eramuslim - Percayakah Anda para istri, bahwa segala kebaikan yang Anda miliki sebagai seorang istri seperti kecantikan, kecerdasan, kelembutan tutur kata, keterampilan mengatur rumah, kepandaian memasak, mendidik anak-anak dan hal-hal baik lainnya. Semua itu menjadi tidak berarti di mata suami Anda jika hasrat bercintanya tidak Anda penuhi dengan baik!
Begitulah! Seandainya ditanyakan kepada para laki-laki, apa yang paling mendorong mereka menikahi seorang perempuan? Apakah jawabannya karena mereka ingin masakan yang enak? Bisa jadi ibunya adalah orang yang paling pandai memasak makanan yang disukainya. Atau apakah karena mereka ingin ada yang mencuci dan menyetrika pakaiannya? Atau apakah karena ia ingin ada yang menjadi teman diskusinya tentang politik? Ternyata bukan itu semua jawabannya. Inilah jawaban paling jujur dan terus terang. Hal yang paling utama dan mendasar yang mendorong seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan adalah karena mereka ingin memenuhi dorongan hasrat seksualnya hanya kepada pasangan yang sah.
Memang mengatur dan merawat rumah, memasak makanan yang lezat, mengasuh dan mendidik anak-anak adalah urusan yang penting yang tidak boleh diabaikan. Akan tetapi prioritasnya menjadi yang kedua setelah memenuhi kebutuhan suami demi menjaga kebersihan dirinya.
Hal ini sejalan dengan syariat Islam yang telah menjadikan pernikahan sebagai satu-satunya sarana yang diperbolehkan untuk memenuhi dorongan seksual manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Karenanya, pernikahan adalah cara yang paling jitu untuk menjaga kehormatan, kebersihan serta memelihara kesucian diri dari perbuatan-perbuatan terlarang yang terkait dengan pemenuhan dorongan seksual manusia.
"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu dan berkeinginan untuk menikah, maka menikahlah! Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan." (Muttafaqun alaih).
"Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah, yaitu mujahid yang berjuang di jalan Allah, hamba sahaya yang bermaksud memerdekakan dirinya dan orang yang menikah dengan niat untuk menjaga kesucian dirinya." (HR Tirmidzi).
Bertolak dari pemahaman ini kita dapat menjadi lebih memahami mengapa Islam ketika membahas masalah pernikahan, sangat memberi perhatian kepada masalah hubungan suami istri yang disebut jima'. Bukan jima' antara suami istri dalam pandangan Islam adalah perbuatan yang mendatangkan pahala, disetarakan dengan tasbih, takbir, tahmid, tahlil dan amar ma'ruf nahi munkar. Dari Abu Dzar al-Ghifari ra, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya pada setiap tasbih terdapat pahala, pada setiap takbir terdapat pahala, pada setiap tahmid terdapat pahala, pada setiap tahlil terdapat pahala, pada amar ma'ruf terdapat pahala, pada nahi munkar ada pahala dan seseorang melampiaskan syahwat kepada istrinya ada pahala.
"Para sahabat banyak yang tercengang mendengarnya, mereka bertanya, "Seseorang melampiaskan syahwat kepada istrinya lalu mendapat pahala, bagaimana hal itu bisa terjadi ya Rasulullah?" Beliau berkata, "Bagaimana sekiranya jika dia melampiaskannya kepada yang haram, berdosakah dia? Maka begitu pula halnya, apabila dia melampiaskannya kepada yang halal, dia mendapat pahala." (HR Muslim).
Begitu pentingnya masalah jima' dalam pernikahan, sehingga Rasulullah SAW memerintahkan seorang istri untuk menyambut ajakan suaminya untuk berjima', walau bagaimanapun keadaannya. "Apabila seorang suami mengajak istrinya berjima', maka hendaklah istri menyambutnya meski ia sedang berada di dapur. (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi). Ada hal menarik dari hadits yang mulia ini, perhatikanlah kata-kata meski ia sedang berada di dapur. Apa yang dikerjakan seorang perempuan di dapur? Memasak bukan? Kapan biasanya perempuan memasak? Pagi atau siang hari bukan? Untuk siapa ia memasak? Untuk suaminya juga bukan? Memasak untuk suami adalah pekerjaan yang baik dan mulia, tetapi Rasulullah SAW yang agung memerintahkan istri untuk menghentikan pekerjaan yang baik dan mulia tersebut dan menuruti urusan yang lebih vital, yaitu memenuhi ajakan suaminya meski ajakan itu di waktu pagi atau siang hari! Ingatlah, bersegera memenuhi ajakan suami dapat melahirkan cinta, membuat suami merasa selalu dicintai dan dihargai. Sebaliknya keengganan menuruti ajakannya dapat membuat suami merasa dirinya ditolak dan tidak dihargai oleh istrinya. Lebih jauh lagi Rasulullah SAW sangat murka kepada istri yang menolak ajakan suaminya. "Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu ia menolak dan suaminya menjadi marah, maka ia akan dilaknat oleh para malaikat hingga pagi." (HR Bukhari dan Muslim).
Bukan Sekedar Menjalankan Kewajiban
Kalau demikian halnya, apakah jima' ini hanya menjadi kebutuhan suami saja?
Sebagaimana laki-laki, kaum perempuan juga memiliki dorongan seksual yang merupakan anugerah dari Sang Pencipta meskipun secara umum dorongan ini lebih rendah dari yang ada pada diri laki-laki. Pada umumnya istri sering kurang memiliki keinginan berhubungan kecuali pada hari-hari tertentu setiap bulan, yaitu pada masa subur. Sementara suami selalu siap dan menginginkannya kira-kira sebulan penuh. Yang selama ini dianggap sebagai penyebab adalah kondisi hormonal perempuan. Namun kajian terbaru mengenai perbedaan tingkat keinginan melakukan hubungan antara laki-laki dan perempuan bahwa penyebab sesungguhnya bagi sikap dingin pada perempuan pada waktu-waktu tertentu bukanlah pada kondisi hormonalnya. Penyebabnya adalah perasaan dan suasana hatinya.
Perempuan tidak sama dengan laki-laki. Perempuan tidak akan bergairah kecuali bila suasana hatinya sedang penuh cinta kepada suaminya dan merasakan kedamaian dan kasih sayang di dekatnya. Sementara pada laki-laki, hasrat seksual merupakan naluri murni yang tidak secara langsung terkait dengan perasaan cinta dan kedekatan. Oleh karena itu, pertengkaran kecil atau kesalah pahaman sepele atau kata-kata yang tidak berkenan di hati seorang istri, sudah cukup memadamkan gairah cintanya.
Berkaitan dengan hal ini para pakar mengatakan, bila seorang suami ingin bercinta dengan istrinya, maka ia harus menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang sebelum mendekatinya dan sedapat mungkin melakukan perbuatan yang dapat membuat suasana hati dan perasaan istrinya bahagia. Senada dengan itu, hendaknya para suami juga memahami dengan baik perasaan dan suasana hati istrinya, khususnya pada saat istri sedang mengalami penurunan gairah seksual, ia dapat lebih sabar dan bijaksana.
Jadi, cobalah untuk memahami hal-hal diatas, maka jima' tidak akan menjadi sesuatu yang bersifat rutinitas dan hanya menjalankan kewajiban saja. Ia akan menjadi sesuatu yang indah dan membuat pernikahan Anda menjadi lebih bahagia.
Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Safina No.8 Tahun I, Oktober 2003