|
|
|
|
|
|
analisa : Asuransi Dalam
Timbangan..! oleh : Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih dan
Prof. Dr. Shalah ash-Shawi
Hukum Asuransi
Pertama: Hukum
asuransi bisnis
Siapapun yang mengkaji persoalan ini,
hampir tidak pernah mendengar istilah asuransi bisnis dalam berbagai
penjelasan para ulama terdahulu. Karena mereka belum pernah mengenal
asu-ransi dalam wujud seperti sekarang ini dalam dunia Islam kecuali
pada abad ke tiga belas hijriyah. Yang pertama kali membicarakan
persoalan ini adalah Ibnu Abidin dalam al-Hasyiyah di situ beliau
membedakan antara asuransi yang diberlakukan di negeri-negeri Islam
dengan asuransi laut yang ada di negeri-negeri perang. Yang pertama
adalah perjanjian ganti rugi yang rusak, karena mengharuskan jaminan
yang tidak harus. Sementara yang kedua adalah perjanjian yang tidak
ada hukumnya.
Banyak kalangan ulama kontemporer sekarang ini
yang sudah tertantang membahas persoalan asuransi ini yang
kesim-pulannya adalah haramnya usaha asuransi bisnis, karena
mengan-dung unsur, judi dan riba dengan dua jenisnya sekaligus; riba
fadhal dengan riba nasi’ah. Bahkan juga ada unsur mengambil harta
dengan cara haram dan mewajibkan hal yang tidak wajib menurut
syariat. Sementara asuransi koperatif (tolong menolong) dan asuransi
sosial, keduanya dibolehkan, karena dasarnya adalah dari sumbangan
sukarela. Hal yang bersifat sumbangan sukarela dimaafkan, lain
hal-hal yang bersifat kompensasi. kemudian mencuat berbagai
perusahaan asuransi Islam yang didirikan ber-dasarkan pemikiran
tolong-menolong berderma, sebagai ganti dari ide kompensasi yang
dijadikan dasar oleh berbagai perusa-haan asuransi yang ada.
Pada kesempatan ini penulis akan menukilkan keputusan dari
Majelis Ulama Fiqih yang terikut dalam Rabithah al-Alam al-Islami
seputar persoalan asuransi:
Alhamdulillah. Shalawat dan
salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, para sahabat beliau dan
orang yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba'du:
Sesungguhnya Majelis Ulama Fiqih pada pertemuan per-tamanya
yang diadakan pada tanggal 10 Sya'ban 1398 M di Makkah al-Mukarramah
di pusat Rabithah al-Alam al-Islami me-neliti persoalan asuransi
dengan berbagai jenisnya yang bermacam-macam, setelah sebelumnya
menelaah tulisan para ulama dalam persoalan tersebut, dan juga
setelah melihat keputusan Majelis Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi
Arabia pada pertemuan ke sepu-luh di kota Riyadh tanggal 4/4/97 M,
dengan SK nomor 55, tentang haramnya Asuransi Bisnis dengan berbagai
jenisnya. Setelah mempelajari secara lengkap berbagai pendapat
seputar persoalan itu, Majelis Ulama Fiqih menetapkan secara ijma’
(mufakat) –selain Syaikh Mushthafa Zirqa-- keharaman Asu-ransi
Bisnis itu dengan segala jenisnya, baik itu berupa asuransi jiwa,
asuransi barang dagangan dan lain-lain, berdasarkan dalil-dalil
berikut:
Pertama: Perjanjian Asuransi Bisnis ini
tergolong perjanjian kompensasi finansial spekulatif yang mengandung
unsur 'pen-jualan kucing dalam karung' yang cukup kentara. Karena
pihak yang akan menerima asuransi pada saat perjanjian tidak
menge-tahui jumlah uang yang akan dia berikan dan akan dia terima.
Karena bisa jadi setelah sekali dua kali membayar iuran, terjadi
kecelakaan sehingga ia berhak mendapatkan jatah yang dijanjikan oleh
pihak perusahaan asuransi. Namun terkadang tidak pernah terjadi
kecelakaan sehingga ia membayar seluruh jumlah iuran namun tidak
mengambil apa-apa. Demikian juga pihak perusa-haan asuransi tidak
bisa menetapkan jumlah yang akan diberikan dan diambil dari setiap
person pada setiap perjanjian secara terpisah. Padahal ada hadits
yang melarang menjual sesuatu dengan sistem 'menjual kucing dalam
karung.
