DARI AL-KINDI SAMPAI MULLA SADRA: Menjejaki Perkembangan Filsafat Islam Cecep Taufikurrohman* a. Para Pencari Tuhan Dari Athena: Sebuah Pengantar Hakikat kemanusiaan yang paling tinggi adalah karena manusia mampu berfikir, bersikap rasional, kritis serta mampu memilah antara yang baik dan buruk. Substansi kemanusiaan inilah yang menjadi dasar lahirnya kreativitas filosofis pada diri seseorang. Sebagai bukti, pada mulanya apa yang dilakukan oleh para filosof awal Yunani adalah upaya-upaya untuk mencari jawaban dari beberapa pertanyaan yang sangat sederhana: “Darimanakah asal mula alam?” Bagaimana ia dapat tercipta?” Siapakah gerangan arsitek yang telah menciptakannya?” Pertanyaan inilah yang mendorong mereka untuk terus berfikir dan mencari jawaban yang dapat memuaskan sikap penasaran mereka. Saat itu, seluruh pemikir yang muncul di Yunani berlomba-lomba membuat hipotesis dari proses logika dan pelanaran mereka masing-masing. Di antara mereka adalah Thales, Protagoras, Gorgias, Anaximenes, Anaximandros, Pitagoras dan Xenophanes. Mereka inilah yang dikenal sebagai para filosof alam, sekaligus sebagai peletak dasar-dasar filsafat. Meskipun kesimpulan mereka satu sama lain sangat berbeda, akan tetapi secara eksplisit mereka telah bersepakat bahwa yang mereka cari adalah: “siapa pencipta alam?” Pada proses inilah terpaksa mereka harus menjadi orang-orang kafir. Ya, mereka harus kafir dari kepercayaan dan keyakinan ketuhanan orang-orang Yunani yang saat itu banyak diisi dengan mitos. Saat itu orang Yunani memiliki puluhan dewa. Setiap fenomena dan keajaiban alam, mereka selalu mereferensikannya kepada satu dewa. Oleh sebab itu, ketika para filososf hadir di sana, yang pertama kali mereka lakukan adalah bagaimana membunuh keyakinan dan mitos-mitos tersebut serta menggantikannya dengan keyakinan kepada Tuhan yang benar, yang dalam istilah al-Qur’an disebut sebagai al-Haq. Pada proses pencarian ini, ada filosof yang sampai pada kebenaran,1 tetapi ada pula mereka yang akalnya tidak mampu mencapai ‘sang benar’ itu, sehingga terjerumus ke dalam pola-pola berfikir yang sangat rancu. Di sinilah kita akan menemukan istilah kaum Sophis. Mereka hidup pada sebuah situasi dimana saat itu Yunani sedang dilanda gelombang skeptisisme dan pengingkaran kepada dewa-dewa mitologi. Mereka juga sedang dilanda gelombang demokrasi yang telah membuka pintu pangkat dan kedudukan sehingga membuka praktek eksploitasi. Saat itu kaum Sophis adalah orang yang banyak memberikan ajaran tentang retorika, dimana dengan keterampilan ini seseorang dapat memutar balikkan fakta sesuai dengan keinginannya, terutama di lembaga-lembaga peradilan. Di antara mereka yang refleksi ketuhanannya (minimal) hampir sesuai dengan ajaran para rasul adalah Xenophanes. Ia menolak mitos-mitos Yunani yang berisi anggapan tentang antrophomorfisme (tajsim). Ia mencemoohkan dewa-dewa Yunani yang butuh makan, minum, beristri, beranak dan mati. Ia mengatakan: “Karena manusia mempersepsikan Tuhannya dalam alam fisik, maka mereka melukiskannya dalam bentuk manusia. Seandainya sapi dan kuda dapat melukis, maka mereka akan melukiskan Tuhannya seperti sapi atau kuda. Tidak, tidak demikian, karena tidak ada Tuhan kecuali yang satu, wujud yang paling tinggi, tidak tersusun seperti kita dan tidak berfikir seperti kita. Melainkan seluruhnya adalah mata dan seluruhnya adalah telinga.2 Setelah memikirkan alam dan penciptanya, mereka beralih kepada dirinya. Siapa aku? Dari mana aku datang? Apa yang disebut manusia? Bagaimana aku harus berbuat? Pemikiran para filosof mengenai alam semesta dan penciptanya tersebut pada akhirnya melahirkan filsafat wujud (ontologi). Dari pembahansan mengenai akal, rahasia, hakikatnya serta kemampuannya, melahirkan filsafat mengenal (epistemologi). Sedangkan dari hakikat kebaikan, keindahan dan keburukan, maka terbentuklah filsafat nilai (aksiologi).3 Pada perkembangannya, ternyata kaum Sophis mengalami beberapa kerusakan dalam berfikir. Karena salah satu pemikiran mereka adalah bahwa dalam realitas kehidupan, tidak terdapat sesuatu yang disebut benar atau salah, benar atau bohong, karena menurut mereka, kadang-kadang pada suatu kondisi tertentu manusia menganggap bahwa hal tersebut adalah benar, tetapi pada kondisi lain ia dapat mengatakannya salah. Menurut mereka, yang dikatakan benar adalah sesuatu yang menurut manusia benar, sedangkan sesuatu yang batil adalah yang mereka anggap batil. Bagi mereka, tidak ada ukuran baik-buruk serta benar dan salah kecuali manusia sendiri. Oleh sebab itu, pada kondisi ini maka muncullah Sokrates, Plato dan Aristoteles yang mulai mempersoalkan metode berfikir kaum Sophis dengan mengemukakan beberapa kesalahan berfikir yang mereka lakukan. Ketiga filosof ini berpendapat bahwa sesungguhnya manusia mampu untuk menangkap hakikat kebenaran, dengan syarat mereka harus mau mengikuti cara berfikir yang benar. Untuk kebutuhan inilah maka kemudian Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berfikir yang dengannya diharapkan akan dapat membedakan antara pemikiran yang benar dan yang salah dan dapat berfikir dengan benar.4 Keberhasilan Sokrates dalam merumuskan metodologi berfikir, banyak mempengaruhi kaum muda sehingga banyak para pengikut Shopis yang berbalik dan menjadi murid Sokrates. Tentu saja kaum Shopis tidak merelakan kondisi seperti itu, sehingga mereka menyebarkan isu bahwa Sokrates telah meracuni pemikiran para pemuda dan harus dihukum mati. Peristiwa ini berujung dengan ditahannya Sokrates, kemudian ia dijatuhi hukuman mati dengan cara disuruh meminum racun.5 Meningalnya Sokrates, tidak berhasil mematahkan semangat para murid Sokrates untuk meneruskan pemikiran serta ajaran gurunya. Salah satu murid Sokrates yang menjadi pewarisnya adalah Plato. Ia adalah filosof yang sebagian pemikirannya merupakan sambungan lidah gurunya. Lalu dilanjutkan dengan hadirnya Aristoteles. Pada masa Aristoteles inilah filsafat mencapai puncak rasionalitas, sekaligus meletakkan pondasi utama filsafat seperti ilmu logika yang dalam khazanah Islam dikenal dengan mantiq. Karena objek filsafat adalah segala sesuatu yang dianggap ‘ada’ (maujud), maka tidak heran jika pemikiran Aristoteles dan para filosof selanjutnya selalu komprehensif, dari persoalan sosial, ekonomi sampai politik, bahkan