H. M. Nur Abdurrahman
Tue, 08 Aug 2006 21:15:12 -0700
BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU [Kolom Tetap Harian Fajar] 623. Intelektual Muslim yang Keranjingan Hermeneutika Istilah hermeneutika berkaitan dengan mitos dewa Yunani Kuno yang bernama Hermes, yang memiliki kebiasaan "memintal". Mitos memintal ini mengungkap dua hal dalam hermeneutika, yaitu: pertama, memastikan maksud, isi suatu kata, kalimat, dan teks, kedua, menemukan instruksi-instruksi dibalik simbol. Hermeneutika tidak terlepas dari asumsi-asumsi dan adanya purbasangka (prejudice) spekulasi intelektual. Ada asumsi spekulasi intelektual dari Fazlur Rahman, gurunya Nurcholis Madjid, yaitu bahwa Al Quran adalah "both the Word of God and the word of Muhammad". Asumsi ini bernuansa hermeneutika filosofis. Asumsi ini berpijak pada paradigma (kerangka dasar) bahwa Al Quran bukanlah teks yang turun dalam bentuk kata-kata aktual secara verbal, melainkan merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Nabi Muhammad SAW dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya. Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu diposisikan sebagai "pengarang" Al Quran. Fazlur Rahman tidak faham perbedaan antara Al-Quran dengan Hadits Qudsyi. The Word of God adalah Al-Quran dan both the Word of God and the word of Muhammad adalah Hadits Qudsyi. Inilah latar belakang mengapa ada sementara kaum intelektual Muslim yang "keranjingan" hermeneutika untuk mengkaji Al Quran, dengan bertitik tolak dari sikap "meragukan" mushhaf (teks) Al Quran Rasm (ejaan) 'Utsmaniy. Dalam 24 jam, sekurang-kurangnya 17 kali ummat Islam bermohon kepada Allah: -- AHDNA ALSHRATH ALMSTQYM (S. ALFTht, 1:5), dibaca: ihdinash shira-thal mustaqi-m (s. alfa-tihah), artinya: Tunjukilah kami kepada Jalan yang Lurus. Allah SWT menjawab permohonan hambaNya itu dengan: -- A-L-M . DZLK ALKTB LA RYB FYH HDY LLMTQYN (S. ALBQRt 2:1-2), dibaca: alif, lam, mim . dza-likal kita-bu la- rayba fi-hi hudal lilmuttaqiyn (s. albaqarah), artinya: Alif, lam, mim . Itulah Al Kitab tiada keraguan di dalamnya petunjuk bagi para muttaqin. Ayat (2:1) alif-lam-mim adalah kode matematis Tabel Alif, Lam, Mim No. Nama Jumlah huruf Surah Surah Mim Lam Alif Alif,Lam,Mim 2 alBaqarah 2195 3204 4592 9991 3 Ali 'Imraan 1251 1885 2578 5714 7 alA'raaf 1165 1523 2572 5260 13 alRa'd 260 479 625 1364 29 al'Ankabuwt 347 554 784 1685 30 alRuwm 318 396 545 1259 31 Luqmaan 177 298 348 823 32 alSajadah 158 154 268 580 Jumlah 5871 8493 12312 26676 = 1404 x 19 Dalam ayat (2:2) ada tanda tiga titik (seperti titik pada huruf 'tsa' dan 'syin') terletak diatas kata "RYB" dan "FYH". Tanda tiga titik diatas dua kata tsb dalam ayat (2:2) menunjukkan mu'jizat lughawiyah, yaitu ayat (2:2) dapat bermakna dua yg keduanya mempunyai keutamaan masing-masing. Ada dua cara dalam membaca ayat (2:2) tersebut, yaitu dapat berhenti pada kata RYB, dan dapat pula berhenti pada kata FYH. Kedua cara bacaan tersebut menghasilkan penekanan dalam bobot yang berbeda, namun yang satu dengan yang lain saling bersinergi, saling mengisi. Mari kita baca ayat (2:2): Cara yang pertama, berhenti pada kata RYB: Dza-likal kita-bu la- rayba, berhenti sebentar kemudian dilanjutkan dengan fi-hi hudal lil muttaqi-n. Kalau kita membaca serupa ini maka maknanya ialah: Itulah Al Kitab tiada keraguan, pernyataan tegas dari Allah bahwa Al Kitab tiada keraguan sumbernya dari Allah SWT, kemudian dilanjutkan dengan: di dalamnya mengandung petunjuk bagi para muttaqin. Jadi cara membaca yang pertama ini bobotnya pada penegasan dari Allah SWT