Kedua: Perjanjian Asuransi Bisnis ini
tergolong salah satu bentuk perjudian, karena ada untung-untungan
dalam kompen-sasi finansialnya, bisa juga menyebabkan orang
berhutang tanpa kesalahan dan tanpa sebab, bisa menyebabkan orang
meraup keuntungan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak
seim-bang. Karena pihak penerima asuransi terkadang baru membayar
sekali iuran asuransi, kemudian terjadi kecelakaan, maka pihak
perusahaan terpaksa menanggung hutang biaya asuransi tanpa imbalan.
Kalau ketidakjelasan itu sudah terlihat jelas, maka itu adalah
perjudian, termasuk dalam keumuman yang dilarang oleh Allah dari
aktivitas judi. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib de-ngan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan."(Al-Maidah: 90).
Ketiga: Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung
unsur riba fadhal dan riba nasi’ah sekaligus. Karena kalau
perusahaan asuransi membayar kepada pihak penerima jasa asuransi,
atau kepada ahli warisnya atau kepada nasabahnya lebih dari jumlah
uang yang telah mereka setorkan, berarti itu riba fadhal. Pihak
asuransi membayarkan uang asuransi itu setelah beberapa waktu, itu
berarti riba nasi’ah. Kalau pihak perusahaan asuransi hanya
membayarkan kepada pihak nasabah sebesar yang dia setorkan saja,
berarti itu hanya riba nasi’ah. Namun kedua jenis riba itu sudah
diharamkan berdasarkan nash dan ijma' para ulama.
Keempat: Perjanjian Asuransi Bisnis juga mengan-dung
unsur taruhan yang diharamkan. Karena masing-masing mengandung unsur
perjudian dan unsur menjual kucing dalam karung. Padahal syariat
tidak membolehkan taruhan kecuali apabila menguntungkan Islam,
menampakkan syiarnya dengan hujjah dan senjata. Nabi telah
memberikan keringanan pada taruhan ini secara terbatas pada tiga hal
dalam sabda beliau: "Tidak dibolehkan perlombaan yang
disertai taruhan kecuali pada tiga jenis perlombaan: Lomba lari,
lomba balap kuda (dan sejenisnya) dan lomba memanah."
Asuransi tidak termasuk dalam kategori tersebut, bahkan tidak
mirip sama sekali, sehingga diharamkan.
Kelima:
Perjanjian Asuransi Bisnis ini termasuk mengambil harta orang tanpa
imbalan. Mengambil harta tanpa imbalan dalam semua bentuk perniagaan
itu diharamkan, karena termasuk yang dilarang dalam firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu." (An-Nisa': 29).
Keenam:
Perjanjian Asuransi Bisnis itu mengandung unsur pemaksaan terhadap
hal yang tidak disyariatkan. Karena pihak perusahaan asuransi tidak
pernah menciptakan bahaya dan tidak pernah menjadi penyebab
terjadinya bahaya. Yang ada hanya se-kedar bentuk perjanjian kepada
pihak penerima asuransi untuk bertanggungjawab terhadap bahaya yang
kemungkinan akan terjadi sebagai imbalan dari sejumlah uang yang
dibayarkan oleh pihak penerima jasa asuransi. Padahal di sini pihak
perusahaan asuransi tidak melakukan satu pekerjaan apapun untuk
pihak penerima jasa, maka perbuatan itu jelas haram.
Adapun
yang dijadikan dalil oleh pihak yang membolehkan Asuransi Bisnis
secara mutlak atau sebagian jenisnya, jawabannya adalah sebagai
berikut:
- Pengambilan dalil itu sebagai kemaslahatan tidaklah tepat.
Karena kemaslahatan dalam syariat Islam itu ada tiga macam:
Pertama, yang diakui oleh syariat, itu bisa dijadikan
hujjah. Kedua, yang tidak dikomentari oleh syariat, tidak
dianggap batal dan tidak pula dibenarkan, itu disebut maslahah
mursalah. Ini meru-pakan hal yang masih diperdepatkan oleh
kalangan ahli ijtihad. Ketiga, yang dinyatakan batal oleh
syariat. Sementara perjanjian Asuransi Bisnis ini mengandung unsur
'menjual kucing dalam karung', perjudian dan riba. Semua itu sudah
dinyatakan batil oleh ajaran syariat, karena sisi kerusakannya
lebih dominan dari-pada sisi kemaslahatannya.
