Jumadil
Awal 1423
Ketika Allah Mencintai Hamba-Nya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ- رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ r : » إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيْذَنَُّّه « رواه البخاري
“Dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘ Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:
‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh! Aku telah mengumumkan perang
terhadapnya. Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan
beribadah) kepada-Ku dengan sesuatu, yang lebih Aku cintai daripada apa yang
telah Ku-wajibkan kepadanya, dan senantiasalah hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub
kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya; bila Aku telah
mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar,
dan penglihatannya yang digunakannya untuk melihat dan tangannya yang
digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakannya untuk berjalan; jika
dia meminta kepada-Ku niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta
perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan melindunginya”. (H.R.al-Bukhâriy)
Riwayat Singkat Periwayat Hadits
Dia adalah sayyid al-Huffâzh,
seorang shahabat yang agung, Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu . Mengenai nama
aslinya, demikian pula dengan nama ayahnya banyak sekali pendapat tentang hal
itu dan masih diperselisihkan oleh para ulama. Namun pendapat yang paling rajih/kuat,
bahwa namanya adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausiy. Beliau masuk Islam pada
tahun penaklukan Khaibar, yakni permulaan tahun 7 H.
Imam adz-Dzahabiy berkata: “Dia banyak menimba ilmu yang baik dan penuh berkah
dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam. Tidak ada orang yang mendapatkan
kelebihan seperti itu seperti dirinya. Juga, tidak ada orang yang lebih banyak
dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam darinya. Hal
ini dikarenakan dirinya senantiasa ber-mulâzamah dengan Rasulullah Shallallâhu
'alaihi wasallam (mengikuti beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dan
bersama-sama dengannya). Hadit-hadits yang diriwayatkannya mencapai 5374
hadits”.
Imam al-Bukhâriy meriwayatkan dari Abu Hurairah juga bahwa dia berkata:
“sesungguhnya kalian pernah berkata: ‘sesungguhnya Abu Hurairah banyak sekali
meriwayatkan hadits dari Rasululullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Kalau
begitu, kenapa orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak meriwayatkan dari
Rasulullah sebanyak yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah?’. Sesungguhnya
saudara-saudaraku dari kaum Muhajirin tersebut disibukkan oleh aktivitas
jual-beli mereka di pasar-pasar, sementara aku senantiasa ber-mulâzamah dengan
beliau untuk mengisi perutku. Jadi, aku bisa hadir manakala mereka tidak hadir
dan aku ingat manakala mereka lupa. Demikian pula dengan saudara-saudaraku dari
kaum Anshar, mereka sibuk mengurusi harta-harta perdagangan mereka sementara
aku ini adalah seorang miskin yang terdaftar dalam deretan orang-orang miskin
ash-Shuffah (sebutan buat kaum papa yang tinggal di masjid Nabawiy dimana ada
suatu tempat khusus buat mereka-red) sehingga aku selalu tanggap dan mengingat
manakala mereka lupa.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda dalam suatu hadits yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâriy dari Abu Hurairah sendiri: “Sesungguhnya
tidak akan ada seseorang yang membentangkan pakaiannya hingga aku menyelesaikan
semua ucapanku ini, kemudian dia mengumpulkan pakaiannya tersebut
(menempelkannya ke tubuhnya) melainkan dia telah menangkap semua apa yang aku
katakan”. Lalu aku membentangkan kain diatasku hingga bilamana Rasulullah
menyelesaikan ucapannya, aku telah mengumpulkannya (menempelkannya) ke dadaku,
lantas aku tidak lagi lupa sedikitpun dari ucapan beliau tersebut.
Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H.
Catatan: Kisah ini menegaskan bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam
tidak berbicara karena dorongan hawa nafsu tetapi adalah karena wahyu yang
diwahyukan kepadanya (Q.,s. 53/an-Najm: 3-4), maka ucapan beliau tersebut sudah
pasti benar dan terjadi -atas izin Allah- serta keistimewaan semacam ini hanya
dimiliki oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam saja dan tidak dimiliki
oleh siapapun setelah beliau. Disamping itu, kisah ini juga menunjukkan bahwa
para shahabat adalah generasi yang merupakan sebaik-baik abad dimana mereka
selalu berlomba-lomba di dalam berbuat kebajikan apalagi dalam membenarkan dan
melakukan suatu janji yang dijanjikan oleh Rasulullah yang sudah pasti benar
dan terjadi. Banyak peristiwa yang menunjukkan hal itu, salah satunya adalah
apa yang ditunjukkan oleh Abu Hurairah diatas. Jadi, tidak lebih dari itu.