dari persoalan fisika (thabi’ah) sampai metafisika (ma ba’da al-Thabi’ah). b. Akar Kelahiran Filsafat Islam Setelah Rasulullah Saw. wafat, terjadi polemik besar antara para sahabat. Pada mulanya, persoalan yang mereka perdebatkan adalah: Siapa yang layak menggantikan Rasulullah Saw? Mirisnya, persoalan ini tidak berhenti. Selain itu, hampir setiap perpindahan kekuasaan dari satu khalifah kepada yang lainnya selalu disertai konflik, bahkan pembunuhan. Di sinilah mereka mulai berpolemik mengenai dosa membunuh dan bagaimana status seseorang yang berdosa besar serta terlibat persengketaan tersebut. Oleh sebab itu, muncullah beberapa kubu yang menjadi awal lahirnya aliran teologi dalam Islam. Salah satunya adalah aliran Qadariyah (free will/free act) dan jabariyah (fatalisme). Perbedaan antara kedua kubu tersebut sangat tajam. Adakah kondisi chaos dan pertikaian yang selalu terjadi dalam penggantian kepemimpinan merupakan ketentuan Tuhan atau hanya merupakan kesalahan manusia (human error)? Bani Umayyah yang memegang kekuasaan Islam setelah habisnya Khulafa al-Rasyidun, saat itu mereka sangat berkepentingan untuk mencuci kekuasaannya dari berbagai sikap otoriter yang mereka lakukan. Mereka ingin agar rakyat tidak melakukan pemberontakan. Selain itu, mereka berusaha meyakinkan bahwa kekuasaan yang diperolehnya adalah merupakan pemberian Tuhan dan bukan hasil merampas serta membunuh lawan-lawan politik. Mereka menjustifikasi setiap kebijakan politiknya dengan agama. Oleh sebab itu, pemikiran jabariyah mendapatkan posisi dan penghargaan di kalangan penguasa Bani Umayyah. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, saat itu Mu'awiyah bin Abi Sofyan meminta agar Mughirah bin Syu'bah ra. yang meriwayatkan sebuah do'a shahih dari Rasulullah saw. Yang di dalamnya mengandung visi jabarian, agar do'a tersebut dipublikasikan kepada seluruh masyarakat. Potongan do'a tersebut berbunyi:"Ya Allah, tidak ada yang (dapat) menolak terhadap pemberian-Mu, dan tidak ada yang mampu memberi jika Engkau menolaknya".6 Pada kondisi inilah rakyat dibawa agar dapat menerima kekuasaan Umayyah dan pasrah terhadap seluruh kebijakan politik mereka. Melihat kenyataan tersebut, maka lahirlah beberapa tokoh yang secara terang-terangan menolak sikap fatalis umat. Diriwayatkan bahwa Washil bin Atha adalah figur yang mulai mempertanyakan keyakinan jabarian tersebut yang pada perkembangan selanjutnya menjadi pendiri madzhab Mu'tazilah.7 Di sinilah ia mulai banyak berdebat dengan gurunya dan mulai menggunakan rasio untuk memahami persoalan ini. Dari waktu ke waktu, persoalan yang menjadi polemik tersebut semakin bertambah. Dari persoalan perbuatan manusia, kedudukan akal sampai persoalan keadilan Tuhan. Jauh sebelum filsafat Yunani dikonsumsi umat Islam, kaum Mu'tazilah telah menggunakan sistem pemikiran teologi yang sangat filosofis. Hal ini terlihat dari beberapa persoalan yang diangkatnya, terutama mengenai al-Ushul al-Khamsah yang serba rasional.8 Pemikiran teologi rasionalistik tersebut semakin berkembang ketika Mu'tazilah mendapatkan 'lawan' yang sangat tangguh, yaitu Madzhab Asy'ariyah. Abu Hasan al-Asy'ari yang semenjak kecil dibesarkan oleh ayah tirinya yang bernama al-Juba'i (seorang tokoh Mu'tazilah di zamannya), mulai berusaha 'melawan' teologi Mu'tazilah. Pada awalnya, ia juga adalah merupakan penganut setia Mu'tazilah, tetapi pada akhirnya ia menaggalkan keyakinan Mu'tazilah dan menyatakan kembali kepada sunnah.9 Pada periode inilah terjadi polemik teologis berkepanjangan, terutama antara pengikut kaum Mu'tazilah dan Asy'ariyah, dari persoalan kebebasan manusia, kemakhlukkan al-Qur'an, sifat dan perbuatan Tuhan, Syafa'at, siksa, pahala serta kemungkinan melihat Dzat Allah di akhirat. Polemik panjang inilah yang menyebabkan beberapa pemikiran utama keislaman menjadi sangat filosofis. Sayang sekali polemik ini tidak berjalan mujur. Ia harus banyak mengorbankan ratusan ulama, baik ketika Mu'tazilah menjadi madzhab teologi negara ataupun ketika Madzhab Asy'ari.10 b. Prosesi Masuknya Filsafat Yunani Ke Dunia Islam Agar dapat memberikan gambaran masa-masa pertumbuhan dan perkembangan filsafat dalam dunia Islam, penulis akan menyusunnya sesuai periode pencatatan sejarah. Sejarah mencatat bahwa Iskandar The Great telah berhasil menaklukkan sebagian besar negara-negara di benua India dan Afrika. Penaklukan ini adalah merupakan salah satu pintu pertama masuknya peradaban Yunani ke wilayah Timur, karena saat itu kekuasaan Alexander berdiri kokoh di Yunani dan Macedonia (Eropa), Mesir dan Libia (di Afrika), Syiria, Palestina, Irak, Malih, Persia, Turkistan, Afganistan dan negara India (Asia). Pada masa kekuasaannya, yang dilakukan Alexander adalah bagaimana mendekatkan wilayah jajahannya ke dalam kebudayaan Yunani. Oleh sebab itu, ia sangat mendorong agar orang-orang Yunani mau bersebar dan berbaur di seluruh negeri jajahannya, sehingga setiap kali Alexander menduduki sutu wilayah, maka yang ikut bersamanya bukan hanya para tentara melainkan para pemikir dan budayawan pun selalu ikut serta. Di antara beberapa tempat yang berhasil diwarnai peradaban Yunani adalah Jundisapur, Harran dan Iskandariyah (Mesir). Di kota-kota ini, diajarkan berbagai ilmu yang telah dikembangkan orang Yunani, termasuk membuka sekolah kedokteran. Pada saat Persia ditaklukkan Islam zaman khilafah Abbasiyah, sekolah ini tetap berdiri dan semakin berkembang. Harran adalah sebuah kota di sebelah utara Irak. Setelah ditaklukkan Islam, kota ini menjadi sumber berkembangnya peradaban Yunani. Dari sinilah kita mengenal beberapa nama yang sangat terkenal dalam ilmu kedokteran seperti Ibn Qurrah, Ibn Sinan, Hilal ibn Ibrahim. Adapun Alexandria adalah meruakan ibu kota Mesir pada masa Yunani. Di sinilah lahir beberapa filosof besar yang dikenal dengan aliran neo-Platonisme. Ia didirikan oleh Plotinus. Aliran filsafat neo-Platonis ini sangat dikenal dengan gerakan ruhani dan banyak mengkritik pemikiran materialistik. Bahkan disebutkan, bahwa Plotinus sendiri dalam ekstase ketuhannya telah mencapai derajat Wahdat al-Wujud. Umat Islam sendiri baru berhasil mengadakan hubungan langsung dengan Alexandria pada masa dinasti Umayyah. Disebutkan bahwa Khalid bin Yazid bin Muawiyah telah menerjemahkan beberapa buku filsafat. Hubungan