Buddha - Mazhab Theravada Mazhab Therevada itu tersebai di Sailan, Birma, Thailand, Laos, Kamboja, dah Annam. Pokok tujuan di dalam mazhab Theravada itu berikhtiar menjadi orang-suci (Arahat) yang berhasil menaklukkan hasrat (Tanha) hingga terbebas dari edaran kelahiran (Samsara), untuk akhirnya melenyapkan diri ke dalam Nirvana. Pada pokok tujuan itulah terletak salahsatu perbedaan an- tara mazhab Theravana dengan mazhab Mahayana seperti akan dijetaskan nanti, disamping berbagai perbedaan lainnya. Mazhab Theravada itu menganut keyakinan bahwa Sakyamuni itu manusia biasa tetapi telah mencapai Pencerahan (Buddhahood). Mazhab itu mempertahankan sipat kesederhanaan pada ajaran Sakyamuni seperti diamalkan oleh pengikut-pengikut pada masa permulaan. Tapi lambatlaun terjadi perkembangan-perkembangan baru dalam berbagai pokok soal. Akan tetapi di dalam bidang yang paling vital masih dijumpai titik persamaan antara mazhab Theravada itu dengan ajaran Sakyamuni yang mula-mula, yaitu sipat kemanusiaan yang sungguh-sungguh, rasa pengorbanan yang tuhls bagi kemanusiaan,seperti yang dilukiskandi dalam Dhamma-pada (Jalan Kebenaran,) dan di dalam Theragatha (Nyanyian para Rahib). Bahasa Pali di dalam lingkungan mazhab Theravada itu tetap merupakan bahasa didalam upacara-upacara kebaktian. Selanjutnya dibawah ini akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan mazhab Theravada itu. Doktrin tentang Anatta. Anatta itu bennakna : Tanpa--Jiwa. Anatta itu merupakan doktrin paling sentral di" dalam agama Buddha. Doktrin tentang Anatta itu berlawanan secara total dengan doktrin tentang Atman di dalam agama Hindu. Anatta itu terdiri atas dua sukukata. yaitu an-- (tidak. tanpa) dan -atta (Jiwa). Sukukata -atta itu di dalam bahasa Pali; yang didalam bahasa Sanskrit ialah : atman. Menurut ajaran agama Hindu bahwa alam semesta itu adalah pancaran zat Brahman, dan oleh karena itu, segala sesuatunya memiliki zat Brahman di dalam dirinya, terutama di dalam diri manusia, yang dipanggilkan dengan : atman. Ajaran agama Buddha menyatakan bahwa atman itu tidak ada, dan ajaran itulah disebut dengan : anatta. Disitu timbul soal : "Apakah betul Jiwa itu tidak ada ? Apakah alasan untuk menyatakan Jwa itu tidak ada ?" Buddha Gautama mengajarkan bahwa setiap apapun yang disebut Ada itu adalah suatu susunan, suatu bentuk. Dan setiap bentuk apapun juga, tennasuk makhluk-hidup, berada senantiasa di dalam Perobahan, dan berakhir pada Kemusnahan. Apa yang disebut dengan Jiwa itupun suatu Ada, suatu Bentuk, suatu Susunan. Justru jiwa itupun tidaklah terbebas dari hukum-Perobahan dan hukum-Kemusnahan. Doktrin tentang Anatta itu kait berkait dengan doktrin tentang Nirvana, seperti akan dijelaskan nanti. Tetapi lambat-laun terjadi perkembangan penapsiran terhadap kedua doktrin itu, terutama dalam lingkungan mazhab Mahayana, hingga akhirnya sudah jauh bergeser dari ajaran yang mula-mula. Doktrin tentang Skandas Apa yang kita sebut dengan kedirian itu adalah cuma arus kejadian yang terus menerus, karena kedirian itu pada setiap saat adalah paduan lima skandas, yakni paduan lima susunan bagian, yang antara satu persatunya berlangsung interaksi yang tiada hentinya dan takpernah tetap. Lima susunan bagian itu ialah : Rhupa : tubuh. Vedana: perasaan. Samjna ; tanggapan. Samskara : kemauan. Vijnana : pemikiran. Kelim skandas itu terikat dalam interaksi yang terus menerus itu oleh suatu kodrat yang dipanggilkan prapti. Pada saat mati, ikatan kedirian itu retak, karena segalanya berada dalam perobahan dan kemusnahan. Rerak sebelum moksha adalah rerak yang belum mutlak. Doktrin tentang Nirvana Nirvana itu bermakna : tiada suatupun (nothing). Dengan lain ungkapan ialah : Tiada, sebagai lawan Adaa. Menurut ajaran agama Buddha mengenai Empat Kebenaran Utama bahwa Ada itu Derita. Justru derita itu baharulah akan berakhir bilamana dicapai Tiada (Nirwana). Nirvana itu di dalam ajaran yang mula-mula itu mengandung. pengertian yang sederhana sekali. Di dalam Samyutta-Nikaya. yang merupakan bagian dari Sutta-Pitaka, dikisahkan soal- jawab seorang Murid Agung, Sariputta, dengan Raja Milinda. Sewaktu raja itu bertanyakan pengertian Nirvana, maka Murid Agung itu menjawab : "the extinction of passion, of aversion, of confusion, .this is called Nirvana," (peniadaan hasrat, keengganan, kebingungan, inilah yang disebut Nirvana). Dari pengertian yang sederhana itu lantas pada masa bela- kangan berkembang pembahasan yang lebih mendalam dan lebih meluas tentang pengertian Nirvana itu, terutama dalam kalangan mazhab Mahayana, hingga lahir, berbagai aliran filsafat yang punya ciri-ciiri khusus. Buddha Gautama itu pada masa hidupnya, menurut pendirian mazhab Theravada, telah mencapai Nirvana. Tetapi perkembangan penapsiran pada masa belakangan di da1am mazhab Theravada itu menimbulkan pendapat bahwa Buddha Gautama itu, sesudah meninggal dunia, masuk ke dalam Paranirvana atau Nirvana-Terakhir. Pengertian tentang nirvana-terakhir itulah yang menjadi pangkal timbul berbagai aliran pada masa belakangan di dalam mazhab Mahayana, seperti akan dijelaskan nanti. Seperti sudah diuraikan lebih dahulu bahwa Buddha Gautama itu menolak ajaran Atman dan Brahman di dalam agama Hindu dan tentang kemestian mengenali Atman itu guna penyatuan diri ke dalam Brahman. Ganti menyatukan diri ke dalam Brahman itu Buddha Gautama mengajarkan bahwa tujuan terakhir ialah Nirvana. Di dalam nirvana itu seluruh kepribadian atau ego terhenti dari Ada. hingga tidak ada lanjutan kelahiran (sam sara) lagi. Segala-galanya disitu tenang-damai karena sama melenyapkan diri ke dalam ketiadaan. Aliran dalam mazhab Theravada. Sebagai kelanjutan pembahasan tentang nirvana itu, bahwa segala-galanya melenyapkan diri ke dalam ketiadaan, maka timbul persoalan tentang dharmas (unsur-unsur) dan tenang ego (aku) dari setiap diri : "Apakah unsur-unsur itu dan aku itu punya realitas ataukah tidak?" Di dalam hal itu terkenal dua aliran yang berpengaruh amat kuat dalam mazhab Theravada, yaitu : Aliran Vaibashika, berasal dari penapsiran mahaguru- mahaguru di Kashmir pada masa pemerintahan Raja Kanishka (78--96 M) dari dinasti Kushana (78-178 M) terhadap salahsatu kitab didalam Abhidhamma-Pitaka. Aliran itu mencapai puncaknya ditangan Vasubandhu (300-350 M), seorang ahli pikir terkenal, dengan buahtangannya bernama Abhidhammakosa Sutra. Disitu dibahasnya dan disarikannya ajaran dari aliran Vaibashika itu bahwa "dharmas dan ego itu punya Realitas." Aliran Sautrantika, dibangun