bahwa tiada keraguan bahwa Al Kitab bersumber dari Allah SWT. Apa itu Al Kitab ? Dalam bahasa aslinya Kitab akarnya dari Kef-Ta-Ba artinya tulis. Artinya Al Kitab itu adalah Teks. Jadi cara membaca yang pertama ini adalah penegasan dari Allah SWT bahwa tiada keraguan Teks itu bersumber dari Allah SWT. Tabulasi penjabaran ayat (2:1), yaitu alif-lam-mim sebagai al muqaththa'aat (potongan-potongan huruf) persekutuan dari 8 surah menunjukkan pula bahwa Teks itu bersumber dari Allah SWT, sebab mana mungkin Teks itu dapat dikarang oleh manusia. Alhasil paradigma bahwa Al Quran bukanlah teks yang turun dalam bentuk kata-kata aktual secara verbal, melainkan merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Nabi Muhammad SAW yang diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistik beliau, ditolak oleh ayat (2:1-2). Maka tersungkurlah juga asumsi spekulasi intelektual dari Fazlur Rahman yang bertumpu pada paradigma itu, yaitu asumsi bahwa Al Quran adalah "both the Word of God and the word of Muhammad". Al Quran, baik makna maupun teksnya adalah dari Allah SWT. Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya. Posisi Nabi Muhammad SAW dalam menerima dan menyampaikan wahyu adalah pasif, hanya sebagai 'penyampai' apa-apa yang diwahyukan kepada beliau. *** Cara membaca ayat (2:2) yang kedua, berhenti pada kata FYH: Dza-likal kita-bu la- rayba fi-hi, berhenti sebentar kemudian dilanjutkan dengan hudal lil muttaqi-n. Cara membaca yang kedua ini bermakna: Itulah Al Kitab tiada keraguan di dalamnya, menunjukkan bahwa tiada keraguan merupakan alat ukur bagi orang-orang taqwa dalam potongan ayat yang selanjutnya: petunjuk bagi para muttaqin. Jadi bobot cara pembacaan kedua ini ialah "tiada keraguan" adalah "alat ukur" mengenai ketaqwaan kita. Kita dapat mengukur ketaqwaan diri kita sendiri secara gradual haqqa tuqaatih (sebenar-benarnya taqwa) seberapa jauh qalbu kita istiqamah (konsisten, taat asas), setiap kita menghadapi suatu masalah, tidak terkecuali masalah "keranjingan" hermeneutika untuk mengkaji Al Quran dalam kalangan kaum intelektual Muslim, yang celakanya, bertitik tolak dari sikap "meragukan" mushhaf (teks) Al Quran Rasm 'Utsmany. WaLlahu a'lamu bisshawab. *** Makassar, 2 Mei 2004 [H.Muh.Nur Abdurrahman] ==================================== BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU [Kolom Tetap Harian Fajar] 729. Apa itu Binatang yang Disebut Hermeneutika Sebermula, Seri 729 ini direncanakan masih lanjutan jihad intelektual yang saya emban (execute) melawan serangan-serangan para orientalis terhadap Al-Quran, yaitu jihad lanjutan melawan serangan seorang orientalis yang lain lagi yang bernama samaran Luxenberg. Namun karena banyaknya deringan telepon yang saya terima yang menanyakan, yang salah seorang di antaranya memakai ungkapan: Apa itu "binatang" yang disebut hermeneutika," maka jihad melawan Luxenberg ini insya-Allah nanti dalam Seri 730 yang akan datang. Hermeneutika lagi bertrend terutama buat yang berpaham liberal. Istilah hermeneutika berkaitan dengan mitos dewa Hermes yang memiliki kebiasaan "memintal" (spin), yang dalam realistasnya menurut Sayyid Hussain Nasr adalah Nabi Idris AS, karena konon dewa Hermes dalam mitologi Yunani tersebut menyampaikan pula warta para dewa kepada manusia, bahkan bukan hanya sekadar menyampaikan, namun juga memberikan tambahan berupa ulasan. Mitos ini mengungkap dua hal, pertama: memastikan maksud, isi suatu kata, kalimat, teks, kedua: menemukan instruksi-instruksi dibalik simbol. Secara harfiah, kata ini pernah digunakan oleh Aristoteles (384-322) SM, dalam karyanya: Peri Hermeneias, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan De Interpretatione; dan baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan On the Interpretation. Sebelumnya, al-Fârabi (870?