|
|
|
|
NASIONAL |
|
|
Kisah Buya Tentang Dirinya
TITIK-TITIK KISAR DI PERJALANKU
Penulis: Ahmad Syafi`i Ma`arif
Penerbit: Penerbit Ombak, Yogyakarta, Mei 2006, xxiv + 472 halaman
Dari kecil, cita-cita tinggi tak pernah singgah di benaknya. Ahmad
Syafi`i Ma`arif hanyalah seorang anak piatu dari Desa Calau yang
terpencil di Sumatera Barat. Ibunya meninggal ketika Syafi`i masih
bermur dua tahun. Tikar kasar menjadi sahabatnya tidur selama
bertahun-tahun, sampai ia dewasa dan berumah tangga.
Ombak kehidupan membawanya ke tepian sukses. Ia tidak hanya berhasil
meraih jenjang tertinggi dalam pendidikan. Lebih jauh lagi, retak
tangan membawanya ke pentas nasional dengan memimpin Muhammadiyah.
Begitu Ahmad Syafi`i Ma`arif yang di kalangan Muhammadiyah dipanggil
Buya itu menulis kisah hidupnya.
Ada dua orang yang berperan besar dalam keberhasilannya. Perjalanan
intelektualnya sangat dipengaruhi Prof. Dr. M. Sanusi Latief. Selain
itu, Buya juga mengakui pengaruh Amien Rais merwarnai kehidupan
intelektual dan dalam berorganisasi.
Setamat dari Madrasah Mu'allimin Lintau di Kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat, Syafi`i kecil sebenarnya hendak berniaga. Malah rencana
berdagang ke sekitar Riau Daratan didukung oleh Etek Lamsiah, ibu
tirinya. Niat menjadi pedagang ini pupus setelah dia bertemu Sanusi,
kakak sesuku yang menjadi pelopor gerakan pencerahan intelektual di
kampungnya.
Sanusi berjasa membebaskan dia dari kehidupan kampung yang serba
sederhana. "Aku tidak bisa membayangkan masa depanku jika seorang
Sanusi tidak lahir dari rahim Sumpur Kudus," tulis Buya. Sedangkan
Amien Rais, selain memberi jalan Syafi`i untuk melanjutkan belajar ke
Amerika Serikat, juga membawanya ke lingkaran pusat Muhammadiyah.
Berkat jasa Amien, ia mendapat rekomendasi studi di Universitas
Chicago, meraih gelar doktor ilmu politik pada 1982. Ketika Syafi`i
belum menjadi apa-apa, Amien mendorongnya aktif di Majelis Tabligh
Muhammadiyah. Sampai tahun 1985, kiprah Syafi`i di Muhammadiyah boleh
dibilang masih di pinggiran. Dia tidak pernah meniti jenjang di
kepengurusan ranting atau cabang Muhammadiyah.
Karenanya, Lukman Harun (almarhum) mengkritik Syafi`i sebagai orang
yang terlalu cepat naik ke puncak Muhammadiyah. Kedekatannya dengan
Amien --selain karena kapasitasnya-- telah membawa Syafi`i ke tampuk
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Walau begitu, orang Minang ini tak
selamanya sejalan dengan Amien.
Untuk banyak hal, mereka kerap bersilang kata. Dalam menyikapi
pemerintahan Presiden Habibie, misalnya, Syafi`i menilai sikap Amien
yang terus melancarkan kritik sebagai sikap yang kurang sabar. "Dalam
menghadapi Habibie, aku tidak selalu bisa mengikuti Amien Rais. Mengapa
Habibie tidak diberi waktu untuk membuktikan kemampuannya?"
Syafi`i, selaku Ketua PP Muhammadiyah yang menggantikan Amein Rais,
menjadi saksi berbagai peristiwa penting di negeri ini. Ia melihat
peran besar Amien dalam menyusun kabinet pemerintahan Habibie. Masuknya
Adi Sasono sebagai Menteri Koperasi dan Malik Fadjar sebagai Menteri
Agama tak lepas dari peran Amien.