ini berlanjut semakin besar ketika zaman dinasti Abbasyiyah. Sayang sekali, pegaruh pemikiran Iskandariyah terhadap Islam tidak sebesar pengaruh Harran dan Jundisapur. Menurut Ahmad Amin, hal ini disebabkan beberapa faktor yang di antaranya adalah jauhnya jarak dari Alexandria ke Irak. Selain itu, saat itu Alexandria masih tenggelam dalam dunia spiritual, padahal sebagai sebuah negara yang baru bangkit, saat itu Irak sangat membutuhkan ilmu-ilmu keduniaan yang sangat rasional. Sebab lainnya menurut Ahmad Amin adalah bahwa menjelang ditaklukkan Islam, Alexandria sedang dalam kondisi terpuruk, sampai banyak buku-buku yang dibakar bahkan para pemikirnya pun banyak melarikan diri ke negeri lain.11 Pada saat Dinasti Abbasiyah memegang kekuasaan Islam, mulailah di dalam Islam terjadi transformasi ilmu secara besar-besaran. Hal ini dilakukan dengan mulai menerjemahkan berbagai buku peninggalan para pemikir Yunani ke dalam bahasa Arab, terutama dalam bidang kedokteran dan filsafat. Periode ini dapat kita bagi ke dalam tiga bagian: Periode pertama adalah masa kekhalifahan al-Manshur sampai akhir masa Harun al-Rasyid (136-193 H). Pada masa inilah mulai diterjemahkannya berbagai buku seperti Kalila wa Dimnah dari mitologi Persia, Sinbad dari India dan buku-buku logika (manthiq) Aristoteles. Di antara para penerjemah yang sangat terkenal saat itu adalah Ibn al-Muqaffa’, Jorjias bin Jibril dan Yohana. Pada periode inilah aliran Islam yang sangat rasional (Mu’tazilah) mulai bersentuhan langsung dengan buku-buku filsafat Yunani. Hal ini disebabkan banyaknya para teolog Kristen dan Yahudi yang menggugat dasar-dasar aqidah Islam dengan menggunakan filsafat Yunani. Oleh sebab itu, teologi Mu'tazilah yang semenjak awal kelahirannya sangat rasional, ia seolah-olah mendapatkan tenaga baru untuk mengembangkan sistem pemikirannya. Mulai saat itu pula mereka mulai banyak mengenal terminologi-terminologi filsafat Yunani seperti substansi (jauhar) dan 'aradl dan banyak mempergunakannya dalam teori-teori kalam.12 Periode kedua adalah periode al-Makmun, yaitu dari tahun 198 sampai 300 H. Di antara para penerjemah periode ini adalah Yahya al-Bithriq, Hajjaj bin Yusuf, Qastha bin Luqa, Abdul Masih bin Na'imah, Hunain ibn Ishhak, Ishaq bin Hunain Tsabit ibn al-Qurrah serta Hubaisy al-A’syam. Pada periode ini, penerjemahan buku-buku filsafat mulai mendapatkan porsi yang lebih besar daripada kedokteran. Dan periode ketiga adalah periode paska al-Mamun yang memunculkan beberapa penerjemah handal seperti Mata bin Yunus, Sannan bin Tsabit, Yahya bin Adi, Ibn Zur’ah. Pada periode inipun, yang mendapatkan porsi terbesar adalah penerjemahan buku-buku filsafat, terutama karya-karya Aristoteles. Terdapat beberapa faktor yang mendorong dilakukannya terjemahan secara besar-besaran pada masa Abbasyiyah. Pertama, selama dinasti Umayyah, kemajuan intelektual umat Islam cenderung datar, padahal saat itu Islam sudah masuk ke luar Arab. Oleh sebab itu, pada zaman dinasti Abbasiyah mulai disadari arti pentingnya ilmu-ilmu baru yang telah dikembangkan masyarakat non-Arab, terutama dalam mengelola negara. Kedua, pada masa-masa akhir Dinasti Umayyah, pemikiran keagamaan umat Islam sudah melonjak jauh, sehingga banyak di antara mereka yang mulai mempersoalkan makna takdir pada perbuatan manusia. Di antara mereka ada yang terjebak ke dalam kubu fatalisme esktrim atau free will (qadariyah); ada juga yang masih moderat (ikhtiyariyah). Pada situasi inilah umat Islam mulai banyak berpolemik, baik antar mereka sendiri maupun dengan para teolog Nasrani dan Yahudi: Agama manakah yang laibih baik? Agama manakah yang paling banyak memberikan solusi kepada pengikutnya? Ketiga adalah terdapatnya kecenderungan para khalifah Abbasiyah seperti al-Manshur, Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun terhadap ilmu-ilmu rasional dan filsafat.13 Pada akhirnya, barulah pemikiran Yunani benar-benar masuk ke dalam berbagai cabang keilmuan Islam, terutama kalam (teologi Islam), tasawuf dan fikih, baik pada konstruk (syakl) maupun pada tema-tamanya (maudlu'). Dalam hal ini, Ahmad Amin memberikan beberapa bukti sebagai berikut. Jika kita membandingkan konstruk (syakl) ilmu fikih yang dibangun pada masa Dinasti Umayyah dan yang dibangun pada Dinasti Abbasiyah (setelah mereka banyak mendalami ilmu mantiq), maka kita akan menemukan bahwa pada periode pertama, sangat kental dengan metode Arab, sedangkan yang kedua sangat kental dengan warna Aristotelian. Contohnya, jika kita membaca kitab al-Muwattha karya Imam Malik, maka di dalamnya kita hanya akan menemukan pembahasan seputar hukum, lalu beberapa argumen dari sunnah dan sangat jauh dari metodologi mantiq. Sedangkan jika kita membaca kitab al-Hidayah, kita akan mendapatkan paparan argumen yang digunakannya, terutama pada beberapa persoalan yang menjadi bahan polemik antara Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i, sangat kental dengan warna dealektika (jadali) yang disusun oleh Aristoteles, disertai beberapa argumentasi demonstratif (burhan) yang terdiri dari: muqaddimah sugra (premis minor), muqaddimah kubra (premis mayor) dan natijah (kongklusi), ditambah berbagai bentuk analogi (qiyas).14 Begitu pula jika kita membaca buku-buku nahwu karya Imam Sibawaih. Pada sistematika pembahasan tema-tema yang diangkatnya, ia banyak menggunakan logika Aritoteles.15 Dilihat dari sisi tema (maudhu’), filsafat Yunani sangat berpengaruh besar pada perkembangan ilmu kalam, sedangkan neo-Platonisme sangat berpengaruh pada perkembangan tasawuf Islam.16 Perbedaan gerakan terjemahan yang dilakukan pada masa Dinasti Umayah dan Abbasiyah adalah: Pertama, bahwa pada masa Dinasti Umayyah, gerakan terjemahan dilakukan secara individual sedangkan pada masa Dinasti Abbasiyah dilakukan atas instruksi negara. Kedua, pada masa Dinasti Umayyah terjemahan masih terbatas pada ilmu-ilmu kedokteran dan astronomi, sedangkan pada masa Abbasiyah diarahkan pada penerjemahan filsafat. Pada perkembangannya, filsafat Yunani masuk ke dalam pemikiran keislaman melalui beberapa tahapan, yaitu dimulai dengan proses terjemahan (tarjamah), kemudian dilanjutkan proses komentar (syarh) terhadap karya-karya hasil terjemah, dilanjutkan proses resume (talkhis). Setelah tiga proses ini dilalui, barulah