Mewujudkan Keluarga Sakinah
Menjadi Ayah yang Sukses & Ibu yang Ideal

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(Q.S. At-Tahriem, 6)

Sebuah rumah tangga yang ideal adalah berfungsinya kepemimpinan dalam rumah tangga. Seorang ayah/suami sebagai kepala keluarga dan seorang ibu/istri sebagi kepala rumah tangga. Keduanya sadar bahwa memimpin rumah tangga itu menyangkut banyak hal dan dibutuhkan kerja sama antar sesama anggota keluarga. Oleh karenanya dalam membangun rumah tangga perlu berpegang pada beberapa pesan Allah SWT.

Pertama, QS. At Tahrim ayat 6, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Kedua, QS. An Nisa ayat 34, yang artinya : "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain , dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara.”
Ketiga, QS. Ar Rum ayat 21, yang artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas ada 3 hal penting dalam mengelola rumah tangga yang sakinah;


1. Kepemimpinan


Rumah tangga adalah suatu unit terkecil dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana dalam satu masyarakat perlu adanya pemimpin yang jelas, maka dalam unit terkecil (keluarga) pun pemimpinnya harus jelas. Hal ini langsung disampaikan oleh Allah, "Arrijaalu qawwaamuuna 'alan nisaa", "Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita". Ini hal yang paling mendasar sekali, dan dalil ini sebenarnya juga bisa menjadi dalil bahwa di dalam suatu masyarakat harus laki-laki yang menjadi pemimpin.

Banyak orang mempermasalahkan bahwa ayat ini hanya untuk urusan keluarga. Sehingga yang mendukung perempuan menjadi pemimpin masyarakat, menyatakan bahwa dalil tersebut tidak berlaku. Padahal logikanya sederhana sekali. Bilamana unit terkecil masyarakat yang menjadi pemimpin adalah laki-laki, apalagi pada masyarakat yang lebih luas.

Dan didalam ayat tersebut istilah yang digunakan adalah "Qawwam", "Arrijalu qawwaamuuna 'alan nisa", Laki-laki itu adalah qawwam. Menurut maknanya, qawwam itu berasal dari kata "qaama, yaquumu, istiqamah (tegak)". Ini mengandung arti bahwa tidak mungkin yang dijadikan pemimpin itu pihak yang lemah, yang menjadi pemimpin haruslah yang tegak, sebab pihak yang dia pimpin nantinya akan bersandar pada dirinya.

Oleh karenanya dalam Islam dikenal konsep "sekufu", kalau ingin mempunyai pasangan suami-istri yang langgeng jodohnya, hendaklah yang sekufu. Sekufu artinya sepadan, maksudnya jangan sampai yang bersandar lebih kuat dari pada yang menjadi tempat sandaran. Maka jikalau kita sadar sebagai pemimpin rumah tangga, merasa berat menerima sandaran istri dan anak-anak, janganlah berfikir menambah orang lain yang bersandar kepada kita. Karena sesungguhnya tidak mungkin unit terkecil masyarakat ini akan solid, jikalau posisi kepemimpinannya tidak kokoh dan tidak tegak. Inilah tolok ukurnya. Dalam ayat tersebut sampai ditegaskan oleh Allah, karena kaitannya dengan masalah nafkah. Seorang pemimpin rumah tangga harus mengetahui secara pasti bahwa dirinya "making money". Ini sebagai indikasi ke-qawwaman seorang laki-laki.

Dalam suatu rumah tangga, bila istri ikut mencari making money, maka suami harus sadar, tidak boleh menyentuh sama sekali penghasilan istri , karena istri sama sekali tidak mempunyai kewajiban menafkahi suami dan anak-anaknya. Kecuali istri merelakan. Itu berarti sedekah istri kepada suaminya. Tetapi suami yang tegak, tidak akan pernah meminta-minta kepada istrinya. Karena dia sadar hal tersebut adalah tanggungjawabnya.