- Mubah mengikuti hukum asal, juga tidak bisa dijadikan dalil di
sini. Karena perjanjian dalam Asuransi Bisnis didirikan di atas
asas yang bertentangan dengan dalil-dalil dari Kitabullah dan
Sunnah Rasul. Pengamalan dengan sistem kemubahan berdasar-kan
hukum asal syaratnya disyaratkan harus tidak ada dalil yang
merubahnya. Padahal dalil-dalil yang merubah itu ada di sini, maka
perjanjian itupun batal.
- Kondisi mendesak itu membolehkan yang diharamkan. Ini juga
tidak bisa dijadikan dalil di sini. Karena berbagai cara men-cari
rizki yang dibolehkan oleh Allah lebih banyak dan jumlahnya
berlipat-lipat ganda dari jumlah cara yang diharamkan. Maka tidak
ada kondisi mendesak yang bisa dijadikan acuan di sini menurut
syariat sehingga harus kembali kepada sistem asuransi yang
diharamkan oleh Allah tersebut.
- Menjadikan kebiasaan sebagai dalil juga tidak bisa dibenarkan
di sini. Karena kebiasaan bukan termasuk dalil untuk menetapkan
hukum syariat. Namun hanya dijadikan landasan dalam penerapan
hukum dan dalam memahami lafazh-lafazh nash dan ucapan orang dalam
sumpah, klaim, berita dan segala yang mereka butuhkan untuk
memahami maksudnya berupa per-kataan atau perbuatan. Sehingga
kebiasaan tidak akan mempe-ngaruhi yang sudah jelas hukumnya dan
sudah jelas maksudnya. Semua nash tersebut telah mengindikasikan
secara jelas dilarang-nya asuransi, sehingga tidak perlu melihat
adat kebiasaan lagi.
- Berdalih bahwa perjanjian dalam Asuransi Bisnis ini sama
dengan perjanjian kerja sama penanaman modal (mudharabah) atau
yang sejenisnya. Itu tidaklah benar. Karena modal dalam penana-man
modal itu tidak keluar dari kepemilikan pemilik aslinya. sementara
yang disetorkan oleh penerima jasa asuransi dalam per-janjian
asuransi itu sudah keluar dari kepemilikannya menjadi milik
perusahaan sesuai dengan aturan asuransi yang berlaku. Modal dalam
perjanjian kerja sama penanaman modal juga diwa-riskan pemiliknya
bila meninggal dunia. Dalam aturan asuransi terhadap pihak pewaris
juga bisa mewarisi jumlah tertentu dari biaya asuransi, meskipun
pihak yang mewariskan kepada mereka baru membayar satu kali uang
iuran asuransi saja. Terkadang mereka tidak mendapatkan apa-apa,
bila yang dijadikan sebagai penerima hak asuransi hanyalah pihak
nasabah saja, bukan keluarganya. Keuntungan dalam kerjasama
penanaman modal juga dibagi kepada dua belah pihak berdasarkan
prosentase misal-nya. Lain halnya dengan asuransi. Keuntungan dan
kerugian semua ditanggung pihak perusahaan. Pihak penerima jasa
asu-ransi hanya menerima biaya asuransi atau menerima biaya tidak
terbatas.
- Dan diqiyaskannya perjanjian dalam asuransi bisnis ini dengan
loyalitas dua orang yang dijadikan saudara bagi pendapat yang
membenarkannya, itu tidaklah tepat. Karena itu adalah ana-logi
dengan perbedaan alasan yang jelas. Diantara perbedaan kedua
analogi tersebut adalah bahwa dalam perjanjian Asuransi Bisnis ini
targetnya adalah keuntungan materi yang dicampur de-ngan penipuan,
perjudian dan ketidakjelasan yang nampak. Lain halnya dengan
sistem loyalitas persaudaraan di atas, karena tuju-annya adalah
mempersaudarakan dua orang muslim dalam Islam, untuk saling
tolong-menolong dan bantu membantu dalam susah dan senang serta
dalam segala kondisi. Maka segala usaha yang bersifat komersial,
hanya mengikuti dasar persaudaraan tersebut saja.
