analisa : Hukum Kartu Kredit Dalam
Jual Beli oleh : Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih dan Prof.
Dr. Shalah ash-Shawi
Hukum-hukum Syariat Tentang Kartu Kredit
Kartu-kartu kredit ini mencuatkan beberapa kemusykilan
menurut ajaran syariat yang akan penulis paparkan sebagai berikut
sebagian di antaranya:
Pertama: Persyaratan Berbau
Riba Transaksi untuk mengeluarkan kartu-kartu tersebut pada
umumnya mengandung beberapa komitmen berbau riba yang intinya
mengharuskan pemegang kartu untuk membayar bunga-bunga riba atau
denda-denda finansial bila terlambat menutupi hutangnya. Apa
pengaruh komitmen-komitmen tersebut terhadap sah tidaknya transaksi
pembuatan kartu-kartu kredit ini?
Ulama Fiqih kontemporer
ketika membahas persoalan ini pandangan mereka terbagi menjadi dua
kubu:
Pertama: Kubu yang membolehkan. Mereka
menganggap bahwa transaksi itu sah, namun komitmennya batal. Yakni
apabila pihak nasabah yakin bahwa ia akan mampu menjaga diri untuk
tidak terjerumus ke dalam konsekuensi menanggung akibat ko-mitmen
tersebut. Karena syarat rusak ini pada dasarnya menurut kaca mata
syariat sudah batal dengan sendirinya. Syarat ini munkar dan justru
harus dilakukan kebalikannya. Dasar mereka yang membolehkan adalah
sebagai berikut: 1. Sabda Nabi a kepada Aisyah i ketika Aisyah
hendak membeli Barirah namun majikannya tidak mau melepaskannya
kecuali dengan syarat, hak wala' budak itu tetap milik mereka. Itu
jelas syarat yang bertentangan dengan ajaran syariat, karena
loya-litas atau perwalian menurut syariat diberikan kepada orang
yang membebaskannya. Nabi a bersabda kepada Aisyah i, "Belilah
budak itu, dan tetapkan syarat bagi mereka, karena perwalian itu
hanya diberikan kepada yang memerdekakan. Karena perwalian itu
adalah hak orang yang membebaskannya,"
Makna hadits:
Janganlah pedulikan, karena persyaratan me-reka itu bertentangan
dengan yang haq, ini bukan untuk pembo-lehan namun yang dimaksudkan
adalah penghinaan dan tidak ambil peduli dengan syarat itu serta
keberadaan syarat itu sama dengan tidak ada.
Dari sini dapat
dipahami bahwa jika seseorang memaksakan suatu syarat yang
bertentangan dengan syariat mengenai akad-akad yang diperlukan
secara luas dan ia enggan untuk menetapkan akad tersebut kecuali
berdasarkan syarat yang rusak ini, maka akad-akad ini tidak boleh
dihentikan karena pemaksaan itu. Tidak boleh difatwakan mengenai
ketidaklegalannya, tetapi tetap harus dilaksanakan. Dan harus
diupayakan untuk membatalkan syarat yang rusak ini, baik lewat
penguasa maupun dengan cara berusaha menjaga diri agar tidak
terperangkap syarat tersebut bila pada satu masa tidak ada penguasa
yang menegakkan syariat Allah.
2. Karena sudah terlalu
banyak yang melakukannya di ber-bagai negeri dengan adanya transaksi
pemakaian listrik, telepon dan lain sebagainya, yang kesemuanya
menggunakan komitmen-komitmen yang sama, yaitu apabila pihak
pelanggan terlambat membayar berarti harus dikenai denda tertentu.
Namun ternyata tidak seorangpun ulama yang mengharamkan berlangganan
fasi-litas-fasilitas tersebut, padahal syarat-syarat tersebut ada di
dalamnya.
3. Pinjaman tidak begitu saja batal karena
batalnya persya-ratan. Bahkan peminjaman itu tetap sah meskipun
syaratnya batal, berdasarkan sabda Nabi a: "Kenapa masih ada
orang yang menetapkan syarat yang tidak berasal dari Kitabullah?
Barangsiapa yang menetapkan syarat yang bukan berasal dari
Kitabullah maka persyaratannya batal, meski jumlahnya seratus
syarat."
