Ibu Teladan
Masih dalam suasana hari ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember ini, banyak acara yang digelar untuk menghikmatinya. Salah satunya adalah Pemilihan Ibu Teladan Nasional yang baru saja diselenggarakan. Pemilihan tersebut diikuti oleh ibu-ibu dari berbagai penjuru tanah air Indonesia. Dengan melalui proses seleksi yang cukup ketat, akhirnya terpilihlah seorang ibu yang dianggap para dewan juri sebagai sosok Ibu Teladan Nasional. Ibu tersebut cukup senang dengan apa yang diperolehnya, ia mendapatkan uang tunai senilai 20 juta rupiah, trofi, sertifikat, dan beberapa hadiah yang lainnya.
Bagi saya, Pemilihan Ibu Teladan atau apapun itu namanya bisa jadi mempunyai maksud untuk memberi penghargaan kepada para Ibu atas jasanya dalam berbagai bidang yang ditekuninya dan semoga saja juga penghargaan itu juga atas pengabdiannya pada keluarganya. Namun apakah segala prestasi itu perlu disyiarkan pada khalayak ramai? Bukankah Rasullullah pernah berkata dengan cukup sederhana; “Yang penting ikhlash”.
Seorang ibu yang ikhlash tidak akan memikirkan berapa banyak imbalan yang akan diperolehnya jika ia merawat anaknya sendiri atau berapa banyak hadiah yang didapatkannya jika ia telah berhasil mendidik amanah Allah yang dibebankan kepadanya. Ia pun tidak akan mengharap penghargaan apapun untuk menunjukkan tentang prestasi yang diperolehnya. Apapun itu keadaannya dan apapun itu kondisinya, yang penting ikhlash. Jadi, untuk apa penghargaan-penghargaan itu. Apakah dengan memperoleh penghargaan itu berarti bahwa ia telah ikhlash. Bukankah parameter keikhlashan itu adalah hak prerogatif Allah sebagai pencipta sekaligus pemilik alam semesta ini. Apakah dengan menentukan kriteria ibu teladan berarti manusia telah mengambil alih hak Allah?
Bukannya berusaha menjustifikasi, hanya saja setiap diri kita mempunyai hak untuk penilaiannya sendiri. Tak ada yang mutlak. Karena dunia diciptakan dengan segala kerelatifannya
Ada sebuah dongeng terkenal yang mengisahkan hubungan antara ibu dan anak yang tidak berakhir baik dan berbuah penyesalan. Tersebutlah sebuah keluarga yang hanya terdiri dari seorang ibu dan anak tunggalnya. Kehidupan mereka sangat miskin. Dalam kesehariannya mereka selalu kekurangan. Untuk menutupi kekurangannya, si anak meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau mencari penghidupan yang lebih baik. Beberapa tahun di perantauan, si anak menjadi kaya raya. Ia mempunyai seorang istri yang cantik. Suatu ketika sang istri mengajak suaminya untuk menenggok ibu yang lama ditinggalkannya. Suaminya pun menurutinya. Namun ketika melihat ibunya yang sudah renta dan sangat miskin, suami tersebut malu untuk memperkenalkannya pada istrinya sehingga ia mengajak istrinya kembali dan tidak mengakui ibunya sendiri. Sang ibu marah besar. Sehingga ia mengeluarkan kutukan yang mematikan yaitu membuat anaknya menjadi batu. Dan jadilah anak durhaka itu batu. Namun apa yang terjadi? Sang Ibu menjadi sangat mnyesal dengan apa yang dilakukannya. Dia memang ingin menghukum anaknya tapi dia tidak benar-benar menghukum dengan menjadikan anaknya batu karena bagaimanapun keadaannya ia tidak pernah benar-benar membenci anaknya.
Rasulullah sendiri menegaskan pada umatnya tentang siapa yang patut dihormati. Beliau sampai menegaskan sebanyak tiga kali tentang pentingnya menghormati ibu, dan satu kali untuk ayah. Namun bukan berarti kita tidak perlu menghormati ayah, karena bagaimanapun juga keterpasangan antara laki-laki dan perempuan secara dikotomis adalah kesatuan, yakni pasangan manusia. Diri yang satu. Dari interaksi saling mengutuhkan dan mengimanenkan antarpasangan manusia itulah akan tercapai kemampuan bertanggung jawab, kedewasaan bersikap, dan ketenangan yang amat sulit dicari gantinya. Salah satu hal itulah yang menjadi sebab mengapa kita mesti menghormati keduanya.