- Pengqiyasan Asuransi Bisnis ini dengan janji mengikat bagi
orang yang berpendapat demikian, juga tidak tepat. Karena itu
adalah analogi dengan perbedaan alasan yang jelas. Diantara
per-bedaan kedua analogi tersebut adalah bahwa memberi pinjaman
atau hutang, atau menanggung kerugian misalnya, termasuk ma-salah
kebajikan semata. Menunaikan janji semacam itu adalah wajib dan
termasuk akhlak yang mulia. Lain halnya dengan per-janjian dalam
Asuransi Bisnis yang merupakan hubungan jual beli yang
pendorongnya adalah keinginan mencari keuntungan. Maka tidak bisa
diberi kelonggaran sebagaimana yang diberikan pada berbagai bentuk
derma meskipun ada unsur kamuflase atau keti-dak jelasan
sekalipun.
- Adapun diqiyaskanya Asuransi Bisnis ini dengan tanggung jawab
atau jaminan terhadap hal yang tidak diketahui atau jaminan
terhadap sesuatu yang tidak wajib, juga tidak tepat. Karena itu
adalah analogi dengan perbedaan alasan yang jelas. Di antara
perbedaan kedua analogi tersebut adalah bahwa jaminan (garansi)
salah satu bentuk derma yang tujuannya adalah kebajikan semata.
Lain halnya dengan asuransi yang merupakan hubungan jual beli.
Tujuan utamanya adalah masalah komersial. Kalaupun ada unsur
kebajikan, itu hanya merupakan masalah sampingan, bukan tu-juan.
Yang dilihat dengan kaca mata hukum adalah tujuan, bukan hal
sampingan, selama hal sampingan itu tidak menjadi tujuan pula.
- Diqiyaskannya Asuransi Bisnis dengan jaminan terhadap bahaya
di jalan, juga tidak tepat. Karena itu adalah analogi dengan
perbedaan alasan yang jelas, sebagaimana telah dijelaskan
sebe-lumnya.
- Diqiyaskannya perjanjian Asuransi Bisnis ini dengan aturan
pensiun juga tidak tepat. Karena itu adalah analogi dengan
perbedaan alasan yang jelas juga. Di antara perbedaan kedua
analogi tersebut adalah bahwa hak yang diberikan sebagai dana
pensiun adalah hak yang menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai
pemerhati kebutuhan rakyat, memperhatikan bakti yang telah
ditunjukkan oleh pegawai terhadap umat. Maka pihak pemerintah
membuat satu undang-undang yang memperhatikan kemaslahatan orang
yang paling dekat kepada pegawai itu, men-cermati kemungkinan
kebutuhan apa yang mereka miliki. Undang-undang kepensiunan
bukanlah termasuk hubungan jual beli ko-mersial antara pemerintah
dengan para pegawainya. Oleh sebab itu tidak ada kesamaan antara
undang-undang ini dengan per-janjian Asuransi Bisnis yang
merupakan hubungan bisnis komer-sial, dimana pihak perusahaan
memanfaatkan para nasabahnya untuk mencari keuntungan dengan
cara-cara yang tidak disya-riatkan. Karena dana yang diberikan
pada masa pensiun merupa-kan hak yang diberikan oleh pemerintah
yang bertanggungjawab terhadap rakyatnya, upaya yang dilakukan
pemerintah terhadap orang yang sudah berbakti kepada umat, untuk
membalas kebai-kannya dan dalam rangka tolong menolong, sebagai
balasan pula terhadap kerjasama badan dan pemikiran yang
dipersembahkan oleh sang pegawai, Karena ia telah mengorbankan
banyak wak-tunya dalam rangka membangkitkan potensi umat.