Kubu kedua, yakni yang melarangnya.
Mereka menganggap transaksi tersebut batal. Demikian pendapat
tegas dari kalangan Malikiyah dan Syafi'iyah.
Mereka
membantah dalil yang digunakan oleh kubu per-tama, yakni tentang
hadits Barirah, bahwa qiyas itu adalah qiyas dengan alasan berbeda.
Karena dalam kasus Barirah syarat terse-but mampu dibatalkan oleh
Aisyah i karena dianggap berten-tangan dengan ajaran syariat. Karena
kejadian itu terjadi ketika syariat Islam betul-betul masih menjadi
panutan, Negara Islam masih menjadi pemelihara ajaran Islam dan
masih memimpin dunia. Bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan
syarat berbau riba dalam pengambilan kartu kredit yakni syarat yang
bersandar pada referensi sekulerisme yang didasari atas pemisahan
agama dengan negara, lalu mengingkari referensi Islam yang suci yang
melibatkan agama dalam kehidupan manusia?
Mereka juga
membantah qiyas dengan transaksi pemakai-an listrik dan telepon,
karena fasilitas ini amatlah dibutuhkan dan kemaslahatan kehidupan
umat manusia amat tergantung kepa-danya.
Sementara kartu
kredit memiliki bobot vitalitas yang lebih rendah dari itu. Orang
bisa saja hidup secara wajar atau cukup wajar tanpa menggunakan
kartu-kartu itu. Namun ia tidak akan bisa hidup wajar tanpa
menggunakan fasilitas listrik dan telepon misalnya.
Yang
benar menurut kami bahwa hukumnya adalah boleh-boleh saja bagi orang
yang berberatsangka bahwa ia akan mampu menunaikan hutangnya pada
waktu yang diperkenankan, sehingga dengan demikian ia tidak akan
terkena konsekuensi persyaratan itu, tentunya dengan mengupayakan
segala cara yang bisa dilaku-kan untuk tujuan tersebut. Wallahu
A'lam.
Kedua: Prosentase yang dipotong oleh pihak yang
menge-luarkan kartu dari bayaran untuk pedagang Sudah
dimaklumi, bahwa melalui kartu-kartu itu pihak yang mengeluarkan
tidak membayar jumlah bayaran yang ditetapkan dalam rekening
pembayaran. Namun pihak yang mengeluarkan kartu akan memotong
prosentase yang disepakati bersama dalam transaksi yang tegas antara
pihak itu dengan pihak pedagang. Apa pendudukan masalah secara
syar'i yang paling tepat ber-kaitan dengan hal tersebut?
Ahli fiqih kontemporer berbeda pendapat dalam mengulas
tentang jenis kartu tersebut:
Sebagian ada yang mendudukkan
prosentase itu sebagai biaya administrasi, upah dari pengambilan
pembayaran dari nasabah. Sementara mengambil upah dari usaha
pengambilan hutang atau menyampaikan barang yang dihutangkan adalah
boleh-boleh saja.
Sebagian ada yang mendudukkanya sebagai
upah dari jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada pihak pedagang,
seperti pesan-pesan, iklan, dan bantuan penyaluran barang atau yang
sejenisnya. Bisa juga didudukkan sebagai upah perantara. Karena
pihak bank sudah membantu mencarikan pelanggan untuk pihak pedagang,
sehingga layak mendapatkan upah karenanya.
Sebagian
menganggapnya sebagai kompensasi perdamaian bersama pihak yang
memberi hutang dengan jumlah yang lebih sedikit dari yang harus
dibayar, karena hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan
pihak pemegang kartu di bawah sistem jaminan. Cara demikian
dinyatakan boleh oleh kalangan Hanafiyah.
Sebagian ada juga
yang berpandangan bahwa pengambilan prosentase itu tidak mengandung
syubhat sebagai riba secara mendasar. Karena kita dihadapkan dengan
persoalan rabat/discount, bukan tambahan harga. Sehingga
tidak ada hal yang menyeretnya kepada bentuk riba.
