DIMENSI KEMANUSIAAN USAHA               MEMAHAMI AJARAN AGAMA              Oleh: Nurcholish Madjid MUKADDIMAH    Agama, juga dalam hal ini setiap sistem kepercayaan, selalu mengasumsikan kemutlakan, sekurangnya berkenaan dengan pokok-pokok (ushul) ajarannya. Sebab hanya dalam kemutlakannya itu maka suatu agama berfunsi sebagai pegangan dan tuntunan hidup yang memerlukan kadar kepastian yang tinggi, dan memberi kepastian itulah fungsi pegangan atau tuntunan.        Karena segi kemutlakan yang membawa serta kepastian itu maka setiap penganut suatu agama tentu menganggap bahwa agamanya adalah sesuatu yang tidak berasal dari manusia sendiri, melainkan dari Tuhan. Ini dinyatakan dalam berbagai konsep, terutama konsep Tuhan, wahyu, revelation (pengungkapan), penjilmaan, wangsit, dan lain-lain, yaitu konsep-konsep yang membawa konsep konsekwensi pandangan bahwa agama adalah a-historis, normatif, dan menggarap bidang-bidang yang termasuk ke dalam kategori "apa yang seharusnya."     Walau pun begitu, pada waktu yang sama setiap penganut suatu agama berkeyakinan bahwa agamanya mengajarkan tentang amal perbuatan prakcis, dan itu berarti bahwa agama mengandung unsur-unsur yang berada dalam lingkungan daya dan kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Sekarang, "daya dan kemampuan manusia" adalah dengan sendirinya bernilai "manusiawi", karena ia berada pada diri manusia itu sendiri. Dan agar supaya suatu ajaran agama berada dalam daya dan kemampuan manusia untuk melaksanakannya--sebab jika tidak demikian maka keberadaan agama menjadi absurd--manusia harus membawanya ke dalam dirinya, ke dalam lingkaran yang menjadi batas kemampuannya, dan inilah pemahaman.          Jadi jelas ada dimensi atau unsur kemanusiaan dalam usaha memahami ajaran agama. Ternyataan tentang adanya unsur manusiawi dalam memahami ajaran agama memang mengisyarackan adanya 'intervensi, manusia dalam urusan yang menjadi hak prerogatif Tuhan itu. Tetapi, jika berdasarkan kepada keterangan di atas menjadi jelas bagi setiap oranE bahwa "agama" dapat dibedakan dari "paham keagamaan", maka adanya "intervensi" manusia dalam bangunan keagamaan historis adalah suatu kenyataan. Perkembangan semua agama penuh dengan bukti yang mendukung hal itu semua. KEPENTINGAN POLITIK SEBAGAI SUMBER INTERVENSI    Dalam teori sosiologi sistemik, sistem politik atau kepolitikan (polity) menempati posisi kedua setelah sistem budaya dalam urutan sibernetiknya. Hubungan sibernetik itu mengambil bentuk pengawasan dari atas ke bawah (sistem yang lebih tinggi tertentu mengawasi sistem yang lebih rendah tertentu), dan dukungan dari bawah ke atas (sistem yang lebih rendah tertentu mendukuns sistem yang lebih tinggi tertentu). Karena hubungan sibernetik itu, maka sistem budaya tertentu akan membenarkan serta mengabsahkan sistem politik tertentu dan, sebaliknya, sistem politik tertentu akan menciptakan suasana dan keadaan yang bersifat memu- dahkan atau kondusif bagi terwujudnya sistem budaya tertentu pula.    Sistem politik atau kepolitikan--yang jelmaan cerpentingnya tidak saja bentuk kekuasaan, tapi juga perlawanan terhadap kekuasaan--adalah bagian dari situasi dan kegiatan kemasyarakatan manusia yang paling banyak memerlukan pembenaran dan pengabsahan (justifikasi dan lesitimasi). Pembenaran dan pengabsahan itu diperoleh dari sumber-sumber sistem budaya, dan ke dalam sistem budaya menurut pengertian yang seluas-luasnya itu termasuk pula sistem keagamaan dan ideologi. Jadi, dalam hubungan sibernetik itu, agama atau ideologi (seperti Komunisme, misalnya) memberi "umpan" (feed) kepada sistem politik, dalam arti membentuk dan mewarnai sistem politik tertentu. Dan, sebaliknya, sistem politik, secara hampir tak mungkin dihindari, akan memberi "umpan balik" (feedback) kepada agama atau ideologi, dalam arti