang ialah merujukinya sesudah terjadi talak ketiga yang didahului oleh dua talak sebelumnya.

Walaupun demikian, Umar r.a. telah menakwilkan ayat tersebut serta semua dalil yang berkaitan dengan soal itu sebagai peringatan bagi mereka yang bertindak tergesa-gesa serta pencegahan bagi orang-orang jahil dan cepat naik darah.[14] Kiranya penjelasan tersebut cukup memuaskan bagi Anda mengenai sikap "memaklumi" dan memaafkan, bahkan menyetujui tindakan para penakwil.

Penambahan dalam Azan Subuh
Di antara penakwilan mereka (yakni para Sahabat) ialah dalam azan Subuh yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAWW; yaitu tambahan seruan muazin: "Ash-shalatu khayrun min an-naum" (shalat lebih utama daripada tidur). Bahkan hal itu tak pernah ada pada zaman Abu Bakar. Justru Khalifah Kedualah yang memerintahkannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis-hadis mutawatir melalui saluran 'itrah (keluarga suci) Rasul SAWW Namun, cukuplah bagi Anda, riwayat-riwayat yang melalui para perawi selain mereka, seperti yang dirawikan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwattha', pada bab "Tentang Seruan Untuk Shalat", bahwa muazin mendatangi Umar bin Khaththab untuk memberitahu tentang tibanya waktu shalat Subuh. Ketika dijumpainya Umar masih tidur, si muazin berkata: "Ash-shalatu khayrun min an-naum". Maka Umar memerintahkan agar kalimat itu dimasukkan ke dalam azan Subuh.

Al-'Allamah Az-Zarqani --ketika sampai pada hadis ini dalam Syarh Al-Muwattha'-- menulis sebagai berikut: Berita tentang ini dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya yang dirawikan melalui Waki' dalam kitabnya, Al-Mushannaf, dari Al-'Amri, dari Nafi', dari Ibn Umar, dari Umar bin Khaththab.

Az-Zarqani menulis selanjutnya: Ad-Daruqutni juga merawikannya dari Sufyan, dari Muhammad bin 'Ajlan, dari Nafi', dari Ibn Umar bahwa Umar berkata kepada muazin: "Jika engkau sudah menyerukan Hayya 'alal-falah di waktu azan Subuh, maka katakanlah: Ash-shalatu khayrun min an-naum (dua kali)."

Ingin kami tambahkan bahwa Ibn Abi Syaibah juga telah merawikan hadis ini melalui riwayat Hisyam bin 'Urwah. Dan masih banyak lagi selain mereka.

Demikianlah, Anda dapat mengetahui tentang tidak adanya kalimat tersebut yang pernah dirawikan kepada kita dari Rasulullah SAWW Untuk itu, bila Anda ingin, telitilah kembali juz pertama kitab Shahih Al-Bukhari (Bab "Azan") atau permulaan Bab "Shalat" (Pasal tentang sifat atau cara Azan) dari Shahih Muslim. Pasti Anda akan membenarkan pernyataan kami mengenai hal ini.

Di samping itu, banyak di antara para penulis menyebutkan sebuah berita tentang asal mula disyariatkannya azan.[15] Walaupun berita itu sendiri ditolak oleh kalangan Imamiyah, namun kami akan mengutipnya demi menunjukkan kebenaran pernyataan kami di atas tentang adanya tambahan dalam teks azan. Ringkasan peristiwa itu ialah bahwa Abdullah bin Zaid bin Tsa'labah Al-Anshari pada suatu malam bermimpi bertemu dengan seseorang yang mengajarkan kepadanya teks azan dan igamat. Ketika ia bangun dari tidurnya itu, sebelum fajar, ia ceritakan mimpinya itu kepada Nabi SAWW. Beliau langsung memerintahkannya agar mengajarkah teks yang dihapalnya dalam mimpinya itu kepada Bilal. Dan beliau juga memerintahkan Bilal agar mengumandangkannya pada awal waktu fajar hari itu. Maka Bilal melaksanakannya. Dengan demikian, menurut yang mereka dakwakan itu, azan telah disyariatkan berdasarkan mimpi.

Nah, kami telah membaca teks azan yang diajarkan oleh Abdullah kepada Bilal tersebut. Meskipun hal itu adalah azan untuk waktu fajar, namun di dalamnya tidak ada kalimat "ash-shalatu khayrun min an-naum ".

Memang, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut bukanlah bersumber dari Allah SWT atau Rasulullah SAWW, amat banyak. Sedangkan apa yang telah kami kemukakan di atas, cukup kuat memberikan gambaran adanya penakwilan mereka mengenai azan, dan cukup pula menunjukkan pemaafan bagi para pcnakwil sepanjang masa.****)

Mengurangi Kalimat dalam Azan
Di antara penakwilan mereka lainnya ialah penghapusan kalimat "Hayya 'ala khayr al-'amal" (Mari mengerjakan amal paling utama) dari azan dan igamat. Hal tersebut disebabkan mereka selalu ingin menggambarkan kepada kaum awam bahwa amal yang paling terpuji ialah jihad fi sabilillah agar mereka merindukannya dan cenderung melak-sanakannya. Sedangkan seruan kepada shalat sebagai "amal yang paling utama" sebanyak lima kali sehari,[16] pasti bertentangan dengan keinginan membangkitkan semangat untuk berperang.

Mungkin saja mereka beranggapan bahwa dengan tetapnya kalimat tersebut dalam azan dan iqamat akan menghambat kaum awam dari pelaksanaan jihad. Sebab, bilamana mereka mengetahui bahwa shalat merupakan amalan yang paling utama padahal pelaksanaannya begitu mudah dan aman, sudah barang tentu mereka akan mencukupkan diri mengerjakannya dalam upaya memperoleh pahala. Dan karena itu pula, mereka akan menjauhkan diri dari bahaya yang terkandung dalam jihad, apalagi ia kalah utama dibandingkan dengan shalat. Padahal kecen-derungan pihak waliyul-amri pada waktu itu (yakni Umar c.s.) tertuju kepada penaklukan negeri di segenap penjuru dunia.

Upaya penaklukan dan perluasan daerah kekuasaan sudah barang tentu tidak akan terwujud kecuali dengan menimbulkan semangat para pejuang agar tidak ragu-ragu menerjang bahaya. Untuk itu hati mereka harus diyakinkan sepenuhnya bahwa jihad adalah amalan paling utama yang dapat mereka harapkan pahalanya di akhirat kelak.

Oleh sebab itu, Umar lebih cenderung menghapus kalimat itu dari azan, semata-mata demi mengutamakan kepentingan tersebut di atas keharusan melaksanakan ibadah sesuai sepenuhnya dengan cara yang diajarkan dalam syariat yang suci. Dan berkatalah ia dari atas mimbarnya (seperti ditegaskan oleh Al-Qausyaji -- seorang ahli ilmu kalam dalam mazhab Al-Asy'ari -- dalam bukunya, Syarh At-Tajrid, bab "Al-Imamah"): "Tiga hal yang berlangsung di zaman Rasulullah SAWW; kini aku melarangnya , mengharamkannya dan menghukum pelakunya:

1. Nikah mut'ah;
2. Haji mut'ah (tamattu’);
3. Kalimat hayya 'ala khayril ‘amal”.[17]

Tindakan penghapusan kalimat itu diikuti pula oleh mayoritas kaum Muslim yang datang kemudian kecuali Ahlul-Bayt serta para pengikutnya. Di kalangan para pengikut Ahlul-Bayt, kalimat "Hayya 'ala khayr al-'amal" tetap dijadikan semboyan mereka, seperti dapat diketahui dari mazhab mereka. Hal ini dapat dibuktikan, misalnya, ketika Asy-Syahid AJ-Husain bin Ali bin Al-Hasan bin: Al-Hasan bjn Ali bin Abi Thalib ("alaihim as-salam) menguasai kota Madinah pada peristiwa pemberontakan di masa Al-Hadi (seorang raja dari dinasti Abasiyah), ia (Al-Husain) memerintahkan muazin agar mengumandangkan kalimat tersebut dalam azannya. Hal ini ditegaskan oleh Abu Al-Faraj Al-Isfahani (dalam bukunya Magatil Ath-Thalibiyyin) ketika menyebutkan nama Al-Husain serta gugurnya sebagai syahid pada peristiwa yang dikenal sebagai "peristiwa Fakh".