Apapun yang menjadi doa ibu, itu bisa jadi sangat manjur di kemudian hari. Namun bagaimanapun juga namanya seorang ibu selalu punya welas asih terhadap anak-anaknya. Lihat saja cerita Malin Kundang diatas, meskipun kutukan ibu tersebut terkabulkan, tetap saja ia menyesal karena telah menjadikan anaknya batu. Karena itu, ada semacam tuntutan tak tertulis pada setiap ibu untuk selalu berdoa yang baik-baik saja kepada anak-anaknya meski ibu tersebut sangat marah sekalipun. Telah dicontohkan di atas bahwa suatu perbuatan yang dilakukan dengan emosi dan tergesa-gesa bisa mengakibatkan dampak yang tidak baik dan penyesalan yang tiada tara. Namun itu juga tidak berarti bahwa sebagai anak kita bisa seenaknya saja terhadap orangtua kita. Dalam hal ini, meskipun juga tidak tertulis tapi sudah menjadi budaya kita selama ribuan tahun untuk menghormati dan patuh pada orangtua meskipun zaman telah berubah dengan berbagai bentuknya.
Ibu saya, sama seperti layaknya ibu pada umumnya. Bukan berarti kehidupan kami selalu baik-baik saja. Tetap saja ada masalah yang menyesakkan dada, mengorbankan perasaan dan tetesan air mata, apalagi ketika saya menjalani masa-masa remaja yang sangat labil dan dipenuhi keragu-raguan. Saat itu rumah bukan lagi tempat yang aman buat saya. Hampir tak ada konflik yang terlewatkan.
Namun, tak ada kutukan yang bisa menjadikan batu yang keluar dari mulut ibu saya. Tak ada caci maki yang bisa merubah saya jadi kodok, cacing atau yang lainnya, bahkan tak ada pemotongan uang saku untuk kebandelan saya. Ibu saya justru mengajarkan kepada saya bagaimana menyikapi permasalahan, berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik, serta penyerahan diri kepada Allah sebagai tempat segala penyerahan ketika kita tak lagi mampu menanggapi gurauanNya. Meskipun pada waktu itu saya tidak benar-benar memperhatikannya.
Ibu saya tidak pernah memaksa saya menjadi apa yang seperti ia inginkan, pun ia juga mempersilahkan saya untuk memilih jalan hidup saya sendiri beserta tetek bengek tanggung jawab dan segala resikonya. Ia juga tidak berharap untuk memperoleh penghargaan sebagai ibu teladan karena telah bersedia menjadi ibu saya selama dua puluh satu tahun ini. Ia hanya berusaha memberitahu saya tentang kehidupan dunia ini, tentang rambu-rambu yang harus saya taati ketika akan melangkahkan kaki, tentang tahap-tahap normatif yang mesti saya lalui, dan tentang jenis-jenis obat mujarab jika suatu ketika saya tertusuk duri.
Dasar apa yang melandasi ibu sehingga berbuat seperti itu, saya tidak tahu. Saya pun tidak ingin mempertanyakannya. Biarlah itu menjadi privacy ibu saya (semoga saya pun bisa menmukannya sendiri). Mungkin itu yang namanya ikhlash. Bagaimanapun juga, apapun keadaan ibu saya, meskipun bukan pemenang ibu teladan nasional, yang memperoleh uang tunai 20 juta, trofi dan sertifikat, ia tetap ibu teladan di hati saya. Mungkin satu-satunya penghargaan yang diinginkan ibu saya adalah melihat saya bahagia. Apapun bentuk kebahagian itu.
Sebagai penutup, saya ingin menyitir kata-kata Miranda Risang Ayu dalam salah satu bukunya, Permata Rumah Kita; mendidik anak, bukan untuk ditepuki manusia, tapi untuk ditepuki para malaikat-malaikat di langit karena telah mendidik amanah-amanah Allah.