|
C © updated 18062004 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
►e-ti |
|
|
Nama: Hans Bague Jassin Lahir: Gorontalo, Sulawesi Utara, 31
Juli 1917 Meninggal: Jakarta 11 Maret 2000
Istri: - Tientje van Buren
(cerai) - Arsiti (meninggal) - Yuliko Willem Anak: - Hannibal Jassin - Mastinah
Jassin - Yulius Firdaus Jassin - Helena Magdalena
Jassin Pendidikan: - HIS,
Balikpapan (1932) - MULO - HBS, Medan (1939) - FS
UI, Jakarta (1957) - Universitas Yale, AS (1958-1959)
- Doktor Kehormatan Sastra dari UI (1975) Karya Tulis: - Angkatan 45 (Jajasan
Dharma, 1951) - Tifa Penyair dan Daerahnya (Jajasan Dharma,
1952) - Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei
(Gunung Agung, empat jilid, 1954-1967) - Kesusasteraan
Dunia dalam Terdjemahan Indonesia (Jajasan Kerjasama
Kebudajaan, 1956) - Heboh Sastera 1968 (Gunung Agung,
1970) - Gema Tanah Air (1948) - Kesusastraan Indonesia
di Masa Jepang (1948) - Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45
(1956) - Kisah 13 Cerita Pendek (1955) - Analisa,
Sorotan atas Cerita Pendek (1961) - Amir Hamzah, Raja
Penyair Pujangga Baru (1962) - Pujangga Baru Prosa dan
Puisi (1963) - Angkatan 66 Prosa dan Puisi (1968) -
Surat-Surat 1943-1983, Gramedia, 1984 Terjemahan: - Max Havelaar (karya
Multatuli, Djambatan 1972) - Al Qur'an Bacaan Mulia
(Djambatan, 1978) dan Bacaan Mulia (edisi perbaikan, Yayasan
23 Januari 1942, 1982). - Terbang Malam (Karya A de St
Exupery) - Api Islam (Karya Syed Amir Ali, 1966) Pekerjaan: - Pekerja Sukarela di
Kantor Asisten Residen Gorontalo - Redaksi majalah
Poejangga Baroe - Redaksi Balai Pustaka (sampai 1947)
- Redaktur majalah Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra
Bahasa dan Budaya, Seni, ''Medan Ilmu Pengetahuan'' -
Horison Dosen Luar Biasa di FS UI - Penasihat Lembaga
Bahasa Nasional - Pendiri Pusat Dokumentasi Sastra H.B.
Jassin Sumber: Dari
berbagai sumber: Tempo, Kompas, dan sebagainya. |
|
|
|
| |
|
H.B Jassin
Paus Sastra Indonesia
Sejarah mencatat, sepanjang hidupnya HB Jassin menumpahkan
perhatiannya mendorong kemajuan sastra-budaya di Indonesia. Berkat
ketekunan, ketelitian dan ketelatenannya, ia dikenal sebagai kritisi
sastra terkemuka sekaligus dokumentator sastra terlengkap. Kini,
kurang lebih 30 ribu buku dan majalah sastra, guntingan surat kabar,
dan catatan-catatan pribadi pengarang yang dihimpunnya tersimpan di
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki,
Jakarta.
Begitu besarnya pengaruh HB Jasin di antara kalangan
sastrawan, Gajus Siagian (almarhum) menjulukinya “Paus Sastra
Indonesia”. Saat itu berkembang suatu ‘keadaan’ dimana seseorang
dianggap sastrawan yang sah dan masuk dalam ‘kalangan dalam’ bila HB
Jassin sudah ‘membabtisnya’. Meski kedengarannya berlebihan namun
begitulah adanya.
Saat itu, ada beberapa pengarang yang lama berada di ‘kalangan
luar’ sebelum akhirnya diakui masuk dalam ‘kalangan dalam’ seperti
Motinggo Busye, Marga T yang aktif produktif mengarang, dan penulis
novel-pop lainnya. Padahal karya-karya mereka cukup baik, berseni
dan bernilai bernas. Mereka lama berada di ‘kalangan luar’ karena
"pengaruh besar kepausan" HB Jassin. HB Jassin jugalah yang
menobatkan Chairil Anwar sebagai pelopor Angkatan '45. Lebih dari 30
tahun, julukan itu disandangnya.
Jassin rajin dan tekun
mendokumentasikan karya sastra, dan segala yang berkaitan dengannya.
Dari tangannya lahir sekitar 20 karangan asli, dan 10 terjemahan.
Yang paling terkenal adalah Gema Tanah Air, Tifa Penyair dan
Daerahnya, Kesusasteraan Indonesia Baru Masa Jepang, Kesusasteraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (empat jilid, 1954-1967) dan
tafsir Alquran dalam buku Qur'an Bacaan Mulia. Pada saat ulang
tahunnya ke-67, PT Gramedia menyerahkan ''kado'' buku Surat-Surat
1943-1983 yang saat itu baru saja terbit. Di dalamnya terhimpun
surat Jassin kepada sekitar 100 sastrawan dan seniman
Indonesia.