oleh Kumaralabdha (150-200 M) dan dilanjutkan dan diperkembang oleh Harivarman (250-350 M) dengan buah tangannya yang terkenal itu bemakna Satyasiddhi Sutra. Sari ajaran dari aliran Sautrantika itu bahwa "dharmas dan ego itu tidak punya Realitas". Dengan arti bahwa "segala-galanya maya belaka." Buahtangan Vasubandhu dan Harivannan itu disalin pada masa belakangan ke dalam bahasa Tionghoa oleh Kumafajiva (344 -413 M) hingga kedua aliran itu berkembang di Tiongkok, sebelum datang dan berpengaruh disitu aliran-aliran mazhab Mahayana. Tokoh penapsir terbesar dalam mazhab Theravada itu ialah Buddhaghosa. Tadinya seorang Brahmin dan kemudian memeluk agama Buddha, la hidup pada awal abad ke-5 masehi. Buah- tangannya bernama Visuddhimagga (Jalan kepada Kesucian) terpandang karya terbesar. Di dalam bukunya itu dia menyarikan dan menyusun secara tertib terhadap seluruh doktrin di dalam mazhab Theravada. Literatur mazhab Theravada. Sutta paling populer dalam mazhab Theravada ialah Majjhima---Nikava, tentang masalah-masalah metafisika; dan Sutta- Nipata, tentang kebenaran itu mengatasi paham-paham sekta; dan Maha-Vagga, yang isinya diantara lainnya tentang bagaimana Buddha Gautama menanggapi selisih paham diantara muridnya; dan Anguttara-Suttanta, yang diantara lain berisikan kisah-kisah kiasan bahwa setiap Ada itu berada dalam Perobahan dan Peralihan; dan Mahaparinibbhana-Suttanta, yang diantara lain berisikan kotbah perpisahan dari Buddha Gautama; dan Dhammapada, yang diantara lain berisikan doktrin-doktrin tentang kebenaran, dan Theragatha beserta Therigatha, berisikan himpunan nyanyian keagamaan bagi rahib lelaki (bikkhu) dan rahib wanita (bikkhuni). Pada masa belakangan berkembang penapsiran terhadap berbagai doktrin dan hal itu menjelma dalam literatur mazhab Theravada yang disusun kemudian. Diantaranya terkenal-kisah Jataka, berisikan kisah-kisah kelahiran dan kehid Buddha Gautama penuh oleh berbagai keajaiban, yang di di Birma dikenal dengan kisah-kisah Dzannecka. Selanjutnya Sammanaphala-Suttanta, yang diantara lain berisikan tentang paedah menyisihkan diri dari dunia dan menjadi rahib; dan Sigalovc Suttanta, yang diantara lain berisikan tentang kewajiban kalangan awwam penganut mazhab Theravada; dan Samyutta-Nikaya yang diantara lain berisikan pembahasan tentang Nirvana. Theravada di Sailan. Mazhab Theravada di Sailan pada masa kita sekarang ini terpandang masih agak murni terbanding kepada di Birma Muangthai dan Indochina. Sekalipun begitu paham-paham Mahayana sedikit banyaknya telah diserap. Missi Buddha yang pertama-tama ke Sailan itu ialah pada masa pemerintahan Kaisar Asoka (274-232 sM) pada masa dinasti Maurya (321 -184 sM), dibawah pimpinan Bikkhu Mahinda. Dia berhasil menarik King Tissa disitu, saudara Kaisar As, memeluk agama Buddha. King Tisa membangun sebuah biara pada ibukota Anuradhapura, dan pagoda Tuparama yang megah untuk menyimpan sebuah gigi Buddha Gautama pada puncaknya, yang disebut Stupa. Juga ditanam cangkokan pohon-Hikmat (Bodhi-Tree) yang dibawa Bikkhu Mahinda dari kota-suci Goya. Pohon itu, pada bekas mntuhan ibukota Anuradhapura itu, masih tumbuh sampai kini hingga termasuk salahsatu pohon tertua di dunia yang telah berusia lebih 2.200 tahun. Pada abad ke-16 