masuk proses yang keempat yaitu publikasi karya-karya tersebut ('ardh). Proses-proses tersebut diakhiri dengan tercapainya kemandirian oleh para filosof peripatetik Muslim yang ditandai dengan dimulainya periode penulisan filsafat secara independen (ta’lif). Al-Kindi adalah filosof peripatetik Muslim pertama yang memulai periode penulisan filsafat. Padanya, proses inovasi (ibdâ’) dalam filsafat memiliki porsi lebih besar daripada sekedar menerjemah, memberi komentar (syarh), resume (talkhis) dan publikasi (ardh). Kemudian datanglah al-Farabi. Pada masanya, meskipun porsi pemberian komentar (syarh) dan resume semakin meningkat, tetapi prosentase inovasi (ibda') dan penulisan (ta’lif) secara independen, masih lebih besar. Lalu datang Ibn Sina. Pada periode ini ia menghapuskan perbedaan antara komentar dan resume dari satu sisi, dengan inovasi di sisi lain. Oleh sebab itu, ia menuliskan semua jenis proses tersebut dalam sebuah konstruksi ensiklopedi pemikiran filsafat. Lalu datang Ibn Rusyd. Ia melakukan koreksi dari karya-karya terjemah awal, karena baginya tidak ada inovasi yang dapat dilakukan tanpa upaya menukil filsafat dari sumbernya secara baik dan benar. Oleh sebab itu, secara kuantitas, ia lebih menekankan pada komentar dan resume daripada inovasi sehingga ia digelari sebagai al-Syarih al-‘Adzam (komentator terbesar). Adapun para filosof yang datang setelah Ibn Rusyd seperti al-Razi dan Thusi, mereka lebih menekankan pada upaya inovasi daripada sekedar membuat komentar atau meresume.17 Untuk lebih jelasnya, urutan perkembangan filsafat Islam tersebut adalah sebagai berikut: Al-Kindi adalah merupakan Muslim Arab pertama yang sangat terkagum-kagum terhadap filsafat Yunani. Ia adalah merupakan orang pertama yang menggunakan filsafat dan logika Aristoteles untuk kepentingan ilmu kalam. Salah satu upaya yang dilakukannya adalah bagaimana mempertemukan filsafat (hikmah) dengan syariat Islam, dengan tujuan mencari hakikat kebenaran serta mengamalkan ajaran Islam. Ia adalah orang yang berusaha keras menjelaskan bahwa substansi syariah Islam dengan filsafat adalah Satu. Ia sangat intensif melakukan upaya tersebut, karena filsafat sebagai ilmu yang sangat baru, banyak dipertentangkan oleh para teolog. Oleh sebab itu, Al-Kindi merasa sangat berkepentingan untuk mencoba mempertemukannya (taufiq) serta mencari titik persamaan antara filsafat sebagai hasil olah fikir manusia dengan syari'ah yang merupakan wahyu Tuhan. Urgensi upaya al-Kindi tersebut adalah bagaimana meratakan jalan agar para teolog Muslim mau menerima kehadiran filsafat peripatetik Yunani. Upaya ini dilanjutkan oleh al-Farabi dan Abu al-'Ala al-Ma’arri, Ibn Sina, Ikhwan al-Shafa serta para filosof peripatetik lainnya. Pada sekitar tahun 1055 Masehi, kekuasaan Bani Abbasiyah mulai melemah. Hal ini diakibatkan banyak terjadinya konflik internal. Pada saat ini pula filsafat peripatetik mengalami perkembangan yang sangat lamban, bahkan cenderung melemah. Di balik itu semua, ternyata kondisi yang sangat banyak membuat frustasi umat ini, menjadi ladang tumbuh dan berkembangnya ajaran tasawuf. Di sinilah kita akan mengenal figur al-Ghazali. Uniknya, kehidupan al-Ghazali sendiri mengalami tiga periode pemikiran. Pertama adalah masa-masa di mana ia menjadi seorang teolog Sunni-Asy’ari. Di sinilah ia banyak berpolemik dengan para pengikut Mu’tazilah. Ia banyak belajar dari para teolog sebeumnya seperti al-Juwaini. Setelah periode ini, ia masuk ke dalam dunia filsafat. Di sini ia belajar filsafat dari berbagai sumbernya, seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ikhwan al-Shafa yang disebut-sebut sebagai pewaris pemikiran Pitagoras dan dari Ibn Miskawaih. Tujuannya mempelajari filsafat hanyalah satu, yaitu agar ia dapat membantah pemikiran para filsosof dengan senjata yang mereka miliki. Hal ini disebabkan karena sebagai teolog Asy'ariyah, ia sangat sering terlibat polemik dengan para teolog Mu'tazilah dan para fislosof yang pemikirannya ia anggap keluar dari agama. Pada periode inilah ia menulis buku perdananya dalam filsafat peripatetik yang berjudul: Maqashid al-Falashifah dan Mi’yar al-Ilm. Ia adalah merupakan rekaman hasil penelitian al-Ghazali terhadap pemikiran para filosof peripatetik. Setelah berhasil memahami pemikiran mereka, barulah al-Ghazali menulis Tahafut al-Falasifah, serta beberapa buku lainnya dalam bidang filsafat. Di dalamnya ia merinci seluruh pemikiran filosof dan sekaligus memberikan beberapa penilaian teologis seperti kufur dan bid'ah. Meskipun al-Ghazali menolak pemikiran filsafat, secara langsung ia telah meberikan kontribusi baru dalam filsafat Islam, yaitu dengan memberikan pemikiran alternatif dalam berfilsafat. Karena dalam filsafat dan ilmu kalam yang penuh dengan polemik tesebut al-Ghazali tidak mendapatkan ketenangan, maka akhirnya ia masuk ke dalam dunia tasawuf. Di sinilah ia mulai mengasah intuisi batin dan kekuatan iman. Pada masa-masa ini al-Ghazali berhasil menulis beberapa buku dalam tasawuf yang di antaranya adalah Ihya Ulum al-Din. Proses pencarian dan perkembangan pemikirannya ini ia tulis dalam bukunya yang berjudul al-Munqidz min al-Dlalal (penyelamat dari kesesatan). Di dalam dunia tasawuf pun, al-Ghazali tidak berhenti, ia mendapatkan berbagai penyimpangan yang dilakukan para sufi yang menyebabkan berbagai penolakan ahli fikih dan hadits terhadap tasawuf. Oleh sebab itu, al-Ihya yang ditulisnya adalah merupakan wadah rekonsiliasi tasawuf dengan fikih. Sufi besar lain yang muncul setelah al-Ghazali adalah Ibn Arabi (1165-1240 M) dan Ibn Farid (1184-1235M). Setelah periode ini, akhirnya filsafat berpindah dari timur ke sebelah Barat. Di sinilah kita mengenal nama-nama sepetri Ibn Bajah (Avenpace). Lalu dilanjutkan dengan kehadiran Ibn Thufail. Salah satu karya filsafat terbaik Ibn Thufail adalah novel filsafat yang berjudul Hay bin Yaqdzan. Tidak jauh masa dengan Ibn Thufail, muncullah Ibn Rusyd. Kehadiran Ibn Rusyd inilah yang membawa cuaca baru bagi dunia filsafat Islam setelah mendapatkan gempuran yang dahsyat dari al-Ghazali.18 Dalam membela pemikiran falsafi, pertama-tama Ibn Rusyd melakukan koreksi yang sangat radikal terhadap tuduhan al-Ghazali. Ia mengatakan bahwa al-Ghazali telah salah faham dalam mengatakan bahwa filosof telah kafir karena