-950) M, telah menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab: Fi al-'Ibârah, dan memberi komentar karya Aristoteles tersebut. Hermeneias yang dikemukakan Aristoteles, hanya untuk membahas fungsi ungkapan dalam memahami pemikiran, serta pembahasan tentang satuan-satuan bahasa, seperti kata benda, kata kerja, kalimat, ungkapan, dan lain-lain yang berkaitan dengan tata-bahasa. Ketika membicarakan hermeneias, Aristoteles tidak mempersoalkan teks, ataupun mengkritik teks. Yang menjadi topik pembahasan Aristoteles adalah interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan. Binatang hermeneutika ini ibarat ulat bermetamorphosis menjadi kupu-kupu, dimulai sejak para theolog Yahudi dan Kristen berusaha mengembangkan metode dan aturan yang dapat memandu penafsiran dan mengevaluasi kembali teks-teks dalam Bible yang sudah hilang teks aslinya yang dalam bahasa Hebrew Kuno (Al-'Ibriyyah Al-Qadimah) untuk Perjanjian Lama dan bahasa Aram (Al-'Ibriyyah Al-Jadidah) untuk Injil(*). Kemudian selama tahun-tahun pertama abad ke sembilan belas, metode itu ibarat kupu-kupu malam(**) terbang melebar menjadi hermeneutika umum oleh filosof dan theolog Protestan, Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Perkembangan hermeneutika sangat berkaitan dengan filologi, alegori yang juga sebagai sistem penafsiran terhadap teks. Demikianlah hermeneutika itu bermetamorphosis lebih lanjut dari konteks theologi ke dalam konteks filsafat yang telah dibidani oleh Friedrich Schleiermacher tersebut. Maka tatkala hermeneutika itu ibarat kupu-kupu malam telah terbang melebar bermetamorphosis ke filsafat, menjamurlah serba-neka aliran yang menciutkan posisi hermeneutikanya Schleiermacher menjadi hanya sebagai salah satu aliran hermeneutika yang ada. Selain hermeneutikanya Schleiermacher, ada hermeneutikanya Emilio Betti (1890-1968), seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; ada hermeneutikanya Eric D. Hirsch (1928- ?) seorang kritikus sastra berbangsa Amerika; ada hermeneutikanya Hans-Georg Gadamer (1900- ?) seorang filosof dan ahli bahasa, dan lain-lain aliran-aliran, dsb. Arkian, perkembangan hermeneutika mencapai puncaknya yang ekstrem keliwat batas, yaitu menerobos masuk wilayah epistemologis. yaitu penafsiran terhadap teks yang dibangun berdasarkan teori epistema (dari bhs Yunani Kuno episteme), yang menyangkut tentang parameter pengetahuan berupa: -- asal-usul, -- anggapan, -- karakter, -- cakupan, -- kecermatan, -- keabsahan. Hermeneutika epistemologis yang ekstrem ini digunakan oleh pengecer Mohammad Arkoun dalam Rethinking Islam, (Kayfa na'qilu l-Islama, Bagaimana kita mengakali Islam). Saya dapat menimba dalam debat saya vs Ulil Absar Abdalla di cyber space, yang panglimanya komunitas yang menamakan diri Islam Liberal, bahwa komunitas ini memakai hermeneutika epistemologis, yaitu menurut mereka ayat-ayat Makkiyah bermuatan nilai universal, namun ayat-ayat Madaniyah diciutkan posisinya oleh parameter cakupan menjadi hanya bermuatan local, dan inilah yang menjadi paradigma yang dipakai oleh meraka dalam pendekatan kontekstual. Seperti contohnya khimar (telekung) panjang menutupi dada, itu bermuatan lokal, hanya wajib untuk daerah Arab yang berpadang-pasir dan berdebu, yang secara kontekstual tidak cocok bagi negeri seperti Indonesia