2. Keharmonisan

Dalam kehidupan berumah tangga, harus disadari bahwa sesungguhnya sakinah tidaknya rumah tangga, terutama ditentukan oleh keharmonisan suami istri. Sehingga ayat yang berkenaan dengan sakinah ini (QS. Ar Rum : 21) jelas-jelas menyebutkan urusan pasangan yang dimaksud dalam ayat ini tidak disebut-sebut soal anak. Jadi ada tidaknya anak bukan penentu yang paling utama sakinah atau tidaknya rumah tangga, terpelihara atau tidaknya kelestarian rumah tangga itu. Namun jika sudah memiliki anak, apalagi beberapa anak, maka anak akan menjadi perekat yang lebih hebat terhadap hubungan suami istri. Tetapi banyak juga kita dengar, walaupun sudah mempunyai anak, tetap saja mereka (suami-istri) cerai. Karena akhirnya yang sangat menentukan adalah seberapa jauh partnership antara suami-istri ini. Hal ini perlu digaris bawahi, karena di era modern ini semakin banyak pasangan suami istri yang JSS (=jalan sendiri-sendiri), maksudnya mempunyai kesibukan masing-masing, yang tidak ada sinerginya, tidak ada keterkaitan satu dengan lainnya, jarang sekali bertemu. Kalaupun bertemu, tidak pernah ada titik temu.

Padahal hal ini amat sangat penting, apalagi kita hidup di zaman penuh fitnah seperti sekarang ini. Zaman dimana kalau pasangan suami istri JSS, maka sangat besar kemungkinan munculnya pihak ketiga, baik PIL maupun WIL (Pria idaman lain/wanita idaman lain). Ini perlu kita perhatikan. Jangankan yang jelas kesibukannya tentang urusan dunia semata, keduanya (suami-istri) sama-sama aktivis da'wahpun, kalau mereka JSS, maka bisa terjadi juga (keretakan rumah tangga). Maka yang paling ideal adalah setiap suami istri bermusyawarah menentukan bagaimana membangun rumah tangga, yang meniscayakan keharmonisan hubungan suami-istri. Kalau kita kembali kepada konsep bahwa keluarga adalah unit terkecil masyarakat, menjadi jelaslah betapa pentingnya keharmonisan suami istri ini.


3. Keturunan

Hendaknya pasangan suami istri yang telah dikaruniai keturunan oleh Allah, mereka berfikir serius agar keturunannya itu menjadi pelanjut nilai-nilai antar generasi. Sebab banyak terjadi, ayah-ibunya aktivis da'wah, tetapi anaknya tidak terperhatikan, maka putuslah hubungan antar generasi. Nilai-nilai pewarisan, nilai-nilai da'wah tidak berjalan, maka muncullah istilah "generation gap" (kesenjangan antar generasi).


PERANAN KAUM WANITA

Ada dua hal penting tentang peranan ibu.

1. Pendidik generasi yang akan datang

Seorang ibu, baik yang telah mempunyai anak ataupun yang tidak, sebenarnya merupakan pendidik generasi yang akan datang. Kalau ia mempunyai anak kandung, sudah pasti dialah yang pertama kali memberikan pendidikan. Bahkan pendidikan bagi seorang ibu dilakukan sejak dalam kandungan. Banyak kenyataan yang memperlihatkan bahwa jika seorang ibu hamil dalam keadaan stres, maka anak yang lahir juga akan mengalami stres, sebaliknya bila ibu hamil dalam keadaan tenang hatinya, banyak berzikir, maka anak yang lahir juga tenang. Tetapi bukan berarti wanita yang tidak mempunyai anak, tidak bisa menjadi pendidik yang akan datang. Sebagai contoh, orang tua yang menyekolahkan anaknya di TK (Taman Kanak-kanak), maka akan didapati hampir semua gurunya tidak ada yang bapak-bapak, karena sosok wanita adalah sosok yang diperlukan oleh anak-anak di usia dini. Seorang wanita mempunyai potensi mendidik generasi yang akan datang.


