Selasa, 10 Februari 2004

O P I N I

No.  4624

 
Halaman Utama
Tajuk Rencana
Nasional
Ekonomi
Uang & Efek
Jabotabek
Nusantara
Luar Negeri
Olah Raga
Iptek
Hiburan
Feature
Mandiri
Ritel
Hobi
Wisata
Eureka
Kesehatan
Cafe & Resto
Hotel & Resor
Asuransi
Otomotif
Properti
Promarketing
Budaya
CEO
Opini
Foto
Karikatur
Komentar Anda
Tentang SH

 

Radikalisme Agama Ancaman bagi Pemilu 2004?
 

Oleh Adrian Renaldi

Beberapa tahun belakangan ini, isu radikalisme agama sangat menguat dan mengguncangkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kelompok agama fundamental berjuang sekuat tenaga dan dengan segala cara, memperjuangkan visi dan misi mereka, tanpa peduli akan kenyataan dalam masyarakat bahwa bangsa ini adalah pluralis.
Di tengah-tengah pro dan kontra ancaman kelompok agama fundamentalisme ini, kini muncul pertanyaan, apakah radikalisme agama merupakan ancaman Pemilu 2004 nanti? Tampaknya kecenderungan itu kecil.
Perkiraan ini kita bisa lihat dari pengakuan salah satu pelaku bom Bali, Ali Imron, yang menyesalkan tindakannya, karena meskipun tindakan itu dianggapnya sebagai membela agama tetapi justru telah mengabaikan nilai-nilai agama sebagai pembawa damai dan kemanusiaan. Penyesalan itu disambut positif karena terjadi sebuah perubahan sikap dan pandangan. Setidaknya, ia menyadari bahwa memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam agama tidak dapat dibenarkan kalau menggunakan media kekerasan.
Semua orang menyambut baik ketika pengadilan Denpasar, Bali, menvonis mereka hukuman seumur hidup dan hukuman mati atas tindakan yang telah melenyapkan ratusan nyawa. Tetapi apakah itu efektif. Sebagian orang masih meragukan efektivitas hukuman itu untuk mengatasi aksi kekerasan atau terorisme. Cara itu masih menyisakan sejumlah persoalan karena penyelesaian hukum tidak menyentuh masalah terorisme itu secara komprehensif. Hukuman hanyalah sebuah shock therapy (kejutan sesaat) saja.
Terorisme sesungguhnya terkait dengan beberapa masalah mendasar, antara lain, pertama, adanya wawasan keagamaan yang keliru. Kedua, penyalahgunaan simbol agama. Ketiga, lingkungan yang tidak kondusif yang terkait dengan kemakmuran dan keadilan. Kempat, faktor eksternal yaitu adanya perlakuan tidak adil yang dilakukan satu kelompok atau negara terhadap sebuah komunitas. Akibatnya, komunitas yang merasa diperlakukan tidak adil bereaksi. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi, terorisme hanya bisa dicegah secara fundamental kalau kita bisa menyelesaikan hingga keempat pokok masalah tadi (Kompas 2/9/03).
Dalam tulisan ini penulis hanya fokus pada dua poin yang pertama. Studi tentang terorisme memperlihatkan bahwa pandangan agama yang keliru dan penyalahgunaan simbol agama menjadi dalang utama aksi teroris. Demi alasan agama, orang bisa berkorban bahkan nyawa sekalipun. Bahkan ada yang lebih ekstrem, demi menjaga kemurnian agama sendiri, komunitas lain harus dihabisi karena berseberangan pandangan.
Pandangan ini tetap hidup dalam kelompok sempalan beberapa agama dan semuanya berakar pada radikalisme dalam penghayatan agama. Secara teoretis, radikalisme muncul dalam bentuk aksi penolakan, perlawanan, dan keinginan dari komunitas tertentu agar dunia ini diubah dan ditata sesuai dengan doktrin agamanya.
Menurut Horace M Kallen, radikalisme ditandai oleh tiga kecenderungan umum. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak.
Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Dan ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.
Kita lihat teori ini sedikit banyak pembenarannya tatkala terjadi konflik atas nama agama dan aksi terorisme di mana-mana. Secara empirik, radikalisme agama di belahan dunia muncul dalam bentuknya yang paling konkret, yakni kekerasan atau konflik. Di Bosnia misalnya, kaum Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan Protestan saling bermusuhan. Begitu juga di Tanah Air terjadi konflik antaragama di Poso dan di Ambon. Kesemuanya ini memberikan penjelasan betapa radikalisme agama sering kali menjadi pendorong terjadi konflik dan ancaman bagi masa depan perdamaian.
Karena itulah, bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktikkan oleh sebagian umat seharusnya tidak sampai menghadirkan ancaman bagi masa depan bangsa. Pluralisme tetap menjadi komitmen kita semua untuk membangun bangsa yang modern, yang di dalamnya terdapat banyak agama dan etnis secara damai. Pluralisme adalah simbol bagi susksesnya kehidupan masyarakat majemuk. Karena itu, agama yang dimiliki oleh masing-masing umat tetap terjaga sebagai sosok keyakinan yang tidak melampaui batas. Sebab, bagaimanapun agama sangat diperlukan untuk mengisi kehampaan spiritual umat, tetapi segala bentuk ekspresinya tidak boleh menghadirkan ancaman bagi masa depan dunia yang damai. Kalau kaum radikalis agama mengekspresikan keyakinannya dalam bentuk kekerasan maka ini merupakan ancaman besar bagi pluralisme.