ini. Karena hermeneutika epistemologis cakupan muatan lokal tersebut, mereka tidak lagi mengenal ayat-ayat Qath'i. Ayat tentang wajibnya khimar panjang yang qath'i sudah menjadi relatif. -- WLYDHRBN BKHMRHN 'ALY JYWBHN (S. ALNWR, 24:31), dibaca: -- walyadhribna bikhumurihinna 'ala- juyu-bihinna (s. annu-r). WLYDHRBN - walyadhribna dalam ayat (24:31) terdapat Lam Al Amr (Lam yang menyatakan perintah), maka kata tersebut berarti: Diperintahkan kepada mereka menutupkan, sehingga ayat (24:31) terjemahannya adalah: -- Diperintahkan kepada mereka menutupkan khumur mereka ke atas dada mereka. (Khumur adalah bentuk jama' = plural dari khimar, artinya tutup kepala, yang di Indonesia ini tutup kepala yang dipanjangkan menutup dada itu disebut "jilbab", padahal dalam bahasa Al-Qur'an: jalabib, bentuk jama' dari jilbab adalah baju longgar yang panjang sampai mata-kaki yang menutupi lekuk-lekuk tubuh). Hermeneutika epistemologis dengan parameter anggapan memperanakkan paradigma tritunggal: sekularisme - liberalisme - pluralisme, yang di atas paradigma ini, komunitas yang menamakan diri Islam Liberal ini mengadakan pendekatan kontekstual bahkan mengkritisi ayat-ayat Al-Quran. Seperti disebutkan di atas itu, tidak ada lagi ayat Qath'i, ayat-ayat itu dijadikannya relatif. Jadi terjadi pergeseran nilai, yaitu ayat-ayat Al-Qur'an direlatifkan, sedangkan paradigma berupa parameter epistemologis yang ukuran akal itu, dijadikannya mutlak. Wahyu menjadi relatif, akal dimutlakkan. Penggunaan hermeneutika terhadap Al-Quran sudah merusak aqidah, karena akal sudah mengungguli wahyu. WaLlahu a'lamu bisshawab. *** Makassar, 28 Mei 2006 [H.Muh.Nur Abdurrahman] ------------------- (*) Injil = Perjanjian Baru minus Surat-surat Paulus (**) Kupu-kupu malam sayapnya senantiasa melebar, berbeda dengan kupu-kupu siang yang kalau hinggap sayapnya menguncup. ********************************************************************** ----- Original Message ----- From: "Ari Condro" <[EMAIL PROTECTED]> To: <[email protected]> Sent: Wednesday, August 09, 2006 11:47 Subject: Re: [wanita-muslimah] Re: Nikah Misyar : Praktek Perzinahan , Sex bebas , dan Prostitusi ala Harokah > Opini Arcon : > > Banyak hari belakangan ini kita mendengar ada sekelompok orang yang dihujat > karena dianggap memperkenalkan studi hermeneutika dalam melakukan tafsir > kepada Al Qur'an. Dan ini dianggap berbahaya. Nah, sebenarnya udah sampai > di tahapan mana sih, sehingga kelinci hermeneutika ini dianggap sudah > segitunya berbahaya ? > > Atau sebenarnya hanya entry point buat jual dagangannya orang orang yang > sama sama lagi usaha jualan pemikirannya ? Biasalah pasar opini, pasar > pemikiran. Lagi surplus sarjana agama dan sarjana ilmu sosial, dan kurang > orang poltek sih wakakakakak > > From: Ulil Abshar-Abdalla <[EMAIL PROTECTED]> > Date: Aug 7, 2006 10:50 PM > Subject: Re: <JIL> Hermeneutik: Sebuah komentar > To: [EMAIL PROTECTED] > > Mas Mizan Sya'roni, > Kalau kita telaah dengan cermat, apa yang disebut > sebagai fenomena penerapan hermeneutik dalam > penafsiran Qur'an yang berkembang di kalangan Muslim > "liberal" atau neo-modernis (istilah Rahman) itu masih > kabur. Saya sendiri tak tahu, ke mana kritik > teman-teman ISTAC itu diarahkan. > > Menurut saya, mereka mengkritik sesuatu yang mereka > bikin-bikin sendiri di kepala mereka. Memakai > peribahasa dalam bahasa Arab, tindakan mereka itu > seperti "ramyatun fi 'ama'", hitting in darkness. > > Mari kita telaah para pemikir Muslim modern, dan kita > lihat dengan cermat apakah betul mereka menerapkan > teori