masehi, sewaktu Sailan dikuasai pihak Portugis maka gigi Buddha yang dipandang suci itu dibakar oleh pihak katolik - Portugis. Tetapi pihak pemeluk agama Buddha di Sailan itu membantah dan menyatakan bahwa yang diserahkan dan dibakar pihak Katolik - Portugis itu adalah gigi palsu. Theravada di Birma Kaisar Asoka mengirimkan missi--Buddha ke Suvannabhumi (tanah Keemasan), dimaksudkan Birma. Tetapi di Birma sendiri berkembang pendapat bahwa agama Buddha itu mulai tersiar di Birma semenjak kedatangan Bikkhu Buddagosa, jadi pada abad ke-5 masehi. Pengaruh tokoh itu tamak amat besar. Bahasa Pali telah di- gantikan oleh bahasa Sanskrit di dalam upacara kebaktian. Pemujaan terhadap nats (kodrat-kodrat gaib) di Birma, seperti juga halnya dengan pemujaan terhadap devatas di Sailan, memperlihatkan pengaruh paham Mahayana. Tokoh terutama di dalam agama Buddha di Birma itu ialah King Anarwahta (1044-1077 M). Pada masa pemerintahannya itu ia mendirikan ribuan pagoda, termasuk Shwe Dagon Pagoda yang terkenal itu. Theravada di Muangthai. Perpindahan suku-suku Thai dari daerah Nan Chao, yakni wilayah Yunnan sekarang ini, arah ke selatan telah benrmula sejak abad pertama masehi. Tapi kerajaan suku Thai yang pertama-tama barulah berdiri pada tahun 1219 M dengan ibukota Sukhothai, terletak, sebelah tenggara Chiengmai, dibangun oleh raja Sri Indradit. Gelaran raja itu menunjukkan pengaruh agama Hindu. Tapi sejarah mencatat bahwa pada abad ke-14 Masehi raja Thai mengirim utusan ke Sailan mengundang para bikkhu Theravada. Raja menyambutnya dengan segala kehormatan di ibukota Sukhothai dan lalu membangun biara Sangharaja. Peristiwa itu mungkin pada masa pemerintahan Rama Khambeng (1175-1317 M), putera Sri Indradit, ataupun penggantinya. Belakangan terbentuk kerajaan Ayudhia pada tahun 1350, dibangun oleh raja Ramadhipati, dan di dalam kerajaan itu berlaku Hukum Manu dari agama Hindu. Raja Baromoraja II pada tahun 1432 M mulai meluaskan kekuasaannya ke berbagai wilayah sekitarnya, menaklukkan kerajaan Angker di Kamboja pada tahun tersebut, kemudian menaklukkan kerajaan Sukhothai pada tahun 1438 M. Dengan begitu agama Hindu dengan agama Buddha berkembang sejajar akan tetapi lambatlaun agama Hindu itu terdesak dan akhirnya disingkirkan sepenuhnya oleh mazhab Theravada. Akan tetapi pengaruh agama Hindu itu meninggalkan jejak- nya pada mazhab Theravada di Muangthai itu. Seperti juga halnya di Birma dan di Sailan, maka pemujaan terhadap phi (kodrat-kodrat gaib) memperlihatkan pengaruh agama Hindu. Theravada di berbagai negeri. Sedangkan kerajaan Srivijaya di Sumatra, sejak abad ke-6 masehi, merupakan pusat pelajaran agama Buddha dari mazhab Theravada. Rahib-rahib dari Tiongkok, sebelum melanjutkan studinya pada perguruan tinggi Nalanda di lndia,biasanya singgah dan menetap di Srivijaya lebih dahulu. Begitupun rahib-rahib Tionghoa yang pulang melalui laut dari anakbenua India. Mazhab Theravada di Srivijaya itu tidak meninggalkan bekas, Berbeda halnya dengan mazhab Mahayana di pulau Jawa mewariskan suatu peninggalan, yaitu candi Borobudur. Hal itu disebabkan mazhab Theravada yang masih murni tidak menggunakan patung-patung di da1am upacara kebaktian karena upacara kebaktian yang paling azasi adalah Samadhi