bahwa sistem politik tertentu akan memberi kemudahan untuk tumbuhnya pandangan keagamaan dan ideologis tertentu pula. Maka kesulitan yang dihadapi oleh seorang penkaji perkembangan suatu agama berada setingkat dengan kesanggupannya-membuat jarak antara dirinya dengan berbagai fakta keagamaan historis itu. PERKEMBANGAN HISTORIS ISLAM (I)      Sejalan dengan beberapa prinsip yang dikemukakan dalam mukaddimah di atas, Islam adalah agama yang diwahyukan Tuhan kepada ummat manusia melaui Utusan-Nya, dalam hal ini yang terakhir ialah Nabi Muhammad, Rasulullah s.a.w. Maka dapat disebut bahwa Islam bersifat 'a-historis" dalam arti berwujud ajaran-ajaran murni yang bersifat mutlak dan universal (berlaku tanpa terikat oleh ruang dan waktu).      Tetapi karena agama Islam adalah untuk kepentingan manusia guna mewujudkan kebahahiaannya, maka ia mau tak mau mensejarah, yakni, menyatu dengan pengalaman hidup menusia sendiri yang menjilma dalam sejarah. Kenyataan ini terbukti dengan jelas dalam pertumbuhan historis paham keagamaan Islam. Masalah pemahaman keagamaan atau theologis pertama yang muncul dalam Islam justru merupakan kelanjutan lansung suatu peristiwa politik dan historis, yaitu pembunuhan 'Utsman ibn Affan, khalifah ketiga. Tersangkutnya masalah pemahaman keagamaan di situ ialah kebutuhan para pelaku pembunuhan itu untuk menemukan pembenaran dan pengasbsahan bagi tindakan mereka. Mula-mula, pembenaran atas pembunuhan itu diperoleh dari ajaran agama tentang kewajiban seorang penguasa untuk berlaku adil dalam menjalankan kekuasaan atau pemerintahannya. Menjalankan keadilan serta menunaikan amanat kepada yang berhak adalah perintah Tuhan yang amat penting,[1] sedemikian pentingnya sehingga memenuhi perintah itu disebutkan sebagai tindakan yang paling mendekati taqwa.[2] Maka tindakan sebaliknya, yaitu menjalankan pemerintahan secara zalim sebagaimana mereka tuduhkan kepada Utsman, [3] adalah suatu pelanggaran yang amat prinsipil kepada ketentuan agama, sehingga merupakan suatu dosa besar. Dan karena iman, untuk dapat mewujudkan tujuannya, tidak bisa dicampur dengan kezaliman, [4] maka berarti bahwa suatu tindakan kezaliman membuat pelakunya keluar dari iman, yakni, menjadikannya kafir. Dan seorang kafir yang bersikap bermusu an adalah "halal darahnya," artinya boleh, mungkin malah harus, dibunuh. [5]   Bagi peninjau (observer) dari luar, pembunuhan Utsman itu mungkin nampak sebagai tidak lebih daripada "political expediency" yang menjadi "imperative" perkembangan masyarakat Muslim sebagai akibat bentuk-bentuk hubungan (jadi termasuk pertentangan) berbagai faktor sosial, khususnya benturan berbagai kepentingan dalam masyarakat.[6] Tetapi bagi pelakunya sendiri, pembunuhan itu adalah tindakan keagamaan dengan segala intensitas dan kekentalan persepsinya, sehingga pembunuhan itu dengan sendirinya dihayati sebagai suatu perbuatan saleh dan bertaqwa. Di sinilah di mulainya berbagai keruwetan tentang pemahaman keagamaan yang telah mendapatkan "intervensi" manusia itu. Sebab, para pembunuh atau mereka yang membenarkan pembunuhan Utsman yang kelak secara paling nyata melembagakan diri dalam kelompok Khawarij (al-Kbaw^rij, Kaum Pembelot atau "Protestan") itu, [7] pada urutannya, menumbuhkan paham keagamaan tertentu atau memberi tekanan yang amat kuat kepada suatu aspek ajaran agama tertentu. Dan, dalam suatu hukum sosiologis hubungan timbal balik, lawan-lawan mereka, yang terutama mengelompok di sekitar dinasti Umayyah di Damaskus, juga tumbuh dengan paham-paham keagamaan (Islam) tertentu atau sangat banyak memberi tekanan kepada suatu aspek pandangan keagamaan tertentu.     