Begitu pula Al-'Allamah Al-Halabi, pada bab "Permulaan Disyariatkannya Azan", dalam buku sejarahnya As-Sirah Al-Halabiyah, juz II, halaman 110, menceritakan bahwa Ibn Umar r.a. dan Al-Imam Zainal Abidin bin 'Ali bin Al-Husain selalu menyerukan "Hayya 'ala khayr al-'amal" sesudah "Hayya 'ala al-falah" dalam azan mereka.*****)

Perlu ditambahkan di sini bahwa hal ini dirawikan secara muta-watir dari Imam-Imam Ahlul-Bayt. Silakan menelaah hadis-hadis mereka dalam kitab Wasa-il Asy-Syi'ah ila Ahkam Asy-Syari'ah, untuk mengetahui pendapat mereka dalam hal ini.

Kita telah membahas tentang tokoh-tokoh dari kalangan salaf yang bertakwil, lalu meniadakan satu bagian dari azan dan igamat, tapi hal itu tidak mengurangi kredibilitas mereka untuk menduduki jabatan khilafah dah kepemimpinan umat. Oleh karena itu, bagaimana mungkin para penakwil setelah mereka tidak bisa dimaafkan. Atau bagaimana mungkin mereka ini tidak akan memperoleh pahala seperti halnya para penakwil sebelumnya? Mari kita bertindak jujur dalam menilai mereka.

Menciptakan Tradisi Shalat Tarawih[18]
Di antara hasil penakwilan mereka ialah shalat Tarawih yang tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah maupun masa khilafah Abu Bakar r.a. Shalat tersebut untuk pertama kali ditradisikan oleh Khalifah Kedua, pada tahun 14 H, seperti yang disepakati oleh para ulama. Hal ini ditegaskan oleh Al-'Askari dalam keterangannya tentang "Hal-hal Baru yang Diciptakan oleh Umar", dan kemudian dikutip oleh As-Sayuthi pada pasal tentang Umar bin Khaththab, dalam bukunya, Târîkh Al-Khulafa', halaman 51.

Dalam "Riwayat Hidup Umar" dari kita Al-Isti'ab, Ibn Abdil-Bar menulis: "Dia (Umar)-lah yang telah menyemarakkan bulan Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya genap' (yakni shalat Tarawih)."

Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah, ketika menyebut kematian Umar pada rangkaian peristiwa tahun ke-23 H dalam kitab sejarahnya Raudhat Al-Manazhir[19], berkata: "Dialah orang pertama yang melarang penjualan ummahat al-aulad (hamba-hamba perempuan yang beranak dari majikannya). Dialah yang pertama kali mengimami shalat jenazah dengan empat takbir. Dan diapulalah orang pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang Imam... dan seterusnya."

Ketika As-Sayuthi menyebutkan dalam kitabnya Tarikh Al-Khulafa' tentang "Hal-hal Baru yang Diciptakan oleh Umar r.a.", yang ia kutip dari Al-'Askari, ia berkata: "Dialah orang pertama yang dijuluki Amir Al-Mukminin..., dan seterusnya," sampai pada keterangan, "Dialah yang pertama mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan, yang pertama kali mengharamkan mut'ah, yang pertama kali melaksanakan shalat Jenazah dengan empat takbir... dan seterusnya."

Berkata Muhammad bin Sa'ad, ketika menceritakan biografi Umar bin Khaththab r.a. dalam Ath-Thabaqat, juz III: "Beliaulah orang pertama yang mentradisikan shalat malam-malam Ramadhan (Tarawih) dengan berjamaah. Kemudian ia menginstruksikannya ke seluruh negeri, yaitu pada bulan Ramadhan tahun 14 H. la mengangkat dua qari (imam) di Madinah; seorang mengimami sembahyang Tarawih untuk kaum laki-laki dan seorang lainnya untuk kaum wanita... dan seterusnya."

Pada akhir juz I, dari kitab Shahih Al-Bukhari, yaitu pasal "Shalat Tarawih", Al-Bukhari merawikan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: Barangsiapa mengerjakan shalat (sunnah) pada malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, akan diampuni dosanya yang telah lalu. Kata Al-Bukhari selanjutnya: "... sedemikian itulah keadaannya sampai Rasulullah SAWW wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum dikenal "shalat Tarawih").

Muslim, pada bab "Anjuran Shalat Malam Bulan Ramadhan", dalam kitab Shahih-nya., juz I, telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW selalu menganjurkan kaum Muslim agar menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan shalat sunnah, tanpa mewajibkannya. Dalam hal ini beliau bersabda: Barangsiapa mengisi malam-malam bulan Ramadhan dengan shalat yang disertai keimanan dan keikhlasan kepada Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Ketika Rasulullah SAWW berpulang ke rahmatullah, keadaannya tetap seperti itu. Begitu pula pada zaman Abu Bakar, hingga awal pemerintahan Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab r.a.

Pada pasal "Shalat Tarawih", Al-Bukhari merawikan dari Abdur-Rahman bin 'Abd (Al-Qari)[20] katanya: Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar menuju masjid. Kami melihat banyak orang sedang shalat sendiri-sendiri, masing-masing terpisah dari lainnya, Umar berkata: "Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan dalam satu jamaah yang dipimpin oleh seorang imam, tentu lebih baik." Kemudian ia menetapkan niatnya itu dan mengumpulkan mereka dalam. satu jamaah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka'ab. Sesudah itu --kata 'Abdur-Rahman-- pada malam yang lain aku keluar bersama Umar lagi, sementara orang-orang sedang melaksanakan shalat mereka di belakang seorang imam. Ketika menyaksikan itu, Umar berkata: "Alangkah baiknya bid'ah ini!"

Pada awal halaman 4, juz V, kitab Irsyad As-Sari fi Syarh Shahih Al-Bukhari, Al-'Allamah Al-Qasthallani, ketika sampai kepada ucapan Umar dalam hadis tersebut (yakni, "Alangkah baiknya bid'ah ini"), berkata: "la menamakannya bid'ah, sebab Rasulullah SAWW tidak menyunatkan kepada mereka untuk menunaikannya secara berjamaah. Hal itu juga belum pemah ada di zaman Khalifah Abu Bakar. Baik tentang waktu pelaksanaannya, atau tentang pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan ataupun tentang jumlah rakaatnya. (Yakni duapuluh rakaat seperti sekarang)."

Keterangan seperti itu dapat Anda jumpai pula dalam kitab Tuhfat Al-Bari. Hal ini tidak diperselisihkan oleh siapa pun di kalangan kaum Muslim. Maka, mudah-mudahan Anda cukup puas dengannya sebagai petunjuk atas diberlakukannya pemaafan-pemaafan bagi para penakwil.