Jassin memulai dan meneruskan kariernya dari
banyak membaca. Lahir 31 Juli 1917 di Gorontalo, Sulawesi Utara,
anak kedua dari enam bersaudara ini berayahkan seorang bekas kerani
BPM yang ''kutu'' buku. Jassin mulai gemar membaca tidak lama
setelah duduk di bangku HIS (SD). ''Waktu itu, cara membangkitkan
minat baca murid sangat bagus,'' tuturnya tentang sekolah yang
mengajarkannya teknik mengarang dan memahami puisi. Teknik mengarang
dan memahami posisi sudah dipelajarinya sejak masih duduk di HIS
(SD). Di HBS Medan -- saat ikut ayahnya yang pindah ke BPM
Pangkalanbrandan, Sumatera Utara -- ia mulai menulis kritik sastra,
dan dimuat di beberapa majalah.
Bekerja di kantor Asisten
Residen Gorontalo seusai HBS -- tanpa gaji -- memberinya kesempatan
mempelajari dokumentasi secara baik. Tetapi, belakangan Jassin
menerima tawaran Sutan Takdir Alisjahbana, waktu itu redaktur Balai
Poestaka, bekerja di badan penerbitan Belanda itu, 1940. Di sana ia
juga berkarya sebagai penulis cerpen dan sajak.
Tak lama kemudian ia beralih ke bidang kritik serta dokumentasi
sastra. Adalah Armijn Pane yang mengajarinya membuat timbangan buku
dengan lebih baik. Inilah awal jabatannya sebagai redaktur berbagai
majalah sastra dan budaya, seperti Pandji Poestaka dan Pantja Raja,
lalu setelah Indonesia merdeka, di Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah,
Sastra, Bahasa dan Budaya, Buku Kita, Medan Ilmu Pengetahuan, dan
Horison.
Bekas Lektor Sastra Indonesia Modern Fakultas
Sastra UI ini tetap belajar sambil mengajar. Gelar sarjana sastra
diraihnya pada 1957, dan doktor honoris causa, delapan belas tahun
kemudian -- keduanya di FS UI. Ia juga sempat mendalami ilmu
perbandingan sastra di Universitas Yale, AS. Ia menguasai bahasa
Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman.
Ada kisah unik saat
ia menempuh pendidikan di UI. Saat itu, HB Jassin merangkap sebagai
mahasiswa dan mahaguru sekaligus. Ketika kuliah sastra-lama,
terutama mata pelajaran Jawa Kuno, Sanskerta, HB Jassin menjadi
mahasiswa, tekun duduk bersama mahasisawa lainnya dan penuh
perhatian pada matakuliahnya. Tetapi begitu berganti matakuliah
Sastra Modern, Masa Kekinian, HB Jassin berdiri dan maju ke depan,
berdiri di podium lalu memberi kuliah, karena memang sebagai doktor
Sastra Modern.
Jadi dalam satu hari pada dua matakuliah, ia sekaligus bisa
menjadi mahasiswa dan bisa menjadi mahaguru. Pada masa itu, orang
seperti dia masih sangat langka. Ia memberikan teladan kepada para
mahasiswa dengan rajin belajar, tekun, teliti dan
sungguh-sungguh.
HB Jassin terbilang bukan orang yang ahli
berdebat atau ahli berbicara di depan umum. Ia adalah orang yang
menulis, berpikir lalu menuliskannya, tekun, rajin, dan
berhati-hati. Seringkali saat diajak berdebat di depan forum resmi,
ia tidak meladeninya. Karena itu pula pada banyak kesempatan pada
beberapa kali simposium sastra-budaya, konggres, konferensi,
seminar, dia selalu menolak untuk berbicara yang sifatnya akan ada
perdebatan.
Pria yang tidak suka berdebat ini tidak bisa
bersepeda. Ia lebih sering jalan kaki meski ada kalanya naik bis,
becak dan kendaraan umum lainnya. Mungkin karena kebiasaannya itu ia
panjang umur dan selalu dalam keadaan sehat pada
zamannya.
''Wali Penjaga Sastra Indonesia'' -- julukan dari
ahli sastra Indonesia Prof. A.A. Teeuw -- ini pernah terganyang dan
dikecam. Setelah menandatangani Manifes Kebudayaan (''Manikebu''),
ia dituding oleh kelompok Lekra sebagai anti Soekarno. Akibatnya, ia
dipecat dari Lembaga Bahasa Departemen P & K dan staf pengajar
UI.
