analisa : Hukum Kartu Kredit Dalam
Jual Beli oleh : Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih dan Prof.
Dr. Shalah ash-Shawi
Pendudukan Masalah Secara Fiqih Seputar Kartu
Kredit.
Sudah jelas bahwa hukum terhadap sesuatu itu
didasarkan atas hasil dari persepsi tentang sesuatu tersebut.
Sedetail apa pe-ngetahuan kita terhadap berbagai hal yang berkaitan
dengan kartu-kartu kredit tersebut, akan menentukan kedetailan kita
dalam mendudukkan masalah terhadap berbagai transaksi yang dikenal
dalam fiqih Islam dan penjelasan tentang hukum-hukumnya, halal atau
haram, serta menetapkan berbagai alternatif pengganti yang
disyariatkan bila hasil penelitian menegaskan keharamannya.
Kartu kredit ini membentuk tiga hal terkait yang akan kita
ulas secara berurut sebagai berikut:
Pertama: Kaitan
Antara Kartu Tersebut Dengan Pihak Bank yang Mengeluarkannya Dalam
'Transaksi Pengeluaran Kartu'. Banyak sudah kajian fiqih
seputar hubungan ini. Banyak sudah pendapat yang lahir seputar
persoalan itu dalam berbagai Lembaga Pengkajian Fiqih tentang
keberadaan kartu ini sebagai pinjaman dari pihak bank yang
mengeluarkannya, atau sebagai jaminan untuk melaksanakan berbagai
komitmen terhadap pihak lain, atau menjadi penjamin untuk
berhubungan dengan pihak lain.
Kemungkinan gabungan antara
jaminan, penjamin dan pinjaman itulah yang paling dekat dengan teori
untuk mengulas transaksi ini. Karena itulah yang menjadi tujuan
sesungguhnya dari keberadaan kartu itu. Karena sebelum digunakan,
kartu itu adalah jaminan, dan janji pinjaman serta penjamin. Namun
setelah digunakan dalam arti sesungguhnya dan pihak bank telah
menutupi biaya yang dikeluarkan untuk mewakili pihak nasabah, janji
tersebut telah menjadi kenyataan sehingga menjadi pinjaman dan
penjamin dalam arti sesungguhnya.
Kedua: Hubungan Antara
Kartu Ini Dengan Bank yang Mengeluarkan Kartu dan Pihak
Pedagang. Juga sudah banyak ulasan fiqih seputar hubungan
ini antara keberadaannya yang mirip dengan pengurangan nilai
tukar dengan keberadaannya sebagai jaminan, yakni bahwa pihak
yang menge-luarkan kartu telah menjamin pihak pedagang bahwa ia akan
membayarkan harga barang jualannya dengan perantaraan kartu
tersebut, dan juga keberadaannya sebagai penjamin dengan upah, atau
sebagai perantara. Bahkan ada sebagian pihak yang menge-luarkan
kartu itu dalam hubungannya dengan jual beli. Jadi yang dijadikan
sebagai pihak yang mengeluarkan kartu adalah pembeli yang
sesungguhnya dari barang-barang tersebut, kemudian baru dikembalikan
kepada nasabah untuk dijual. Jual beli ini mirip dengan jual beli
dengan sistem fixed price terhadap orang yang meminta
dibelikan barang.
Kemungkinan pendudukan masalah paling
menonjol terha-dap dasar jaminan dan penjaminan ini adalah
pendudukan masalah yang membuka peluang disyariatkannya transaksi
atau pende-betan yang dilakukan pihak bank dalam kasus ini. Karena
upah yang dilarang dalam sistem jaminan adalah yang berasal dari
pihak yang mendapatkan jaminan untuk yang menjamin. Sementara di
sini upah itu berasal dari pihak yang mendapatkan pengaruh dari
jaminan, yakni pihak pedagang kepada pihak yang membe-rikan jaminan.
Adapun upah dalam sistem jual beli dengan pen-jaminan, dibolehkan
dalam kondisi apapun.
Ketiga: Hubungan Antara Pemilik
Kartu dengan Pedagang Sudah berkali-kali juga dikeluarkan
kajian fiqih berkaitan dengan hubungan ini, antara keberadaannya
sebagai sistem hiwalah, dimana pihak pemegang kartu
mengalihkan hutangnya pada pedagang kepada pihak yang mengeluarkan
kartu, dimana Hilawah semacam itu dapat direalisasikan dengan
menandata-ngani rekening pembelian, antara keberadaan kartu itu yang
demikian dengan keberadaannya sebagai mediator jual beli atau sewa
menyewa. Sehingga transaksinya dibagi dua, antara posisi jual beli
atau sewa menyewa, dengan objek transaksi pembuatan kartu. Kemudian
tanggung jawab pembayaran dilimpahkan kepada pihak yang mengeluarkan
kartu yang telah menjamin untuk me-nutupi biaya yang ditarik berupa
pembelian atau penyewaan.
Hit : 0 | IndexJudul
| IndexSubjudul
| kirim
ke teman | versi
cetak |