Penakwilan dalam Ayat tentang Zakat
Di antara penakwilan mereka lainnya ialah yang berkenaan dengan firman Allah SWT tentang ayat zakat. Mereka telah menghapus bagian yang disediakan bagi para muallaf dan yang ditentukan berdasarkan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Hal itu, pada hakikatnya, merupakan sesuatu yang diketahui secara pasti sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Agama (ma'lum min ad-din bi adh-dharurah). Telah disepakati secara meluas di kalangan semua golongan kaum Muslim bahwa Nabi SAWW senantiasa memberikan kepada mereka (para muallaf) bagian mereka itu, sampai saat akhir hidup beliau. Dan bahwa beliau tidak pernah berpesan kepada siapa pun untuk menghapus bagian tersebut.

Pengarang kitab Al-Jauharah An-Nayyirah 'ala Mukhtashar Al-Quduri[21] dalam bidang fiqh mazhab Abu Hanifah, pada halaman 164, juz I, menyebutkan: "Beberapa dari para muallaf datang menghadap Abu Bakar r.a. --sepeninggal Nabi SAWW-- agar ia memberikan bagian mereka seperti biasa. Maka Abu Bakar menuliskan surat perintah membayar bagian tersebut (dari uang zakat), dan mereka membawa surat itu kepada Umar (yang mengelola Bayt Al-Mal) untuk menerimanya. Akan tetapi Umar menyobeknya seraya berkata: 'Kami tidak membutuhkan kalian lagi! Allah telah memenangkan Islam dan karenanya, kalian boleh pilih: memeluk agama Islam atau kami jadikan pedang (sebagai pemutus) antara kami dan kalian!' Orang-orang itu segera kembali menemui Abu Bakar dan berkata: 'Andakah yang menjadi khalifah atau dia?' Jawab Abu Bakar: 'Dia, insya Allah!' Dengan itu, Abu Bakar menyetujui dan menetapkan keputusan Umar. Dan sejak itu pula, jumhur (mayoritas) kaum Muslim memberlakukan ketetapan penghapusan bagian untuk para muallaf. Sedemikian kuatnya ketetapan itu sehingga seandainya seseorang memberikan sebagian dari zakatnya kepada para muallaf, maka ia dianggap belum menunaikan zakat yang wajib atas dirinya, secara sepenuhnya."[22]

Mengubah Ketetapan tentang Khumus
Di antara penakwilan mereka ialah yang berkaitan dengan ayat Al-Quran tentang khumus (seperlima harta). Yaitu firman Allah SWT dalam surah Al-Anfal: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja dari ghanimah[23] yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlimanya uniuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabil, jika[24] memang kamu benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furgan, yaitu hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (An-Anfal: 41).

Tetapi, berlawanan dengan ayat ini, mereka menyerahkan seperlima harta (khumus) itu kepada selain orang-orang yang dimaksud dalam ayat tersebut.

Imam Malik seperti yang diketahui dalam mazhabnya, berpendapat bahwa khumus itu, semuanya, diserahkan kepada kebijaksanaan Penguasa Negeri; boleh saja diberikan olehnya kepada siapa pun juga, dan tidak seorang pun berhak menuntutnya.

Adapun Imam Abu Hanifah, seperti yang diketahui dalam mazhabnya, telah membagi harta khumus menjadi tiga bagian;

1. diberikan kepada yatim piatu kaum Muslim;
2. para fakir miskin;
3. para ibnus-sabil.

Menurut pendapatnya, tidak ada perbedaan antara kerabat Rasul dan lainnya.

Padahal Anda mengetahui bahwa nash Al-Quran telah menandaskan adanya hak dalam khumus itu, khusus bagi kerabat Rasul. Anda pun memaklumi bahwa Suhnah Nabi SAWW telah menetapkan adanya hak (saham) mereka di dalamnya, yang tidak gugur kewajiban mengeluarkannya kecuali dengan memberikannya kepada mereka. Bahkan semua golongan (mazhab) dari umat Islam sepakat bahwa Rasulullah SAWW dikhususkan baginya sebagian dari khumus itu dan sebagiannya yang lain khusus untuk sanak kerabatnya. Beliau tidak pernah berpesan kepada siapa pun untuk mengubah cara pembagian itu sampai beliau pulang ke rahmatullah.

Namun ketika Abu Bakar menduduki jabatan sebagai khalifah, ia menakwilkan dalil-dalil tentang itu lalu mengfailangkan hak (saham) Nabi SAWW dan keluarganya, ia menolak membagikan bagian dari khumus itu kepada Bani Hasyim. (Sebagaimana tercantum dalam penafsiran ayat tersebut pada kitab taf sir Al-Kasysyaf, dan lain-lainnya).

Pada akhir bab "Peperangan Khaibar", kitab Shahih Al-Bukhari, juz III, halaman 36, disebutkan bahwa Fathimah a.s. pernah mengirim pesan kepada Abu Bakar untuk menanyakan tentang harta warisannya dari Rasulullah SAWW, yaitu yang berupa hasil fai` ******) di kota Madinah dan Fadak serta sisa dari seperlima bagian harta rampasan perang Khaibar. Namun Abu Bakar menolak untuk menyerahkan kepadanya. Sebagai akibatnya Fathimah a.s. marah kepadanya, tidak mau menyapa dan berbicara dengannya sampai beliau (Fathimah) meninggal dunia, hanya enam bulan sepeninggal ayahandanya, Rasulullah SAWW Dan ketika ia wafat, suaminya (Ali r.a.) menguburnya di malam hari, secara rahasia. Dan tidak memberitahukan kepada Abu Bakar tentang kematian istrinya itu, dan karena itu pula Abu Bakar tidak ikut menshalati jenazahnya.

Peristiwa tersebut juga dapat dijumpai keterangannya dalam Shahih Muslim, jilid II, halaman 72, pada bab: "...Kami, para nabi, tidak diwarisi. Semua yang kami tinggalkan adalah sedekah." Keterangan seperti itu dijumpai pula dalam beberapa bagian dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Pada akhir pasal "Jihad" dalam kitab Shahih-nya, juz II, Muslim telah merawikan dari Qais bin Sa'ad, dari Yazid bin Hurmuz, katanya: Najdah bin Amir (dari kelompok Khawarij) pernah menulis surat kepada Ibn Abbas, dan aku menyaksikan Ibn Abbas ketika membacanya lalu menulis jawabannya sambil berkata: "Demi Allah, seandainya aku tidak ingin mencegahnya daripada kebusukan yang menjerumuskannya, niscaya aku tidak akan mau menulis kepadanya." Maka Ibn Abbas menulis jawaban kepadanya: "Engkau telah bertanya tentang bagian (saham) bagi para kerabat Rasul SAWW yang disebutkan oleh Allah, siapakah mereka itu? Ketahuilah, sejak dahulu kami meniahami bahwa yang dimaksud dengan kerabat Rasul SAWW ialah 'kami' Yakni, Bani Hasyim – Penerj.). Namun kaum kami telah menolak memberikannya kepada kami."[25]

Hadis tersebut dirawikan pula oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, juz 1, halaman 294. Demikian pula ahli hadis lainnya, semuanya dengan saluran-saluran yang shahih. Dan yang demikian itu sesuai pula dengan mazhab Ahlul-Bayt dalam hadis-hadis mutawatir yang bersumber dari para Imam a.s.

Mengurangi Takbir dalam Shalat Jenazah
Di antara penakwilan mereka lainnya ialah pelaksanaan shalat jenazah dengan empat takbir saja, sebagaimana yang diketahui dari buku-buku fiqh empat mazhab serta praktek mereka. Adapun yang pertama menghimpun jamaah kaum Muslim untuk melakukannya ialah Umar bin Khaththab r.a. Amat banyak yang menyatakan hal itu, antara lain As-Sayuthi dalam bukunya, Tarikh Al-Khulafa', ketika menyebutkan "Hal-hal yang Dipelopori oleh Umar". Juga Ibn Syuhnah ketika mengisahkan meninggalnya Umar pada peristiwa-peristiwa tahun ke-23 H, dalam Tarikh-nya, Raudhat Al-Manazhir dan lainnya.