Ketika banyak tokoh Muhammadiyah mencerca Amien karena melontarkan
gagasan suksesi Orde Baru di dalam Tanwir Muhammadiyah 1993, Syafi`i
mendukung pandangan seniornya itu. Demikian pula saat banyak tokoh
Muhammadiyah berdebat keras tentang peran Amien di Muhammadiyah dalam
kurun Mei-Agustus 1998, Buya mati-matian membela Amien.
Pada waktu itu, banyak tokoh Muhammadiyah menginginkan Amien Rais
mundur dari gelanggang politik setelah berhasil menggelindingkan roda
reformasi di negeri ini. Tapi Buya bersama Ahmad Watik Pratiknya
mendorong Amien terus berkiprah di panggung politik. Ia melihat Amien
sebagai sosok bernaluri politik sangat kuat.
Syafi`i, lewat otobiografinya, tidak sekadar memaparkan perjalanan
hidupnya. Lebih dari itu, dengan gaya khas Minang, Buya menuturkan
pernik-pernik yang melatari berbagai peristiwa politik pada 1993-1998.
Erwin Y. Salim
[Buku, Gatra Nomor 35 Beredar Kamis, 13 Juli 2006]
|
|
| | | KOMENTAR PEMBACA | | | | |
Kritik buat Buya.... (zqdecoc@ya..., 22/07/2006 06:07) Seperti
biasa, Syafii Maarif memposisikan sebagai �Bapak Bangsa� yang sangat
peduli dengan keutuhan bangsa Indonesia. Ia menempatkan dirinya sebagai
�penyelamat bangsa�. Tentu saja, posisi itu ideal. Tapi, sayangnya,
pada saat itulah, Syafii lupa, bahwa pada berbagai bagian tulisannya,
dia justru telah menyinggung dari kalangan kaum Muslim sendiri. Bahasa
yang digunakan Syafii pun bukan bahasa yang arif, yang menunjukkan
kedewasaan seorang Profesor yang usianya sudah mencapai 70 tahun lebih,
tet... <2329 huruf lagi> | | | | | |
Wajah Buya, Cermin Sikapnya (arman_ch181b@ya..., 22/07/2006 05:32) Tampilan
wajahnya, cukup cerminan sikap hidupnya. wjah keras, bersikap tegas.
kadang begitu hitam-putih tanpa kompromi. dibutuhkan orang spt Buya
dalam kenegaraan, meski tdk ikut masuk gelanggang seperti 'sang guru'
Amien Rais.
sama seperti Buya yang tidak selalu 'sejalan' dengan gurunya Amien
Rais, saya pun tidak berarti sepaham dengan percik pemikiran Buya. | | | | | |
Tokoh Nurani Bangsa (ian_cirus@ya..., 22/07/2006 04:54) Buya
bisa dibilang sebagai seorang dari tiap tokoh bangs dan agama di negeri
ini yang punya integritas dan nurani yang suci. Ia guru bangsa yang
sangat bijak dan matang dalam menyikapi setiap peristiwa. Himbauan
moral dan suara nuraninya seakan menjadi tumpuan di tengah kegalauan
mencari sosok elit yang mayoritas bermental korup dan oprtunis.
Semoga buya tetap rendah hati dan ikhlas dalam setiap pernyataan dan tindakan | | | | | |
Koreksi ya, Bung (mbzr00@ya..., 22/07/2006 03:13) Bung
"tbarys", saya koreksi ya: Jangan bilang "panutan kita", cukuplah
"panutan saya"; gak usah khawatir, Buya juga adalah salah satu panutan
saya kok, dan saya yakin beliau juga adalah panutan banyak orang. Lalu,
jangan bilang "rendah diri", yang benar adalah "rendah hati". Salam. | | | | | |
Panutan Kita (tbarys@ya..., 21/07/2006 23:56) Ini
salah satu tokoh panutan kita, ketika mencapai puncak tidak lupa pada
kulitnya. Rendah diri dan punya komitmen. berani beda dengan "guru"
politiknya, tapi berani mengatakan kebenaran. | |
|
|