tiga persoalan. Menurutnya, al-Ghazali telah menuduh para filosof peripatetik bahwa mereka berpendapat: Allah tidak mengetahui persoalan-persoalan partikular (juz’iyyah). Menurut Ibn Rusyd, para filosof peripatetik hanya berpendapat bahwa Allah mengetahui hal-hal partikular tersebut dengan ilmu yang tidak sama dengan ilmu yang kita miliki. Hal ini disebabkan bahwa pengetahuan (ilmu) kita sangat bergantung (ma’lul) pada objek yang kita ketahui. Oleh sebab itu, imu yang kita miliki adalah baharu (muhdats) sesuai dengan baharunya objek yang kita ketahui dan akan berubah sesuai dengan perubahannya. Adapun ilmu Allah terhadap seluruh wujud, sangat berbeda dengan ilmu kita, karena ilmu Allah adalah merupakan sebab utama (illah) bagi seluruh maujud. Bagi Ibn Rusyd, barang siapa yang menyamakan antara dua ilmu yang sangat berbeda tersebut, ia adalah orang yang paling bodoh. Kesamaan kata al-Ilm bagi pengetahuan yang baharu (muhdats) dan yang kekal (qadim/ilmu Allah) terbatas hanya sebagai sinonim (musytarak lafdzi). Menurut Ibn Rusyd pula, jika konteksnya seperti ini, maka sebenarnya para filosof bukan hanya menganggap bahwa Allah tidak mengetahui hal-hal partikular, karena Dia juga tidak mengetahui hal-hal yang general (kulliiyyah) dalam pengertian juz’i dan kulli ilmu manusia, karena pengetahuan kulli dan juz’i dalam ukuran manusia adalah merupakan akibat (ma’lul) dari sebuah sebab ('illah). Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi al-Ghazali utuk mengkafirkan para filosof dengan masalah ini.19 Selanjutnya adalah mengenai persoalan kekalnya alam. Ibn Rusyd menjelaskan, perbedaan pendapat antara para teolog Asy’ari dan para filosof hanyalah perbedaan pada persoalan penamaan (al-Ikhtilaf fi al-Tasmiyah). Dalam hal ini, para filosof berpendapat bahwa segala sesuatu yang wujud (maujudat) terbagi ke dalam tiga kelompok. Dua dari tiga persoalan maujudat tersebut mereka sependapat dan mereka hanya berbeda pendapat pada satu persoalan di antara keduanya. Pembagian maujudat tersebut adalah sebagai berikut: Maujud pertama adalah 'ada' (maujud) dan diadakan oleh (subjek) yang lain dan (berasal) dari sesuatu yang lain (materi), serta adanya didahului oleh waktu. Maujudat yang termasuk kelompok ini adalah seluruh wujud material/fisik yang dapat diserap oleh panca indra seperti air, udara, tanah, binatang dan tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Mengenai wujud pertama ini, para teolog Asy’ariyah dan filosof sependapat bahwa ia adalah baharu (muhdats). Wujud kedua adalah wujud yang merupakan kebalikan dari yang pertama. Ia adalah wujud yang tidak berasal dari sesuatu, tidak diadakan oleh yang lain dan tidak didahului oleh waktu. Dalam persoalan ini, mereka pun masih bersepakat bahwa wujud tersebut adalah kekal (qadim). Wujud yang kekal ini adalah Allah Ta'ala yang merupakan pencipta seluruh alam dan menjaganya. Ketiga adalah wujud yang terdapat di antara dua wujud tersebut, yaitu maujud yang tidak berasal dari sesuatu, tidak didahului waktu, tetapi ia diwujudkan oleh yang lain (pencipta). Wujud tersebut adalah alam. Para teolog dan filosof bersepakat mengenai tiga sifat pada wujud terakhir ini (tidak berasal dari sesuatu, tidak didahului waktu, tetapi ia diwujudkan oleh yang lain).20 Wujud ketiga ini, di dalamnya terdapat bagian-bagian kekekalan dan kebaharuan. Bagi mereka yang melihat bahwa unsur kekekalannya lebih dominan, maka ia adalah kekal, sedangkan bagi mereka yang melihat unsur kebaharuannya yang lebih dominan, maka ia akan mengatakan bahwa alam adalah baharu (muhdats). Oleh sebab itu, ia tidak layak disebut kekal secara absolut karena ia membutuhkan pencipta. Tetapi juga ia tidak dapat disebut baharu absolut karena ia akan punah.21 Demikianlah perlawanan sengit Ibn Rusyd terhadap al-Ghazali. Setelah Ibn Rusyd, muncullah Ibn Khaldun yang melahirkan corak filsafat baru dalam ilmu sejarah dan ilmu sosial. b. Akar dan Konstruk Filsafat Islam Di dalam Islam, filsafat lebih luas dari sekedar fisafat seperti yang dikenal oleh kaum peripatetik, karena jauh sebelum mereka muncul, umat Islam telah mengenal filsafat jauh di belakang mereka. Oleh sebab itu, kita akan mendapatkan bahwa di dalam ilmu kalam terdapat berbagai kajian filosofis yang sangat mendalam dan mendetail. Ia memiliki pemikiran yang dapat memberikan jalan keluar dari berbagai persoalan besar yang dihadapi filsafat. Salah satunya adalah problem ketuhanan, alam dan manusia. Mereka mendalami persoalan-persoalan ini sebelum bersentuhan dengan filsafat peripatetik Yunani.22 Oleh sebab itu, siapakah yang dapat memungkiri para teolog (mutakallim) seperti Abu Hudzail al-Allaf (849), al-Nidzam (845) dan kedudukan mereka dalam pemikiran filsafat Islam? Demikian pula beberapa teolog Asy’ariyah seperti al-Ghazali (1111) dan al-Razi (1209). Diperkirakan bahwa sekitar semenjak abad ketujuh sampai tiga belas Hijriyahlah mulai terjadinya percampuran antara tema-tema ilmu kalam dengan filsafat Islam. Oleh sebab itu, jika kita melihat buku-buku yang ditulis para teolog Asy'ariyah seperti al-Mawaqif karya 'Aduddin al-Iji, al-Baqillani, atau Aqa’id al-Nasafiyah karya al-Razi, mereka tidak lagi membedakan mana tema-tema filsafat Islam dengan tema-tema ilmu kalam. Oleh sebab itu, kita dapat menemukan bahwa dalam karya-karya mereka sangat penuh dengan berbagai pandangan serta teori-teori filsafat dan kalam secara menyatu. Selain itu, semenjak awal para sufi telah berusaha menjelaskan kondisi manusia dari sisi khauf, raja, mahabbah, kekekalan dan fana. Mereka juga memberikan perhatian sangat besar terhadap suluk, ma’rifah, intuisi dan irfan. Semenjak awal abad ke-3 Hijriyah, kita mendapatkan bahwa Junaid al-Baghdadi (910) al-Hallaj (922) menjelaskan dua persolan besar seputar ittihad dan hulul. Al-Junaidi menjelaskan bahwa seorang sufi mampu mencapai alam cahaya dan berpadu dengan Tuhannya, sehinga terungkaplah baginya segala tabir (hijab) maka ia dapat melihat alam gaib. Sedagkan al-Hallaj berpendapat bahwa manusia dapat hulul (alam lahut dan nasut), sampai ia berani mentakan Ana al-Haq. Pada abad keenam dan ke tujuh hijriyah, kita mendapatkan beberapa orang sufi yang sangat pantas disebut sebagai filsuf. Orang-orang ini di antaranya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1191) yang dikenal