Cukuplah bagi Anda sebagai petunjuk adanya penakwilan mereka, mengenai persoalan ini, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Zaid bin Arqam, pada halaman 370, juz IV dalam Musnad-nya dari Abd Al-A'la yang berkata: "Aku pernah shalat jenazah di belakang Zaid bin Arqam, lalu ia bertakbir sebanyak lima kali. Seorang bernama Abu 'lsa 'Abdur-Rahman bin Abu Laila menghampirinya seraya menggandeng tangannya dan berkata: 'Lupakah engkau?' Tidak!" jawab Zaid, Tetapi aku pernah shalat jenazah di belakang kekasihku, Rasulullah SAWW dan beliau bertakbir sebanyak lima kali. Maka aku tidak akan meninggalkannya, selama-lamanya'."

Larangan Menangisi Mayat
Di antara penakwilan mereka ialah larangan menangisi orang mati, sesuatu yang telah diharamkan oleh Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab r.a. Ketika menyebutkan tentang kematian Abu Bakar pada bab "Peristiwa-peristiwa Tahun ke-13" dalam kitab Tarikh-nya, juz IV, Ath-Thabari merawikan dengan sanad Sa'id bin Al-Musayyib, yang berkata: Ketika Abu Bakar r.a. berpulang ke rahmatullah, 'Aisyah r.a. mengumpulkan beberapa wanita untuk meratapinya. Kemudian datang Umar bin Khaththab dan seraya berdiri di balik pintu, ia melarang wanita-wanita itu menangisi kematian Abu Bakar. Namun mereka tidak mempedulikannya. Maka Umar berkata kepada Hisyam bin Al-Walid, "Masuklah dan suruh putri Ibnu Quhafah (yakni 'Aisyah) agar ia keluar!" Ketika 'Aisyah mendengar perintah Umar, ia berkata kepada Hisyam: "Aku melarang kamu memasuki rumahku!" Tetapi Umar tetap berkata kepada Hisyam: "Masuklah! Aku mengizinkan engkau!" Maka masuklah Hisyam lalu ia menggiring Ummu Farwah (saudari Abu Bakar) keluar untuk menghadap Umar. Segera Umar menderanya dengan cemeti sampai beberapa kali, sehingga wanita-wanita lainnya berhenti menangis ketika mendengar hukuman yang dijatuhkan Umar.

Umar melakukan hal itu, padahal Imam Ahmad merawikan dari Ibn Abbas (dalam Musnad-nya, jilid I, halaman 335), dalam rangka menyebutkan peristiwa kematian Ruqayyah putri Rasulullah SAWW serta ratapan kaum wanita atasnya, dengan berkata: "... Umar mendera mereka dengan cambuknya. Maka Rasulullah SAWW bersabda: 'Biarkan mereka menangis!' Kemudian Rasulullah SAWW duduk di tepi kuburannya, sedangkan Fathimah (putri beliau) duduk di sampingnya seraya menangis." Ibn Abbas melanjutkan: "Maka Nabi SAWW menghapus air mata Fathimah dengan baju beliau sebagai rasa kasihan terhadapnya."

Dalam Musnad-nya. pula (juz II, halaman 333), Imam Ahmad telah merawikan sebuah hadis dari Abu Hurairah, katanya: "Pemah ada iringan jenazah lewat di hadapan Rasulullah SAWW Beberapa wanita mengiringi jenazah itu sambil menangisinya, lalu Umar menghardik mereka. Maka bersabdalah Rasulullah SAWW: Biarkanlah mereka itu (menangis), sesungguhnya jiwa (mereka) itu sedang tertimpa musibah sehingga mata mencucurkan air mata."

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis di halaman 40 dalam Musnad-nya, dari Abdullah bin Umar, yang berkata: Tatkala Rasulullah SAWW pulang dari perang Uhud, sekelompok kaum wanita Anshar menangisi suami-suami mereka yang telah gugur. Maka berkata Rasulullah SAWW: "Kasihan Hamzah, tidak ada wanita-wanita yang menangisinya." Setelah itu beliau pergi tidur sejenak dan ketika ia terjaga, dilihatnya kaum wanita meratapi Hamzah. Maka beliau bersabda: "Begitulah, seharusnya mereka menangisi Hamzah."

Hadis ini dikenal secara meluas di kalangan kaum Muslim. Ibn Jarir, Ibn Atsir, penulis kitab Al-'Iqd Al-Farid, serta para ahli sejarah selain mereka telah meriwayatkan hadis tersebut.

Pada bagian riwayat hidup Hamzah, dalam buku Al-Isti'ab, yang dikutip dari Al-Waqidi, disebutkan: "Tidak seorang wanita pun dari kaum Anshar --setelah mendengar sabda Nabi SAWW, 'Kasihan Hamzah, tidak ada yang menangisinya.'-- yang hendak menangisi seorang dari keluarganya, kecuali ia memulai dengan menangisi Hamzah terlebih dahulu."

Ketika mengisahkan riwayat hidup Ja'far dalam Al-Isti’ab-nya, Ibn 'Abd Al-Bar berkata: Ketika datang kepada Nabi Muhammad SAWW berita tentang kematian Ja'far, beliau mengunjungi istrinya, Asma' binti Umais, untuk ber-takziah. Kemudian masuklah Fathimah seraya menangis dan berseru, "Aduhai pamanku!" Maka berkatalah Rasulullah SAWW: "Untuk orang-orang seperti Ja'f ar inilah, hendaknya ratap tangis kaum wanita itu ditujukan."

Dalam kitab Shahih-nya, (bab "Jenazah", halaman ketiga) Al-Bukhari merawikan bahwa Rasulullah SAWW telah menangis atas kematian Zaid dan Ja'far. Demikian pula Ibn 'Abd Al-Bar (pada bagian riwayat hidup Zaid dalam Al-lsti'ab) menyebutkan bahwa Rasulullah SAWW telah menangisi Ja'far dan Zaid, dan beliau berkata: "Aduhai saudara-saudaraku, penghibur-penghiburku dan kawan-kawan berbincangku...!"

Beliau juga menangis pada waktu kematian putranya, Ibrahim, sehingga bertanyalah Abdur-Rahman bin 'Auf (sebagaimana yang tercatat pada juz I dari Shahih Al-Bukhari), "Anda juga menangis, ya Rasulullah?" Jawab beliau: "Wahai Ibn 'Auf, sesungguhnya ini adalah (tanda) rahmat." Kemudian beliau menangis lagi seraya bersabda: "Mata ini mencucurkan air mata dan hati bersedih. Namun tidak sebaiknya kita mengucapkan sesuatu kecuali yang diridhai Allah. Sungguh kami sangatlah sedih atas kepergianmu, wahai Ibrahim."

Semua orang mengetahui tentang ratap tangis Rasulullah SAWW atas kematian pamannya, Hamzah, sedemikian sehingga Ibn 'Abd Al-Bar, pada bagian biografi Hamzah dalam Al-Isti'ab, berkata: "Ketika Rasulullah SAWW menyaksikan Hamzah telah terbunuh, beliau menangis. Dan ketika dilihatnya tubuhnya dicincang, beliau terisak-isak."

