analisa : Benarkah Hak Cipta
Dilindungi...?? oleh : Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih dan
Prof. Dr. Shalah ash-Shawi
Legalitas Menjual Hak Cipta
Dalil-dalil Syariat yang menunjukkan sahnya menjual
hak-hak cipta adalah sebagai berikut;
Pertama: Dalil
mencari kemaslahatan. Pendapat yang me-nyatakan bahwa hak cipta
penulisan itu bernilai dan layak dipa-sarkan dapat melanggengkan
kemaslahatan umum. Dalam arti, dalam diharapkan keberlanjutan
pengkajian ilmiah dan mendo-rong para ulama dan ahli ijtihad untuk
melanjutkan penelitian mereka, sementara tulisan dan hak cipta
mereka tetap terpelihara dari permainan orang yang tidak
bertanggungjawab. Syariat Islam diturunkan untuk merealisasikan
kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Dimana ada kemaslahatan, di
situ ada ajaran Islam.
Kedua: Dalil kebiasaan.
Terjadinya persoalan ini dan kesepa-katan kaum muslimin melakukannya
merupakan dalil bahwa mereka sudah mengetahui dibolehkannya urusan
itu. Jelas bahwa kebiasaan itu memiliki pengaruh pada hukum syariat,
kalau tidak bertentangan dengan nash. Karya ilmiah itu memiliki
nilai jual secara terpisah, tidak berkaitan dengan intelektualitas
penulisnya. Itu merupakan hak yang permanen, bukan sekedar hak
semata. Berarti hak itupun bisa berpindah dan bisa dijualbelikan,
bila di-rusak atau dihilangkan, harus dipertanggungjawabkan dan di
beri ganti rugi.
Ketiga: Pendapat yang dinukil dari
sebagian ahli hadits yang membolehkan mengambil upah dalam
menyampaikan atau mengajarkan hadits. Para ulama ahli hadits
biasanya membolehkan siapa saja yang mereka kehendaki untuk
meriwayatkan hadits-hadits mereka, dan melarang sebagian lain yang
tidak mereka kehendaki, bila orang-orang tersebut dianggap tidak
memiliki kompetensi di bidang periwayatan. Dari sebagian ulama ahli
hadits juga diriwayatkan dibolehkannya mengambil upah dalam
menga-jarkan hadits, diqiyaskan dengan dibolehkannya mengambil upah
dalam mengajarkan al-Qur'an.
Ibnu Shalah menyatakan,
"Barangsiapa mengambil upah dari mengajarkan hadits, riwayatnya
menjadi tidak bisa diterima menurut sebagian imam ahli hadits."
Sementara Abu Nuaim al-Fadhal bin Dzukain dan Ali bin Abdul Aziz
al-Makki dan para ulama lainnya masih membolehkan mengambil upah
dari me-nyampaikan hadits, karena serupa dengan mengambil upah dari
mengajarkan al-Qur'an dan sejenisnya. Hanya saja dalam kebia-saan
ahli hadits hal itu dianggap merusak citra. Bahkan pelakunya bisa
dicurigai, kecuali bila ada alasan tertentu yang mengiringinya
sehingga bisa dimaklumi. Seperti yang disebutkan bahwa Abul Husain
bin an-Naqur melakukan perbuatan itu karena Abu Ishaq memberikan
fatwa dibolehkannya mengambil upah dari meng-ajarkan hadits."
Kalau kebiasaan para ulama pada masa itu menganggap
mengambil upah dari mengajarkan hadits itu termasuk perusak citra,
sekarang kebiasaan sudah berubah karena perbedaan zaman dan tempat.
Sehingga hukum yang didasari kebiasaan tersebut juga bisa berubah.
Keempat: Qiyas seorang produsen atau pembuat barang
bisa menikmati hasil karyanya, memiliki kebebasan dan kesem-patan
untuk orang lain memanfaatkannya atau melarangnya. Maka demikian
juga seorang penulis, karena ia telah menyatukan antara membuat
dengan memproduksi satu karya ilmiah, telah berkonsentrasi dan
mengerahkan waktu serta tenagannya untuk tujuan itu.
Kelima: Kaidah Saddudz Dzara-i' (Menutup Jalan
Menuju Haram). Karena pendapat yang menyatakan dibolehkannya menjual
hak cipta penulisan mengandung upaya memberikan dorongan bagi para
pemikir dan para ulama untuk semakin produktif dan semakin giat
melakukan penelitian ilmiah. Bahkan juga bisa memompa semangat
mereka untuk menciptakan hal-hal baru dan melakukan reformasi.
Apalagi mereka atau sebagian besar mereka hanya memiliki bidang
ilmiah itu sebagai sumber penghasilan mereka. Menggugurkan nilai
jual dari karya tulis itu sendiri bisa menyebabkan mereka
meninggalkan pekerjaan tersebut dan ber-alih ke pekerjaan lain untuk
menjadi sumber penghidupan mere-ka. Hal itu tentu saja menyebabkan
umat kehilangan kesempatan mendapatkan hasil dari karya mereka,
bahkan menyebabkan matinya gairah untuk menulis pada banyak kalangan
peneliti ilmiah. Jelas yang timbul adalah kerusakan yang besar.
Keenam: Dasar ditetapkannya nilai jual adalah adanya
mutu yang dibolehkan syariat. Mutu dari karya ilmiah bagi umat masa
kini dan masa mendatang amat jelas sekali. Kalau para ulama telah
mengakui nilai jual dari berbagai fasilitas yang lahir dari sebagian
jenis hewan, seperti ulat misalnya, atau kicauan burung, suara beo
misalnya, manfaat atau fasilitas yang berasal dari karya tulis tentu
lebih layak lagi memiliki nilai jual. Manfaat yang seharusnya
dinikmati oleh pemiliknya. Manfaat itu lebih layak diperhatikan,
karena lebih besar hasilnya dan lebih banyak faedahnya.
Hit : 0 | IndexJudul
| IndexSubjudul
| kirim
ke teman | versi
cetak |