Komunikasi, Benarkah Itu Kuncinya?

Oleh H.A.M. RUSLAN

BUNG Karno pada zamannya sangat terkenal sebagai seorang orator. Orang bisa berjam-jam mendengarkan pidatonya. Orang-orang menatapnya tanpa berkedip. Ia seorang komunikator yang memiliki pesona. Pesan-pesan yang disampaikannya -- saat itu -- serta-merta disambut baik oleh khalayak. Keberhasilannya di panggung politik pada awal kemerdekaan dan saat-saat merebut kemerdekaan, lebih banyak karena kemampuannya berkomunikasi. Ditambah dengan kemampuannya berbahasa asing, makin lengkaplah kemampuan komunikasi Bung Karno.

Oriana Fallaci, seorang wartawati kelahiran Italia, selama tujuh tahun mampu mewawancarai sekira 27 tokoh-tokoh dunia. Ia terkenal karena mampu berkomunikasi dengan caranya sendiri. Ia bisa dengan keras "memojokkan" tokoh yang ia wawancarai, sehingga keluar jawaban yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Ia memberi kesan mewawancarai dengan "menyerang". Meski cara ini ditentang pewawancara terkenal Larry King -- yang lebih suka mewawancarai sumber berita dengan sikap ramah dan sopan -- tetapi kenyataan membuktikan wawancara Oriana Fallaci telah mampu memberi catatan tersendiri dalam sejarah komunikasi melalui media.

Dalam bukunya "Wawancara dengan Sejarah" ia ungkapkan bagaimana ia melepaskan "peluru-peluru" pertanyaannya kepada tokoh-tokoh dunia. Ia bertemu dengan PM Israel Golda Meir sebanyak empat kali! dan melakukan wawancara selama enam jam! Ia juga melakukan wawancara dengan Ali Bhutto, Yaser Arafat, Henry Kissinger, Norodom Sihanouk, Indira Ghandi, dan Raja Hussein.

Mengapa ia berhasil? Antara lain karena memiliki cara berkomunikasi yang khas. Bukan saja ia pelajari frame of reference dan field of experience dari tokoh-okoh yang akan diwawancarainya, tetapi juga karena ia memiliki cara khas dalam bertanya.

Simaklah kalimat Yasser Arafat ketika menjawab pertanyaannya. "Kami tidak menghendaki perdamaian. Kami ingin peperangan, kemenangan. Perdamaian bagi kami berarti pembasmian Israel, lain tidak. Apa yang Anda namakan perdamaian adalah perdamaian untuk Israel dan imperialis. Bagi kami, itu adalah ketidakadilan dan malu. Kami akan berjuang sampai menang. Puluhan tahun. Kalau perlu bergenerasi..."

Anda bayangkan kalimat itu, "...perdamaian bagi kami berarti pembasmian Israel..." Pastilah kalimat ini serta-merta memenggal usaha damai yang sedang dilaksanakan saat itu. Dan pastilah reaksi keras akan berhamburan dari pihak Israel. Tapi itulah Oriana Fallaci, ia mampu menyihir sumber beritanya untuk melahirkan kalimat yang langsung, atau tidak, memengaruhi sejarah.

Penampilan serta apa yang disampaikan oleh seorang pemimpin atau calon pemimpin lewat media amatlah penting. Apalagi jika berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang. Para kandidat presiden di AS sudah sejak lama menyadari hal itu. Itulah sebabnya, selama kampanye misalnya, penampilan dan gaya bicara mereka sangat terjaga. Semua sudah dibuat dalam sebuah rancangan yang disusun oleh tim kampanyenya masing-masing. Dan selalu dievaluasi terus-menerus.

"Perang" kampanye calon presiden kita dan wakilnya baru saja usai. Sebenarnya kalau kita menukik dalam-dalam, menyimak pesan-pesan yang disampaikan para komunikator itu dalam kampanyenya, maka kita beberapa waktu yang lalu telah menyaksikan sebuah opera komunikasi raksasa yang indah. Opera itu muncul di setiap daerah, kadang-kadang waktunya bersamaan. Kita melihat mimik masing-masing calon. Kita mendengar kalimat-kalimat yang disampaikan. Kita pun melihat reaksi khalayak pengunjung kampanye.