Tercantum di akhir halaman 387, dalam kitab Syarh Nahj Al-Balaghah, juz III, Al-Waqidi menyebutkan bahwa Rasulullah SAWW, pada waktu terjadinya musibah itu, setiap kali melihat Safiyah (bibi Nabi SAWW dan saudara Hamzah) menangis, beliau pun menangis, dan setiap kali Safiyah terisak-isak beliau pun seperti itu. Demikian pula pada peristiwa kematian Ja'far tersebut, Fathimah menangis, dan ketika Rasulullah SAWW melihatnya demikian, beliau pun ikut menangis.

Pada peristiwa lainnya, Rasulullah SAWW pernah menangis atas kematian seorang bocah dari salah seorang putrinya. Menyaksikan hal itu, Sa'ad bertanya (seperti tercantum dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim): "Bagaimana ini, ya Rasulullah?" Jawab Nabi SAWW: "Inilah pengaruh rahmat yang ditanamkan Allah dalam kalbu hamba-hamba-Nya. Sungguh Allah SWT hanya akan merahmati hamba-hamba-Nya yang senantiasa hatinya penuh rahmat."

Masih banyak lagi hadis semacam ini yang tiada terbilang banyaknya, dan tidak mungkin memaparkannya secara keseluruhan di sini. Cukuplah sekadar ini saja.

Adapun mengenai berita yang dirawikan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa "orang mati akan disiksa karena ratap tangis keluarganya", atau dalam riwayat lain "disiksa oleh sedikit tangisan keluarganya atasnya", atau dalam riwayat lain "diazab karena tangis yang hidup", atau riwayat lainnya lagi "disiksa dalam kuburannya disebabkan ratap tangis atas dirinya", atau dalam riwayat lain lagi "bahwa barangsiapa yang ditangisi akan disiksa"; maka semua ini merupakan kesalahan si perawi, baik menurut hukum 'aql (akal) ataupun naql (nukilan).

Telah berkata An-Nawawi ketika membahas riwayat-riwayat tersebut pada bab "Orang Mati Diazab Karena Tangisan Keluarga Atasnya", dalam bukunya Syarh Kitab Shahih Mttslim: "Semua riwayat ini bersumber dari Umar bin Khaththab dan putranya, Abdullah bin Umar." Kata An-Nawawi selanjutnya: "Aisyah menyanggah ucapan kedua mereka itu." seraya menyatakan bahwa hal tersebut semata-mata akibat kealpaan atau kesalahpahaman. Kemudian Aisyah menunjuk kepada firman Allah:

... Tidaklah seseorang memikul dosa orang lain. (Al-An-'am: 164).

Selain yang disebutkan oleh An-Nawawi, Ibn Abbas r.a. telah menolak pula riwayat-riwayat tersebut dan menegaskan bahwa hal itu disebabkan kesalahan perawinya. Penjelasan tentang hal itu dapat dibaca dalam kedua kitab Shahih serta Syarh-nya. Pendapat Aisyah mengenai ini bertentangan secara diametral dengan pendapat Umar, sedemikian sehingga ia menyelenggarakan ratapan ketika ayahnya (yakni Abu Bakar) meninggal dunia. Dan pada saat itu terjadi kericuhan antara mereka, seperti telah Anda baca sebelum ini. Rincian peristiwa ini termuat dalam buku kami berjudul, Al-Asalib Al-Bada’iyah fi Rujhani Ma`atim Asy-Syi'ah. Juga dalam mukadimah Majalisuna Al-Fakhirah fi Ma`atim Al-'Itrah Ath-Thahirah, yang telah dicetak tahun 1332 H.

Aneka Kasus Lainnya (Secara Singkat)
Masih ada lagi kasus-kasus penakwilan mereka selain yang telah kami ketengahkan di atas. Seperti penggeseran yang mereka lakukan terhadap maqam Nabi Ibrahim a.s. ke tempatnya yang sekarang,[26] yang tadinya menempel pada Baytullah (Ka'bah). Juga perluasan Al-Masjid Al-Haram pada tahun 17 H dengan menggabungkan beberapa rumah penduduk sekitamya, walaupun para pemiliknya menolak untuk menjualnya. Namun Umar r.a. merobohkannya secara paksa lalu menitipkan uang harganya di Bayt Al-Mal sampai pada akhirnya mereka menerimanya.[27]

Demikian pula vonis yang dijatuhkannya atas sekelompok orang Yaman agar mefeka membayar diyat (denda pembunuhan) Abu Khirasy Al-Hudzali, seorang penyair dari kalangan Sahabat yang terkenal.[28] Sebelum itu, mereka datang bertamu di rumah Abu Khirasy. Ketika Abu Khirasy keluar mencari air untuk mereka, seekor ular menggigitnya sehingga ia mati. (Maka Umar menghukum mereka karena itu).

Juga hukuman pembuangan ke kota Basrah yang dijatuhkan oleh Umar atas diri Nashr bin Hajjaj, semata-mata karena seorang wanita cantik memujanya dalam nyanyian.[29]

Ada juga peristiwa Umar berkaitan dengan hak warisan yang dibagi antara datuk dan saudara sekandung, yang pada akhirnya, Umar membatalkan keputusannya semula dan kemudian mengikuti pendapat Zaid bin Tsabit Al-Ahshari.[30]

Demikian juga penakwilannya terhadap firman Allah SWT tentang larangan memata-matai. Hal itu dilakukannya karena berpendapat bahwa tindakan tersebut bermanfaat bagi negara maupun rakyat. Oleh sebab itu, ia melakukan perondaan rahasia pada siang maupun malam hari untuk memata-matai rakyat dan mengawasi tindakan kejahatan yang mungkin mereka rencanakan. Al-Ghazali menyebutkan dalatn Ihya 'Ulum Ad-Din, bahwa ketika Umar melakukan perondaan rahasia di malam hari, ia mendengar --di salah satu perkampungan kota Madinah-- seorang laki-laki yang sedang bersenandung menyanyikan lagu di dalam rumahnya. Lalu Umar memanjat pagar untuk mengintainya dan dilihatnya laki-laki itu berduaan dengan seorang wanita dan sebotol khamr di hadapannya.

Maka Umar berkata kepadanya: "Wahai musuh Allah, apakah kau kira Allah akan menutupimu sedangkan engkau bermaksiat terhadap-Nya?" Orang itu menjawab: "Sekiranya aku melakukan satu maksiat, Anda telah melakukan tiga maksiat sekaligus. Allah SWT telah berfirman: Jangan memata-matai! (Al-Hujurat: 12); sedangkan Anda memata-matai. Dan Allah telah berfirman: Tidaklah termasuk kebaikan jika kamu mendatangi rumah-rumah melalui 'punggung' (belakang)-nya ... (Al-Baqarah: 189); sedangkan Anda telah meloncati pagar rumahku. Dan Allah telah berfirman: Hai orang-orang beriman, jangantah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya ... (An-Nur: 27); sedangkan Anda telah memasuki rumahku tanpa izin ataupun salam!" Maka Umar berkata: "Apakah engkau ingin kembali ke jalan yang baik, andaikata aku memaafkan engkau?" Jawab orang itu: "Ya." Maka Umar meninggalkan orang itu dan segera keluar.

Masih banyak lagi kasus yang ditangani oleh Umar berdasarkan ijtihad atau penakwilannya yang menyimpang dari pengertian nash-nash yang jelas. Semua itu semata-mata demi memperkukuh bangunan politik kenegaraan dan demi memudahkan pengelolaan segala urusannya. Yaitu dengan mendahulukan kepentingan kerajaan dan mengutamakan pembinaan kekuatan lebih daripada menerapkan nash-nash itu secara konsekuen. Seperti penetapan pajak kharaj atas penduduk daerah-daerah Irak dan sekitamya, cara pengaturan jizyah, pembentukan panitia syura (untuk memilih khalifah sepeninggalnya). Juga seperti dalam ucapannya pada waktu itu: "Andaikata Salim (bin Ma'qal, hamba sahaya Abu Hudzaifah) masih hidup, niscaya akan kuangkat ia sebagai khalifah penggantiku.[31] Padahal telah disepakati (secara ijma')[32] berdasarkan nash maupun fatwa, mengenai tidak sahnya menyerahkan tampuk kepemimpinan umum (imamah) kepada seseorang seperti dia. Hal itu mengingat bahwa ia (Salim) dari bangsa Parsi (dari kota Isthakhr atau Kirmid) yang menjadi budak dari istri Abu Hudzaifah, yang berasal dari kaum Anshar.