sebagai Syaikh al-Isyraq dan Muhyiddin bin Arabi (1240) yang mendirikan madzhab wahdat al-Wujud. Lalu dilanjutkan ibn Sab’in (1270) yang berpendapat mengenai monotesime absolut (al-Wahdah al-Muthlaq). Akhirnya, pemikiran tasawuf mereka berdiri di atas pilar-pilar filosofis. Sebagai bukti, kita akan menemukan bagaimana mereka mengajarkan berbagai teori epistemologi dan ontologi seperti yang dilakukan para filosof. Oleh sebab itu, filsafat dalam Islam kadang hidup bersama ilmu tasawuf atau kadang bersama ilmu kalam. Kita dapat menemukan bagaimana filsafat dalam Islam dibesarkan oleh Ibn Sina (1037) di satu sisi, dan oleh Suhrawardi serta Ibn Arabi di sisi lain bahkan ada Fariduddin al-'Athar serta Quthbuddin Syirazi (1311).23 Demikianlah kaum para teolog, sufi dan filosof Muslim membesarkan filsafat. Dalam buku-buku klasik Islam, sebenarnya istilah filsafat sangat jarang digunakan. Dahulu para pemikir lebih sering menggunakan istilah al-Hikmah.24 Hal ini dapat kita lihat dari beberapa karya seperti yang ditulis oleh Ibn Sina dalam karyanya yang berjudul al-Najah fi al-Hikmah al-Manthiqiyyah wa al-Thabî’iyyah wa al-Ilâhiyyah, dan Uyûn al-Hikmah serta dalam al-Isyarat wa al-Tambihat. Karya al-Farabi yang berjudul Fushûsh al-Hikam, al-Khair al-Abad, Kitab al-Handasiyyah al-Sa’idiyyah fi al-Hikmah al-Thabi’iyyah. Meskipun demikian, beberapa filosof Muslim seperti Al-Kindi, masih sering menggunakan kata falsafah daripada al-Hikmah dalam karya-karyanya. Hanya saja, ketika kata al-Falsafah digunakan dalam literatur filsafat Islam, maka yang dimaksudkannya adalah filsafat Yunani.25 Hal ini disebabkan karena filsafat yang berkembang dalam dunia Islam tidak terbatas pada filsafat Yunani. Pemikiran kalam yang hanya mengobjekkan diri dengan persoalan-persoalan agama yang di antaranya terdiri dari persoalan-persoalan eskatologis, bertemu dengan filsafat Yunani yang juga membahas persoalan tersebut. Oleh sebab itu, tidak heran jika aliran teologis al-Kindi bercorak Mu'tazilah tetapi kajian filosofis yang dilakukannya semata-mata filsafat Yunani. Oleh sebab itu, kita akan dapat menemukan beberapa ciri filsafat Islam yang antara lain: 1. Filsafat Islam bercorak religius-spiritual (diniyah ruhiyah). Dikatakan demikian karena ia berdiri di atas pilar-pilar Islam, besar pada lingkungannya dan sangat memperhatikan sisi spiritual manusia. Ia juga tumbuh untuk memberikan beberapa solusi yang menjadi problem ilmu kalam. 2. Bersifat rasional. Meskipun filsafat Islam banyak memperhatikan persoalan ruhani, akan tetapi ia juga sangat memperhatikan persoalan rasionalitas. Oleh sebab itu, ia juga meperhatikan persoalan-persoalan seperti masalah ketuhanan, alam dan manusia. Bagi mereka, Wajib al-Wuhjud adalah akal murni. Ia berfikir dengan dzat-Nya. Pada saat yang sama, Dia adalah akal dan ma’qul, yang darinya muncullah akal pertama yang merupakan ciptaan Allah pertama.26 Bagi mereka juga, akal manusia adalah salah satu kekuatan jiwa yang disebut al-Nafs al-Nathiqah. Ia terbagi dua bagian: Pertama, Akal praktis, yaitu akal yang me-menej seluruh anggota badan; dan kedua, akal teoritis, yaitu akal yang menyerap seluruh ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, filsuf Muslim dan teolog sangat banyak memperhatikan akal, bahkan ada yang berpendapat bahwa dengan akalnyalah manusia mampu mengetahui yang baik dan buruk; 3. Berusaha membangun relasi antara agama dan filsafat (taufiqiyyah). Di antaranya adalah al-Farabi yang berpedapat mengenai adanya kesatuan filsafat. c. Beberapa Tema Utama Filsafat Islam Menurut Ibn Sina, dalam mempelajari filsafat Islam terdapat beberapa tingkatan yang harus kita lewati. Tingkatan tersebut dimulai dari al-Falsafah al-Thabi’iyah (filsafat alam) kemudian al-Falsafah al-Riyadhiyyah dan yang terakhir adalah al-Falsafah al-Ilahiyyah (filsafat ketuhanan). Filsafat yang ketiga adalah merupakan kajian khusus cabang filsafat yang dikenal dengan metafisika (ma ba'da al-Thabi'ah). Masih menurutnya, al-Falsafah al-Thabi’iyah adalah merupakan ilmu yang tingkatannya paling rendah dalam berfilsafat, oleh karenanya ia sangat mudah dipelajari oleh para pemula. Objek filsafat ini adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan materi (maddah), baik dalam persepsi (tashawwur) maupun dalam wujud nyata (qawam). Meskipun demikian, ia adalah merupakan pengantar (madkhal) untuk mempelajari al-Falsafah al-Riyadhiyyah. Al-falsafah al-Riyadhiyyah sendiri bagi Ibn Sina menduduki posisi kedua yang akan mengantarkan kepada al-falsafah al-Ilahiyyah. Pada tingkatan ini, filsafat sudah mulai meninggalkan materi, tetapi ia masih membutuhkan materi pada wujudnya. Terakhir, barulah kita akan mempelajari al-Falsafah al-Ilahiyah yang merupakan filsafat tertinggi dan tujuan utama dari kajian filsafat Islam.27 Filsafat ketuhanan adalah merupakan tujuan utama filsafat Islam, karena tujuan utama para filosof dan para teolog Muslim adalah bagaimana menjelaskan dan membuktikan wujud Allah yang Esa, sebagai pencipta segala yang ada. Pembahasan mengenai filsafat ketuhanan ini berhubungan dengan berbagai persoalan metafisika lainnya yang di antaranya adalah mengenai bukti adanya ketuhanan, hakikat ketuhanan, perbedaan Tuhan dengan semua makhluknya, perbuatan dan sifat-Nya. Dalam tataran teoritis, para filosof Muslim mengangkat persoalan-persoalan metafisika ini dalam nama yang beragam. Ada yang mengangkatnya dengan mengkaji al-Illah wa al-Ma’lul (sebab dan akibat) ada juga yang mengangkat dalam al-Imkan wa al-wujub. Bagi yang mengangkatnya dalam al-illah wa al-ma’lul, Tuhan adalah merupakan penyebab pertama (al-'Illah al-Ula) yang menjadi sebab bagi segala sesuatu. Bagi mereka, rangkaian satu sebab dengan sebab yang lain (sejauh manapun rangkain itu), ia harus berhenti pada illat pertama (kausa prima) yang merupakan wajib al-Wujud. Jika ia tidak berhenti pada wajib al-wujud, maka pemikiran tentang sebab-akibat tersebut akan terjerembab ke dalam daur dan tasalsul, padahal kedua-duanya, menurut logika adalah mustahil. Sebagai contoh, kita akan mengangkat bagaimana Ibn Sina berusaha membuktikan bahwa Tuhan benar-benar ada. Dalam al-Isyarat, ia menjelaskan hal ini dengan sangat sistematis. Pertama-tama ia menjelaskan bagaimana pemikiran kaum positivis yang menafikan wujud Tuhan serta