Meneliti sejauh mana komunikasi yang disampaikan diterima khalayak, tentu membutuhkan penelitian yang mendalam. Tetapi selintas kita mampu menilai sejauh mana komunikasi para tokoh itu sampai kepada sasarannya. Betapa lincahnya Amien Rais menggunakan kalimat-kalimat dalam kampanye ataupun ketika menjawab pertanyaan wartawan. Kita juga melihat bagaimana tenangnya mimik SBY ketika menyampaikan orasinya. Ketegasan terpancar pada wajah Wiranto setiap kali berkampanye atau ketika ia "bersumpah" di layar televisi. Begitu juga calon-calon lain. Ibu Megawati, Hamzah Haz, masing-masing memiliki ciri yang khas.

Putarlah kembali rekaman kampanye ataupun iklan melalui media elektronik maupun media cetak. Perhatikan satu per satu pesan yang mereka sampaikan.

Larry King melihat delapan ciri pembicara yang baik. Memandang suatu hal dari sudut baru, memiliki cakrawala luas, antusias, tidak pernah membicarakan diri sendiri, sangat ingin tahu, memberi ketegasan, memiliki selera humor, dan memiliki gaya bicara sendiri.

Melihat hanya selintas melalui layar televisi tentu tidak mungkin melihat delapan ciri yang ditulis di atas. Tetapi pasti kita memperoleh kesan tentang calon presiden dan wakilnya itu dari cara mereka berkomunikasi.

Kampanye kali ini ditandai juga dengan maraknya iklan di media cetak maupun elektronik. Tidak diketahui dengan pasti berapa miliar rupiah biaya iklan yang sudah dikeluarkan masing-masing calon presiden dan wakilnya. Lebih banyak muncul iklannya, tentu lebih banyak lagi biaya yang dibutuhkan. Ambil contoh biaya iklan satu halaman hitam putih di Pikiran Rakyat, biayanya sekira Rp 80 juta sekali terbit. Untuk iklan berwarna, tentu lebih mahal lagi!

Ketika kampanye berakhir 1 Juli, pada tanggal tersebut hampir di setiap televisi dan surat kabar, pemuatan iklan kampanye jumlahnya ditingkatkan. Ada surat kabar yang memuat iklan Mega-Hasyim beberapa halaman pada hari itu. Begitu juga yang dilakukan SBY-Jusuf Kalla. Mereka paham, komunikasi yang dilancarkan terus-menerus relatif akan lebih berhasil ketimbang pesan yang disampaikan berjangka.

Hasil pemilihan calon presiden sudah dapat ditebak. Dua pasangan maju ke putaran kedua yakni pasangan SBY-Jusuf Kalla dan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Apakah komunikasi yang dilakukan mereka selama kampanye lebih berhasil ketimbang pasangan lain? Wallahu a'lam. Semua harus dievaluasi dengan penelitian yang cermat.

Tetapi yang pasti kalau kita memperhatikan Ibu Megawati, telah terjadi perubahan dalam berkomunikasi. Misalnya, Ibu Mega mau menjawab pertanyaan wartawan pekan lalu, seusai menyerahkan bantuan bus kepresidenan di halaman istana. Sambil berdiri, Ibu Mega tampil santai dengan muka cerah. Peristiwa yang langka dilakukan sebelumnya.

Dua bulan menjelang pemilihan presiden, merupakan waktu yang cukup panjang untuk melakukan langkah-langkah. Pertemuan SBY dengan Wiranto misalnya, merupakan bagian dalam komunikasi politik. Begitu juga pertemuan Ibu Mega dengan Gus Dur, Akbar Tanjung ataupun Zainuddin M.Z., Langkah-langkah komunikasi berikutnya hampir dapat dipastikan akan terus berlangsung hingga tanggal 20 September nanti.***

Penulis Wakil Pemimpin Umum HU "Pikiran Rakyat" Bandung.