- Diqiyaskannya undang-undang Asuransi Bisnis dengan berbagai
perjanjian aqilah (wali terpidana membunuh). Karena itu adalah
analogi dengan perbedaan alasan yang jelas. Diantara per-bedaan
kedua analogi tersebut adalah bahwa asal dari tanggung jawab wali
terpidana membunuh tanpa sengaja atau setengah sengaja untuk
membayar denda diyyat karena antara dirinya de-ngan pembunuh
tersebut berupa hubungan darah atau hubungan kerabat yang menuntut
dirinya untuk menolong, untuk saling memberi bantuan dan berbuat
kebaikan tanpa pamrih. sementara perjanjian dalam Asuransi Bisnis
adalah bisnis komersial kompen-tatif, dasarnya adalah jual beli
komersial semata, bukan dilakukan atas dasar perasaan ingin
berbuat kebajikan dan ingin melakukan perbuatan baik dengan
hubungan tersebut.
- Sementara diqiyaskannya perjanjian Asuransi Bisnis ini dengan
usaha jasa perawatan/penjagaan juga tidak benar. Karena itu adalah
analogi dengan perbedaan alasan yang jelas juga. Diantara
perbedaan kedua analogi tersebut adalah bahwa masalah keamanan
bukanlah merupakan objek perjanjian usaha dalam ke-dua jenis usaha
tersebut. Dalam perjanjian Asuransi Bisnis, objek perjanjiannya
adalah iuran dan biaya asuransi. sementara dalam jasa perawatan
objeknya adalah upah, usaha dan penjaga atau perawat. Adapun
keamanan adalah tujuan dan target. Karena kalau tidak demikian,
berarti penjaga tidak akan menerima upah atau gaji apabila ada
barang hilang.
- Diqiyaskannya Asuransi Bisnis ini dengan penitipan juga tidak
tepat. Karena itu adalah analogi dengan perbedaan alasan yang
jelas juga. Diantara perbedaan kedua analogi tersebut adalah bahwa
upah dalam penitipan merupakan kompensasi dari peker-jaan mereka
menjaga sesuatu untuk dirawat. Lain halnya dengan asuransi. Uang
yang dibayar oleh penerima jasa asuransi tidak merupakan imbalan
dari kerja yang dilakukan pihak perusahaan asuransi. Yang nantinya
dikembalikan kepada pihak penerima jasa adalah fasilitas berupa
jaminan keamanan dan ketentraman. Syarat kompensasi dari satu
jaminan tidaklah sah, bahkan merusak perjanjian. Kalau biaya
asuransi itu dijadikan sebagai imbalan dari premi-premi yang
dibayarkan kepada pihak perusa-haan, berarti merupakan jual beli,
yang disitu diberlakukan unsur jumlah biaya dan masanya. Yang
membedakannya dengan peni-tipan adalah bahwa penitipan hanya
memberlakukan unsur upah/gaji.
- Sementara diqiyaskannya perjanjian Asuransi Bisnis ini dengan
kebiasaan para pedagang kain dengan penjahit, jelas tidak tepat.
Karena itu adalah analogi dengan perbedaan alasan yang jelas. Di
antara perbedaan kedua analogi tersebut adalah bahwa yang
dijadikan standar qiyas yakni Asuransi Kerjasama (peda-gang kain
dengan penjahit) merupakan kerja sama semata. Semen-tara yang
diqiyaskan dengannya, yakni Asuransi Bisnis adalah hubungan usaha
jual beli komersial, sehingga tidak bisa
diqi-yaskan.
Sebagaimana yang menjadi keputusan
Majelis dengan ketatapan secara mufakat dari Majelis Kibar Ulama
di Saudi Arabia nomor 51 tanggal 4/4/1397 H. Tentang
dibolehkannya Asuransi Kooperatif sebagai ganti dari Asuransi Bisnis
yang diharamkan dan kotor seperti disebut di atas, berdasarkan
dalil-dalil berikut:
Pertama: Bahwa Asuransi
Koperatif termasuk perjanjian amal kebajikan yang didasari oleh
untuk gotong royong dalam menghadapi bahaya dan bekerjasama memikul
tanggung jawab ketika terjadi musibah. Yakni dengan cara memberikan
andil/ saham dari beberapa orang dengan jumlah uang tertentu
diperun-tukkan secara khusus kepada orang yang tertimba musibah.
Kelompok orang yang melakukan Asuransi Kooperatif ini tidak
bertujuan berbisnis mencari keuntungan dari harta mereka. Namun
tujuannya adalah merasakan kebersamaan menangguh musibah dan saling
tolong menolong menghadapi bahaya.