*)Istilah takwil, menakwilkan, penakwilan dan sebagainya akan sering Anda jumpai dalam buku ini. Asal kata takwil berarti penafsiran suatu ucapan, dan dapat juga digunakan untuk penafsiran mimpi. Kemudian kata takwil digunakan untuk penafsiran Al-Quran. Seperti yang digunakan oleh Az-Zamakhsyari dalam tafsimya berjudul Al-Kassyaf 'an Haga'ig At-Tanzil wa 'Uyun Al-Agawil fi Wujuh At-Ta`wil. Adakalanya kata takwil identik dengan kata ijtihad yang positif, tetapi adakalanya juga berkonotasi negatif, yaitu ijtihad atau penafsiran yang dilakukan demi tujuan-tujuan pribadi atau suatu golongan, dan bukan demi kebenaran. Semua arti ini tentunya dapat dipahami sesuai konteksnya masing-masing -- penerj.

**)Ucapannya ini ditujukan kepada beberapa tokoh kaum Muhajirin seperti Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah, sebagai tantangan untuk berperang -- penerj.

***) Yakni, menjatuhkan talak tiga sekaligus dianggap sebagai talak terakhir sehingga tidak ada kesempatan untuk rujuk lagi (kecuali setelah wanita itu kawin lagi dengan seorang pria lainnya lalu menceraikannya lagi setdah itu). Ketetapan seperti ini, kemudian juga menjadi ketetapan paia imam keempat mazhab fiqih paling terkenal di kalangan Ahlus-Sunnah. Tetapi, Ibn Taimiyah menyalahi mereka dan memfatwakan bahwa talak tiga sekaligus hanya dianggap satu saja. Menurut Asy-Syaikh Muhammad Abu Zahiah, salah seorang penulis dan ahli fiqih terkemuka masa kini dari Mesir (dalam bukunya Tarikh ALMadzahib Al-Islamiyah, halaman 622), pendapat Ibn Taimiyah ini diambilnya dari mazhab Ahlul-Bayt -- Penerj.

****) Imam Syafi'i r.a. -- dalam mazhabnya "yang baru" (al-jadid) -- berpendapat bahwa ucapan "ash-shalatu khayrun min an-naum" pada azan Subuh, tidak disukai (makruh). Meskipun demikian, sebagian dari murid-muridnya beranggapan bahwa ucapan tersebut hukumnya sunnah. Lihat An-Nawawi dalam Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab, jilid III, halaman 89, Dar Al-'Ulum li Ath-Thiba'ah, Mesir, tahun 1972 M - Penerj.

*****) Al-Imam Aa-Nawawiy dalam bukunya, At-Majmu' Syarh Al-Muhadzzab (jilid III, haL 95) berkata, "Makruh dalam azan mengucapkan 'Hayya 'ala khair al-'amal', sebab tidak pasti bersumber dari Rasulullah SAWW." Tetapi, Al-Baihaqiy menyebutkan adinya riwayat yang 'mauguf' (berhenti pada) Ibn Umar du Ali (Zainal Abidin) bin Husain r.a. tentang diserukannya kalimat tersebut. Kata Al-Baihaqiy selanjutnya: "Kalimat ini tidak pasti benumber dari Raiuhillah SAWW. Karena itu, kami tidak menyukai adanya penambahan dalam kalimat-kalimat azan. Wallahu a’lam -- Penerj.

******) Fa'i adalah harta yang didapat dari orang yang tidak beragama Islam dengan jalan damai, atau pajak, bea cukai, harta orang murtad, hadiah dan lain-lainnya. Lihat kitab Fiqh Islam, oleh H. Sulaiman Rasjid, cetakan VII, halaman 445 - Penerj.

[1] Bacalah bagian akhir bab "Perang Khaibar", halaman 36, dalam Shahih Al-Bukhari, jilid III, cetakan Mesir tahun 1309 H. Dan pada catatan kakinya terdapat komentar As-Suddi. Atau bacalah kitab Shahih Muslim pada bagian "Jihad", bab "Sabda Rasulullah SAWW: Kami (para Nabi) tidak diwarisi. Semua yang kami tinggalkan merupakan sedekah" (juz II, halaman 72, cetakan Mesir, tabun 1327 H). Anda akan memperoleh keterangan yang jelas mengenai penolakan untuk ber-bai'at dengan sanad sampai Um Al-Mukminin Aisyah r.a.

[2] Kitab ini (Raudhah Al-Manadzir) dan Muruj Adz-Dzahab, keduanya tercetak di samping kitab Al-Kamil karya Al-Atsir. Adapun Muruj Adz-Dzahab tercetak bersama kelima jilid pertama dari kitab Al-Kamil tersebut. Sedang kitab Tarikh Ibn Asy-Syahnah, tercetak di samping jilid terakhir yang terdiri atas juz XI dan XII. Adapun yang kami nukilkan di sini, dapat Anda baca pada halaman 112, juz XI.

[3] Lihat Muruj Adz-Dzahab yang tercetak di samping buku Al-Kamil karya Ibn Al-Atsir, halaman 259, pada akhir jilid VI.

[4] Ath-Thabrani telah merawikan dalam kumpulan hadisnya, Al-Ausath, dari Ummu Salamah, yang berkata: Aku pemah mendengar Rasulullah SAWW bersabda: "Ali bersama Al-Quran dan Al-Quran bersama Ali. Kedua-duanya tidak akan berpisah sampai bertemu kembali denganku di Al-Haudh (di Surga)." (Hadis ini dinukil dari kitab Ash-Shawa'iq Al-Muhriqah, Pasal II, Bab IX, halaman 74).

[5] Ucapannya itu dan kedua bait syair sesudahnya termuat pada berita tentang Saqifah dalam kitab Al-'Iqd Al-Farid.

[6] Ucapannya ini dan kedua bait syair sesudahnya terdapat pada berita tentang Saqifah dalam buku Al-Kâmil karya Ibn Atsir.

[7] Dikutip dari Al-Kâmil karya Ibn Atsir.

[8] Shahih Al-Bukhari, juz HI, akhir Bab "Peperangan Khaibar", halaman 36. Juga pada juz IV, halaman 105, awal kitab "Al-Faraidh" dari Shahih tersebut. Juga disebutkan dalam kitab Shahih Muslim, juz U, halaman 72, bab "Sabda Nabi SAWW: Kami (para nabi) tidak mewariskan kepada siapa pun; apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah".

[9] Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid IV. Yang pertama termuat pada halaman 79, sedangkan yang kedua termuat pada halaman 87.

[10] Penulisnya ialah Abu Al-Fadhl bin Abi Thahir, wafat tahun 280 H. Bacalah halaman 16 dan 23.