argumen-argumennya. Setelah itu, ia membantah argumen kaum positivis dengan argumen yang biasa mereka gunakan. Seperti kita ketahui, kaum positivis tidak mau menerima adanya realitas di luar yang dapat kita persepsi melalui indra. Dengan argumentasi ini, Ibn Sina mulai membuktikan bahwa terdapat wujud di luar materi. Setelah itu, Ibn Sina melanjutkan dengan menjelaskan bahwa wujud di luar materi tersebut yang paling utama adalah Sang penyebab pertama yang darinya berangkai berbagai sebab. Di sinilah ia membuktikan bagaimana Tuhan menjadi penyebab utama (al-Ilah al-Ula).28 Para filosof yang membuktikan adanya ketuhanan melalui jalur al-Imkan wa al-Wujub, mereka menggunakan beberapa argumen: alam adalah sesuatu yang adanya adalah mungkin, karena ia mungkin ada dan mungkin tidak ada. Ketika ia menjadi ada, maka ia membutuhkan faktor lain yang menyebabkannya harus meng’ada’, karena sesuatu yang mungkin, tidak dapat merubah dirinya dari sutu keadaan kepada keadaan yang lain. Oleh sebab itu, terdapat Sesuatu yang lain dan di luar dirinya yang telah merubah sesuatu yang mungkin tersebut. Agen perubahan tersebut adalah wajib al-Wujud, karena bagi mereka, pada realitas yang disebut wujud hanya terbagi dua: wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Argumen ini sedikit berbeda dengan yang digunakan oleh para teolog. Para mutakallimin menggunakan dalil al-Huduts untuk sampai pada penjelasan adanya Tuhan. Salah satunya yang djelaskan oleh Aduddin al-Iji dalam Syarh al-Mawaqif. Menurutnya, para mutakallimin telah menetapkan bahwa argumen kebaharuan (huduts) adalah merupakan argumen utama untuk menjelaskan keberadaan Tuhan (itsbat al-Shani’). Dalam persoalan ini, ia menjelaskan bahwa alam adalah baharu (muhdats) dan setiap yang baharu maka ia membutuhkan yang mengadakannya (muhdits).29 Inilah beberapa contoh persoalan yang menjadi tujuan utama para filosof dan teolog Islam. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai ketuhanan, biasanya mereka letakkan pada bagian terakhir pembahasan hal-hal yang dapat membantu untuk memahaminya. d. Filsafat Islam Pasca-Ibn Rusyd Setelah Ibn Rusyd meninggal dunia, banyak orientalis yang menyatakan bahwa tradisi rasional (filsafat) dalam Islam telah berakhir. Artinya, filsafat dalam Islam menemui kebuntuan. Meskipun demikian, saat ini banyak orientalis yang mulai mengakui keberlangsungan filsafat Islam setelah meninggalnya Ibn Rusyd. Salah satunya adalah Henri Korbin. Setelah Ibn Rusd meninggal dunia, ternyata filsafat Islam menemukan tempat barunya yaitu di dataran Persia. Kebesaran Persia dalam pemikiran keislaman yang didukung oleh kekuatan politik, dimulai semenjak dinasti Shafawiyah berhasil menyatukan seluruh Persia di bawah kekuasaaannya. Pada periode ini, banyak filosof Muslim Syi'i yang mewarisi tradisi pemikiran para filosof sebelumnya. Salah satu bukti kebesaran filsafat Islam periode Persia adalah munculnya Shadruddin Mulla Shadra yang dikenal dengan Mulla Shadra dengan julukan Shadr al-Muta'allihin. Filsafat yang dikembangkannya adalah bagaimana mensintesiskan antara filsafat, tasawuf (irfan) dan syariah. Seperti telah kita ketahui bersama, semanjak awal perkembangannya, problem terbesar yang dihadapi para filosof adalah bagaimana menjelaskan relasi antara agama dan filsafat. Di sinilah Mulla Sadra berperan sebagai orang yang mencari sintesis antara tiga arus yang sangat berjauhan. Dalam persoalan ini, Sayyed Hossein Nasr mencatat, bahwa setelah filsafat Islam di wilayah Barat berhenti, pada sekitar abad ke-7 H/13 M, filsafat Ibn Sina dihidupkan kembali oleh Nashiruddin Thusi dan rekan-rekannya. Hal ini ditandai dengan upaya Thusi untuk memberikan komentar terhadap beberapa karya Ibn Sina yang di antaranya adalah al-Isyarat wa al-Tambihat.30 Selain itu, kehadiran Suhrawardi al-Maqtul dan Ibn Arabi, dua generasi sebelum Thusi, telah melahirkan perspektif baru dalam filsafat. Setelah mereka inilah di Persia kita mengenal beberapa filosof baru yang di antaranya adalah Thusi, Dabiran Katibi, Astiruddin Abhari, Ibn Turkah Isfahani serta keluarga Dasytaki. Masa-masa ini mencapai keemasannya pada kelompok filosof Isfahan yang di antara tokohnya adalah Baha'uddin al-Amili dan Mir Damad yang merupakan guru Mulla Shadra. Dari kelompok Isfahan ini, akhirnya lahirlah Shadruddin Syirazi atau yang dikenal dengan Mulla Shadra. Filsafat yang dikembangkannya adalah bagaimana mendamaikan antara (intuisi intelesktual, dzauq) akal istidlal dan Syari'ah dalam al-Hikmah al-Muta’aliyah (teosofi transenden). Dalam konsep filsafatnya ini, ia berusaha hidup dalam dunia isyraq/irfan lalu diungkapkan melalui pembuktian rasional dan baginya, syariah adalah merupakan media untuk mencapai pengalaman itu. Setelah Mulla Sadra, kita mengenal Mulla Ali Nuri Mulla Hadi Syabdziwari dan Mulla Ali Zunuri dan masih banyak filosof Persia lainnya.31 Dari sisi irfan, Mulla Shadr mengambil ajarannya dari tasawuf, terutama al-Hallaj dan Ibn Arabi serta al-Ghazali. Dari sisi syari'ah ia mengambilnya secara langsung dari sumber otentik Islam, yaitu sunnah dan al-Quran. Prestasi inilah yang selama ini terlupakan oleh sebagian besar orientalis. Mereka juga lupa bahwa sampai abad ke 19, Persia masih melahirkan beberapa filoso yang pemikirannya sangat besar. e. Penutup Demikianlah pengantar singkat mengenai sejarah filsafat Islam dan tema-tema yang menjadi objek utama kajiannnya. Semoga dapat menjadi bahan bagi para pengkaji filsafat Islam. Kairo, Mei 2003 Catatan Kaki * Penulis, asal Garut, Jawa Barat, mahasiswa program Pasca-Sarjana Jurusan Akidah dan Filsafat, Universitas Al-Azhar dan aktivis Piramid Community Mesir. 1. Yang kami maksud dengan kebenaran disini adalah keyakinan kepada Tuhan yang mereka hasilkan, yaitu keyakinan monoteis. 2. Syaikh Nadim al-Jisr. Qisshah al-Iman. 3. Ibid. 19. 4. Muhammad Husain Thabathaba’i. Ushul al-Falsafah. (Edisi bahasa Arab). Mu’assasah Ummul Quro: Libanon. Tanpa tahun. Halaman: 92. 5. Mengenai kisah ini, dapat dilihat pada buku Apologia terjemahan Fu'ad Hassan. Bulan Bintang: Jakarta. Tanpa tahun. 6. Lihat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. 7. Abdul Halim Mahmud. Al-Tafkir al-Falsafi fi al-Islam. Dar al-Ma'arif: Mesir. Tanpa tahun. Halaman 190. 