Paham keagamaan yang dikembangkan oleh kaum Khawarij     dan diberinya tekanan amat kuat ialah doktrin tentang tanggungjawab manusia berdasarkan paham tentang adanya kebebasan atau kemampuan manusia untuk memilih dan melakukan tindakannya sendiri. Bagi mereka, konsep keagamaan tentang "pahala" dan "dosa" akan tidak bisa dipahami tanpa pandangan dasar seperti itu. Dan karena "pahala" dan "dosa" menyangkut masalah "kebahagiaan" dan "kesengsaraan" atau "surga" dan "neraka", maka berarti menyangkut masalah keadilan Tuhan. Dengan kata lain, keadilan Tuhan itu dapat dipahami hanya jika dikaitkan dengan adanya kebebasan manusia dan kemampuannya membuat pilihan tindakan. Sebab jika disebutkan bahwa Tuhan adalah Maha Adil karena memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menyiksa orang yang berbuat jahat, keadilan itu ada hanya jika perbuatan baik maupun jahat manusia itu benar-benar merupakan tanggung jawab manusia bersangkutan sendiri, bukan semata-mata akibat ketentuan Tuhan sejak zaman azali (masa lalu yang tak terhingga, tanpa permulaan). Kita mengetahui bahwa paham ini, dalam Ilmu Kalam atau Aqa'id (jamak aqidah, "ikatan" atau "simpul", yakni, ikatan atau simpul kepercayaan), disebut paham qadariyyah (Paham Kemampuan Manusia).      Di lain pihak, justru paham keagamaan kebalikan dari semua itulah yang ditekankan oleh lawan kaum Khawarij (dan Syiah). Mereka adalah para pembela Utsman yang tidak membenarkan pembunuhan kepadanya, yang lebih-lebih mengelompok di sekitar Dinasti Umayyah sebagaimana telah disebutkan, sebab Utsman adalah seorang anggota clan Umayyah. Dimulai dengan dorongan untuk membela nama baik Utsman dan tidak dibenarkannya membunuh khalifah ketiga itu, mereka mengajukan argumen bahwa apa pun yang menimpa pada dunia dan pada diri seorang manusia, termasuk tindakannya, adalah pelaksanaan dari ketentuan Tuhan dalam catatan sejak dari zaman azali, dan manusia tidak sedikitpun dapat mengubahnya. [8] Masalah pahala dan dosa bukanlah kompetensi manusia untuk memahami, dan hanya merupakan wewenang Tuhan semata. Tuhan memberi pahala kepada siapa saja yan dikehendaki-Nya, dan menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya pula.[9] Dan pemberian pahala atau kebahagiaan, termasuk surga, oleh Tuhan kepada seseorang adalah semata-mata karena kemurahan (fadl'l) Tuhan saja,[10] bukan karena kebaikan tindakan manusia bersangkutan. Manusia berusaha dengan berbuat baik untuk mendapatkan kebahagiaan, namun Tuhan yang akhirnya menentukan, apakah perbuatan baiknya itu membawa kebahagiaan atau tidak. Sebab segala keputusan hanya ada di tangan Tuhan.[11] Karena itu manusia harus selalu berdo'a, memohon kasih sayang dan kemurahan Tuhan, sehingga perbuatan baiknya tidak sia-sia berhadapan dengan ketentuan Tuhan. Karena beratnya tekanan yang diberikan pada aspek ketidak- berdayaan manusia di hadapan ketentuan Tuhan, maka faham keagamaan ini dalam llmu Kalam disebut Jabariyyah (Paham Keterpaksaan). Sepintas lalu paham Jabariyyah ini "absurd'^ apalagi jika dihubungkan dengan konsep pahala dan dosa yang begitu sentral dalam agama. Tetapi sebenarnya paham itu memiliki konsistensi yang tinggi dengan suatu inti paham Ketuhanan dalam lslam, yaitu Kemaha-Kuasaan Tuhan. Dalam kerangka pikir Kaum Jabari, Kemaha-Kuasaan Tuhan dapa- dipahami hanya jika tidak ada suatu kekuasaan atau kemampuan apa pun dari atau di luar Diri Tuhan. Dan adanya kemampuan manusia untuk memilih dan melaksanakan tindakannya sendiri mengandung makna adanya kekuasaan pada manusia itu, selain dan di luar kekuasaan Tuhan. Padahal terdapat penegasan dalam Kitab Suci bahwa manusia tidak bisa berbuat sesuatu selain yang ditentukan Tuhan, dan Tuhan samasekali menguasai hamba-hamba-Nya. [12] Lebih jauh lagi, pandangan yang mengizinkan adanya kemampuan di luar Tuhan, yakni, pada diri manusia, mempunyai akibat pencairan paham Tawhid yang menegaskan keunikan Tuhan dan sifat-Nya yang mutlak tak tertandingi. Manusia dengan kemampuannya yang independen akan berarti tandingan Tuhan. PERKEMBANGAN HISTORIS ISLAM (II)      Kontroversi antara kaum Qadari dan kaum Jabari, selain sebagai yang mula-mula muncul dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, juga yang paling berpengaruh, dengan implikasi yang meluas dan mendalam. sebab kontroversi itu secera merembet ke bidang-bidang lain, dalam suatu proses interaktif dan dinamis yang gemanya masih terasa sampai sekarang.      