Kolom M. Dawam Rahardjo
Kala MUI Mengharamkan Pluralisme
Senin, 01 Agustus 2005 | 10:52 WIB
TEMPO Interaktif, :
Dalam Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia yang berakhir
pada Jumat (29/7), MUI telah mengeluarkan 11 fatwa. Dijelaskan juga
bahwa belum pernah Munas MUI mengeluarkan fatwa sebanyak itu sebelumnya.
Di antara fatwa-fatwa itu, yang boleh dikatakan mencerminkan pandangan
elite keagamaan Islam Indonesia, Munas MUI kurang-lebih telah
mengharamkan umat Islam untuk mengikuti tiga paham kontemporer, yaitu
sekularisme, liberalisme, dan pluralisme.
Fatwa ini bisa diartikan sebagai pelarangan kemerdekaan berpikir,
berpendapat, dan berkeyakinan, yang merupakan bagian dari hak asasi
manusia. Kita bisa berpendapat yang isinya menolak suatu paham. Namun,
jika kita melarang masyarakat menganut suatu paham, itu namanya
mengingkari kemerdekaan berpikir dan berpendapat.
Latar belakang pengharaman itu agaknya adalah timbulnya aliran Islam
Liberal yang dikembangkan oleh generasi muda, terutama dari kalangan
Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah, dengan tokohnya yang paling vokal
Ulil Abshar-Abdalla.
Unsur-unsur liberal dalam kedua organisasi itu memang dianggap
membahayakan akidah dan syariat, tapi didukung pula oleh beberapa tokoh
senior dari dalam organisasi itu sendiri, bahkan menduduki posisi
pemimpin.
Aliran ini, berkat kepemimpinan yang dinamis dari tokoh-tokohnya, makin
menarik perhatian masyarakat, bahkan dinilai telah mempengaruhi cara
berpikir dalam organisasi formal. Gejala inilah yang menimbulkan
kegelisahan kalangan MUI yang secara informal bertindak sebagai "polisi
akidah" atau "menjaga kemurnian akidah" menurut imbauan Presiden
Yudhoyono ketika membuka musyawarah nasional itu. Padahal wacana yang
mereka lontarkan selalu bersifat pencerahan.
Fatwa MUI kali ini telah menimbulkan tanda tanya: bagaimana
penjelasannya hingga timbul gejala itu? Mengapa gejala itu baru muncul
sekarang yang, antara lain, ditandai oleh gerakan penyerbuan terhadap
Kampus Mubarak, kantor pusat Jemaah Ahmadiyah?
Mau tidak mau gejala itu dikaitkan dengan merebaknya terorisme yang
bersumber dari kalangan umat Islam. Apakah ini merupakan gejala
radikalisasi gerakan Islam yang dilatarbelakangi upaya-upaya untuk
menghidupkan kembali Piagam Jakarta baru-baru ini (2002)?
Pertanyaan-pertanyaan itu pada gilirannya menimbulkan keresahan di
kalangan kelompok Islam moderat, yang umumnya berpandangan liberal dan
progresif.
Menurut Bassam Tibi, seorang intelektual muslim Jerman kelahiran
Suriah, umat Islam dewasa ini telah kejangkitan sikap mental defensif
karena "serbuan" modernisasi dan pembaratan (westernisasi), yang
merupakan buah peradaban dominan dewasa ini dan menyebar lewat arus
deras globalisasi. Budaya defensif itu terutama ditandai oleh sikap
curiga dan menolak pengaruh asing, khususnya lewat simbol pembaratan,
yang sebenarnya merupakan cerminan dari rasa rendah diri.
Lebih dari itu, pembaratan dicurigai dilatarbelakangi peradaban
Yudeo-Kristiani, khususnya yang dimanifestasikan dalam gerakan
kristenisasi. Dengan latar belakang itu, lahir wacana-wacana
sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Sebenarnya tema-tema itu dulu
diusung juga oleh gerakan modernisasi, hingga gerakan modernisasi yang
dicanangkan oleh Nurcholish Madjid ditolak oleh kebanyakan organisasi
dan tokoh Islam.
Dalam kenyataan, wacana sekularisme, liberalisme, dan pluralisme memang
diusung oleh Jaringan Islam Liberal yang sebenarnya lebih dulu
dipelopori oleh Paramadina.
Di kalangan NU, timbul wacana tentang Pascatradisionalisme, Islam
Emansipatoris, dan Islam Progresif yang diwadahi, antara lain, dalam
organisasi Perhimpunan untuk Pengembangan Pondok Pesantren dan
Masyarakat (P3M), yang dulu dibentuk oleh LP3ES dan Lembaga Studi Islam
dan Sosial (LKIS).