Apapun
pendudukan masalah yang dipilih di sini, peng-kajian fiqih
kontemporer tetap berkesimpulan bahwa pengambilan prosentase
keuntungan di sini tetap dibolehkan, dengan catatan harus dibatasi
sehingga layak disebut sebagai upah jasa yang di-berikan kepada
pihak pedagang dan tergambar langsung dalam rekening pembeliannya,
dan juga agar dapat menarik para pelang-gan untuk membeli barang
kepada pedagang tersebut, memper-mudah proses jual beli mereka, lalu
pihak bank yang mengeluar-kan kartu itu dan pihak bank lain yang
hanya melakukan transaksi dagang bisa membagi rata upah dari
pelayanan tersebut, karena mereka secara bersamaan melakukan jasa
tersebut untuk kepentingan pedagang.
Lembaga Syariat
Perusahaan Perbankan ar-Rajihi membo-lehkan uang administrasi ini
dalam fatwanya nomor 47. lembaga ini menetapkan bahwa tidak ada
larangan mengambil prosentase dari harga yang dibeli oleh pemegang
kartu, selama prosentase itu dipotong dari upah jasa atau dari harga
barang. Sistem pemo-tongan ini diambil dari pihak penjual untuk
kepentingan bank yang mengeluarkan kartu dengan perusahaan visa
internasional.
Lembaga syariat juga mengeluarkan fatwa yang
membo-lehkan pengambilan prosentase keuntungan tersebut, fatwa itu
ditujukan kepada Dewan Keuangan Kuwait dan Bank Islam Yor-dania,
dimana uang administrasi yang diambil pihak bank dari pedagang yang
menggunakan fasilitas kartu itu dihitung sebagai upah penjaminan
karena menjadi penjamin dan mediator antara pedagang dengan pemegang
kartu kredit, dan juga karena mediasi itu pihak bank menjadi sebab
terjadinya banyak hal, se-perti lakunya barang-barang yang
dijualnya, rasa aman yang dirasakan para pelanggan, mendapatkan
kesempatan memperoleh piutang dengan selamat. Sebagaimana jaminan
itu terkadang juga tidak berpengaruh apa-apa. Karena uang
administrasi itu tidak menambah jumlah harga dan juga tidak
memperhatikan jumlah harga yang dijaminnya.
Ketiga: Denda
Keterlambatan dan Bunga Riba Pihak yang mengeluarkan kartu
ini menetapkan beberapa bentuk denda finansial karena keterlambatan
penutupan hutang, karena penundaan atau karena tersendatnya
pembayaran dana yang ditarik dari melalui kartu. Denda semacam itu
termasuk riba yang jelas yang tidak pantas diperdebatkan lagi. Itu
termasuk riba nasi’ah yang keharamannya langsung ditentukan melalui
turun-nya ayat al-Qur'an. Bahkan para pelakunya diancam perang oleh
Allah dan RasulNya!!.
Bagaimana Mengatasi Problematika
Keterlambatan Pem-bayaran Hutang? Telah dijelaskan
sebelumnya bahwa bunga dan denda keterlambatan membayar hutang
adalah jelas-jelas riba jahiliyah yang diharamkan. Tidak ada alasan
bagi bank-bank Islam untuk menerapkannya sama sekali. Maka bagaimana
persoalan keter-lambatan pembayaran hutang itu bisa diatasi dalam
bingkai ajaran Islam?
Ada sebagian alternatif untuk
bunga-bunga riba dan denda-denda keterlambatan itu yang akan kami
sebutkan sebagian di antaranya:
Memberikan kelonggaran
kepada pihak yang berhutang, kalau ia adalah orang miskin yang
kesulitan mengembalikan hutangnya. Membatalkan keanggotaannya,
menarik kartu kredit-nya kemudian mengadukan persoalannya ke
pengadilan, lalu melimpahkan kepadanya semua biaya kemelut tersebut.
Bisa juga dengan menyebarkan nama pelanggan bersangkutan dalam
daftar hitam (black list), diumumkan kepada seluruh bank agar tidak
menerimanya sebagai anggota dan juga agar menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang berperilaku sepertinya.
Hit : 0 | IndexJudul
| IndexSubjudul
| kirim
ke teman | versi
cetak |