Seperti telah dikekukakan, dorongan pertama kontroversi theologis itu adalah masalah politik yang kemudian berkembang menjadi masalah agama. Karena itu banyak yang menyesalkan bahwa masalah politik yang duniawi itu telah bergeser dan meningkat menjadi masalah agama yang jauh lebih mendalam dan serius.[13]      Tetapi disesalkan atau tidak keadaan tersebut tidak lagi bisa diubah, karena telah terjadi dan lampau. Karena itu lebih berharga daripada menyesalkan ialah mempelajari secara dingin dan obyektif (sebisa-bisanya) dan memetik pelajaran daripadanya. Kiranya inilah maksud berbagai perintah dalam Kitab suci agar kita mempelajari sejarah masa lalu.[14]      Dalam kemelut politik yang banyak meminta korban jiwa itu, perasaan traumatis agaknya telah mengiringi sebagian besar orang-orang Muslim untuk bersikap pragmatis. Karena itu sedikit demi sedikit masyarakat lslam menerima fait a compli kekuasaan Dinasti Umayyah dan mendukung program-programnya. Apalagi banyak orang melihat bahwa berbagai program para khalifah pertama, khususnya Abu Bakr, Umar dan Utsman, yaitu program ekspansi militer dan politik dalam semangat pembebasan (al-fat'h) bangsa-bangsa tertindas harus dilanjutkan, demi kejayaan lslam sendiri, semencara percekcokan politik berkenaan dengan siapa yang harus menjadi pemimpin dan penguasa hanya menghabiskan enersi. Maka orang pun berkumpul sekitar Mu'awiyah, betapapun tidak sempurnanya khalifah ini, dan ikut mewujudkan berbagai program ekspansinya ke barat (Afrika Utara sampai Spanyol) dan ke Timur (Transoxania dan Asia Tengah).      Mereka yang berkumpul sekitar Mu'awiyah ini, yang tumbuh terus sehingga akhirnya meliputi bagian terbesar kaum Muslimin, disebut kaum Jama'ah (Kelompok [Terbesar).[15]      Sementara Dinasti Umayyah dengan pandangaan keagamaan jabarinya berada dalam posisi theologis yang agak defensif, kaum Khawarij maju terus dengan berbagai program sosial, politik, dan keagamaanya yang ofensif. Dalam hal ini kaum Khawarij disertai oleh kaum Syi'ah yang pada proses pertumbuhan awalnya sama-sama sebagai pendukung Ali ibn Abi Thalib. Tetapi mereka berpisah jalan pada saat Ali menerima usul perdamaian Mu'^wiyah, pemimpin Bani Umayyah, karena sebagian dari pendukung 'Ali yang kelak menjadi cikal bakal golongan Khawarij itu berpendapat seharusnya 'Ali tidak menerima usul perdamaian atau kompromi itu, melainkan harus meneruskan peperangan sampai kemenangan terakhir.       Perpisahan politik antara pendukung setia Ali (golongan Syi'ah) dan para Pembangkang terhadap Ali (Kawarij) itu berakibat perpisahan pula dalam berbagai pandangan keagamaannya. Semencara golongan Syi'ah menjadi sekumpulan orang yang sedikit banyak mengkultuskan 'Ali dan hampir mengutuk tiga khalifah pendahulunya, terutama Utsman, tapi belakangan juga Abu Bakr dan Umar, kaum Khawarij justru mengutuk Ali (malah berhasil membunuhnya) dan 'Utsm^n, tapi melihat pada Abu Bakr dan Umar sebagai tokoh-tokoh teladan setelah Nabi sendiri. Seperti kaum Khawarij, Bani Umayyah dan para pendukung mereka juga mengagumi Aba Bakr dan Umar serta mengutuki Ali, namun berbeda dari kaum Khawarij, Bani Umayyah dengan sendirinya juga meneladani Utsman. Maka Bani Umayyah dan kaum Syiah masing-masing berada pada ujung ekstremicas yang berlawanan.      