hermeneutika seperti dikenal dalam tradisi Bibel. > > Pemikir pertama yang pantas kita sebut adalah Fazlur > Rahman. Rahman memang secara eksplisit merujuk kepada > Gadamer, salah satu filsuf yang meletakkan dasar > hermenutika modern, ketika melontarkan ide tentang > gerak penafsiran ganda. Tetapi, Gadamer disebut oleh > Rahman secara sepintas. Saya tidak melihat pemikiran > Rahman dibentuk oleh filsafat Gadamer. "Training" > intelektual Rahman sendiri bukan dalam bidang filsafat > Barat modern, tetapi dalam kajian Islam. Menurut saya, > Rahman mengembangkan penafsiran atas Qur'an bukan dari > berdasarkan atas teori hermeneutika modern, tetapi > berangkat dari tradisi dalam Islam sendiri yang ia > kembangkan secara kreatif. Rahman bahkan dengan gigih > mengkritik usaha yang dilakukan oleh orang-orang > seperti John Wansbrough untuk memakai kerangka kajian > dalam Torah untuk studi Qur'an sebagaimana ia lakukan > dalam bukunya yang dikritik dengan keras oleh Rahman, > Qur'anic Studies. > > Pemikir kedua adalah Mohamad Arkoun. Mungkin tidak > salah jika saya katakan bahwa Arkoun adalah > satu-satunya pemikir Muslim modern yang paling > bersemangat menyambut segala "mode teori" terakhir > yang ada di Perancis. Saya ingin sebut dia sebagai > "fashionable thinker", pemikir yang "modis". Menurut > Ali Harb, seorang intelektual Muslim dari Lebanon, > membaca buku-buku Arkoun seperti menonton pameran > teori-teori modern yang berkembang di Barat. Arkoun > juga paling banyak menciptakan istilah-istilah baru, > "neologisme", yang kadang-kadang susah dimengerti, dan > sebetulnya setelah kita mengerti pun tidak "seru-seru > amat". > > Apakah Arkoun bisa kita katakan sebagai mempraktekkan > teori hermenutika yang berkembang dalam tradisi Bibel? > Saya kok ragu sama sekali. Teori-teori yang diadopsi > oleh Arkoun adalah teori-teori umum yang berkembang > dalam filsafat Barat mutakhir. Ambillah contoh, > Jacques Derrida, filsuf Perancis yang menurut saya > paling banyak mempengaruhi Arkoun. Derrida > mengembangkan teorinya tentang dekonstruksi dan > lain-lain di luar tradisi eksegesis dan kajian Bibel. > Dia sendiri bukan ahli tentang Alkitab. > > Filsuf lain yang teori-teorinya sering dipakai oleh > Arkoun adalah Pierre Bourdieu. Arkoun sering memakai > teorinya Bourdieu tentang "habitus" dan "field" (oleh > Hasyim Saleh, penerjemah otoritatif semua karya-karya > Arkoun ke dalam bahasa Arab, diterjemahkan sebagai > "al-fadha'"). Sebagaimana kita tahu, Bourdieu bukanlah > seorang pengkaji Bibel, dan teori-teori yang ia > kembangkan adalah bagian dari perkembangan filsafat > secara lebih luas. Bourdieu juga bukan dikenal > pertama-pertama sebagai filsuf hermeneutika. Dia > adalah filsuf, that's all. Sebagaimana filsuf-filsuf > lain di Perancis pada dekade 60-an, 70-an dan 80-an,, > Bourdieu mengembangkan perspektif filsafat baru untuk > mengkritik Marxisme. Teorinya tentang "akal praktis" > (Hasyim saleh menerjemahkannya sebagai "al-'aql > al-tathbiqi") yang juga diadopsi oleh Arkoun adalah > bagian dari kritiknya atas teori kelas dalam Marxisme. > > Paul Ricoeur, filsuf Katolik Perancis yang secara > jelas-jelas dikenal sebagai mengembangkan hermeneutika > dalam tradisi penafsiran Alkitab, malah jarang dirujuk > oleh Arkoun. > > Pemikir ketiga yang juga sering disebut sebagai > memakai hermeneutika adalah Nasr Hamid Abu Zayd, > terutama gara-gara pernyataannya bahwa Qur'an adalah > "intaj tsaqafi", produk budaya. Kalau kita telaah > seluruh buku karangan Abu Zayd, kita sama sekali tidak > atau