Di kalangan Muhammadiyah, timbul gerakan kalangan muda yang diwadahi
dalam Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) dan Jaringan Intelektual
Muda Muhammadiyah (JIMM).
Dalam fatwa MUI, liberalisme atau jelasnya aliran "Islam Liberal"
dimaksudkan sebagai "pemikiran Islam yang menggunakan pikiran manusia
secara bebas, bukan pemikiran yang dilandasi agama".
Yang menjadi masalah: apakah penggunaan pikiran manusia dalam pemikiran
Islam itu bisa dicegah? Jika dicegah melalui hukum, hal itu sama dengan
pemberangusan kebebasan berpikir. Selain itu, Nabi Muhammad SAW pernah
bersabda yang intinya mengantisipasi dijumpainya persoalan-persoalan
yang tidak ada petunjuknya, baik dalam Al-Quran maupun sunah. Dalam
kasus yang demikian, Nabi SAW mengizinkan penggunaan akal bebas, yang
disebut ijtihad.
Misalnya masalah pemilihan kepala negara dan suksesi kepemimpinan. Jika
pemikiran yang menggunakan akal bebas itu tidak diakui, sementara
penggunaan akal bebas tidak bisa dicegah, bahkan merupakan keharusan
dalam hal tidak ada landasan Al-Quran dan sunah, karena masalah itu
merupakan persoalan dunia dan bukan agama, justru akan timbul
sekularisme, yang memisahkan masalah agama dan dunia atau agama dan
negara.
Fatwa yang cukup merisaukan adalah dilarangnya doa bersama, khususnya
doa yang dipimpin oleh orang nonmuslim. Gejala itu sebenarnya sudah
sangat lumrah: seorang pastor atau pendeta mengucapkan doa, padahal doa
bersama yang diucapkan dalam bahasa Indonesia atau Jawa itu isinya sama
saja dengan doa orang Islam, misalnya meminta keselamatan atau memohon
agar para pemimpin bisa menghentikan pertengkaran di antara mereka.
Dengan perkataan lain, doa bersama itu bersifat universal, bisa
diucapkan dan diamini oleh semua orang dari berbagai agama. Mengapa doa
bersama itu, yang maksudnya jelas baik dan merupakan kebiasaan yang
baik pula, yaitu memohon kepada Tuhan, Tuhan seluruh umat manusia,
diharamkan oleh MUI? Bukankah ini adalah pemberangusan terhadap
kebebasan untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan masing-masing?
Fatwa MUI juga menolak asas pluralisme beragama, tapi bisa menerima
pluralitas karena merupakan realitas. MUI agaknya membedakan pluralitas
dan pluralisme, yang memang berbeda. Yang satu pemikiran dan yang lain
adalah realitas yang tak bisa ditolak. Namun, keduanya berkaitan satu
sama lain.
Asas pluralisme dianut karena berdasarkan realitas, yaitu realitas
masyarakat yang majemuk. Dalam masyarakat yang majemuk itu, otoritas,
yaitu negara atau MUI, tidak berhak menyatakan bahwa agama yang satu
benar dan agama yang lain salah atau "sesat dan menyesatkan" seperti
yang dituduhkan kepada Ahmadiyah.
Artinya, semua agama harus dianggap benar, yaitu benar menurut
keyakinan pemeluk agama masing-masing. Sebab, prinsip ini merupakan
landasan bagi keadilan, persamaan hak, dan kerukunan antarumat
beragama. Tanpa pandangan pluralis, kerukunan umat beragama tidak
mungkin terjadi.
Demikian juga, tanpa pluralisme, di mana keyakinan masyarakat
didominasi oleh keyakinan hegemonik seperti keyakinan para ulama MUI,
kebebasan beragama akan terberangus dari bumi Indonesia.
Padahal yang mendasari Pancasila itu adalah pluralisme yang tersimpul
dalam istilah "bhinneka tunggal ika". Pluralisme, lewat Pancasila,
adalah infrastruktur budaya dari persatuan Indonesia, demokrasi
kerakyatan, dan keadilan sosial yang berdasarkan ketuhanan yang mahaesa
dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
M. Dawam Rahardjo
Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah
dan mantan Rektor Universitas Islam 45 Bekasi
Kolom ini juga bisa dibaca di Koran Tempo edisi 1 Agustus.
INDEKS BERITA LAINNYA :
|