Berbarengan dengan itu semua, seolah-olah untuk kelengkapan mosaik politik Islam pada masa awal sejarah Islam itu, di Madinah tumbuh kelompok-kelompok yang memusatkan perhatian kepada kajian dan pendalaman agama, sekaligus menyatakan netral dalam politik. Kelompok yang antara lain dipimpin oleh Abdullah ibn Umar ini menumbuhkan pandangan keagamaan bahwa seluruh pemeluk Islam, tanpa memperhatikan afiliasi dan pandangan politik mereka, adalah kelompok (jama'ah) yang tunggal di bawah naungan agama Tuhan. Terbawa oleh suasana tempat kemunculannya, kelompok ini banyak memperhatikan tradisi penduduk kota Madinah yang mereka pandang sebagai kelanjutan konsisten tradisi yang ditanamkan Nabi, dan tradisi Madinah itu mereka jadikan salah satu sumber atau referensi pemahaman keagamaan mereka.      Mula-mula Bani Umayyah di Damaskus merasa gusar oleh kenetralan politik orang-orang Madinah itu. Apalagi sekalipun netral mereka tidak segan-segan menempatkan diri mereka sebagai sumber kekuatan moral ummat, dan sewaktu-waktu tidak segan-segan pula melontarkan kritik ke arah rezim Damaskus. Tetapi segera mereka sadari bahwa membiarkan atau malah mendukung gerakan Madinah itu adalah lebih baik. Karena itu lambat laun gerakan madinah itu tumbuh sejajar dengan kepentingan Damaskus, dan dalam proses pertumbuhannya itu akhirnya muncul golongan orang-orang Muslim yang mementingkan persaudaraan semua kelompok (jama^ ah) kaum Muslimin dan dalam memahami agama banyak membuat referensi sunnah, setelah kepada Kitab Suci sendiri. Maka mereka Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah, "Para Penganut Tradisi dan Kelompok besar", biasa disingkat dengan sebutan "kaum Sunni." PERTUMBUHAN HISTORIS ISLAM (III)          Fase yang amat penting dalam petumbuhan historis pemahaman agama Islam dalam suasana pertentangan politik itu ialah yang menyangkut usaha pengumpulan dan kodifikasi hadits sebagai bentuk tradisi atau sunnah par excellence. Berbeda dari al-Qur an yang sebagai buku petunjuk dan pegangan suci sudah sejak semua disadari sepenuhnya untuk diperlihara dan dibukukan, hadits mengandung berbagai masalah, khususnya masalah pembukuannya. Meskipun disebut-sebut adanya beberapa orang Sahabat Nabi yang sudah membuat catatan hadits sejak masa hidup Nabi, dan konon ada pula yang direstui beliau, namun riwayat yang umum dan dominan ialah yang menuturkan bahwa Nabi tidak mendorong, jika bukannya melarang, pencatatan apa pun dari beliau selain al-Qur'an. Sikap Nabi itu ditafsirkan sebagai karena kekuatiran beliau bahwa Kitab Suci akan tercampuri dengan unsur-unsur luar. Bahkan Rasyid Ridla menafsirkan bahwa nabi melarang mencatat hadits adalah karena hadits itu hanyalah ketentuan-ketentuan sementara tentang agama, tidak berlaku selama-lamanya.[16] Namun yang jelas ialah bahwa ketika dalam tahap perkembangannya, ummat Islam harus mencari keotentikan pemecahan masalah dalam hadits, hadits itu tidak tercatat, melainkan merupakan bagian dari tradisi penuturan oral yang sulit sekali dikontrol dan dicek kebenarannya.     Maka tidak heran bahwa pada fase perkembangan itu banyak sekali terjadi pemalsuan hadits. Menurut Musthafa al-Siba'i (seorang Sunni), kelompok-kelompok yang paling banyak memalsukan hadits ialah mereka yang paling terlibat dalam politik, tapi khususnya golongan Syi'ah. Dalam hal yang mencari pembenaran serta pengabsahan, paling mudah dilakukan dengan memalsukan hadits.Dalam nada yang tidak bisa menyembunyikan prasangka Sunni-nya kepada kaum Syiah, al-Siba'i mengatakan,        Kaum (Syiah) Rafidlah adalah kelompok yang paling banyak        berdusta. Malik pernah ditanya tentang kaum Rafidlah,        "Jangan ajak mereka bicara, dan jangan mengambil riwayat        dari mereka, karena mereka itu bohong semua." Syarik ibn        Abdullah al-Qadli mengatakan--padahal dia ini dikenal        sebagai penganut paham Syiah, meskipun moderat, "Ambil        sesuatu dari setiap orang yang kau temui, kecuali kaum        Rafidlah. Sebab mereka ini memalsukan hadits dan meng-        anggapnya agama." Dan berkata Hammad ibn Salamah, "Seorang        ulama mereka--yakni Rafidlah--menuturkan hadits kepadaku,        katanya, "Kami ini, jika berkumpul sesama kami dan        menganggap sesuatu itu baik, maka kami jadikanlah sesuatu        itu hadits." Al-Syafi'i berkata, "Aku tidak pernah        menyaksikan dari kalangan penganut hawa nafsu        suatu kaum yang lebih banyak bersaksi palsu daripada kaum        Rafidlah."