Kedua: Asuransi
Koopertif ini tidak mengandung riba dengan dua jenisnya, riba fadhal
dan riba nasi’ah. Perjanjian orang-orang yang memberikan saham uang
itu bukanlah riba. Mereka juga tidak menggunakan premi yang
terkumpul untuk melakukan perdagangan riba.
Ketiga:
Tidak ada masalah bila orang-orang yang menanam saham tidak
mengetahui jumlah uang yang akan diterimanya. Karena posisi mereka
adalah sebagai orang yang berderma. Maka tidak ada unsur penipuan
dan unsur perjudian. Lain halnya dengan Asuransi Bisnis sebagai
perjanjian jual beli komersial kom-pentatif.
Keempat:
Kelompok para pemberi saham itu atau orang-orang yang mewakili
mereka melakukan pengembangan modal dari semua saham yang terkumpul
untuk merealisasikan tujuan dari kerjasama tersebut. Pengelolaan itu
bisa dilakukan dengan suka rela, bisa juga dilakukan dengan sistem
pemberian upah atau imbalan tertentu.
Majelis ulama
berpandangan bahwa hendaknya Asuransi Koperatif itu dalam bentuk
Perusahaan Asuransi Koperatif Ter-padu, berdasarkan alasan-alasan
berikut:
Pertama: Menjaga komitmen terhadap pemikiran
ekonomi Islam yang memberikan tanggungjawab kepada seluruh anggota
yang terlibat dalam melakukan berbagai macam proyek ekonomi,
sehingga pemerintah hanya berperang sebagai unsur pelengkap dalam
hal-hal yang tidak mampu dilakukan secara pribadi oleh mereka,
seperti tugas sebagai supervisor dan instruktur untuk menjamin
kesuksesan berbagai proyek tersebut dan kebersihan-nya proses
berjalannya.
Kedua: Menjaga komitmen terhadap
asuransi koperatif yang konsekuensinya adalah bahwa seluruh anggota
yang terlibat memilik hak penuh terhadap proyek dari segi
operasionalnya dan dari sisi penyediaan perangkat kerja serta
tanggung jawab ter-hadap manajemen perusahaan proyek.
Ketiga: Melatih para anggota secara kekeluargaan
untuk bersentuhan lagnsung dengan asuransi koperatif ini serta
mencip-takan inisiatif pribadi serta kemampuan membangkitkan potensi
diri. Tidak diragukan lagi, bahwa melibatkan secara langsung anggota
keluarga perusahaan dalam kerja perusahaan itu mem-buat mereka
semakin giat dan tanggap untuk memelihara diri agar tidak terjerumus
dalam berbagai bahaya yang akan mereka tanggung secara kolektif
segala resikonya. Sehingga dapat merea-lisasikan kemaslahatan mereka
sendiri untuk mensukseskan Asuransi Koperatif tersebut. Karena
dengan menghindari berba-gai bahaya dan musibah itu, jumlah premi
yang akan mereka tanggung pada masa mendatang akan lebih sedikit,
dan keter-jerumusan mereka ke dalam berbagai musibah membuat
tang-gungan premi merekapun akan bertambah besar di kemudian hari.
Keempat: Gambaran koperasi terpadu tidaklah
menjadikan asuransi tersebut sebagai pemberian atau hadiah dari
pihak nega-ra kepada para anggotanya. Namun merupakan wujud
kerjasama semata untuk menjaga mereka dan membuatkan sandaran bagi
mereka karena mereka adalah orang-orang yang berkepentingan secara
praktis. Sikap Negara yang semacam itu lebih memberikan arti positif
untuk mengesankan pada diri para anggota koperasi akan peran serta
pemerintah, namun tidak berarti menghilangkan tanggungjawab mereka
pada saat bersamaan.
Majelis ulama berpendapat bahwa
hendaknya dalam menca-nangkan berbagai materi rinci dari usaha
Asuransi Koperatif ini diperhatikan beberapa hal berikut pula:
Pertama: Hendaknya organisasi Asuransi Koperatif itu
me-miliki markas yang mempunyai cabang di berbagai kota. hen-daknya
organisasi itu juga memiliki sub description yang terbagi-bagi
tergantung dengan tingkat-tingkat bahaya yang hendak yang
tanggulangi biayanya, dan juga tergantung dengan keterampilan para
anggota yang terlibat. Misalnya adalah bagian Asuransi Kesehatan,
lalu Asuransi Masa Tua dan Jompo, dst. Hendaknya juga ada bagian
Asuransi Pedagang Keliling, Asuransi Para Pedagang, Asuransi Para
Pelajar, Asuransi Profesi Bebas seperti insinyur, dokter, pengacara
dan sejenisnya.
