Jumat, 24 Juni 2005
Islam, Modernitas dan Radikalisme di Asia Tenggara
M Hilaly Basya Direktur Eksekutif Center for Moderate Muslim (CMM) dan Alumni Pesantren Darunnajah Bagi
banyak sarjana Barat, Asia Tenggara tentu saja bukan wilayah yang
langsung terbayang ketika membicarakan dunia Islam. Kajian tentang
Islam bagi mereka umumnya masih mengidentikkan Islam dengan Timur
Tengah. Berbeda dengan kebanyakan dari sarjana Barat lainnya, Robert W
Hefner mengatakan bahwa melakukan studi tentang Islam di Asia
Tenggara-khususnya Indonesia-adalah sangat penting dan menarik.
Indonesia contohnya, adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di
dunia. Dengan pertimbangan itu, mempelajari dan memahami Islam di
Indonesia adalah penting bagi relasi Islam-Barat dan masa depan
kemanusiaan global. Senada
dengan Hefner, John L Esposito melukiskan pengalaman dan
keterkejutannya melihat Islam Asia Tenggara saat ini. Lebih dari dua
puluh tahun yang lalu, Esposito tidak tertarik kepada Islam Asia
Tenggara. Salah satu faktornya adalah pandangan umum yang berkembang di
kalangan ilmuwan Barat, bahwa Islam Asia Tenggara adalah Islam
periferal (pinggiran). Namun tahun 1990-an Esposito mengalami
ketertarikan, bahkan kekaguman. Esposito mengatakan bahwa Indonesia dan
Malaysia akan muncul dan memainkan peran penting dalam dunia Islam
(1997). Penilaian
Esposito ini barangkali tidak berlebihan. Islam Asia Tenggara cukup
menjanjikan dan akan muncul menjadi kawasan alternatif bagi kebangkitan
Islam. Dalam dunia dimana pandangan dunia telah memaknai Islam sebagai
tidak cocok dengan modernisasi dan demokrasi, bahkan dikonotasikan
dengan radikalisme agama, Asia Tenggara justru memperlihatkan sosok
Islam yang moderat. Kebangkitan Islam Asia Tenggara
Kebangkitan Islam di abad ke-19 hingga 21 adalah sebuah fenomena
global. Seiring dengan adanya interaksi dengan peradaban Barat di abad
ke-18, umat Islam menyadari ketebelakangan peradabannya dibandingkan
Barat. Interaksi tersebut berlanjut menjadi media refleksi dan
digunakan sebagai kesempatan untuk mempelajari peradaban Barat. Namun
kebangkitan Islam tidak semata-mata terinspirasi oleh kemajuan
peradaban Barat. Evers dan Sharon Siddique mencatat ada empat model
gerakan yang melatarbelakangi kebangkitan Islam. Pertama, gerakan
penolakan atas rasionalisasi, yaitu penolakan atas demistifikasi dunia.
Kedua, gerakan sebagai sebuah usaha untuk mengatasi tekanan-tekanan
modernisasi. Ketiga, gerakan anti imperialis dan hegemoni. Dan keempat,
gerakan pembaruan yang merupakan doktrin agama itu sendiri (1993). Kebangkitan
Islam dalam konteks yang dilatari oleh faktor pertama, kedua, dan
ketiga bisa dikatakan sebagai respon negatif terhadap modernitas Barat.
Kebangkitan Islam dimaknai sebagai resistensi identitas, dimana Barat
yang diasumsikan sebagai pemilik modernitas terlalu mendominasi dan
memonopoli kebenaran. Maka kebangkitan Islam dalam konteks semacam ini
adalah sikap yang reaktif. Sebab resistensi tersebut dilakukan dengan
menyertakan sentimen identitas. Sehingga subjektifitasnya lebih
memainkan peran, ketimbang sebagai sebuah representasi objektif. Berbeda
dengan ketiga model gerakan yang sudah dijelaskan di awal, model yang
keempat lebih merupakan determinasi doktrinal dan sejarah. Senada
dengan hal ini Esposito mencatat, bahwa kebangkitan Islam di Asia
Tenggara dewasa ini bukan sebagai reaksi terhadap modernitas Barat,
melainkan sebagai bagian tak tepisahkan dari proses pembaruan yang
selalu muncul, yang menunjukan keberlangsungan tradisi Islam dalam
sejarah (1983). Hal itu menjelaskan bahwa kebangkitan Islam adalah
sebuah dorongan dan dinamika internal. Dari kerangka bepikir ini,
kebangkitan Islam di Asia Tenggara dapat dilihat sebagai sebuah wacana
alternatif dunia Islam, ketimbang sebagai ancaman bagi Barat. Moderatisme Vs radikalisme Islam
Islam moderat di Asia Tenggara, selain sebagai gerakan pemikiran yang
terbuka dan akomodatif terhadap modernitas Barat, juga menjadi antitesa
atas Islam radikal. Ketika fenomena terorisme timbul di Indonesia,
banyak tokoh dari dalam dan luar negeri yang berharap agar Islam
moderat tampil dan memberikan andil dalam meredam gejolak teror
berlabel agama. Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew misalnya,
menyerukan agar kelompok Islam moderat di Asia Tenggara mengambil sikap
untuk memerangi ekstrimis Islam yang ia sebut telah membuat teror di
dunia. Dalam wawancaranya di BBC East Asia Today, Sabtu (27/3), Lee
mengatakan berdiamnya kelompok Islam moderat membuat Islam ekstrimis
leluasa meledakan bom seperti di Bali dan di Madrid baru-baru ini yang
