|
Radikalisme Agama
Ancaman bagi Pemilu 2004?
Oleh Adrian Renaldi
Beberapa tahun belakangan ini, isu radikalisme agama sangat menguat
dan mengguncangkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kelompok
agama fundamental berjuang sekuat tenaga dan dengan segala cara,
memperjuangkan visi dan misi mereka, tanpa peduli akan kenyataan
dalam masyarakat bahwa bangsa ini adalah pluralis.
Di tengah-tengah pro dan kontra ancaman kelompok agama
fundamentalisme ini, kini muncul pertanyaan, apakah radikalisme
agama merupakan ancaman Pemilu 2004 nanti? Tampaknya kecenderungan
itu kecil.
Perkiraan ini kita bisa lihat dari pengakuan salah satu pelaku bom
Bali, Ali Imron, yang menyesalkan tindakannya, karena meskipun
tindakan itu dianggapnya sebagai membela agama tetapi justru telah
mengabaikan nilai-nilai agama sebagai pembawa damai dan kemanusiaan.
Penyesalan itu disambut positif karena terjadi sebuah perubahan
sikap dan pandangan. Setidaknya, ia menyadari bahwa memperjuangkan
keadilan dan kebenaran dalam agama tidak dapat dibenarkan kalau
menggunakan media kekerasan.
Semua orang menyambut baik ketika pengadilan Denpasar, Bali,
menvonis mereka hukuman seumur hidup dan hukuman mati atas tindakan
yang telah melenyapkan ratusan nyawa. Tetapi apakah itu efektif.
Sebagian orang masih meragukan efektivitas hukuman itu untuk
mengatasi aksi kekerasan atau terorisme. Cara itu masih menyisakan
sejumlah persoalan karena penyelesaian hukum tidak menyentuh masalah
terorisme itu secara komprehensif. Hukuman hanyalah sebuah shock
therapy (kejutan sesaat) saja.
Terorisme sesungguhnya terkait dengan beberapa masalah mendasar,
antara lain, pertama, adanya wawasan keagamaan yang keliru. Kedua,
penyalahgunaan simbol agama. Ketiga, lingkungan yang tidak kondusif
yang terkait dengan kemakmuran dan keadilan. Kempat, faktor
eksternal yaitu adanya perlakuan tidak adil yang dilakukan satu
kelompok atau negara terhadap sebuah komunitas. Akibatnya, komunitas
yang merasa diperlakukan tidak adil bereaksi. Menurut Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi, terorisme hanya
bisa dicegah secara fundamental kalau kita bisa menyelesaikan hingga
keempat pokok masalah tadi (Kompas 2/9/03).
Dalam tulisan ini penulis hanya fokus pada dua poin yang pertama.
Studi tentang terorisme memperlihatkan bahwa pandangan agama yang
keliru dan penyalahgunaan simbol agama menjadi dalang utama aksi
teroris. Demi alasan agama, orang bisa berkorban bahkan nyawa
sekalipun. Bahkan ada yang lebih ekstrem, demi menjaga kemurnian
agama sendiri, komunitas lain harus dihabisi karena berseberangan
pandangan.
Pandangan ini tetap hidup dalam kelompok sempalan beberapa agama dan
semuanya berakar pada radikalisme dalam penghayatan agama. Secara
teoretis, radikalisme muncul dalam bentuk aksi penolakan,
perlawanan, dan keinginan dari komunitas tertentu agar dunia ini
diubah dan ditata sesuai dengan doktrin agamanya.
Menurut Horace M Kallen, radikalisme ditandai oleh tiga
kecenderungan umum. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap
kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam
bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah
yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai
yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang
ditolak.
Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan
terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di
dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia
(world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk
menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah
ada. Dan ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan
kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan
sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap
benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.
Kita lihat teori ini sedikit banyak pembenarannya tatkala terjadi
konflik atas nama agama dan aksi terorisme di mana-mana. Secara
empirik, radikalisme agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya
yang paling konkret, yakni kekerasan atau konflik. Di Bosnia
misalnya, kaum Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di
Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Begitu
juga di Tanah Air terjadi konflik antaragama di Poso dan di Ambon.