... Ahl al-Sunnah- menjadi saksi atas        hadits-hadits yang dipalsukan kaum Rafidlah itu, berdasarkan        hadits wasiat di Ghadir Khamm", yang ringkasnya ialah bahwa        Nabi s.a.w., dalam perjalanan pulangnya dari haji wada        mengumpulkan para Sahabat ditempat yang disebut Ghadir Khamm        lalu mengambil tangan Ali dan berdiri bersama 'Ali itu di        depan para Sahabat dengan disaksikan mereka semua,        dan bersabda, "lnilah (Ali) penerima wasiatku dan        saudaraku serta khalifah sesudahku, maka dengarlah dan        taatilah." Kaum ahl al-Sunnah memandang hadits itu palsu,        tidak diragukan lagi, yang dibuat-buat oleh kaum        Rafidlah.... Hadits (palsu) lainnya lagi ialah        "Barangsiapa ingin melihat Adam dalam ilmunya, Nuh dalam        taqwanya, Ibrahim dalam kesantunannya, :Musa dalam        wibawanya, dan Isa dalam kebaktiannya kepada Tuhan, maka        hendaknya ia melihat Ali." Juga sebuah hadits palsu lagi,        "Aku ( Ali) adalah timbangan ilmu. Di pundakkulah kedua        tangan timbangan ilmu itu. Hasan dan Husain ada-        lah tali-tali timbangan itu, dan Fathimah adalah        penggantungnya. Imam-imam dari kalanganku adalah tiang yang        padanya semua amal manusia, baik yang mencintai maupun yang        membenciku akan ditimbang." Sebuah hadits lagi, "Mencintai        Ali adalah suatu kebaikan yang tidak akan rusak oleh        kejahatan apapun, dan membenci adalah kejahatan yang membuat        tidak bermanfaat kebaikan apapun."...        Selain membuat hadits-hadits palsu tentang kelebihan Ali        dan al-Bayt, mereka juga membuat hadits-hadits palsu yang        mencela para Sahabat, khususnya dua Sahabat utama (Abu Bakr        dan Umar) serta tokoh-tokoh Sahabat yang lain, sampai-sampai        Ibn Abi al-Hadid berkata, "Di antara hal-hal menjijikkan        yang disebut-sebut kaum Syi'ah ialah dikirimkannya tikus        (oleh Umar) ke rumah Fathimah, dan bahwa Umar memukulnya        dengan cemeti sehingga membekas pada lengan Fathimah seperti        batu, dan bahwa Umar mendorongnya antara pintu dan tembok,        kemudian Fathimah berceriak,'Oh ayahku!' Kemudian Umar        mengikatkan tali pada leher Ali dan menuntunnya, sedangkan        Fathimah berjalan di belakangnya sambil berteriak-teriak,        dan kedua puteranya, al-Hasan dan al-Husayn mena-        ngis." Mereka juga membuat hadits-hadits palsu yang mencerca        Mua'wiyah, "Jika kamu melihat Mu'awiyah di mimbarku, maka        bunuhlah dia!" Begitu juga hadits yang mencerca Mua'wiyah        dan 'Amr ibn al- Ash sekaligus, "YA Tuhan, lemparkanlah        kedua orang itu ke dalam fitnah dan biarkan keduanya itu di        neraka selama-lamanya." [18]        Namun pemalsuan hadits sebagai bentuk negatif "intervensi" manusia dalam pertumbuhan paham keagamaan Islam tidak menjadi monopoli kaum Syiah. Semencara kita harus selalu ingat bahwa hadits-hadits tersebut--jika memang ada pada kaum Syiah--adalah palsu di mata kaum Sunni, namun kaum Sunni sendiri, menurut al-Sibai juga mengimbangi kaum Syi'ah dengan memalsukan hadits:          Tapi mereka itu diimbangi oleh orang-orang bodoh di          orang Ahl al l-Sunnah yang dibuat takut oleh hadits-hadits          palsu yang menghina mereka. Maka mereka ini pun, sayang          sekali, mengimbangi kebohongan dengan kebohongan serupa,          meskipun lingkupnya lebih kecil dan dimensinya lebih          sempit. Di antara hadits palsu (olel- orang-orang Sunni)          itu ialah, "Tidak ada sebatang pohon pun di surga kecuali          setiap lembar daunnya tertulis 'Tidak ada Tuan selain          Allah, Muhammad Rasul Allah, Abu Bakr yang tulus, Umar          yang tegar, dan Utsman yang mempunyai dua cahaya."               