Perluas Gerakan Inklusif
Berkembangnya radikalisme agama di Indonesia, sebenarnya bukan hanya satu kenyataan sosio-historis dalam negara majemuk, tetapi juga bisa menjadi ancaman bagi masa depan bangsa yang mendambakan keamanan dan kedamaian. Sesungguhnya ada banyak hikmah yang bisa bisa dipetik dari peristiwa peledakan bom di Bali. Peristiwa itu dapat digunakan untuk memperluas kembali gerakan umat yang moderat, inklusif, dan pluralis di tengah-tengah masyarakat beragama.
Gerakan inklusif didasarkan pada dua hal. Pertama, secara diskursif, gerakan inklusif umat diyakini sebagai peno-pang bagi terciptanya harmonisasi sosial masyarakat di era multikultural. Karena bagaimanapun, multikulturalisme adalah suatu kenyataan historis di dalam masyarakat yang harus disikapi secara baik. Di sinilah eksklusivitas beragama yang diyakini secara total sebagai kebenaran agama (religious truth) bisa menjadi batu sandungan ideologis untuk menyampaikan pesan perdamaian. Itu sebabnya, pendidikan pluralis tetap menjadi prioritas utama dalam menjembatani doktrin eksklusif yang selama ini diyakini umat.
Kedua, secara praksis, praktik kehidupan beragama yang masih mendikotomikan klaim kebenaran dan keselamatan di dalam masing-masing umat agama mesti dikikis habis agar tidak terjadi sikap saling menyalahkan antara satu agama dengan agama lainnya. Bukankah, problem pluralisme kerap kali disebabkan oleh fanatisme kebenaran agama yang menimbulkan sikap-sikap radikal. Karena itulah, upaya-upaya konkret untuk membangun toleransi antarumat beragama mesti terus dilakukan sebagai bagian dari proses sosial yang berkelanjutan.
Dengan demikian, secara wacana dan praksis gerakan, sikap umat agama tidak sampai pada kesadaran dan gerakan radikal. Pembokaran (dekonstruksi) kesadaran eksklusif, militan, dan radikal adalah langkah awal untuk menjamin masa depan pluralisme. Pada gilirannya, pembangunan kembali (rekonstruksi) kesadaran agama yang toleran, inklusif, dan pluralis adalah langkah terakhir untuk menyampaikan pesan perdamaian agama-agama di tengah-tengah masyarakat multikultural. Inilah kondisi yang kita inginkan dalam menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik di tengah-tengah ancaman terorisme dan kekerasan.

Penulis, pengamat masalah agama dan tinggal di Jakarta.

 

 

 

Copyright © Sinar Harapan 2003