Kesemuanya ini memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering
kali menjadi pendorong terjadi konflik dan ancaman bagi masa depan
perdamaian.
Karena itulah, bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktikkan
oleh sebagian umat seharusnya tidak sampai menghadirkan ancaman bagi
masa depan bangsa. Pluralisme tetap menjadi komitmen kita semua
untuk membangun bangsa yang modern, yang di dalamnya terdapat banyak
agama dan etnis secara damai. Pluralisme adalah simbol bagi
susksesnya kehidupan masyarakat majemuk. Karena itu, agama yang
dimiliki oleh masing-masing umat tetap terjaga sebagai sosok
keyakinan yang tidak melampaui batas. Sebab, bagaimanapun agama
sangat diperlukan untuk mengisi kehampaan spiritual umat, tetapi
segala bentuk ekspresinya tidak boleh menghadirkan ancaman bagi masa
depan dunia yang damai. Kalau kaum radikalis agama mengekspresikan
keyakinannya dalam bentuk kekerasan maka ini merupakan ancaman besar
bagi pluralisme.
Perluas Gerakan Inklusif
Berkembangnya radikalisme agama di Indonesia, sebenarnya bukan hanya
satu kenyataan sosio-historis dalam negara majemuk, tetapi juga bisa
menjadi ancaman bagi masa depan bangsa yang mendambakan keamanan dan
kedamaian. Sesungguhnya ada banyak hikmah yang bisa bisa dipetik
dari peristiwa peledakan bom di Bali. Peristiwa itu dapat digunakan
untuk memperluas kembali gerakan umat yang moderat, inklusif, dan
pluralis di tengah-tengah masyarakat beragama.
Gerakan inklusif didasarkan pada dua hal. Pertama, secara diskursif,
gerakan inklusif umat diyakini sebagai peno-pang bagi terciptanya
harmonisasi sosial masyarakat di era multikultural. Karena
bagaimanapun, multikulturalisme adalah suatu kenyataan historis di
dalam masyarakat yang harus disikapi secara baik. Di sinilah
eksklusivitas beragama yang diyakini secara total sebagai kebenaran
agama (religious truth) bisa menjadi batu sandungan ideologis untuk
menyampaikan pesan perdamaian. Itu sebabnya, pendidikan pluralis
tetap menjadi prioritas utama dalam menjembatani doktrin eksklusif
yang selama ini diyakini umat.
Kedua, secara praksis, praktik kehidupan beragama yang masih
mendikotomikan klaim kebenaran dan keselamatan di dalam
masing-masing umat agama mesti dikikis habis agar tidak terjadi
sikap saling menyalahkan antara satu agama dengan agama lainnya.
Bukankah, problem pluralisme kerap kali disebabkan oleh fanatisme
kebenaran agama yang menimbulkan sikap-sikap radikal. Karena itulah,
upaya-upaya konkret untuk membangun toleransi antarumat beragama
mesti terus dilakukan sebagai bagian dari proses sosial yang
berkelanjutan.
Dengan demikian, secara wacana dan praksis gerakan, sikap umat agama
tidak sampai pada kesadaran dan gerakan radikal. Pembokaran
(dekonstruksi) kesadaran eksklusif, militan, dan radikal adalah
langkah awal untuk menjamin masa depan pluralisme. Pada gilirannya,
pembangunan kembali (rekonstruksi) kesadaran agama yang toleran,
inklusif, dan pluralis adalah langkah terakhir untuk menyampaikan
pesan perdamaian agama-agama di tengah-tengah masyarakat
multikultural. Inilah kondisi yang kita inginkan dalam menyongsong
masa depan bangsa yang lebih baik di tengah-tengah ancaman terorisme
dan kekerasan.
Penulis, pengamat masalah agama dan tinggal di Jakarta. |
|