2. Pendidik generasi yang akan datang.

Seorang wanita adalah penjaga benteng rumah tangga, yang berarti pula benteng umat. Karena itu tidak heran bila negara-negara Barat rusak dan hancur, oleh sebab negara Barat mulai menghancurkan lembaga keluarga. Di negara Barat tidak perlu status menikah / tidak menikah, kalau ingin berhubungan dengan lawan jenis, cukup dengan cara kumpul kebo. Bahkan mereka juga melakukan, memuaskan nafsu dengan sesama jenis.

Sekarang ini mulai ada geliat baru, keluarga sudah mulai diperhatikan. Sebagai contoh di Swedia ada peraturan bahwa wanita yang masih mempunyai balita tidak boleh menjadi anggota parlemen. Karena sebetulnya para balita itu membutuhkan saat-saat penting pendidikan, sehingga kalau seorang ibu melalaikan pendidikan 5 tahun pertama, niscaya anak itu akan berantakan, meskipun menyerahkan kepada orang yang benar, tetapi kasih sayang antara anak dengan ibunya akan hilang. Anak itu akan lebih sayang kepada pengasuhnya.

KEWAJIBAN SEORANG WANITA

1.        Kewajiban kepada Allah, seperti : shalat, zikir, zakat, shaum, dll.

2.        Kewajiban terhadap dirinya sendiri, yaitu kewajiban untuk belajar, menjaga kesehatan, menjaga diri, dan kewajiban asasi lainnya.

3.        Kewajiban terhadap orang lain, meliputi :

a.      Ketika menjadi seorang anak, berbakti terhadap kedua orang tuanya.

b.      Ketika sudah menikah, patuh dan taat terhadap suaminya.

Dalam hal ini seorang wanita lebih besar kewajibannya terhadap suami setelah ia menikah, dari pada ketika ia masih sebagai anak. Karena banyak ayat dan hadits menunjukkan hal seperti itu. Misalnya Nabi Muhammad SAW mengatakan, "Bahwa jika saja diperbolehkan seorang wanita bersujud, maka niscaya Nabi akan memerintahkan para wanita bersujud kepada suaminya".

Hal ini menggambarkan bahwa sebenarnya urusan istri yang paling penting adalah mencari ridho suami, bahkan ada hadits yang mendukung, jika seorang wanita meninggal dunia dan suaminya ridho padanya, maka wanita itu dipersilahkan memasuki Surga dari pintu mana saja.

Hak seperti ini bahkan tidak diberikan kepada seorang suami yang kalau istrinya meninggal dunia ridho kepadanya.

c.      Ketika menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya.

d.      Ketika wanita terhadap masyarakatnya, misalnya seorang wanita yang tidak mempunyai anak, tapi ia bergerak di bidang pendidikan, berarti ia menjalankan peran kewajibannya terhadap masyarakat.

 

TUGAS FITRAH WANITA

Tugas yang paling penting bagi seorang wanita adalah tugas fitrah. Sesuai dengan sifat wanita, dalam tugas fitrah ini dimaksudkan karena wanita itu sangat mudah untuk diajak kembali kepada fitrahnya dan menjalankan tugas-tugasnya, yaitu dengan kelembutan, kesabaran, yang kadang-kadang lebih mendahulukan emosi dari pada rasio. Dan memang lebih baik demikian, karena kalau kita mendidik anak lebih banyak dengan rasio, akan susah.

Seorang ibu dalam menghadapi anaknya ketika si anak marah, yang pertama ia lakukan adalah menenangkan dulu, dengan dicium, dipeluk. Tapi kalau seorang bapak, menghadapi anaknya yang sedang marah, pertama kali akan dibentak dulu si anak. Jadi anak tentu tidak bisa diajak rasional ketika ia masih kecil. Ini adalah tugas fitrah. Wanita harusnya berperan sesuai dengan fitrahnya, bukan malah menjadi killer / keras di masyarakat. Wallahu a'lam.


H. Ihsan Arlansyah Tanjung & Hj. Aisyah Tanjung

Disarikan dari Bedah Buku : “Menjadi Ayah yang Sukses & Ibu yang Ideal”
di Masjid Jami' Al-Azhar Jakapermai, Ahad, 25 April 2004