Begitu pula orang-orang yang fanatik kepada Muawiyah          dan kaum Umawi mengimbangi kaum Syiah itu dengan ucapan          mereka (hadits), "Yang dipercaya oleh Tuhan itu tiga, aku          sendiri (Nabi Muhammad), Jibril, dan Mu awiyah. 'Engkau          termasuk diriku, wahai Muawiyah, dan aku termasuk dirimu.'          Di surga aku tidak pernah merasa kehilangan kecuali          kehilangan Muawiyah. Waktu ia datang setelah lama sekali,          aku berkata, 'Dari mana engkau, wahai Mu awiyah?'          Dijawabnya, 'Dari sisi Tuhanku. Dia memanggilku, maka aku          pun memanggil-Nya,' lalu Dia (Tuhan) berfirman, 'Inilah          sesuatu yang kau dapatkan (wahai Muawiyah) karena          kehormatanmu di dunia."'          Bahkan, menurut al-Siba'i lebih lanjut, para muballigh pun banyak mempunyai andil dalam mengembangkan paham-paham keagamaan yang palsu. Para muballigh yang dahulu lehih dikenal dengan sebutan sebagai al-wu' adh (bentuk jamak dari al-wa idh), para pemberi wa'dh atau mawidlah, yakni, nasehat, adalah biasanya merangkap tukang kisah (all qashshash). Dikatakan oleh al-Siba'i:          Tugas menyampaikan peringatan (al-wa'dh) kepada umum telah          dikuasai oleh para tukang kisah yang tidak lagi takut          kepada Tuhan, dan tidak ada yang penting bagi mereka          selain membuat orang banyak menagis dalam pertemuan-          pertemuan yang mereka selenggarakan,          Tetapi dalam pertemuan-pertemuan yang mereka          selenggarakan, kemudian orang banyak itu berlomba-lomba          berderma dan menjadi takjub dengan yang diungkapkan oleh          para tukang kisah itu. Karena itu mereka membuat          kisah-kisah palsu dan dinisbatkan kepada Nabi s.a.w. Kata          Ibn qutaybah--dan dia mengatakan hal itu ketika membahas          berbagai segi yang menjadi sebab pemalsuan hadits, "Dan          segi kedua ialah para tukang kisah. Sebab mereka itu          berusaha menarik perhatian umum kepada diri mereka, dan          mereka memperkuat pikiran yang ada pada mereka dengan          hadits-hadits yang munkar dan bohong. Kaum awam sudah          selayaknya duduk termangu mendengar seorang          tukang kisah selama kisahnya itu aneh dan tidak ketemu          akal, atau memelas yang membuat pilu di hati. Jika          disebutkan surga, maka dikatakannya, 'Dalam surga itu ada          bidadari dari minyak wangi misk atau za'faran, dan ekor          (pakaian)-nya bermil-mil panjangnya.          Dan Tuhan mendudukkan wali (orang yang dicintai)-Nya dalam          istana yang terbuat dari mutiara putih, yang di situ          terdapat tujuh puluh ribu ruang, pada setiap ruang ada          tujuh puluh ribu kubah, dan begitulah seterusnya dalam          hitungan tujuh puluh ribu tanpa berubah-ubah."          