sekurang-kurangnya sangat sangat jarang menemukan > rujukan satu pun pada teori-teori di Barat. Berbeda > dengan Arkoun yang "royal" dengan teori, Abu Zayd > sangat "pelit" dengan teori. Dia tidak pernah secara > eksplisit mengatakan teori apa yang dia pakai untuk > mengkaji Qur'an. Jika ada pemikir yang sering ia sebut > dan mendasari studi-studinya atas Qur'an justru malah > pemikir klasik Islam, Abdul Qahir al-Jurjani (m. > 1078), seorang kritikus sastra Arab klasik, yang > dikenal melalui karyanya "I'jaz al-Qur'an". Bacalah > buku Abu Zayd yang paling penting, "Mafhum al-Nass", > dan di sana kita sama sekali tak menemukan rujukan > atas teori-teori dalam tradisi hermeneutika. > > Mengatakan bahwa Qur'an adalah produk budaya sama > sekali tak mengindikasikan bahwa seseorang mengadopsi > teori hermeneutika. > > Pemikir keempat yang layak kita sebut di sini adalah > Abdulahi Ahmed An-Na'im yang sekarang mengajar di > Emory University, Atlanta, Georgia. Saya ragu sama > sekali jika An-Na'im mengadopsi teori hermenutika. > Karya utama An-Na'im adalah "Toward an Islamic > Reformation". Buku itu sama sekali tak merujuk kepada > teori hermenutika. Latar belakang pendidikan An-Na'im > adalah hukum, plus keterlibatan dia sebagai aktvis > yang membela hak asasi manusia. Gagasan-gagasan yang > ia kembangkan justru berangkat dari "ajaran" yang ia > peroleh dari gurunya yang seorang "sufi", Mahmud > Muhammad Taha. Mahmud Taha jelas tidak belajar > hermeneutika. Latar belakang pendidikan Taha adalah > "electrical engineering" dan kemudian mempraktekkan > sufisme. > > Sekarang marilah kita telaah pemikir Muslim muda yang > kini sedang naik daun, Khaled Abou El-Fadel. Khaled > bukanlah ahli filsafat. Latar belakang pendidikan dia > di University of Pennsylvania dan Princeton University > adalah murni hukum Islam dan hukum barat modern. Dia > mengajarkan mata kuliah yang berkaitan dengan fikih > dan hukum keimigrasian di AS. Karya dia yang paling > penting, "Rebellion and Violence in Islamic Law" > adalah murni studi hukum Islam atau fikih, dan tak ada > bau-bau hermeneutika sama sekali. > > Saya sengaja men-skip Muhammad 'Abid al-Jabiri, supaya > tak berkepanjangan, dan juga, pemikiran al-Jabiri > jarang berkaitan dengan re-interpretasi Qur'an. > Karya-karya dia lebih banyak berkaitan dengan upaya > memetakan sejarah pemikiran Arab dengan memakai > teori-teori Foucault. Al-Jabiri sendiri mengakui > bahwa dia tidak sedang memproduksi gagasan, tetapi > lebih konsentrasi untuk menelaah mekanisme-mekanisme > yang bekerja dalam apa yang ia sebut sebagai "akal > Arab". Dengan kata lain, Al-Jabiri ingin memeriksa > dengan kritis cara kerja akal Arab (istilah dia, > "aliyyat al-'aql al-'Arabi"). Saya juga sengaja tak > mengulas Hassan Hanafi, supaya tak berkepanjangan. > Menurut saya, dia layak dibahas sendiri secara > terpisah. > > Lima pemikir itu sengaja saya sebut sebab > gagasan-gagasan mereka sangat banyak mempengaruhi > kalangan pemikir Muslim liberal di Indonesia. > Sebagaimana telah saya tunjukka, kelima pemikir itu > sama sekali atau jarang memakai teori hermeneutika. > > Sekarang mari kita lihat pemikir-pemikir Muslim > Indonesia. Cak Nur dan Gus Dur adalah dua orang yang > layak kita sebut. Setahu saya, kedua tokoh itu sama > sekali tak menyebut teori hermenutika. Bacalah seluruh > karya Cak Nur atau Gus Dur, dan carilah rujukan pada > Gadamer, Dilthey, Roland Barthes, dan Ricoeur, pasti > anda akan putus asa. > > Sekarang kita lihat generasi setelah Cak Nur. Ada > Masdar F. Mas'udi, Kautsar Azhari Nur, Amin