Wallahu a’lam -red).
PENJELASAN KEBAHASAAN
Ungkapan : [Innallâha
Ta’âla Qâla: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman] ; ini merupakan salah satu
redaksi Hadîts Qudsiy.
Ungkapan : [man ‘âdâ lî waliyyan: ‘barangsiapa yang memusuhi wali-Ku..]
: terdapat variasi lafazh, diantaranya: “man âdzâ lî waliyyan” ; “man ahâna lî
waliyyan faqad bârazanî bi al-Muhârabah” . Kata “al-Waliy” diambil dari kata
al-Muwâlâh , makna asalnya adalah al-Qurb (dekat) sedangkan makna asal kata
“al-Mu’âdâh” ( kata benda dari kata kerja ‘âdâ ) adalah al-Bu’d (jauh); Jadi,
kata “al-Waliy” artinya orang yang dekat kepada Allah, melakukan keta’atan dan
meninggalkan perbuatan maksiat.
Ungkapan : [faqad âdzantuhű bi al-Harb: maka sungguh! Aku telah
mengumumkan perang terhadapnya] : yakni maka sungguh Aku telah memberitahukan
kepadanya bahwa Aku akan memeranginya sebagaimana dia memerangi-Ku dengan cara
memusuhi para wali-Ku.
Ungkapan : [wa mâ taqarraba ilayya ‘abdî bisyay-in ahabbu ilayya mimmaf
taradltuhű ‘alaihi: Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri
dengan beribadah) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa
yang telah Ku-wajibkan kepadanya] : manakala Dia Ta’ala menyebutkan bahwa
memusuhi para wali-Nya berarti memusuhi-Nya, maka Dia juga menyebutkan setelah
itu kriteria-kriteria para wali-Nya yang haram dimusuhi dan wajib loyal
terhadapnya (dijadikan wali); yaitu bahwa para wali Allah adalah orang-orang
yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan sarana yang dapat mendekatkan diri
mereka kepada-Nya dimana sarana utamanya adalah melaksanakan farâ-idl
(ibadah-ibadah wajib).
Ungkapan : [fa idzâ ahbabtuhű kuntu sam’ahu al-Ladzî yasma’u bihî, wa
basharahu al-Ladzî yubshiru bihî, wa yadahu al-Latî yabthisyu bihâ wa rijlahu
al-Latî yamsyî bihâ: bila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah
pendengarannya yang digunakannya untuk mendengar, dan penglihatannya yang
digunakannya untuk melihat dan tangannya yang digunakannya untuk memukul dan
kakinya yang digunakannya untuk berjalan] : maksudnya adalah bahwa barangsiapa
yang bersungguh-sungguh dalam bertaqarrub kepada Allah dengan melaksanakan
ibadah-ibadah wajib yang diembankan kepadanya, kemudian menambahnya dengan
ibadah-ibadah sunnah, maka Allah akan mendekatkan dirinya kepada-Nya,
meningkatkan derajat iman nya kepada derajat ihsân ; maka ketika itu, dia dalam
beribadah kepada Allah menjadi selalu ber-murâqabah (menjadikan dirinya selalu
di bawah pengawasan Allah) seakan-akan dia melihat-Nya. Karenanya pula, hatinya
menjadi penuh oleh ma’rifat kepada Allah, mahabbah (mencintai)-Nya,
mengagungkan-Nya, takut kepada-Nya, senang dekat dengan-Nya dan merindukan-Nya.
Maka, jadilah orang yang sedemikian terisi ma’rifah kepada Allah di hatinya
melihat-Nya dengan ‘ain bashîrah (pandangan batin)-nya; maka jika dia bicara,
dia berbicara karena Allah, sesuai dengan yang diridlai oleh-Nya dan atas
taufiq-Nya; jika mendengar, dia mendengar karena-Nya sesuai dengan yang
diridlai-Nya dan atas taufiq-Nya; jika melihat, dia melihat karena-Nya sesuai
dengan yang diridlai-Nya dan atas taufiqNya dan jika memukul/melakukan
kekerasan, maka dia memukul/melakukan kekerasan karena-Nya dalam hal yang
diridlai-Nya dan atas taufiq-Nya.