[11] Ada lagi peristiwa Khalid yang terjadi pada masa hidup RasuluUah SAWW. Yaitu tatkala beliau SAWW mengutusnya kepada suku Judzaimah untuk berdakwah, bukan untuk memerangi mereka. Sebelum itu --di zaman jahiliyah-- suku Judzaimah tersebut pernah membunuh paman Khalid bernama Al-Fakih bin Mughirah. Maka segera setelah Khalid tiba di perkampungan mereka, ia memerintahkan: "Letakkan senjata kalian, sebab semua orang telah memeluk agama Idam." Mereka pun segera meletakkan senjata mereka. Akan tetapi Khalid memerintahkan penangkapan atas mereka lalu membunuh sejumlah besar dari mereka. Ketika berita itu sampai kepada Nabi SAWW, beliau mengangkat tangan dan berdoa: "Ya Allah, aku berlepas tangan dari perbuatan Khalid! (Beliau mengulangi ucapannya ini, dua kali, sebagaimana tercantum dalam Shahih Al-Bukhâri, jilid III, halaman 47, pada bab "Al-Maghazi: Pengutusan Khalid bin Walid ke suku Judzaimah)".

Selanjutnya, menurut Ibn Atsir dalam bukunya Al-Kâmil, juga para penulis buku lainnya, segera setelah peristiwa tersebut, Rasulullah SAWW mengutus Ali r.a. ke perkampungan suku Judzaimah, seraya membawa uang, untuk dibayarkan kepada mereka sebagai tebusan atas kematian orang-orang mereka serta kehilangan harta benda mereka. Perintah itu dilaksanakan dengan amat teliti, sampai-sampai ia membayar tebusan untuk tempat minumnya anjing mereka. Kemudian masih ada lagi sisa uang. Maka Ali r.a. bertanya kepada mereka: "Masih adakah kerugian yangbelum saya bayarkan tebusannya?" Mereka menjawab: "Tidak, semuanya telah terbayar." Kata Ali selanjutnya: "Kalau begitu, akan kuberikan sisa uang ini kepada kalian, sebagai ihtiyath (sikap berhati-hati agar tidak sampai kurang) atas nama Rasulullah SAWW" Setelah menyerahkan uang itu kepada mereka, Ali r.a. kembali pulang dan menyampaikan hal itu kepada Rasulullah SAWW Maka Nabi SAWW berkata: "Sungguh baik dan benar perbuatanmu itu."

Demikianlah yang dinukilkan oleh para sejarawan dan setiap orang yang menuliskan biografi Khalid, sedemikian sehingga Ibn 'Abdil Barr, setelah menyebutkan tentang peristiwa tenebut dalam bukunya, Al-Istî'âb, menjelaskan: "Berita tentang Khalid tersebut termasuk sahih."

[12] Disebutkan oleh Ibn Ishaq pada halaman 191, jilid II.

[13] Perhatikanlah pula hadis yang dikutip Qasim Amin dalam bukunya, Tahrir Al-Mar-ah, halaman 172, yaitu yang dirawikan oleh An-Nasa'i, Al-Qurthubi, dan Az-Zaila'i, bahwa Ibn Abbas r.a. berkata: Rasulullah SAWW pemah diberitahu tentang seorang laki-laki yang telah menjatuhkan talak tiga pada suatu ketika (sekaligus) kepada istrinya. Maka bangkitlah beliau SAWW dalam keadaan marah lalu bersabda: "Apakah kamu hendak mempermainkan Kitab Allah sedangkan aku masih berada di antara kalian?"

Dan juga dalam penafsiran surah Ath-Thalaq dari kitab tafsir Al-Kassyaf terdapat hadis yang sempa. Mungkin ada orang berkata bahwa hadis ini menunjukkan rusaknya (atau tidak berlakunya) talak tiga sama sekali lantaran merupakan permainan belaka, seperti yang diriwayatkan dari Said bin Musayyib dan sekelompok Tabi'in yang berpendapat demikian. Namun yang benar ialah bahwa yang dimaksud sebagai "tindakan permainan" ini ialah ucapan tsalatsan (tiga kali) yang dianggap sia-sia saja. Adapun ucapan si suami anti thalig (engkau kucerai) jelas berpengaruh, sebab tidak mengandung permainan di dalamnya.

[14] Dalam bundel IV majalah Al-Manar, halaman 212 ditandaskan bahwa dalam masalah ini, Umar telah membuat keputusan berdasarkan ijtihadnya.

[15] Imam Malik dalam Al-Muwattha telah menyebutkan peristiwa ini secara ringkai. Tapi Ibn 'Abdil-Bar dan Az-Zarqani telah membentangkannya dengan panjang lebar. Begitu pula Al-Halabi menyebutkannya dalam buku Sirah-nya, juz II, pada bab "Azan dan Pensyariatannya". Bahkan setiap ahli sejarah yang menceritakan riwayat hidup Abdullah bin Zaid pasti menyinggung peristiwa ini. Dan adakalanya mereka menjulukinya sebagai "si penemu azan". Meskipun demikian, orang-orang dari mazhab kami mengingkarinya dan menganggapnya satu hal yang mustahil (bahwa azan disyariatkan melalui mimpi seseorang).

[16] Bahkan setiap Muslim diharuskan membacanya sepuluh kali setiap hari.

[17] Setelah mengutip ucapan Umar itu dan menerimanya tanpa keraguan sedikit pun, ia membenarkan hal itu sebagai ijtihad dari Umar r.a.

[18] Tarawih ialah shalat sunnah Ramadhan yang dilakukan dengan berjamaah. Ia dinamakan Tarawih disebabkan adanya waktu istirahat (tarwihah) di dalamnya sesudah tiap empat rakaat. Tapi kami (kaum Syi'ah Imamiiyah) melaksanakan shalat sunnah Ramadhan sendiri-sendiri, sebagaimana yang berlaku pada zaman Rasulullah.

[19] Sebelumnya Anda telah tahu bahwa naskah ini termuat pada keterangan bagian tepi (hamisy) Tarikh Ibn Atsir. Adapun yang kami nukilkan di sini terdapat pada juz II, halaman 122.

[20] Nama lengkap 'Abdur-Rahman 'Abd (Al-Qari) ialah Ibn Daisy bin Muslim bin Ghalib Al-Madani. Abdur-Rahman ini pada waktu itu adalah pejabat Umar dalam menguruti Bayt Al-Mal. la adalah sekutu Bani Zuhrah. Meninggal dunia pada tahun 80 H, dalam usia 78 tahun.

[21] Kitab ini merapakan salah satu dari kitab fiqh berdasarkan mazhab Abu Hanifah yang paling terkenal, bahkan para pengikut mazhab Hanafi ber-tabarruk denguwya mengingat kedudukan tinggi penulisnya. Kutipan kami tentang masalah tersebut sesuai sepenuhnya dengan yang dikenal pada ucapan-ucapan pada ahli fiqih lainnya, serta para ahli hadis.