Abdullah, > dan Zainun Kamal. Saya tak melihat pemikiran mereka > secara jelas merujuk kepada teori-teori hermenutika. > Mungkin hanya Amin Abdullah, jika ada, yang patut kita > sebut sebagai sarjana yang mempunyai apresiasi atas > hermeneutika modern. Gagasan penting yang secara tak > langsung merupakan produk Amin Abdullah adalah buku > kecil tentang "teologi lintas agama" (saya lupa > judulnya) yang pernah didiskusikan di Majlis Tarjih > Muhammadiyah. Buku itu berisi "tafsiran baru" atas > sejumlah ayat yang berkaitan dengan hubungan > antaragama. Tetapi, jika kita telaah buku itu, kita > sama sekali tak mengendus teori hermenutika sama > sekali. Buku itu adalah kelanjutan saja dari diskusi > yang bekembang di kalangan pemikir Muslim modern > tentang pluralisme. > > Mungkin sasaran kritik teman-teman ISTAC itu adalah > JIL dan kalangan penulis-penulis muda Islam yang > sekarang sedang menjamur. Saat ini, kata "hermenutika" > sering dipakai oleh banyak penulis. Jika kita > urut-urut, sebetulnya jarang di antara penulis-penulis > muda Islam itu yang belajar sungguh-sungguh teori > hermenutika dan melaksanakannya secara serius dalam > kerja eksegesis Qur'an. Jika kata "hermeneutika" > dipakai oleh mereka, maka sebetulnya yang mereka > maksudkan adalah pengertian umum dari kata itu, yaitu > penafsiran. Jadi, hermenutika adalah tafsir, that's > it. Tak lebih, tak kurang. Karena kata tafsir sudah > biasa, maka mereka memakai kata hermeneutika, supaya > ada efek "keren". Lagi-lagi, ini bagian dari > "fashionability" yang biasa kita lihat di kalangan > kaum intelektual (saya sendiri tak lepas dari itu). > > Catatan terakhir. Sebetulnya sebagian dari kritik > teman-teman ISTAC benar. Saya kira, kita tak bisa > memakai teori-teori filsafat yang berkembang di Barat > secara serampangan untuk mengkaji Islam. Saya sendiri > tak tahu posisi sebenarnya dari teman-teman ISTAC > dalam masalah ini. Apakah mereka menolak sama sekali > filsafat Barat untuk dipakai dalam kajian Islam? > Ataukah mereka hanya ingin mengatakan bahwa kita harus > hati-hati? Kalau mereka menolak sama sekali, saya > menolak posisi itu. Jika mereka menghendaki sikap > kehati-hatian, saya setuju. > > Ilmu-ilmu Islam sudah berkembang selama berabad-abad, > dengan sejarahnya sendiri yang cukup panjang. Dalam > sejarah yang panjang itu, terjadi diskusi yang hangat > sejak dulu tentang posisi ilmu-ilmu yang datang dari > luar (oleh Prof. George Makdisi disebut sebagai > "foreign sciences"). Tidak seluruh ilmu yang datang > dari luar ditolak oleh sarjana Islam klasik. > > Kajian Islam yang telah berkembang lama itu lalu > membentuk "tradisi" yang ingin saya serupakan dengan > sebuah "badan". Sebagaimana badan manusia yang selalu > mempunyai mekanisme resistensi diri ketika ada anggota > badan baru yang dicangkokkan, begitu juga > "transplantasi metodologis" dalam kajian Islam akan > menimbulkan resistensi dari tradisi. Itu hal biasa. > Tetapi, resistensi adalah salah satu bagian saja dari > reaksi tubuh. Selain resisten, tubuh juga mempunyai > kecakapan untuk menyesuaikan dan mengadopsi hal-hal > yang baru. > > Sekian, semoga bermanfaat. > > Ulil > > --- Mizan Sya'roni <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > Salam, > > Sebagai penikmat diskusi-diskusi di milis JIL, > > saya punya harapan besar bahwa suatu saat nanti ada > > kawan kita di JIL yang secara akademis benar-benar > > menguasai dan fasih berbicara tentang hermeneutik. > > Bukan apa-apa, belakangan ini banyak kawan kita di > > "seberang" sana yang mencoba mengangkat