Pemalsuan hadits lebih lanjut ialah yang dilakukan oleh para fanatikus kesukuan, ras, bahasan, kedaerahan, dll. Paham keunggulan ras pernah muncul sebentar dalam sejarah perkembangan Islam, menyertai gerakan syu'ubiyyah (semacam nasionalisme), khususnya di kalangan orang-orang Persi berhadapan dengan orang-orang Arab. Maka muncullah hadits-hadits palsu yang mendukung pandangan mereka, seperti dikemukakan al-Siba'i;          Contoh pemalsuan ini ialah sebuah hadits yang dibuat oleh          kaum rasialis yang berbunyi, "Jika Tuhan marah, maka          turunkan wahyu dalam Bahasa Arab, dan jika ia senang, maka          Ia turukan wahyu dalam Bahasa Persi." Lalu orang-orang          bodoh dari kalangan bangsa Arab menandinginya dengan          sebuah hadits palsu kebalikannya, "Jika Tuhan marah, ia          turunkan wahyu dalam Bahasa Persi, dan jika Ia senang, Ia          turunkan wahyu dalam Bahasa Arab." [20]          Bahkan ketika muncul mazhab-mazhab fiqih, maka bermunculan pula hadits-hadits palsu untuk mendukung mazhabnya sendiri dan mendeskreditkan mazhab lain. Jelas sekali hadits-hadits palsu dapat muncul hanyalah karena kefanatikan:          Orang-orang yang fanatik kepada Aba Hanifah memalsukan          sebuah hadits, "Akan muncul di kalangan ummatku seorang          yang bernama Abu Hanifah, dan dia adalah pelita ummatku."          Kemudian mereka yang fanatik tidak suka kepada al-Syafi'i          menciptakan hadits palsu, "Akan tampil di kalangan ummatku          seorang laki-laki bernama Muhammad ibn Idris (al-Syafi'a)          yang dia itu lebih berbahaya terhadap ummatku daripada          Iblis." [21]          Merajalelanya pemalsuan hadits telah mendoron^ usaha uncuk menyusun kerangka teoritis bagaimana menyaring hadits-hadits yang sahih atau otentik dari yang palsu. Teori itu akhirnya diletakkan oleh Imam al-Syafi'i (wafat 204 H.) yang kemudian dilaksanakan sekitar setengah abad sesudahnya, dengan dipelopori oleh al-Bukhari (wafat 256 H) dan diikuti oleh sarjana-sarjana yang lain sehingga terkumpul kodifikasi hadits yang dikenal dengan "buku Yang Enam" (al-Kutub al-Sittah). Yaitu, selain oleh al-Bukhari, yang lainnya ialah oleh Muslim, Abu Dawud, al-Nasa{i, al-Turmudzf dan Ibn Majah. Berkat usaha ilmiah yang tak kenal lelah sar- jana-sarjana hadits itu maka ummat Islam sekarang menikmati adanya kodifikasi hadits yang baku, yana memisahkan mana yang otentik dan mana pula yang palsu. KESIMPULAN DAN PENUTUP          Uraian tentang adanya fase "hitam" pemalsuan hadits dalam sejarah paham keagamaan Islam itu penting untuk menyadari betapa agama, dalam usaha pemahaman kemudian penggunaan atau pengamalannya dalam kehidupan nyata, selalu rawan terhadap adanya 'intervensi" manusia. Dan pemalsuan hadits itu hanyalah satu segi yang paling negatif dan dramatis dari jenis 'intervensi" manusia dalam agama. Selain pemalsuan hadits, masih terdapat banyak sekali jenis "intervensi" itu, baik yang menyangkut Kalam, Fiqih, Tasauf, Filsafa[, dan seterusnya.      Pemalsuan hadits banyak yang dilakukan secara sadar dan sengaja. Tapi harus diingatkan babwa tidak semua jenis 'intervensi" terjadi dan dilakukan secara sadar, apalagi dengan maksud jahat. Justru yang paling banyak ialah berlangsung secara tidak sadar, karena dalam kasus-kasus tertentu merupakan bagian dari usaha dan proses pemahaman terhadap agama itu sendiri. Maka pemahaman dengan maksud yang paling baik dan dilakukan secara paling jujur pun masih mungkin mengandung unsur manusiawi orang bersangkutan. Ini bisa dilihat dalam banyak sekali argumen-argumen Kalam, misalnya, yang dalam banyak masalah cenderung untuk rasionalistik. Dan rasionalistik berarti manusiawi, berasrti pula nisbi, tidak mutlak. Demikian pula dalam bidang-bidang kajian keagamaan yang lain. Menyadari hal ini, Abu Hanifah terkenal dengan ucapannya, 'Pendapat kami benar, namun mengandung kesalahan; dan pendapat orang lain salah, namun mengandung kebenaran." Dan pandangan ini, sesungguhnya, sejajar dengan pesan Tuhan dalam kaitannya dengan usaha memelihara ukuwah Islamiyah, 'Wahai orang-orang yang beriman, janganlah ada satu kaum dari antara kamu yang memandang rendah kaum yang lain, kalau-kalau mereka (yang dipandang rendah) itu lebih baik daripada mereka (yang memandang rendah)...[22]          Wallahu a'lam bi al-shawab.