[22] Pan ahli tarikh menyebutkan pula peristiwa hampir serupa seperti ini. Yaitu bahwa ‘Uyainah bin Hushain dan Aqra' bin Hubais datang menghadap Abu Bakar dan berkata: "Di tempat kami ada sebidang tanah gersang yang rumput pun tidak tumbuh di atasnya dan tidak berguna tedikit pun. Maukah Anda memberikannya kepada kami, mudah-mudahan ia menjadi bermanfaat kelak." Maka Abu Bakar bertanya kepada orang-orang di sekitarnya: "Bagaimanakah pendapat kalian?" Jawab mereka: "Tidak mengapa!" Segera Abu Bakar menulis surat (penyerahan hak) untuk kedua orang itu dan memerintahkan agar surat itu dibubuhi tanda tangan Umar sebagai saksi. Akan tetapi Umar mengambil surat itu dari mereka, lalu menghapus tulisan itu dengan ludahnya. Perbuatan Umar ini membuat kedua orang itu marah dan mengomel dengan kata-kata yang kurang enak. Mereka pergi menemui Abu Bakar lagi seraya berkata kepadanya; "Demi Allab, kami tidak tahu apakah Anda yang menjadi Khalifah atau Umar?" Jawab Abu Bakar : "Memang dia!" Beberapa saat kemudian, datanglah Umar dan sambil bersungut' sungut ia berkata kepada Abu Bakar: "Katakanlah kepadaku; apakah tanah yang Anda berikan kepada dua orang ini, memang milik Anda pribadi atau milik kaum Muslim?" Abu Bakar menjawab: "Milik kaum Muslim." Maka Umar bertanya lagi: "Apa sebabnya Anda memberikannya kepada kedua orang ini?" "Aku telah bermusyawarah dengan orang-orang di sekitarku", jawab Abu Bakar. "Tetapi", kata Umar lagi, "Adakah Anda telah bermusyawarah dengan seluruh kaum Muslim lalu mereka menyetujui?" Maka Abu Bakar berkata: "Memang, dahulu pemah kukatakan bahwa Anda sesungguhnya lebih kuat dari diriku untuk memikul jabatan ini, namun Anda sendiri yang memaksaku!"

Kisah di atas telah dikutip oleh Ibnu Abi Al-Hadid pada juz XII, dari kitab Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid III, halaman 108. Begitu pula Al-Asqallni dalam kisah riwayat hidup ‘Uyainah dalam bukunya, Al-Ishabah.

Sayang, mengapa Umar tidak bermusyawarah dengan segenap kaum Muslim pada peristiwa pem-bay'at-an Abu Bakar di Saqifah Bani Saidah? Dan tidakkah lebih baik, seandainya ia bertindak bijaksana dan menunggu sampai Bani Hasyim telesai menyelenggarakan pemakaman jenazah Nabi SAWW?!

[23] Ghanimah menurut bahasa berarti "memperoleh sesuatu." Arti ini lebih luas daripada perolehan dari hasil rampasan perang. Dengan ini pula Anda dapat mengetahui kaitan ayat ini dengan persoalan khumus (seperlima dari harta kekayaan) dalam mazhab kami (Syi'ah Imamiyah).

[24] Arti kalimat yang dimulai dengan "jika" dalam ayat ini ialah bahwa khumus (atau seperlima) dari hasil yang kamu peroleh telah dikhususkan untuk keenam obyek yang tersebut (yakni Allah, Rasul-Nya, kerabat beliau, anak yatim, fakir-miskin dan ibnus-sabil) ... maka putuskan sama sekali ambisi kalian untuk menikmatinya dan bayarkanlah kepada yang berhak, "... jika kalian benar-benar beriman kepada Allah..!" Jelas, bahwa ayat ini mengandung ancaman bagi orang-orang yang tidak melaksanakan pembayaran khumus sesuai dengan ayat tersebut.

[25] Shahih Muslim, juz II, pada awal halaman 105, cetakan tahun 1327 H, penerbit Al-Halabi dan kedua saudaranya.

[26] Yang menggesernya ialah Khalifah Kedua (Umar), sebagaimana diketahui secara meluas. Silakan Anda baca pada halaman 113, kitab Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid III, cetakan Mesir. Juga kitab Hayat Al-Hayawan di bawah judul DYK (Ï í ß) karangan Ad-Dumairi. Ibn Sa'ad, ketika menyebutkan riwayat hidup Umar dalam Thabaqat-nya mengatakan: "Dialah yang memerintahkan penggeseran maqam Ibrahim a.s. ke tempatnya sekarang, yang tadinya menempel pada Baitullah. Juga As-Sayuthi telah mengutip keterangan seperti itu perihal kehidupan Umar dalam kitab Tarikh Al-Khulafa'."

[27] Semua ahli sejarah menegaskan hal tersebut dalam buku-buku mereka. Antara lain, Ibn Atsir dalam bukunya, Al-Kamil, pada keterangan tentang peristiwa tahun itu.

[28] Ibn 'Abd Al-Bar telah menyebut kejadian ini dalam Al-Isti'ab-nya, pada bagian riwayat hidup Abu Khirasy. Begitu pula Ad-Dumairi, yang mengutipnya dalam bukunya, Hayat Al-Hayawan.

[29] Kisah ini sudah dikenal secara meluas. Anda dapat membaca rinciannya dalam Syarh Nahj Al-Balaghah karya Ibn Abi Al-Hadid (jilid III, halaman 99). Juga Ibn Khallikan dalam Wafayat-nya menyebut kisah ini pada riwayat hidup Nashr bin Hajjaj. Hampir teperti itu pula, hukuman pemukulan dan pcmbuangan oleh Umar atas diri Dhabi' At-Tamimi, gara-gara ia menanyakan kepada Umar tentang tafsir sebuah ayat Al-Quran. Peristiwa itu disebutkan oleh ibn Abi Al-Hadid dalam Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid III, halaman 122.

[30] Termuat dalam hamisy kitab Awarif Al-Ma'arif, juz II, halaman 173.

[31] Ucapan Umar ini diriwayatkan secara meluas (mutawatir), antara lain, dapat dibaca dalam buku Al-Kamil (Tarikh Ibn Atsir) atau buku-buku tarikh lainnya. Ketika meriwayatkan ucapan Umar ini, pada bagian riwayat hidup Salim dalam bukunya, Al- Isti'ab, Ibn 'Abd Al-Bar menegatkan bahwa ucapan tersebut semata-mata berdasarkan ijtihad Umar. Ahmad (bin Hanbal) merawikan ucapan Umar pada halaman 20, kitab Musnad-nya sebagai berikut: "Seandainya masih hidup salah satu dari dua orang, Salim (maula Abu Hudzaifah) dan Abu 'Ubaidah, niscaya aku akan mempercayakan (jabatan khilafah) ini kepada mereka."

[32] Amat banyak di antara para ulama yang menegaskan tercapainya ijma' mengenai hal itu (yakni tidak sahnya seorang budak atau bekas budak menduduki jabatan sebagai khalifah). Di antara yang menegaskannya, An-Nawawi dalam bab "Al-Imarah" (Kepemimpinan) dari bukunya, Syarh Shahih Muslim. Bahkan sekiranya Anda meneliti bab tersebut dalam Shahih Muslim, niscaya Anda akan lebih mengerti lagi tentang (hak dan keabsahan) Imam-imam yang Dua Belas as.

 
< Prev


 
Search

Last comments
Itik Berkaki Satu
Assalamualaikum :eek
25/04/07 09:00 More...
By Syaiful Arif

Menimbang Kerisauan Qatar Terh...
secara garis besar aku setuju banget sama apa yang dinyataka...
23/04/07 18:44 More...
By khaths

Sejarawan AS: Film 300 Memutar...
300? KATRO!!
DUL KOPRO!!!!! :( :( :( :( :( :( KLO ANE BELUM NONT...
23/04/07 15:16 More...
By Nawi

Iran Tolak Perundingan Nuklir ...
-
banyak orang lahir dari lobang sialan dan buss keluar dari s...
22/04/07 12:12 More...
By m.fazli andika

Iran Tolak Perundingan Nuklir ...
f*** BUSS
24/04/07 16:49 More...
By irfan

Most favoured
Download Category
CategoryPustaka(3)
CategoryFile MP3(142)
RSS Feeds
Your Info
Proxy: 1.1 proxy.cafe.plankplunk.net:8080 (squid/2.5.STABLE13)
IP: 202.57.29.187
Browser: Mozilla/5.0 (Windows; U; Windows NT 5.1; en-US; rv:1.8.1) Gecko/20061010 Firefox/2.0
Who's Online
We have 4 guests online
Blog Flux MapStats: Stats and Counter Service