Namun, HB Jassin mampu bersikap jujur. Mengomentari buku
Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia, ia menilainya tidak mengandung
hal-hal yang melanggar hukum. Pelarangan terhadap buku itu lebih
banyak karena dikarang oleh bekas tokoh Lekra.
Cerpen Ki
Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, yang dimuat HB Jassin dalam
Sastra, 1971, sempat dianggap ''menghina Tuhan''. Di pengadilan, ia
diminta mengungkapkan nama Ki Panji Kusmin sebenarnya. Permintaan
ditolaknya. Akibatnya, HB Jassin dihukum satu tahun penjara dengan
masa percobaan dua tahun.
Kritik sastranya bersifat edukatif
dan apresiatif serta lebih mementingkan kepekaan dan perasaan
daripada teori ilmiah sastra. Hasil dokumentasinya lebih dari 40
tahun -- termasuk 30 ribu buku dan majalah sastra, guntingan surat
kabar, dan catatan-catatan pribadi pengarang -- telah dihimpun dan
disimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail
Marzuki, Jakarta.
Pria gemuk pendek ini menikah tiga kali.
Istri pertama, Tientje van Buren, wanita Indo yang suaminya orang
Belanda yang disekap Jepang, pisah cerai. Lalu Arsiti, ibu dua
anaknya, meninggal pada 1962. Sekitar 10 bulan kemudian ia menikahi
gadis kerabatnya sendiri, Yuliko Willem, yang terpaut usia 26 tahun.
Yuliko juga memberinya dua anak. Dari kedua istri ini, ia memiliki
empat anak, yakni Hannibal Jassin, Mastinah Jassin, Yulius Firdaus
Jassin, Helena Magdalena Jassin, 10 orang cucu, dan seorang
cicit.
Ia meninggal pada usia 83 tahun, Sabtu dini hari, 11
Maret 2000 saat dirawat akibat penyakit stroke yang sudah
dideritanya selama bertahun-tahun di Paviliun stroke Soepardjo
Rustam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Sebagai
penghormatan, ia dimakamkan dalam upacara kehormatan militer "Apel
Persada" di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata,
Jakarta.
***
Apa Kata Mereka Kalangan sastra
melihat HB Jassin sebagai pendokumentasi sastra yang sangat ulung
dan sangat tekun. Menurut pengarang Budi Darma, peran Jassin sangat
penting apalagi mengingat masyarakat Indonesia yang abai terhadap
soal-soal dokumentasi dan kesadaran sejarahnya sangat rendah.
Akibatnya banyak yang cenderung mengulang-ulang. Tambahnya ketika
dihubungi di Surabaya, "ia juga kritikus sastra formal yang pertama.
Sebelumnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Armiyn Pane atau Amir
Hamzah lebih banyak menulis puisi atau novel."
Penyair
Sapardi Djoko Damono menilai, dewasa ini banyak orang sekaliber HB
Jassin, bahkan melebihinya. "Tetapi orang yang setia pada sastra
seperti Pak Jassin tidak ada lagi. Selama 60 tahun hanya itu
pekerjaannya," ujar Sapardi yang pernah menjadi editor pada buku HB
Jassin 70 Tahun, terbitan PT Gramedia tahun 1987.
Menurut
sejarawan Taufik Abdullah, HB Jassin adalah tokoh yang luar biasa
dalam bidang sastra karena bisa memperkenalkan sastra kepada anak
muda tahun 1950-an, yang sulit ditemui pada zaman sekarang. Yang
lebih penting lagi, HB Jassin adalah pemelihara dokumentasi sastra
terpenting di Indonesia. Tambahnya, "Dengan itu kita bisa menulis
lebih baik."
Mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta Dr Salim
Said berpendapat, HB Jassin adalah pencari bakat terbesar yang
dimiliki Indonesia. Dia pula satu-satunya sastrawan Indonesia yang
diakui pemerintah dalam bentuk anugerah Bintang Mahaputera, sehingga
HB Jassin dimakamkan secara militer. Ia menilai HB Jassin banyak
menemukan pengarang-pengarang muda berbakat yang dia dorong untuk
menjadi pengarang.
Kalangan seniman yang lebih muda pun
tetap merasakan jasa Jassin. Penyair Dorothea Rosa Herliany (37)
yang ditanya di Magelang, Jawa Tengah, mengaku tersentuh oleh sikap
Jassin yang dalam keadaan sakit masih memperhatikan cerpen-cerpen
anak muda.
Kepada wartawan, Gus Dur berkata, "Saya
dibesarkan dalam tulisan beliau di Mimbar Indonesia dan beberapa
buku. Saya menghormati beliau, karena beliau adalah raksasa tempat
kita berutang kepadanya." Gus Dur mengaku terkesan dengan tulisan
asli HB Jassin berjudul Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik
dan Esei, yang pertama kali diterbitkan tahun 1954.
►mlp
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh
Indonesia) |
|