Kedua: Hendaknya organisasi asuransi
itu memiliki kelen-turan yang kuat dan tidak memiliki birokrasi yang
rumit.
Ketiga: Hendaknya organisasi tersebut memiliki
majelis yang dipilih dari para anggota yang ada dan dapat mewakili
selu-ruh anggota yang memilih mereka untuk menjadi anggota majelis
khusus. Tujuannya adalah untuk membantu kontrol pemerintah terhadap
organisasi tersebut, dan juga agar semakin mantap dalam berjalan
secara normal dan terjaga dari permainan dan kegagalan.
Keempat: Apabila musibah-musibah yang menuntut biaya
yang melebihi uang yang terkumpul dalam kas sehingga membu-tuhkan
dana tambahan, pemerintah dan segenap anggota yang terlibat turut
menanggung secara kolektif.
Majelis ulama fiqih menegaskan
lagi apa yang telah ditetap-kan oleh Majelis Kibarul Ulama tentang
keputusannya tersebut agar yang bertanggungjawab mencanangkan materi
rinci dari usaha bersama ini adalah para pakar spesialis di
bidangnya.
Kedua : Teks keputusan Lembaga Pengkajian
Fiqih yang mengikuti Organisasi Muktamar Islam di Jeddah:
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah Rabb
seka-lian makhluk. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi, kepada
seluruh keluarga dan para sahabat beliau.
SK Nomor 2
Berkaitan dengan Soal Asuransi dan Reasuransi Amma
ba'du:
Sesungguhnya Lembaga Pengkajian fiqih Islam yang
ber-pangkal dari organisasi Muktamar Islam pada seminar yang
diadakan pada muktamar kedua di Jeddah mulai 10 Rabi'uts Tsani 1405
H./22-28 Desember 1980, setelah meneliti beberapa saran ulama yang
ikut dalam muktamar tersebut seputar persoalan asuransi dan
reasuransi.
Setelah melakukan diskusi terhadap studi di
atas. Dan se-telah membahas secara mendalam seluruh bentuk dan macam
serta prinsip-prinsip yang dijadikan dasar asuransi serta berbagai
target yang hendak dicapai olehnya. Juga setelah meneliti kembali
fatwa yang berasal dari berbagai Lembaga Pengkajian fiqih dan
lembaga-lembaga ilmiah yang mengurus persoalan ini. majelis
memutuskan:
1.Bahwa perjanjian Asuransi Bisnis yang
memberlakukan premi tetap sebagaimana dilakukan berbagai perusahaan
asuransi bisnis merupakan perjanjian usaha yang mengandung unsur
'menjual kucing dalam karung' yang merusak perjanjian, oleh sebab
itu diharamkan menurut syariat.
2.Perjanjian asuransi
alternatif yang menghormati dasar-dasar hubungan kerja yang Islami
adalah perjanjian asuransi koperatif yang didasari sikap berderma
dan asas gotong royong. Demikian juga hukum asuransi ganda bila
didasari oleh asas asu-ransi koperatif ini.
3. Mengajak
negara-negara Islam untuk mengusahakan didirikannya berbagai
perusahaan asuransi koperatif demikian juga perusahaan kerjasama
untuk menggandakan asuransi ter-sebut sehingga ekonomi Islam
terbebas dari perekrutan dana haram dan dari pelanggaran terhadap
aturan yang tidak diridhai oleh Allah terhadap umat ini. Wallahu
A'lam.
Artikel ini dinukil oleh Abu Farwah dari kitab
"Fiqih Ekonomi Keuangan Islam", cet. Daarul Haq,
Hit : 0 | IndexJudul
| IndexSubjudul
| kirim
ke teman | versi
cetak |
|
|
|
Minggu,4-3-2007 -- 1:32:23 Hits ...:
9478061 Online : 21
users |
|
|
|
|