menewaskan 190 orang. Umat
Islam di Asia Tenggara, merespon maraknya terorisme berlabel agama
dengan menggelar konferensi yang bermaksud meng-counter berkembangnya
pengaruh Islam radikal di kalangan umat Islam pada umumnya, dan
mencegah terbentuknya opini internasional yang mengidentikkan Islam
dengan terorisme. "Deklarasi Jakarta 2001", yang merupakan hasil Summit
of World Muslim Leaders mengungkapkan bahwa Islam adalah agama moderat
yang cinta damai, antikekerasan, dan tidak antikemajuan. Berikutnya
adalah The Jakarta International Islamic Conference (JIIC)-hal mana
Center for Moderate Muslim (CMM) terlahir dari konferensi tersebut-yang
dilaksanakan atas kerjasama NU-Muhammadiyah pada tanggal 13-15 Oktober
2003. Konferensi ini ingin mempertegas peran Islam moderat Asia
Tenggara yang direpresentasikan oleh NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas
Islam lainnya dalam meredam gelombang radikalisme. Kemunculan
radikalisme berbaju Islam di awal abad ke-21 ini memang menjadi
fenomena menarik. Sungguhpun radikalisme bertentangan dengan
nilai-nilai luhur kemanusiaan, namun adalah sebuah kenaifan mengkritisi
fenomena radikalisme tanpa mencermati dan memahami situasi dan kondisi
di seputar kemunculannya. Radikalisme Islam adalah reaksi atas tragedi
yang menimpa Palestina, Bosnia, Checnya, Irak, dan Afghanistan. Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI) misalnya, bukan tanpa sebab membenci (baca:
bersikap sangat kritis) pemerintah Amerika Serikat. Keberpihakan
kebijakan luar negeri pemerintah AS kepada kepentingan politik Israel
dan penyerangan terhadap Irak menyebabkan MMI sangat kritis dan
terkesan anti terhadap seluruh produk AS. Karena itu, radikalisme tidak
muncul dalam ruang hampa. Kekerasan struktural dan ketidak-adilan
global yang merugikan umat Islam, menjadi pendorong lahirnya
radikalisme. Dalam konteks demikian, radikalisme mengandung motif
pembebasan dan perlawanan. Dalam buku Islam: Continuity and Change in the Modern World,
John Obert Voll, menyebutkan bahwa gerakan militan Islam tercipta dari
dominasi negara-negara maju terhadap negara taklukan (1982). Dominasi
mengandung arti adanya pembelengguan serta kekerasan terhadap objek
yang didominasi. Perlawanan negara taklukan dalam bentuk radikalisme
dan terorisme ini menjadi fenomena umum seiring dengan kolonialisme
negara-negara Barat terhadap negara-negara Islam. Perlawanan umat Islam
atas kolonialisme itulah menurut Voll yang menjelma menjadi gerakan
Islam radikal. Dengan
demikian pada dasarnya Islam radikal berdiri di atas perjuangan
pembebasan melawan dominasi dan superioritas Barat. Wacana yang
dikembangkan Islam radikal adalah wacana pembebasan. Radikalisme dalam
konteks dimensi pembebasan, adalah sesuatu yang wajar. Karena
itu harus dipahami bahwa kemunculan kelompok Islam moderat bukan untuk
mengajak umat berpaling dari perjuangan membebaskan kelompok tertindas
dan marjinal, melainkan menolak penggunaan jalan pintas dalam proses
pembebasan dan perlawanan tersebut. Syafii Ma'arif, ketua umum
Muhammadiyah menyebut jalan pintas yang digunakan kelompok Islam
radikal itu sebagai harakiri (2004). Menurut pandangan Syafi'i, sejarah
peradaban manusia menceritakan bahwa radikalisme dalam bentuk terorisme
pada umumnya berujung dengan kegagalan. Radikalisme
dalam bentuk teror, menurut pandangan Syafi'i, seringkali berpijak pada
kebencian dan fanatisme. Padahal menggunakan pendekatan teror sama
maknanya dengan harakiri, suatu perbuatan yang hanya mungkin dilakukan
oleh mereka yang "sesak nafas" karena tidak berani hidup secara
bermakna. Para teroris tampaknya tidak mempunyai modal untuk menawarkan
perdamaian dan kesejahteraan. Nafas yang sesak karena berbagai hantaman
sejarah yang datang bertubi-tubi telah menempatkan terorisme dalam
posisi bengis namun tak berdaya. Oleh karena itu, terorisme menempuh
jalan pintas berupa self defeating (menghancurkan diri sendiri), yang
dilakukan dalam suasana rentan dan tertekan (Syafi'i Maarif, 2004). Berbeda
halnya dengan Islam radikal, Islam moderat menawarkan wacana pembebasan
yang mencerahkan, sebab tidak berpijak pada pendekatan kekerasan dan
ketergesa-gesaan. Pembebasan dan keberpihakan pada kaum mustadh'afin
diwujudkan dalam bentuk yang elegan, sistematis, dan evolutif.
Penggunaan metode dan pendekatan inilah yang membedakan Islam moderat
dengan Islam radikal. Atas
dasar itu, Islam di Asia Tenggara menjadi wacana dan gerakan alternatif
yang dapat mengarahkan kebangkitan Islam pada koridor yang elegan,
ramah, anti kekerasan, namun tetap kritis dan berpihak pada kelompok
yang teraniaya dan tertindas.
( )
|