Ungkapan : [wa la-in sa-alanî la-u’thiannahű …: jika dia meminta
kepadaKu niscaya Aku akan memberikannya, dan jika dia meminta perlindungan
kepadaKu niscaya Aku akan melindunginya] : yakni bahwa orang yang dicintai dan
dekat di sisi Allah memiliki kedudukan khusus yang konsekuensinya bila dia
meminta sesuatu kepada-Nya, pasti akan Dia berikan untuknya; jika meminta
perlindungan kepada-Nya dari sesuatu, pasti Dia melindungi dirinya darinya dan
jika dia berdoa kepada-Nya, pasti Dia mengabulkannya; dengan demikian dia
menjadi orang yang selalu terkabul doanya karena kemuliaan dirinya di sisi
Allah.
BEBERAPA PELAJARAN DAN HUKUM
TERKAIT
1. Melakukan perbuatan-perbuatan ta’at baik yang wajib-wajib
maupun yang sunnah-sunnahnya dan menjauhi diri dari semua bentuk maksiat baik
yang kecil maupun yang besar akan membuat seorang hamba pantas menjadi salah
seorang wali Allah yang dicintai-Nya dan mencintai-Nya, Dia Ta’ala mencintai
orang yang dicintai oleh para wali-Nya, mengumumkan perang terhadap orang yang
memusuhi, mengganggu, membenci, memojokkan dan menghadang mereka dengan suatu
kejahatan atau gangguan. Allah-lah yang akan menolong dan membantu para
wali-Nya tersebut.
2. Wajib menunjukkan sikap loyal terhadap para wali Allah
dan mencintai mereka serta haram memusuhi mereka. Demikian pula, wajib memusuhi
musuh-musuh-Nya dan haram menunjukkan sikap loyal terhadap mereka. Allah
berfirman: “…janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia…”. (Q.,s. al-Mumtahanah: 1) , Dan firmanNya: “Dan barangsiapa mengambil
Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. (Q.,s.
al-Mâ-idah: 56)
Dalam kedua ayat tersebut, Allah memaparkan bahwa sifat dari orang-orang yang
dicintai dan mencintai-Nya adalah bahwa mereka itu merasa hina dihadapan
orang-orang beriman dan merasa bangga dan penuh percaya diri (‘izzah) dihadapan
orang-orang Kafir.
3. Hadits diatas juga menunjukkan bahwa para wali Allah ada
dua macam:
Pertama, mereka yang bertaqarrub kepada-Nya dengan melaksanakan ibadah-ibadah
wajib ; ini merupakan derajat kaum Muqtashidűn, Ashhâb al-Yamîn (orang-orang
yang menempuh jalan yang lurus dan menjadi golongan kanan). Melaksanakan
ibadah-ibadah wajib merupakan amalan yang paling utama sebagaimana diucapkan
oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu : “seutama-utama amalan adalah
melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah, menjauhi apa yang diharamkan-Nya
serta niat yang jujur semata-mata mengharap ridla-Nya”.
Kedua, mereka yang bertaqarrub kepadaNya, disamping melaksanakan ibadah-ibadah
wajib tersebut, juga bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunnah
dan keta’atan dan menghindari semua yang dilarang; hal-hal inilah yang
memastikan seorang hamba mendapatkan mahabbah Allah (kecintaan dari-Nya)
sebagaimana dalam sabda Rasulullah diatas: “dan senantiasalah hamba-Ku
(konsisten) bertaqarrub kepadaKu dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
4. Orang yang dicintai oleh Allah, maka Dia akan
menganugerahinya mahabbah terhadap-Nya, mena’ati-Nya, bergiat dalam berzikir
dan beribadah kepada-Nya, menenteramkan hatinya untuk selalu melakukan amalan
yang dapat mendekatkan dirinya kepada-Nya. Dengan anugerah itu, maka orang
tersebut berhak menjadi orang yang dekat dengan-Nya dan mendapatkan
keberuntungan di sisi-Nya. Allah Ta’ala berfirman: ‘Hai orang-orang yang
beriman, barangsiapa di antara kamu yang mutad dari agamanya, maka kelak Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.,s. al-Mâ-idah: 54).
5. Hal yang paling penting dan menjadi tuntutan setiap hamba
adalah mendapatkan mahabbah dari-Nya sebab orang yang mendapatkannya maka dia
akan mendapatkan dua kebaikan; dunia dan akhirat. Sebagai seorang mukmin sejati
yang sangat ingin untuk menjadi salah seorang dari para wali Allah tentu
berupaya mendapatkan tuntutan yang amat berharga ini tetapi untuk
merealisasikannya diperlukan beberapa hal:
a. Melaksanakan ibadah-ibadah wajib yang sudah diwajibkan
oleh Allah Ta’ala sebagaimana yang terdapat dalam penggalan hadits diatas: “Dan
tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepadaKu
dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Ku-wajibkan
kepadanya”. Yaitu, dengan membetulkan dan meluruskan at-Tauhîd, melaksanakan
shalat wajib, zakat wajib, puasa Ramadlan, haji ke Baitullah al-Haram, birr
al-Wâlidain (berbakti kepada kedua orangtua), menyambung rahim (silaturrahim),
berakhlaq yang mulia seperti jujur, dermawan, bertutur kata yang manis,
tawadlu’ dan lain-lainnya.
b. Menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan, baik kecil
maupun besar, dan dari apa saja hal-hal makruh yang sebenarnya mampu
dilakukannya.
c. Bertaqarrub kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah
mulai dari shalat, sedekah, puasa, amalan-amalan kebajikan, dzikir, membaca
al-Qur’an, amar ma’ruf nahi munkar dan lain-lainnya. Diantara yang patut
disinggung berkenaan dengan ibadah-ibadah tersebut adalah:
1.memperbanyak baca al-Qur’an diiringi dengan tafakkur dan renungan,
mendengarnya diiringi dengan tadabbur dan pemahaman, menghafal ayat-ayatnya
yang mudah, mengulang-ulanginya serta senantiasa menjaganya agar tidak lupa.
Tentunya, tidak ada suatu ucapanpun yang lebih manis bagi para pencinta selain
ucapan orang yang dicintainya; maka Kalamullah adalah lebih utama untuk
dicintai karena memberikan kenyamanan tersendiri bagi hati mereka dan merupakan
puncak dari sumua tuntutan mereka. Diantara sarana yang dapat membantu
terlaksananya hal tersebut -disamping doa, tekad bulat dan keinginan keras-
adalah konsistensi dalam membaca al-Qur’an sebanyak satu juz di dalam sehari
semalam dan semampunya berupaya agar tidak lalai dari konsistensi tersebut.
2.memperbanyak dzikir kepada Allah Ta’ala baik melalui lisan maupun hati
sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam: “Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku (selalu) di sisi sangkaan (baik)
hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku (selalu) bersamanya manakala dia mengingat-Ku;
jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di dalam diri-Ku;
jika dia mengingat-Ku di hadapan khalayak (orang banyak), maka Aku mengingatnya
pula di hadapan khalayak yang lebih baik dari mereka (malaikat)”. Allah
berfirman: “…maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan ingat
kepadamu”.(Q.,s. al-Baqarah: 152)
6. Bahwa adalah bohong belaka bila ada pengakuan yang
menganggap selain cara berbuat keta’atan dan berloyalitas kepada Allah yang
disyariatkanNya melalui lisan Rasul-Nya, dapat menyampaikan seseorang kepada
mahabbah Allah dan menjadi wali-Nya sepertihalnya orang-orang Musyrik yang
menyembah selain Allah dengan anggapan bahwa mereka semata hanya ingin
mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan cara tersebut sebagai yang
dikisahkan oleh Allah tentang mereka dalam firman-Nya (artinya):"Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya". (Q.,s.az-Zumar: 3). Demikian pula, sebagai yang
diceritakan oleh Allah berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani, bahwa
mereka berkata dalam firman-Nya (artinya) : "Kami ini adalah anak-anak
Allah dan kekasih-kekasih-Nya". (Q.,s. al-Mâ-idah: 18) padahal mereka
ngotot mendustai para Rasul-Nya, melanggar larangan-Nya serta meninggalkan
kewajiban-kewajiban yang diembankan-Nya kepada mereka.
Jadi, setiap orang yang menempuh selain jalan yang sudah disyari’atkan oleh
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan mencapai wilâyatullâh (kewalian
yang dianugerahkan oleh Allah) dan mahabbah-Nya.
Setiap Muslim sangat menginginkan agar doanya dikabulkan,
amalannya diterima, permintaannya diberi serta mendapatkan perlindungan
dari-Nya. Hal ini semua adalah tuntutan yang amat berharga dan anugerah yang
agung yang tidak akan dapat dicapai kecuali oleh orang yang menempuh jalan
menuju wilâyatullâh, yaitu melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan-Nya plus
ibadah-ibadah sunnah seoptimal mungkin diiringi dengan niat yang tulus
(an-Niyyah al-Khâlishah), mengikuti Nabi serta berjalan diatas manhajnya
(al-Mutâba’ah).
(Disadur dari tulisan berjudul asli: “Taqarrab yuhibbukallâh” karya Syaikh
Nâshir asy-Syimâliy)
Ya Allah, Aku Mencintainya !!