8. Al-Ushul al-Khamsah adalah lima pokok keyakinan teologis Mu'tazilah yang di antaranya: 1. al-Tauhid (mengesakan Allah), 2. al-Adl (keadilan Allah), 3. al-Wa'd wa al-Wa'id (janji dan ancaman) 4. al-Manzilah baina al-Manzilatain (tempat di antara dua tempat/surga dan neraka) dan 5. al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahy bi al-Munkar. 9. Lihat: Pengantar Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah karya Abu Hasan al-As'ri.. Tahqiq Dr. Fauqiyah Husain Mahmud. Maktabah al-Azhariyah li al-Turats: Kairo. 1978. 10. Hal ini dapat kita lihat dengan terjadinya mihnah (inkusisi) yang dilakukan oleh penguasa di zaman Mu'tazilah. 11. Ahmad Amin. Dhuha al-Islam. Maktabah Usrah: Kairo. 1996 Halaman. 278. 12. Ibid. Halaman: 280. 13. Ibn Nadim menjelaskan mengapa al-Ma’mun sangat gemar mempelajari filsafat. Diriwayatkan bahwa suatu ketika ia pernah bermimpi didatangi seorang laki-laki yang mukanya sangat bersih, berkumis kemerah-merahan, dahinya agak lebar, berjambang dan matanya sangat tajam. Laki-laki- tersebut duduk di tempat tidurnya. Al-Makmun bertanya; siapakah engkau/ laki-laki itu menjawab: aku adalah Aristoteles. Saat itu al-makmun sangat bahagia lalu ia bertanya padanya; wahai sang filosof, aku ingin bertanya. Apa yang ingin kau tanyakan? Apakah kebaikan itu? Ia menjawab: kebaikan adalah segala sesuatu yang dianggap akal baik. Lalu? Lalu yang dianggap oleh syariat baik lalu? Lalu yang dianggap baik oleh masyarakat banyak. Lalu? Aristoteles menjawab: tidak ada yang lainnya. Lalu ia menasehati al-makmun, peganglah erat-erat tauhid. Ibn Nadim. Al-Fihrisat: halaman 423. 14. Metodologi kiyas ini menduduki posisi yang sangat besar dalam berbagai ilmu islam. Oleh sebab itu, kita akan menemukannya dalam ilmu fikih, dan ushul fikih, ilmu bahasa (nahwu) serta ilmu filsafat. Pada seluruh cabang ilmu ini, kiyas memiliki ciri khas yang sangat berbeda. 15. Dalam istilah mantiq terdapat terminologi yang disebut taqsim 16. Ahmad Amin. Op.Cit. Hal. 293. 17. Inilah yang dilakukan oleh filosof seperti Al-Farabi. Ia meresume (talkhis) buku Nawamis karya Plato, buku al-Syi’r, al-Ibarah dan al-Maqulah karya Aristoteles. Ibn Sina pun melakukan hal yang sama. Ia meresume buku al-Lam, Atsulugia serta membuat beberapa komentar terhadap kitab al-Nafs. Demikian pula Ibn Rusyd. Ia meresume buku al-Maqulat al-Ibarah al-Qiyas, al-Jadal, al-Burhan, al-Sathsathah, al-Khithabah al-Syi’r yang semuanya berhubungan dengan ilmu logika. Ia pun meresume beberap buku tentang filsafat alam: al-Sama al-Thabi’i, al-Sama wa al-Alam, al-Kaun wa al-Fasad, al-Atsar, al-Nafs, ditambah buku ma ba’da al-Thabi’ah dan Jumhuriyyah karya Plato. Hasan Hanafi. Op. Cit. Halaman: 108. 18. Abduh al-Syimali. Dirasat fi Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah al-Islamiyyah Wa Atsari Rijaliha. Dar Shadir: Beirut.1979. Halaman: 500. 19. Ibn Rusyd. Fashl al-Maqal Fima Baina al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal. Dar al-Ma'arif: Kairo-Mesir. Halaman 40. 20. Para mutakallimin (teolog) menerima bahwa alam tidak dapat didahului oleh waktu, karena adanya waktu menyertai alam (gerakan alam), karena menurut mereka, adanya waktu harus menyertai adanya gerakan. Mereka juga sepakat bahwa masa depan (mustaqbal) adalah tidak terbatas, begitu juga maujud mustaqbal. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai waktu lampau (madhi) dimana menurut mutakallimin ia adalah berakhir. Pendapat ini sama dengan pendapat Plato dan para pengikutnya. Sedangkan Aristoteles berpendapat bahwa ia tidak berujung. 21. Ibn Rusyd. Ibid. Halaman: 41-42. 22. Ibrahim Madkur. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbiquh. Vol. 2. Maktabah li al-Dirasah al-Falsafiyah. Tanpa tahun. Halaman 8. 23. Ibid. 24. Hasan Hanafi. Dirasat Falsafiyah fi al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir. Dar al-Tanwir: Beirut. 1995. volume I. Halaman 83. 25. Dapat dilihat misalnya dalam kamiyyah kutub Aristhuthalis wama yahtaju ilaihi fi tahshil al-Falsafah atau al-Farabi dalam fima yambagi ay uqaddam qabla ta’allum al-Falsafah. 26. Al-Farabi. Ara ahl al-madinbah al-fadhilah. Hal 10. 27. Sulaiman Dunya. Pada pengantar al-Isyarat wa al-Tambihat vol: 2 halaman: 10. 28. Isyarat. Vol: 3 halaman: 7-20. 29. Al-Jurjani. Syarh al-Mawaqif li Adhuddin al-Iji. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Vol:8 halaman 8. 30. Buku al-Isyarat memiliki dua buah syarah (komentar). Pertama adalah komentar yang diberikan oleh al-Razi dan kedua yang diberikan oleh Nashiruddin husi. Terdapat perbedaan yang mendasar antara keduanya. Komentar yang dilakukan oleh al-Razi adalah merupakan kritikan terhadap pemikiran filsafat peripatetik karena ia adalah sebagai seorang mutakallim. Sedangkan komentar yang diberikan oleh Thusi adalah merupakan komentar murni, karena ia adalah merupakan filosof peripatetik. 31. Hussein Nasr. Pengantar pada Ilmu Hudhuri karya Mehdi Hairi Yazdi terjemahan Ahsin Muhammad. Mizan: Bandung. 1996. Halaman: 8-9. Daftar Referensi: · al-Jisr, Syaikh Nadim. Qishah al-Iman. · Thabathaba’i, Muhammad Husain. Ushul al-Falsafah. (Edisi bahasa Arab). Mu’assasah Ummul Quro: Libanon. Tanpa tahun. · Al-Asqallani, Ibn Hajar. Fathal-Bari li Syarh Shahih al-Bukhari. Dar al-Fikr: Beirut: 1990. · Mahmud, Abdul Halim. Al-Tafkir al-Falsafi fi al-Islam. Dar al-Ma'arif: Mesir. Tanpa tahun. · Fauqiyah, Dr. Pengantar Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah karya Abu Hasan al-As'ri.. Maktabah al-Azhariyah li al-Turats: Mesir. · Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam. Maktabah Usrah: Kairo. 1996 · Al-Syimali, Abduh. Dirasat fi Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah al-Islamiyyah Wa Atsari Rijaliha. Dar Shadir: Beirut.1979. · Rusyd, Ibn al-Walid. Fashl al-Maqal Fima Baina al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal. Dar al-Ma'arif: Kairo-Mesir. Thaun. · Hanafi, Hasan. Dr. Dirasat Falsafiyah fi al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir. Dar al-Tanwir: Beirtu. 1995. · Al-Farabi, Abu Nashr. Ara ahl al-madinbah al-fadhilah. · Nasr, Hussein. Pengantar pada Ilmu Hudhuri karya Mehdi Hairi Yazdi terjemahan Ahsin Muhammad. Mizan: Bnadung. 1996. · Madkur, Ibrahim Madkur. Dr. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbiquh. Maktabah li al-Dirasah al-Falsafiyah. Tanpa tahun